😊 selamat membaca~~~
***
Berbulan-bulan kemudian, setelah Kaori dan Davin menyelesaikan pendidikan sarjananya, pertemuan keluarga kembali dilakukan. Seperti sebelumnya, untuk mengatur perjodohan keduanya yang masih tertunda akibat penolakan Kaori maupun Davin waktu itu.
"Jadi, gimana? Apa kalian masih menolak perjodohan ini?" Kintan memulai sesi pertanyaannnya.
Kaori dan Davin mengangguk kompak.
"Apa belum cukup waktu enam bulan untuk memikirkan keputusan kalian itu? Kami sudah cukup sabar untuk menunggu kepastian dari kalian loh ini, Kaori, Davin...." Bella menimpali dan mendengus frustasi.
"Ma, keputusannya kan udah jelas. Kaori nggak mau nikah sama Davin. Kami juga nggak saling cinta. Buat apa coba nikah tanpa cinta?" protes Kaori, nyaris putus asa. Rasanya dia sudah lelah untuk berkata tidak setiap kali mamanya memaksanya untuk menerima perjodohan itu. Padahal sudah berkali-kali pula Kaori menolaknya mentah-mentah.
Lagian, apa bagusnya sih si Davin? Sampai mamanya pengen banget punya menantu kayak dia? Kalau soal tampan dan mapan, Kaori bisa dapat yang lebih kok dari Davin.
"Kalian kan udah sering bareng dari SD, Ri. Dari dulu satu kelas terus. Sampai kuliah kemarin juga bisa kebetulan gitu satu fakultas. Pastinya kalian sudah saling mengenal satu sama lain, kan? Tante yakin deh, kalau Davin bakal berubah lebih baik kalau dia punya partner kayak kamu. Iya, kan, Dav?" Kintan menoleh menatap anak sulungnya itu dengan penuh harap.
Davin tidak menjawab, pandangan tertuju lurus-lurus pada Kaori yang menatapnya tajam.
"Gimana ya, Ma. Davin kan udah punya pacar, dan Davin juga serius sama dia. Jadi...," Davin menghela napas, "Davin nggak bisa terima perjodohan ini."
Kaori mengangguk. "Kaori juga udah punya pacar, Ma, Tante. Jadi, Kaori juga nggak bisa terima perjodohan ini."
Bella dan Kintan berpandangan. Keduanya sama-sama memasang ekspresi kecewa. Sementara itu para suami hanya mengedikkan bahu, tidak tahu harus mengatakan apa lagi karena toh kedua anak mereka sudah dewasa dan berhak menentukan pilihan sendiri. Hanya saja, baik Kintan maupun Bella bersikeras untuk tetap menjodohkan anak-anak mereka karena itu adalah keinginan keduanya sejak dulu.
"Maaf, ya, Bel, anakku nggak mau nikah sama anak kamu, hiks." Kintan mengelap air matanya yang merembes bak hujan deras.
Bella ikut mengusap air matanya yang berlinang. "Maafin aku juga ya, Kin. Davin nggak mau nikahin Kaori. Sebaiknya kita lupakan aja impian buat nikahin anak-anak kita, hiks... hiks."
Kaori dan Davin sama-sama mendecakkan lidah melihat drama yang terjadi di depan mata mereka saat ini. Mereka pikir dengan akting nangis kayak gitu, bakal membuat keduanya luluh? Tydack semudah itu.
"Ma, udahlah, Ma, nggak usah drama gitu deh." Kaori mengusap-usap punggung mamanya dengan penuh perhatian.
"Nggak tau deh. Mama nggak ngerti lagi gimana caranya ngomong sama kamu." Bella lantas beranjak, meninggalkan ruang tamu. Kepergiannya tak lama disusul sang suami.
"Mami juga udah capek." Kintan lalu menatap Kaori dalam-dalam. "Kaori, Tante nggak pernah lo sesayang ini sama anak-anak teman Tante. Tapi, kamu itu udah Tante anggap kayak anak sendiri. Tante dari dulu berharap banget kamu bisa jadi menantu Tante. Tapi, ya udah, kalau kalian nggak mau...." Kintan pun berlalu, masih dengan berlinang air mata.
Kaori tertegun melihat bagaimana Kintan menatapnya. Kaori tidak mungkin salah kalau baru saja dia melihat kesungguhan di mata wanita itu. Ada kekecewaan yang tersirat di sana, yang tak disangka-sangka menimbulkan rasa bersalah di hati Kaori. Memang, sejak dulu, Kintan sangat baik padanya. Beliau memperlakukan Kaori dengan sangat baik dan penuh kasih sayang, layaknya seorang ibu yang menyayangi anaknya sendiri.
Tapi, haruskan Kaori membalas semua kasih sayang itu dengan cara menikahi anaknya? Yang jelas-jelas Kaori benci?
"Pi, ini kok jadi gini, sih?" Davin bertanya pada ayahnya masih duduk tenang di depan mereka.
Surya tersenyum lebar. "Coba pikirkan lagi baik-baik keputusan kalian ini. Orangtua tahu apa yang terbaik untuk anak-anaknya. Apa salahnya untuk belajar menerima satu sama lain? Papi rasa kalian ini akan berjodoh."
Kaori dan Davin saling pandang sejenak, sebelum Davin lebih dulu mengalihkan pandangannya.
"Nanti Davin pikir-pikir lagi."
Mendengar Davin berkata begitu, Kaori juga mengangguk setuju. "Kaori juga mau pikir-pikir lagi, Om."
***
Angin sore berembus, menerpa wajah Kaori dan Davin yang duduk di sebuah kursi panjang di bawah pohon di halaman depan rumah Davin. Cukup lama keduanya tidak saling bicara. Mencoba memahami apa yang terjadi.
Pernikahan...
Kaori selalu memimpikan sebuah pernikahan yang sempurna. Di mana hubungan itu dijalani bersama orang yang dicintainya dan dilengkapi dengan sebuah ketulusan. Seseorang yang mau menghabiskan sisa waktu di hidupnya yang hanya satu kali ini. Menua bersama sampai maut memisahkan. Karena sejatinya, pernikahan bukanlah sebuah akhir perjalanan cinta. Pernikahan serupa dengan menjalani kehidupan yang baru, di mana setiap perjalanannya akan dibumbui oleh rasa pahit dan manis.
Apa jadinya kalau dia menikahi Davin? Seseorang yang bahkan tidak dia cintai sama sekali. Seperti apa kehidupan after married-nya nanti? Apakah dia akan bahagia? Tentu saja tidak. Sumber kebahagian adalah cinta, dan Davin tidak memiliki tempat di hatinya.
Di sisi lain, Davin pun menginginkan hal serupa. Dia akan menikah, tapi hanya dengan orang yang dicintainya. Memang sampai detik ini, Davin belum menemukan seseorang yang benar-benar mampu membuatnya tersenyum sepanjang hari dan membuatnya sulit tidur di malam hari. Tapi, dia yakin, cinta akan datang tepat pada waktunya.
Dan Kaori, sama sekali bukan calon istri idamannya. Kalaupun Davin nanti mau menikahinya, itu pasti jelas-jelas Davin sudah gila, atau otaknya sudah hilang entah ke mana.
Tapi, melihat ibunya yang terus memohon setiap hari padanya untuk menikahi Kaori, tak bisa dipungkiri itu membuatnya merasa bersalah.
"Gimana kalau kita terima aja perjodohan ini," ucap Kaori tiba-tiba, memecahkan keheningan.
"Hah?" Davin menganga.
Kaori mendelik. "Biasa aja nggak usah pake mangap kayak mau nelan orang gitu."
Davin buru-buru menutup mulutnya, lalu membukanya lagi dan bertanya, "Maksudnya, lo mau nikah sama gue, gitu?"
Kaori mengangguk. "Kita kawin kontrak."
"Hah?"
Gemas dengan reaksi Davin, Kaori segera menyumpal mulut cowok itu dengan tissue yang tadi dipakainya untuk mengelap ingus.
"Cuih!" Davin langsung meludah berkali-kali akibat tisu yang masuk ke mulutnya. "Lo ngajak gue kawin?"
"Kawin kontrak, bego! Kita nikah, tapi kontrak. Itu juga demi nyenengin orangtua kita doang kok. Nggak usah lama-lama, setahun aja gue rasa cukup."
Davin tertawa mendengus. "Gue nggak mau bohongin orangtua. Sori, tawaran lo gue tolak."
"Ini tuh juga demi kebaikan kita, Dav. Emangnya lo nggak capek apa disuruh nikah terus sama orang yang sama sekali nggak lo cinta? Mendingan kita nikah. Setelah setahun, kita pisah. Kita kasih alasan sama orangtua kita kalau perjodohan itu emang nggak baik. Akibatnya, perceraian!" jelas Kaori.
Sesaat Davin terdiam, memikirkan kata-kata yang dilontarkan Kaori dengan penuh keseriusan. Sebenarnya Kaori ada benarnya juga. Dia nyaris putus asa setiap kali mendengar ibunya merengek supaya ia mau menikah dengan Kaori. Davin sudah hampir mati bosan dan bahkan pernah berpikir untuk kabur dari rumah, meskipun pada akhirnya dia menyadari kalau dia adalah seorang laki-laki tangguh, bukan anak perawan yang labil. Itu sebabnya, Davin tetap tidak mau gentar meskipun sudah diiming-imingi dengan harta berlimpah yang dijanjikan kedua orangtuanya jika dia mau menikahi Kaori.
Lagian, apa istimewanya sih si Kaori ini? Udah kerjaannya gibah melulu di kelas, tukang tidur, pemalas. Masa yang model begini sih yang Maminya mau jadikan menantu? Heran. Kayak di muka bumi ini nggak ada perempuan lain aja.
Tapi, meskipun demikian, pada akhirnya, Davin berkata, "Oke, gue setuju. Kita kawin kontrak."
***
*Masih sepi, nggak pa-pa. I'm fine 😌***Bab 3. Perfect Wedding"Saya terima nikah dan kawinnya Kaori Larasati Binti Fatih Wicaksono dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!" ucap Davin lantang dan mantap. Ia bahkan tak menyangka bahwa dirinya akan semudah itu melontarkan ijab kabul.Davin kemudian menoleh menatap Kaori yang tampak termangu di sampingnya. Dia baru bereaksi ketika Davin menyenggol lengannya. Lalu, keduanya saling berpandangan, dan saat itulah Davin melihat ada kesedihan di matanya. Kesedihan yang merupakan gambaran hatinya. Davin tahu apa yang tengah dirasakan oleh Kaori saat ini, karena dia pun merasakan hal yang sama. Hanya saja, dia mampu menutupi rasa itu dibandingkan Kaori.Pernikahan ini, bukanlah pernikahan impian mereka."Bella! Akhirnyaaa!" Kintan memeluk Bella dan mereka menangis bersama di hadapan Davin dan Kaori.
"Dav, sini duduk! Minum kopi dulu sama Papi." Surya menepuk tempat kosong di sampingnya.Resepsi hari pertama sudah selesai setengah jam yang lalu. Dan katanya, selama dua hari ke depan, akan diadakan resepsi lagi, dengan konsep yang berbeda, namun tetap diadakan di Bali. Meski sudah menolak untuk diadakan pesta besar-besaran, namun tetap saja, orangtua Kaori tetap mengadakannya dengan semangat yang menggelora. Davin sih pasrah, mau bagaimana lagi, orang kaya mah bebas."Ini kopi buat anak Mami yang paling ganteng," ucap Kintan, dan menaruh secangkir kopi hitam di hadapan Davin."Mi, Davin kan capek ya seharian duduk di pelaminan. Kenapa Mami malah bikinin Davin kopi, sih? Davin kan mau tidur, Mi," kata Davin lemas. Ternyata duduk di pelaminan seharian, membuat pantatnya terasa panas dan pinggangnya sakit. Davin butuh kasur sekarang juga."Udahlah, nggak apa-apa, sesekali doang. Kapan lagi kita bisa ngumpul ba
🌷Sinar matahari pagi menerobos masuk ke dalam kamar, membuat Kaori perlahan-lahan membuka mata dan mengambil posisi duduk. Dipandanginya sekitar, dan ia terkejut bukan main begitu melihat Davin tertidur pulas di sampingnya, sambil memeluk guling. Kontan, Kaori mengambil bantal dan melemparkannya ke wajah Davin."Kok lo bisa tidur di sini?!" Kaori bertanya tepat ketika Davin membuka mata, menatapnya dengan malas."Nggak tau, kayaknya diangkut setan," jawab Davin asal."Lo pasti mau modusin gue, kan? Atau jangan-jangan, tadi malem lo udah grepe-grepe gue?"Giliran Davin yang melempar bantal ke muka Kaori sambil tertawa mendengus. "Lo bisa nggak sih... sekali aja nggak buruk sangka sama gue?"Kaori hanya mendelik dan bergegas turun dari ranjang. Ketika ia berjalan menuju kamar
"Kenapa lo nggak coba buka hati lo aja buat si Davin? Bukannya waktu SMA lo sempat naksir dia, ya?"Kaori menganga. "Wah! Gila lo! Dapat info dari mana tuh? Ngarang deh. Nggak mungkin gue naksir cowok kayak dia!"“Udahlah, Ri, ngapain sih lo harus bohong sama gue? Gue sempat baca sendiri kok buku diary lo yang lo bakar beberapa tahun yang lalu itu.”“Hah? Ngaco lo! Buku diary yang mana pula?”“Haduh, udah deh. Tinggal jujur aja sama gue apa salahnya sih? Di situ jelas-jelas lo tulis, lo suka sama dia.”Kaori terkesiap. Selama beberapa detik, dia terdiam, bingung harus mengatakan apa. “Kok lo baru bilang ini sama gue?” tanyanya.“Karena gue nggak mau aja bikin lo merasa malu. Dan gue tau lo pasti nggak bakalan ngaku. Tapi, sekarang gue beneran serius nanya, kenapa sih lo bisa benci sama dia? Emangnya ada hal apa sampai-sampai lo nggak suka banget sama dia?”Kaori ingin menjawab, namun tahu-tahu orang yang menjadi topik pembicaraan mereka munc
"Dav, bentar deh." Putri memanggil Davin yang hendak keluar kamar.Setelah Davin berhenti, Putri berjalan mendekat dan tak disangka-sangka, dia langsung mengancingkan jas navy yang dikenakan Davin sambil tersenyum manis. Davin menatap Putri sesaat, kemudian balas tersenyum. Di belakang mereka, Kaori mengamati sambil mendelik sebal.Apaan sih, Putri! Sok-sokan manis gitu ke Davin! Sori ya, bukannya cemburu atau apa. Kaori tidak mau saja kalau Putri dengan bodohnya ikut jatuh pada modusnya Davin, lalu bukan tak mungkin mereka akan berakhir di atas ranjang. Sebenarnya, tidak masalah Davin mau kencan dengan siapa saja, asalkan itu bukan sahabatnya."Okey, udah," kata Putri kemudian."Thanks," balas Davin sekenanya dan berlalu."Oi!" Kaori langsung mencolek pundak sahabatnya itu. "Ngapain lo ngurusin dia?""Kenapa, sih?" Putri mengedikkan bahunya acuh tak acuh. "Biar dia kelihatan ra
Setelah resepsi hari ketiga selesai diadakan dengan konsep yang sama dan berkesan mewah, rencananya mereka semua akan kembali ke Jakarta pada hari ini. Namun, sebelum itu, Kintan dan Bella meminta mereka semua untuk berkumpul. Katanya, ada sesuatu hal penting yang ingin mereka sampaikan. Entah apa.“Jadi, Mami mau kasih kejutan buat kalian berdua!” seru Kintan dengan semangat.“Kejutan apa, Mi?” tanya Davin, penasaran.Kintan tersenyum lebar, begitu pun dengan yang lainnya.“Mami sama Papi udah beliin tiket bulan madu ke sepuluh negara untuk kamu dan Kaori!”Kaori terbatuk-batuk, tersedak minuman yang sedang diteguknya ketika ibu mertuanya itu berbicara.“HA? Sepuluh negara?” seru Davin, terkejut.“Waaaah! Enak banget sih jalan-jalan gratis!” timpal Disha, adik perempuan Davin.“Aku juga mau dong!” Giliran Karel, adik laki-laki Kaori yang duduk di bangku tahun
Bab. 9 | Menyakitkan tapi terasa benarTiga minggu kemudian...."Mana nih, foto-foto kalian waktu di luar negeri? Mami mau lihat dong!"Davin mengangsurkan ponselnya yang menampilkan gambar dirinya dan Kaori yang sudah diedit sedemikian rupa dengan latar belakang berbagai macam tempat di sepuluh negara tujuan bulan madu mereka. Untung saja, semua hasil editan Davin terlihat sempurna, sehingga Kintan dan Bella percaya begitu saja."Wah, romantis banget sih kalian?""Iya dong, namanya juga pengantin baru, Mi," jawab Davin yang dibalas dengan tatapan ragu-ragu oleh Kaori."Terus, gimana?" tanya Bella."Eh? Gimana apanya, Ma?" Kaori justru balik nanya."Ya itunya...." Kintan dan Bella menjawab kompak, lalu cekikikan.Davin mengernyit. "Itunya apa, sih?""Itu loh, gimana sih. Cucu... cucu." Kintan memperjelas maksud ucap
*Jangan lupa klmmekoment ya gaks.Davin terkejut bukan main ketika dia masuk ke dalam kamar, sebuah underwear terbang ke wajahnya. Setelah dilihat-lihat, ternyata itu adalah pakaian dalam miliknya."Berapa kali sih gue harus bilang sama lo? Jangan taruh baju kotor sembarangan!" semprot Kaori, sebelum Davin sempat bertanya."Lo pikir nggak capek apa beresin kamar yang setiap hari berantakan gini? Itu juga tuh! Abu rokok di mana-mana!" Kaori terus mengomel sambil membersihkan ranjang dari buku-buku, charger, headset, dan bahkan beberapa sampah bungkus makanan ringan. Davin memang biasa makan camilan pada malam hari menjelang tidur.Sejak pindah ke rumah Davin, keduanya memang tidur terpisah. Kaori tidur di lantai atas, sementara Davin tidur di lantai bawah. Tapi, walaupun begitu, tetap saja yang membersihkan kamarnya Kaori. Menyewa asisten rumah tangga hanya
"Berapa kali gue bilang, jangan bawa sepatu ke dalam kamar!" Davin yang pagi menjelang siang itu masih berada di atas ranjang, perlahan membuka matanya karena samar-samar mendengar ada suara. Suara milik seseorang yang belakangan ini membuatnya sulit makan dan tidur. Seseorang yang dia rindukan siang dan malam. Dan satu-satunya orang yang mampu memporak-porandakan hatinya. "Itu juga isi lemari berantakan banget! Kalo ngambil apa-apa itu ditarik, jangan diangkat!" Suara itu terdengar semakin nyata. Davin sontak terduduk, kemudian melihat sekitar. Tepat di depan lemari pakaiannya, Kaori berdiri menghadapnya dengan bertolak pinggang. "Rumah berantakan! Sampah-sampah makanan berserakan! Bukannya dibersihin malah dibiarin!" Davin mengerjapkan matanya. Itu.... Kaori? "Habis pake handuk itu, digantung di tempatnya. Masa yang gitu-gitu harus diingetin mulu, sih?" Sesaat Davin terpelongo, mengucek mata berkali-kali lalu dengan tiba-tiba
"Ri.... Kamu kenapa? Mama perhatikan sudah seminggu ini kamu di kamar aja. Nggak mau keluar gitu jalan-jalan? Shopping, yuk, sama Mama?" bujuk Bella.Sudah seminggu Kaori terlihat murung. Dia lebih suka mengurung diri di dalam kamarnya sejak dia dan Davin bercerai. Hal itu tentu saja membuat Bella merasa khawatir, dia takut kalau lama-lama dibiarkan anaknya itu malah jadinya stres lantaran terlalu larut dalam kesedihan. Belum lagi Kaori juga jarang makan. Bagaimana kalau nanti dia sakit?Sampai sekarang pun, setiap ditanya apa alasan sebenarnya yang membuat mereka berpisah, Kaori tidak menjawabnya."Enggak pa-pa, Ma. Lagi males aja."Kaori juga sudah berhenti bekerja dan memutuskan untuk membuka usaha sendiri, yaitu membuat sebuah wedding organizer."Ri, tau nggak? Mama sama Papa dulu juga sempat berpisah, loh. Waktu itu kamu masih berumur dua tahun."Kaori terkesiap mendengarnya. "Mama serius?""Iya, Papamu itu jatuhkan talak ke Mama
Di kedai kopi miliknya, Davin duduk di meja paling pojok dekat jendela bersama Putri. Mereka memang sudah membuat janji untuk bertemu di sana sebelum jam makan siang.Davin memandangi undangan berwarna gold di tangannya lama-lama sambil tersenyum. Huruf inisial P & D jelas terpampang di bagian depannya, didesain sedemikian rupa sehingga tampak elegan.Davin tidak menyangka bahwa sebentar lagi Putri akan menjadi seorang istri, sementara dirinya baru saja menjadi duda. Kadang-kadang, takdir memang selucu itu.Diliriknya Putri yang tiba-tiba melepaskan cincin berlian yang melingkar di jari manisnya."Gue nggak bisa, Dav. Gue benar-benar nggak bisa," kata Putri sambil menggeleng kuat."Kenapa? Jangan dilepas cincinnya!" Davin menarik tangan Putri dan kembali memasukkan cincin tersebut ke jarinya. "Jangan sia-siakan orang yang sayang sama lo."Putri menarik napas dalam, memandangi jarinya yang tersemat cincin permata. "Tapi, gue nggak—"
Hari ini, adalah hari terakhir pernikahan Kaori dan Davin. Mereka menghabiskan waktu dengan bersenang-senang, persis seperti yang mereka lakukan beberapa bulan yang lalu. Pergi ke pantai, menonton film di bioskop, dan makan di tempat yang romantis.Namun, pada hari itu, Kaori tidak se-happy kemarin. Dia lebih banyak melamun, dan tentu saja hal itu membuat Davin bertanya-tanya. Meskipun kadang-kadang ada tawa yang keluar dari mulut Kaori, Davin bisa merasakan ada sesuatu di sana, tepat di matanya, yang seperti tidak sinkron dengan apa yang dilakukannya.Hingga malam pun tiba. Saat itu hujan lebat ketika mereka sampai di rumah. Keduanya sempat terkena hujan lantaran tadi berlari menuju mobil. Menunggu hujan reda punpasti akan memakan waktu yang lama, itu sebabnya mereka memilih menembus hujan demi tiba di dalam mobil lalu bergegas pulang.Di depan cermin besar di dalam kamarnya, Kaori bisa melihat kemunculan Davin yang
****Tepat jam sepuluh malam, Davin pulang ke rumah. Biasanya, jam-jam seperti itu Kaori sudah mengunci pintu jika Davin pulang agak telat. Namun tadi, sewaktu Davin memasukkan kunci cadangan, pintu itu justru membuka ketika Davin tak sengaja mendorongnya."Ck! Kebiasaan banget Kaori nggak ngunci pintu. Padahal ini kan udah malam," gerutu Davin lalu melangkah masuk.Disampirkannya kemejanya yang tadi dipakainya ke bahu lalu celingukan, mencari keberadaan Kaori.Sebelum memanggil nama Kaori, Davin sudah lebih dulu mendapati wanita itu tengah tertidur pulas di atas sofa tepat di depan TV."Tuh, kan! Kebiasaan banget tidur pas pintu nggak dikunci gitu. Kalau ada orang jahat, gimana coba?" ujar Davin lalu mengambil posisi bertimpuh di sisi Kaori dan memandangi wajahnya lama-lama."Semoga setelah semuanya berakhir, lo dipertemukan sama orang yang tepat.
DAVIN penggemar film action, tetapi pada saat Kaori memintanya untuk menonton film komedi romantis, Davin mengiyakannya. Davin sebenarnya sudah akan menolak, namun tidak mungkin juga merusak suasana hati Kaori yang sedang baik hari ini. Lagipula, sebelum ke sini, Kaori juga sudah bilang kalau dia akan menonton film dengan genre itu. Jadi, ya sudahlah, tujuan liburan kilat ini kan juga buat Kaori….Tapi, masalahnya…. Davin tidak mengira kalau akan ada banyak adegan mantap-mantap di film yang akan mereka tonton itu. Bukan hanya memperlihatkan kedua pasangan yang nyaris telanjang, juga adegan ranjang yang benar-benar membuat darah Davin berdesir dan setika dia merasa suhu di ruang bioskop itu menjadi meningkat. Belum lagi suara desahan yang membuat Davin berkali-kali menahan napasnya.Davin melirik Kaori yang tampak serius menyaksikan adegan ciuman yang sedang berlangsung. Matanya tidak berkedip sama sekali dan dia tampak terkag
"Mama sakit apa, Ma? Kok baru bilang sama Kaori kalau Mama lagi sakit?" Kaori duduk di sisi ranjang ibunya dan menangis."Kolesterol Mama kemarin tinggi, Ri. Tapi, sekarang udah nggak lagi, kok. Kamu ngapain malam-malam ke sini? Pasti disuruh papa, ya?"Kaori berhenti menangis lalu menggenggam jemari ibunya yang mulai keriput meski wajahnya masih menawan."Maaf, ya, Ma, belakangan ini Kaori sibuk kerja dan jarang ke sini. Kaori jarang perhatiin Mama dan Papa.""Kamu kok ngomongnya gitu sih, Ri? Kamu kan sekarang udah jadi seorang istri, kamu harus lebih memprioritaskan suami kamu.""Tapi, kalau lihat Mama sakit gini, Kaori nggak tega. Rasanya nggak mau jauh-jauh dari Mama.""Namanya Mama ini sudah tua, Ri. Ya wajarlah kalau sakit-sakit sedikit.""Mana pasti makannya sembarangan, ya? Kaori kan udah bilang, jangan sering makan-makanan yang mengandung koleste
Cafe milik Evan terlihat ramai selama lima bulan terakhir ini. Setelah melakukan renovasi dan menambah beberapa menu baru seperti yang disarankan Kaori, cafe ini menunjukkan kemajuan yang signifikan. Evan benar-benar berterima kasih pada Kaori karena sudah membawa angin segar untuk cafenya yang sudah dirintisnya sejak dua tahun lalu itu."Ri, thanks, ya? Gara-gara lo cafe gue jadi rame lagi, hehehe," kata Evan dengan wajah sumringah. "Gue juga udah naikin gaji kalian. Nih, gaji lo bulan ini!" Evan mengangsurkan sebuah amplop pada Kaori.Namun, seperti biasanya, Kaori justru mengembalikan amplop berisi upahnya itu ke hadapan Evan."Gue titip buat Sista, ya? Tapi seperti biasa, jangan bilang kalo itu dari gue.""Ri, sejak lo kerja sama gue, lo nggak pernah mau terima gaji dari gue. Lagian, lo kok baik banget sih sama Sista?"Apa yang dikatakan Evan, benar adanya. Sudah hampir setengah tahun
Kaori sedang mengambil minum di dapur ketika dia mendengar suara pintu diketuk. Ditaruhnya cangkir yang sudah kosong ke atas meja makan lalu dia berjalan menuju pintu sambil mengira-ngira siapa yang datang.Itu pasti Davin, siapa lagi, pikirnya."Davin?" seru Kaori, memastikan. Namun anehnya tidak ada jawaban.Kaori mulai deg-degan, apalagi mengingat obrolannya dan Davin beberapa saat yang lalu di telepon. Mana Davin sempat menakut-nakutinya pula.Meskipun tidak ada jawaban, pintu itu masih diketuk dari luar. Kali ini agak keras dan tidak sabaran."Davin, itu elo, kan?!" tanya Kaori dengan nada tinggi sambil menempelkan telinganya ke pintu.Kok nggak ada yang jawab, sih? Jangan-jangan....Maling?Tapi, mana ada maling yang ngetuk pintu targetnya sebelum ngerampok.Ini pasti....Kaori memberanikan diri untuk mengintip ke luar melalui jendela kaca di sisi pintu. Di depan pagar rumahnya tampak ada sebuah gerobak baks