Bab. 1\ Jodoh dari lahir
****
"Gimana kalau setelah tamat kuliah nanti, Davin sama Kaori kita nikahin?"
"Wah! Ide bagus itu, Say! Lagian, mereka kan udah dekat. Dari kecil sampai sekarang, sekolahnya juga bareng terus. Mungkin, memang udah jodoh."
Kaori mendelik, begitu pun Davin. Ketika Kaori menunjukkan ekspresi ingin muntah, Davin pun melakukan hal yang sama.
"Gimana, Pa? Setuju nggak kalau Davin nikahin Kaori? Davin kan juga udah punya usaha sendiri. Jadi, nggak harus nunggu dia kerja dulu buat ngelamar Kaori." Bella menoleh menatap Fatih, suaminya, yang kemudian mengangguk.
"Papa sih setuju-setuju aja. Yang penting, bibit, bebet, dan bobotnya sudah jelas."
"Kalau Papi, setuju nggak kalau misalnya Kaori ini jadi mantunya kita?" Gantian Kintan yang bertanya pada suaminya.
Surya mengangguk. "Papi sih semua terserah mereka. Kalau mereka saling suka, ya kenapa enggak?"
Kintan dan Bella tersenyum puas, lalu bertanya secara bersamaan. "Kalian mau nggak dijodohin?"
"Enggak!" jawab keduanya kompak.
"Loh? Kenapa?"
"Karena Kaori nggak mau punya suami kayak Davin. Pacarnya banyak tau, ada di mana-mana. Terus, jorok lagi suka ngupil, hiiih." Kaori bergidik sekaligus mengernyit jijik.
"Kayak situ nggak pernah ngupil aja," balas Davin datar dengan satu alis terangkat.
"Ya pernah, tapi nggak diolesin ke sembarang tempat juga dong! Kemarin lo ngapain coba gue tanya, colek-colek baju gue? Habis ngupil, kan, lo!"
Davin mendengus. "Kalau iya kenapa? Nggak bikin lo keracunan, kan?"
"Ih, Davin, masa sih kamu sejorok itu? Kan bisa diolesin di bawah meja. Gimana sih kamu...." Ibunya memukul pahanya dan meringis jijik.
"Makanya Tante, Kaori bukannya bermaksud lancang, tapi Kaori memang nggak mau nikah sama Davin. Terus, dua juga bukan tipe-nya Kaori."
"Sok cantik banget sih jadi cewek," cibir Davin pelan, akan tetapi Kaori mendengarnya dengan sangat jelas.
"Bodo amat," cetus Kaori tak peduli.
"Gini, loh, Vin. Mami sama Papi kan udah tua. Udah cocok banget punya menantu. Kami pengen banget cepat-cepat nimang cucu. Dan kamu tau sendiri, Tante Bella ini sahabatnya Mami dari kecil, jadi kami pernah membuat kesepakatan untuk menjodohkan kalian."
"Iya, Kaori. Kalian itu udah kami jodohkan selama masih di dalam perut loh. Setelah tau jenis kelamin kalian, kami langsung buat kesepakatan itu. Jadi, pliiis... kabulkan keinginan Mama ya, Sayang?"
Kaori mengaga tidak percaya. Yang benar aja deh! Dari perut udah dijodohin sama si Keong racun itu?
"Tapi, Ma, aku nggak suka sama dia," tekan Kaori sambil mendecih ke arah Davin. "Yang ada aku tuh kesel sama dia."
"Maaf, Tante, tapi Davin juga nggak mau nikah sama cewek manja kayak Kaori. Hmm, ya udah, kalau gitu, Davin permisi dulu, ya." Davin kemudian beranjak, meninggalkan pembicaraan itu begitu saja.
"Kaori juga permisi, ya," ucap Kaori dan bergegas pergi.
Di luar, Davin sedang menggaruk-garuk kepalanya yang pusing akibat rencana perjodohan itu. Yang benar saja! Kaori itu kan rubah betina. Apa kabarnya hidup Davin kalau jadi lakinya dia? Bisa-bisa, Davin dimakan hidup-hidup sama dia.
"Pokoknya gue nggak mau tau ya, Vin, ya. Lo harus tolak perjodohan ini!" ujar Kaori yang tiba-tiba muncul di belakangnya.
Davin tertawa mendengus. "Yang mau terima siapa juga, oi? Ngarep lo?"
"Jijik tau nggak! Mana mau gue nikah sama cowok yang udah celap-celup sana-sini!"
"Lo pikir gue teh celup?"
"Pikir aja sendiri!" Kaori pun pergi dengan masa bodohnya.
Davin menggeleng tak percaya. Sejak dulu, hubungannya dengan Kaori memang tidak baik, bahkan bisa dibilang kalau mereka itu bermusuhan. Meski kedua orangtua mereka sudah bersahabat sejak lahir, itu tetap tidak mempengaruhi hubungan keduanya. Kaori selalu saja memasang muka jijik setiap kali melihatnya, dan tak jarang adu bacot pun terjadi.
Kadang-kadang, Davin malu sendiri lantaran selalu saja membalas setiap ucapan Kaori yang sepedas mulut netizen, karena walau bagaimanapun juga, dia kan seorang cowok. Rasanya tak pantas kalau harus adu mulut dengan seorang cewek meskipun itu cewek jadi-jadian. Davin tidak mau dianggap pria bermulut lemes oleh fans-fansnya di luaran sana. Tapi, apa boleh buat, kalau dibiarkan, Kaori akan terus menginjak harga dirinya.
***
"Terus, kenapa lo nolak? Davin kan ganteng, terus tajir. Apa kurangnya coba?" tanya Putri, setelah mendengar curhatan teman baiknya itu. Siang itu mereka sedang berada di perpustakaan.
Kaori mengerling. "Ganteng sih ganteng, tapi kalau kerjaannya mainin cewek buat apa coba gue tanya? Lagian, dia kan suka tuh one night stand nggak jelas. Jangan-jangan dia punya penyakit kelamin lagi! Nggak mau gue nikah sama dia, sumpah!"
"Hmmm." Putri mengangguk-angguk, mulai sependapat. "Iya juga sih. Tapi, kalau gue sih mau-mau aja dijodohin sama dia. Habisnya, dia oke banget."
"Hadeeeh, apanya sih yang oke? Tuh, lihat tuh!" Kaori menunjuk Davin yang duduk di kursi tak jauh dari tempat mereka. Cowok itu sedang memasukkan jari telunjuknya ke hidung sambil membaca buku. "Yang kayak gitu lo bilang oke? Jyjyk, tau nggak! Ngupil sembarangan gitu, ih!"
Putri mendecakkan lidah tak peduli. "Ya ampun, Ri. Lo ngomong kayak gitu, seakan-akan ngupil itu kayak dosa besar tau nggak? Itu tuh manusiawi kaliii. Gimana sih lo. Kayak nggak pernah aja...."
"Ya minimal dia cari tempat kek buat ngupil. Nggak malu banget dilihatin orang rame...."
"Lagian ya, Davin itu, mau lagi ngupil atau lagi ngapain juga tetap ganteng kok."
"Tetap aja jorok!" tandas Kaori jengkel. "Tuh, lihat! Ada yang nyamperin lagi!"
Seorang cewek berambut pirang datang menghampiri Davin. Cewek itu tersenyum manis lalu mengulurkan tangannya ke hadapan Davin.
"Iyuuuuhh!" Kaori langsung meringis jijik ketika melihat Davin menyambut uluran tangan cewek itu dengan tangannya yang tadi dipakai buat ngupil.
"Hahahah, lucu ya Davin, kayak nggak ngerasa bersalah gitu dia."
Kaori mendelik mendengar respon Putri yang malah dengan entengnya bilang Davin lucu? Yang benar aja deh.
Beberapa saat kemudian, Davin dan si cewek yang tidak dikenal namanya itu melintas di depan mereka. Seperti biasa, ketika saling bertatap muka, keduanya saling melemparkan tatapan benci.
"Kok gue ngerasa kalau kalian itu bakalan jodoh, ya?" cetus Putri tak disangka-sangka, setelah Davin berlalu.
"Kenapa gitu?"
"Nggak tau. Tapi, feeling gue selalu benar loh, serius."
"Gue rela jadi perawan tua daripada harus ngasih keperawanan gue sama dia!"
"Aduh, Ri. Udah deh. Kisah kalian ini, kisah klasik. Ujung-ujungnya juga entar saling jatuh cinta. Makanya lo itu jangan terlalu benci sama si Davin. Nanti malah jadinya cinta mati."
Kaori menutup telinganya dan menggeleng-geleng. "Enggak! Nggak bakalan!"
Putri mengedikkan bahunya. "Kita lihat aja nanti."
Di mata Kaori Larasati, Davin Pratama adalah playboy kelas kakap yang harus dibumihanguskan. Sok ganteng, iya. Sok keren, juga iya. Sok punya segalanya, apalagi. Pokoknya, nggak ada satu pun alasan yang membuat Kaori mau berteman apalagi menikah dengannya. Bisa-bisa, Kaori langsung mati bunuh diri kalau jadi bininya dia. Lagipula, Kaori memang tidak respek dengan Davin sejak Kaori tahu kalau Davin sudah meniduri beberapa cewek sejak duduk di bangku SMA. Hal itu, terus terang saja membuat Kaori kecewa. Ya, Kaori kecewa karena Davin sudah berani melakukan hal yang di luar batasan dan tega mengambil sesuatu yang bukan haknya.
Pria sejati itu tidak merusak wanitanya, melainkan yang melindunginya. Dari situ saja bisa dilihat kalau Davin bukanlah seseorang yang patut untuk diperjuangkan, bukan?
So, Kaori dengan lantang tetap akan menolak perjodohan itu apa pun caranya!
***
😊 selamat membaca~~~***Berbulan-bulan kemudian, setelah Kaori dan Davin menyelesaikan pendidikan sarjananya, pertemuan keluarga kembali dilakukan. Seperti sebelumnya, untuk mengatur perjodohan keduanya yang masih tertunda akibat penolakan Kaori maupun Davin waktu itu."Jadi, gimana? Apa kalian masih menolak perjodohan ini?" Kintan memulai sesi pertanyaannnya.Kaori dan Davin mengangguk kompak."Apa belum cukup waktu enam bulan untuk memikirkan keputusan kalian itu? Kami sudah cukup sabar untuk menunggu kepastian dari kalian loh ini, Kaori, Davin...." Bella menimpali dan mendengus frustasi."Ma, keputusannya kan udah jelas. Kaori nggak mau nikah sama Davin. Kami juga nggak saling cinta. Buat apa coba nikah tanpa cinta?" protes Kaori, nyaris putus asa. Rasanya dia sudah lelah untuk berkata tidak setiap kali mamanya memaksanya untuk menerima perjodohan itu. Padahal sudah berkali
*Masih sepi, nggak pa-pa. I'm fine 😌***Bab 3. Perfect Wedding"Saya terima nikah dan kawinnya Kaori Larasati Binti Fatih Wicaksono dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!" ucap Davin lantang dan mantap. Ia bahkan tak menyangka bahwa dirinya akan semudah itu melontarkan ijab kabul.Davin kemudian menoleh menatap Kaori yang tampak termangu di sampingnya. Dia baru bereaksi ketika Davin menyenggol lengannya. Lalu, keduanya saling berpandangan, dan saat itulah Davin melihat ada kesedihan di matanya. Kesedihan yang merupakan gambaran hatinya. Davin tahu apa yang tengah dirasakan oleh Kaori saat ini, karena dia pun merasakan hal yang sama. Hanya saja, dia mampu menutupi rasa itu dibandingkan Kaori.Pernikahan ini, bukanlah pernikahan impian mereka."Bella! Akhirnyaaa!" Kintan memeluk Bella dan mereka menangis bersama di hadapan Davin dan Kaori.
"Dav, sini duduk! Minum kopi dulu sama Papi." Surya menepuk tempat kosong di sampingnya.Resepsi hari pertama sudah selesai setengah jam yang lalu. Dan katanya, selama dua hari ke depan, akan diadakan resepsi lagi, dengan konsep yang berbeda, namun tetap diadakan di Bali. Meski sudah menolak untuk diadakan pesta besar-besaran, namun tetap saja, orangtua Kaori tetap mengadakannya dengan semangat yang menggelora. Davin sih pasrah, mau bagaimana lagi, orang kaya mah bebas."Ini kopi buat anak Mami yang paling ganteng," ucap Kintan, dan menaruh secangkir kopi hitam di hadapan Davin."Mi, Davin kan capek ya seharian duduk di pelaminan. Kenapa Mami malah bikinin Davin kopi, sih? Davin kan mau tidur, Mi," kata Davin lemas. Ternyata duduk di pelaminan seharian, membuat pantatnya terasa panas dan pinggangnya sakit. Davin butuh kasur sekarang juga."Udahlah, nggak apa-apa, sesekali doang. Kapan lagi kita bisa ngumpul ba
🌷Sinar matahari pagi menerobos masuk ke dalam kamar, membuat Kaori perlahan-lahan membuka mata dan mengambil posisi duduk. Dipandanginya sekitar, dan ia terkejut bukan main begitu melihat Davin tertidur pulas di sampingnya, sambil memeluk guling. Kontan, Kaori mengambil bantal dan melemparkannya ke wajah Davin."Kok lo bisa tidur di sini?!" Kaori bertanya tepat ketika Davin membuka mata, menatapnya dengan malas."Nggak tau, kayaknya diangkut setan," jawab Davin asal."Lo pasti mau modusin gue, kan? Atau jangan-jangan, tadi malem lo udah grepe-grepe gue?"Giliran Davin yang melempar bantal ke muka Kaori sambil tertawa mendengus. "Lo bisa nggak sih... sekali aja nggak buruk sangka sama gue?"Kaori hanya mendelik dan bergegas turun dari ranjang. Ketika ia berjalan menuju kamar
"Kenapa lo nggak coba buka hati lo aja buat si Davin? Bukannya waktu SMA lo sempat naksir dia, ya?"Kaori menganga. "Wah! Gila lo! Dapat info dari mana tuh? Ngarang deh. Nggak mungkin gue naksir cowok kayak dia!"“Udahlah, Ri, ngapain sih lo harus bohong sama gue? Gue sempat baca sendiri kok buku diary lo yang lo bakar beberapa tahun yang lalu itu.”“Hah? Ngaco lo! Buku diary yang mana pula?”“Haduh, udah deh. Tinggal jujur aja sama gue apa salahnya sih? Di situ jelas-jelas lo tulis, lo suka sama dia.”Kaori terkesiap. Selama beberapa detik, dia terdiam, bingung harus mengatakan apa. “Kok lo baru bilang ini sama gue?” tanyanya.“Karena gue nggak mau aja bikin lo merasa malu. Dan gue tau lo pasti nggak bakalan ngaku. Tapi, sekarang gue beneran serius nanya, kenapa sih lo bisa benci sama dia? Emangnya ada hal apa sampai-sampai lo nggak suka banget sama dia?”Kaori ingin menjawab, namun tahu-tahu orang yang menjadi topik pembicaraan mereka munc
"Dav, bentar deh." Putri memanggil Davin yang hendak keluar kamar.Setelah Davin berhenti, Putri berjalan mendekat dan tak disangka-sangka, dia langsung mengancingkan jas navy yang dikenakan Davin sambil tersenyum manis. Davin menatap Putri sesaat, kemudian balas tersenyum. Di belakang mereka, Kaori mengamati sambil mendelik sebal.Apaan sih, Putri! Sok-sokan manis gitu ke Davin! Sori ya, bukannya cemburu atau apa. Kaori tidak mau saja kalau Putri dengan bodohnya ikut jatuh pada modusnya Davin, lalu bukan tak mungkin mereka akan berakhir di atas ranjang. Sebenarnya, tidak masalah Davin mau kencan dengan siapa saja, asalkan itu bukan sahabatnya."Okey, udah," kata Putri kemudian."Thanks," balas Davin sekenanya dan berlalu."Oi!" Kaori langsung mencolek pundak sahabatnya itu. "Ngapain lo ngurusin dia?""Kenapa, sih?" Putri mengedikkan bahunya acuh tak acuh. "Biar dia kelihatan ra
Setelah resepsi hari ketiga selesai diadakan dengan konsep yang sama dan berkesan mewah, rencananya mereka semua akan kembali ke Jakarta pada hari ini. Namun, sebelum itu, Kintan dan Bella meminta mereka semua untuk berkumpul. Katanya, ada sesuatu hal penting yang ingin mereka sampaikan. Entah apa.“Jadi, Mami mau kasih kejutan buat kalian berdua!” seru Kintan dengan semangat.“Kejutan apa, Mi?” tanya Davin, penasaran.Kintan tersenyum lebar, begitu pun dengan yang lainnya.“Mami sama Papi udah beliin tiket bulan madu ke sepuluh negara untuk kamu dan Kaori!”Kaori terbatuk-batuk, tersedak minuman yang sedang diteguknya ketika ibu mertuanya itu berbicara.“HA? Sepuluh negara?” seru Davin, terkejut.“Waaaah! Enak banget sih jalan-jalan gratis!” timpal Disha, adik perempuan Davin.“Aku juga mau dong!” Giliran Karel, adik laki-laki Kaori yang duduk di bangku tahun
Bab. 9 | Menyakitkan tapi terasa benarTiga minggu kemudian...."Mana nih, foto-foto kalian waktu di luar negeri? Mami mau lihat dong!"Davin mengangsurkan ponselnya yang menampilkan gambar dirinya dan Kaori yang sudah diedit sedemikian rupa dengan latar belakang berbagai macam tempat di sepuluh negara tujuan bulan madu mereka. Untung saja, semua hasil editan Davin terlihat sempurna, sehingga Kintan dan Bella percaya begitu saja."Wah, romantis banget sih kalian?""Iya dong, namanya juga pengantin baru, Mi," jawab Davin yang dibalas dengan tatapan ragu-ragu oleh Kaori."Terus, gimana?" tanya Bella."Eh? Gimana apanya, Ma?" Kaori justru balik nanya."Ya itunya...." Kintan dan Bella menjawab kompak, lalu cekikikan.Davin mengernyit. "Itunya apa, sih?""Itu loh, gimana sih. Cucu... cucu." Kintan memperjelas maksud ucap
"Berapa kali gue bilang, jangan bawa sepatu ke dalam kamar!" Davin yang pagi menjelang siang itu masih berada di atas ranjang, perlahan membuka matanya karena samar-samar mendengar ada suara. Suara milik seseorang yang belakangan ini membuatnya sulit makan dan tidur. Seseorang yang dia rindukan siang dan malam. Dan satu-satunya orang yang mampu memporak-porandakan hatinya. "Itu juga isi lemari berantakan banget! Kalo ngambil apa-apa itu ditarik, jangan diangkat!" Suara itu terdengar semakin nyata. Davin sontak terduduk, kemudian melihat sekitar. Tepat di depan lemari pakaiannya, Kaori berdiri menghadapnya dengan bertolak pinggang. "Rumah berantakan! Sampah-sampah makanan berserakan! Bukannya dibersihin malah dibiarin!" Davin mengerjapkan matanya. Itu.... Kaori? "Habis pake handuk itu, digantung di tempatnya. Masa yang gitu-gitu harus diingetin mulu, sih?" Sesaat Davin terpelongo, mengucek mata berkali-kali lalu dengan tiba-tiba
"Ri.... Kamu kenapa? Mama perhatikan sudah seminggu ini kamu di kamar aja. Nggak mau keluar gitu jalan-jalan? Shopping, yuk, sama Mama?" bujuk Bella.Sudah seminggu Kaori terlihat murung. Dia lebih suka mengurung diri di dalam kamarnya sejak dia dan Davin bercerai. Hal itu tentu saja membuat Bella merasa khawatir, dia takut kalau lama-lama dibiarkan anaknya itu malah jadinya stres lantaran terlalu larut dalam kesedihan. Belum lagi Kaori juga jarang makan. Bagaimana kalau nanti dia sakit?Sampai sekarang pun, setiap ditanya apa alasan sebenarnya yang membuat mereka berpisah, Kaori tidak menjawabnya."Enggak pa-pa, Ma. Lagi males aja."Kaori juga sudah berhenti bekerja dan memutuskan untuk membuka usaha sendiri, yaitu membuat sebuah wedding organizer."Ri, tau nggak? Mama sama Papa dulu juga sempat berpisah, loh. Waktu itu kamu masih berumur dua tahun."Kaori terkesiap mendengarnya. "Mama serius?""Iya, Papamu itu jatuhkan talak ke Mama
Di kedai kopi miliknya, Davin duduk di meja paling pojok dekat jendela bersama Putri. Mereka memang sudah membuat janji untuk bertemu di sana sebelum jam makan siang.Davin memandangi undangan berwarna gold di tangannya lama-lama sambil tersenyum. Huruf inisial P & D jelas terpampang di bagian depannya, didesain sedemikian rupa sehingga tampak elegan.Davin tidak menyangka bahwa sebentar lagi Putri akan menjadi seorang istri, sementara dirinya baru saja menjadi duda. Kadang-kadang, takdir memang selucu itu.Diliriknya Putri yang tiba-tiba melepaskan cincin berlian yang melingkar di jari manisnya."Gue nggak bisa, Dav. Gue benar-benar nggak bisa," kata Putri sambil menggeleng kuat."Kenapa? Jangan dilepas cincinnya!" Davin menarik tangan Putri dan kembali memasukkan cincin tersebut ke jarinya. "Jangan sia-siakan orang yang sayang sama lo."Putri menarik napas dalam, memandangi jarinya yang tersemat cincin permata. "Tapi, gue nggak—"
Hari ini, adalah hari terakhir pernikahan Kaori dan Davin. Mereka menghabiskan waktu dengan bersenang-senang, persis seperti yang mereka lakukan beberapa bulan yang lalu. Pergi ke pantai, menonton film di bioskop, dan makan di tempat yang romantis.Namun, pada hari itu, Kaori tidak se-happy kemarin. Dia lebih banyak melamun, dan tentu saja hal itu membuat Davin bertanya-tanya. Meskipun kadang-kadang ada tawa yang keluar dari mulut Kaori, Davin bisa merasakan ada sesuatu di sana, tepat di matanya, yang seperti tidak sinkron dengan apa yang dilakukannya.Hingga malam pun tiba. Saat itu hujan lebat ketika mereka sampai di rumah. Keduanya sempat terkena hujan lantaran tadi berlari menuju mobil. Menunggu hujan reda punpasti akan memakan waktu yang lama, itu sebabnya mereka memilih menembus hujan demi tiba di dalam mobil lalu bergegas pulang.Di depan cermin besar di dalam kamarnya, Kaori bisa melihat kemunculan Davin yang
****Tepat jam sepuluh malam, Davin pulang ke rumah. Biasanya, jam-jam seperti itu Kaori sudah mengunci pintu jika Davin pulang agak telat. Namun tadi, sewaktu Davin memasukkan kunci cadangan, pintu itu justru membuka ketika Davin tak sengaja mendorongnya."Ck! Kebiasaan banget Kaori nggak ngunci pintu. Padahal ini kan udah malam," gerutu Davin lalu melangkah masuk.Disampirkannya kemejanya yang tadi dipakainya ke bahu lalu celingukan, mencari keberadaan Kaori.Sebelum memanggil nama Kaori, Davin sudah lebih dulu mendapati wanita itu tengah tertidur pulas di atas sofa tepat di depan TV."Tuh, kan! Kebiasaan banget tidur pas pintu nggak dikunci gitu. Kalau ada orang jahat, gimana coba?" ujar Davin lalu mengambil posisi bertimpuh di sisi Kaori dan memandangi wajahnya lama-lama."Semoga setelah semuanya berakhir, lo dipertemukan sama orang yang tepat.
DAVIN penggemar film action, tetapi pada saat Kaori memintanya untuk menonton film komedi romantis, Davin mengiyakannya. Davin sebenarnya sudah akan menolak, namun tidak mungkin juga merusak suasana hati Kaori yang sedang baik hari ini. Lagipula, sebelum ke sini, Kaori juga sudah bilang kalau dia akan menonton film dengan genre itu. Jadi, ya sudahlah, tujuan liburan kilat ini kan juga buat Kaori….Tapi, masalahnya…. Davin tidak mengira kalau akan ada banyak adegan mantap-mantap di film yang akan mereka tonton itu. Bukan hanya memperlihatkan kedua pasangan yang nyaris telanjang, juga adegan ranjang yang benar-benar membuat darah Davin berdesir dan setika dia merasa suhu di ruang bioskop itu menjadi meningkat. Belum lagi suara desahan yang membuat Davin berkali-kali menahan napasnya.Davin melirik Kaori yang tampak serius menyaksikan adegan ciuman yang sedang berlangsung. Matanya tidak berkedip sama sekali dan dia tampak terkag
"Mama sakit apa, Ma? Kok baru bilang sama Kaori kalau Mama lagi sakit?" Kaori duduk di sisi ranjang ibunya dan menangis."Kolesterol Mama kemarin tinggi, Ri. Tapi, sekarang udah nggak lagi, kok. Kamu ngapain malam-malam ke sini? Pasti disuruh papa, ya?"Kaori berhenti menangis lalu menggenggam jemari ibunya yang mulai keriput meski wajahnya masih menawan."Maaf, ya, Ma, belakangan ini Kaori sibuk kerja dan jarang ke sini. Kaori jarang perhatiin Mama dan Papa.""Kamu kok ngomongnya gitu sih, Ri? Kamu kan sekarang udah jadi seorang istri, kamu harus lebih memprioritaskan suami kamu.""Tapi, kalau lihat Mama sakit gini, Kaori nggak tega. Rasanya nggak mau jauh-jauh dari Mama.""Namanya Mama ini sudah tua, Ri. Ya wajarlah kalau sakit-sakit sedikit.""Mana pasti makannya sembarangan, ya? Kaori kan udah bilang, jangan sering makan-makanan yang mengandung koleste
Cafe milik Evan terlihat ramai selama lima bulan terakhir ini. Setelah melakukan renovasi dan menambah beberapa menu baru seperti yang disarankan Kaori, cafe ini menunjukkan kemajuan yang signifikan. Evan benar-benar berterima kasih pada Kaori karena sudah membawa angin segar untuk cafenya yang sudah dirintisnya sejak dua tahun lalu itu."Ri, thanks, ya? Gara-gara lo cafe gue jadi rame lagi, hehehe," kata Evan dengan wajah sumringah. "Gue juga udah naikin gaji kalian. Nih, gaji lo bulan ini!" Evan mengangsurkan sebuah amplop pada Kaori.Namun, seperti biasanya, Kaori justru mengembalikan amplop berisi upahnya itu ke hadapan Evan."Gue titip buat Sista, ya? Tapi seperti biasa, jangan bilang kalo itu dari gue.""Ri, sejak lo kerja sama gue, lo nggak pernah mau terima gaji dari gue. Lagian, lo kok baik banget sih sama Sista?"Apa yang dikatakan Evan, benar adanya. Sudah hampir setengah tahun
Kaori sedang mengambil minum di dapur ketika dia mendengar suara pintu diketuk. Ditaruhnya cangkir yang sudah kosong ke atas meja makan lalu dia berjalan menuju pintu sambil mengira-ngira siapa yang datang.Itu pasti Davin, siapa lagi, pikirnya."Davin?" seru Kaori, memastikan. Namun anehnya tidak ada jawaban.Kaori mulai deg-degan, apalagi mengingat obrolannya dan Davin beberapa saat yang lalu di telepon. Mana Davin sempat menakut-nakutinya pula.Meskipun tidak ada jawaban, pintu itu masih diketuk dari luar. Kali ini agak keras dan tidak sabaran."Davin, itu elo, kan?!" tanya Kaori dengan nada tinggi sambil menempelkan telinganya ke pintu.Kok nggak ada yang jawab, sih? Jangan-jangan....Maling?Tapi, mana ada maling yang ngetuk pintu targetnya sebelum ngerampok.Ini pasti....Kaori memberanikan diri untuk mengintip ke luar melalui jendela kaca di sisi pintu. Di depan pagar rumahnya tampak ada sebuah gerobak baks