Setelah resepsi hari ketiga selesai diadakan dengan konsep yang sama dan berkesan mewah, rencananya mereka semua akan kembali ke Jakarta pada hari ini. Namun, sebelum itu, Kintan dan Bella meminta mereka semua untuk berkumpul. Katanya, ada sesuatu hal penting yang ingin mereka sampaikan. Entah apa.
“Jadi, Mami mau kasih kejutan buat kalian berdua!” seru Kintan dengan semangat.
“Kejutan apa, Mi?” tanya Davin, penasaran.
Kintan tersenyum lebar, begitu pun dengan yang lainnya.
“Mami sama Papi udah beliin tiket bulan madu ke sepuluh negara untuk kamu dan Kaori!”Kaori terbatuk-batuk, tersedak minuman yang sedang diteguknya ketika ibu mertuanya itu berbicara.
“HA? Sepuluh negara?” seru Davin, terkejut.
“Waaaah! Enak banget sih jalan-jalan gratis!” timpal Disha, adik perempuan Davin.
“Aku juga mau dong!” Giliran Karel, adik laki-laki Kaori yang duduk di bangku tahun ketiga di SMA yang berkomentar.
“Iya, Rel, ikut aja, yuk!” kata Disha pada Karel.
“Gue sih, ayok aja,” ucap Karel.
“Hei, hei, kalian ngomong apa, sih? Ini tuh kado spesial dari Mami buat Kak Kaori dan Mas Davin. Kalian nggak usah ikut-ikutan deh.”
“Yah, Mami.... Sesekali doang, Mi. Lagian itu banyak banget sih sampe sepuluh negara. Itu namanya mubazir tau, Mi,” tukas Disha tak terima.
“Nanti kalau kamu udah nikah, Mami juga pasti kasih tiket bulan madu juga ke sepuluh negara.”
“Idih, apaan, sih? Aku kan masih sekolah, masa Mami ngomongnya gitu.” Disha memasang wajah cemberut yang langsung ditertawai oleh Davin.
“Maaf, Mi, tapi Disha bener deh. Kayaknya kalo sepuluh negara itu, kebanyakan. Capek kan harus terbang sana, terbang sini,” sambung Kaori.
Kalau saja bulan madunya bukan dengan Davin, Kaori tidak akan menolak hadiah itu, sumpah. Bayangin deh, honeymoon ke sepuluh negara? Gratis pula! Siapa yang nggak mau? Uuuuh, Kaori pengen deeeeh. Tapi, kalau sama Davin? Idiih, ogaaaah! Sekian dan terima kasih.
“Iya, Mi, kebanyakan. Lagian aku juga banyak kerjaan besok.”
“Ya ampun kalian ini gimana, sih? Ini kan momen spesial di pernikahan kalian. Harusnya, kalian meluangkan waktu untuk jalan-jalan bareng, quality time gitu loh. Lagian, urusan kerjaan udahlah entar-entar aja. Yang penting, kalian honeymoon dulu. Okey?”
“Tapi, Mi—“
Ucapan Kaori dan Davin langsung dipotong begitu saja oleh Kintan dengan tegas. “Nggak ada tapi-tapian, ya. Mami udah beli semua tiketnya, tinggal kalian atur aja waktu kapan mau perginya. Mami rasa sebulan cukup deh buat keliling sepuluh negara.”
Kaori dan Davin saling melempar pandang. Bingung bagaimana harus menolaknya. Tapi, sepertinya keputusan itu sudah bulat, dan mau tak mau mereka memang harus menerimanya.
“Jangan ditolak dong, Kaori, Davin… itu kan hadiah dari Mami Kintan. Dia udah siapin itu dari jauh-jauh hari loh.” Bella buka suara.
Kaori memaksakan seulas senyum. “Ya udah, Kaori mau kok. Iya, kan, Dav? Kamu juga mau, kan?” tanya Kaori pada Davin yang tampak kaget dengan pertanyaan Kaori tersebut.
“Oh?” Davin terbata. “Oke, oke, aku mau. Makasih, ya, Mi, Pi….”
Kintan tersenyum puas. “Kami harap, pulang dari honeymoon, kalian bawa kabar baik buat kami semua, hehehe.”
Davin dan Kaori kembali berpandangan dan sama-sama tersenyum. Tapi, baik Kaori dan Davin sama-sama tahu apa maksud senyuman mereka itu.
*
“Gimana dong, nih? Gue nggak mau pergi,” ujar Kaori, setelah mereka berada di dalam kamar.
“Gue juga. Lo aja sana yang pergi, ajak siapa kek.”
“Ya nggak bisa dong, Dav. Gimana sih lo!"
“Terus, maunya gimana? Lo mau honeymoon sama gue? Enggak, kan? Pasti lo mendingan jadi monyet ketimbang pergi bulan madu sama gue. Pasti.”
“Ya nggak jadi monyet jugalah!” ujar Kaori sengit.
“Ya udah, gini deh. Kita refund aja tiketnya."
Kaori menganga. "HA? Entar kalo mereka tau gimana? Habislah kita."
"Ya jangan sampe taulah. Pokoknya, biar masalah ini gue yang urus."
"Yakin lo?"
"Yakin," tandas Davin.
Kaori bernapas lega. Baiklah, mungkin tidak ada salahnya dia mempercayai Davin. Toh, ini demi kebaikan mereka berdua. Kaori memang sedih kehilangan kesempatan untuk berlibur ke luar negeri, akan tetapi, rasanya tak nyaman jika harus pergi bersama Davin yang super menyebalkan itu. Bukan tidak mungkin jika Davin melakukan yang tidak-tidak padanya jika mereka berada dalam satu kamar terus-menerus. Buktinya saja, kemarin dia nekat mencium Kaori. Bisa saja kan besok-besok, dia melakukan hal yang lebih lagi?
***
Satu minggu kemudian...
Booking tiket sudah dibatalkan. Kaori dan Davin, diam-diam tinggal di Puncak, di villa pribadi milik Davin. Ponsel sengaja mereka matikan selama di sana demi menghindari telepon dari keluarga. Hanya sekali Davin menelepon dan mengatakan kalau mereka baik-baik saja dan sedang menikmati honeymoon. Untungnya saja, Kintan percaya. Davin memang sudah mengatur semuanya dengan sangat baik sehingga pembatalan tiket pesawat pun bisa diatur tanpa sepengetahuan Kintan. Davin sudah mengambil alih semua pengurusannya sebelum mereka meninggalkan Bali.
"Nyet!" Davin tiba-tiba muncul di belakang Kaori yang sedang menonton.
"Apaan?" tanya Kaori malas-malasan.
"Masakin gue mi rebus dong. Laper nih!"
"Enak aja! Lo pikir gue siapa lo suruh-suruh?"
"Istri guelah. Belajar jadi istri yang baik kenapa, sih! Kan, kalo pun entar lo punya jodoh, lo udah tau caranya ngelayani suami dengan baik dan benar."
"Itu mah gampang, nggak usah lo ajarin," ucap Kaori, seolah tak peduli dengan khotbah penting Davin.
Davin mendecih, lantas melompat ke sofa dan langsung merebahkan tubuhnya di sana, dengan kepala berada di atas paha Kaori.
"Ihhh! Ngapain sih lo?!" Kaori terkesiap, sambil menoyor-noyor kepala Davin yang ada di pahanya.
Davin menggeleng. "Nggak. Sebelum lo masakin gue mi rebus."
"Ya elah! Manja banget, sih?!"
"Bodo amat." Davin menyeringai.
"Ya ampun! Iya, iya gue masakin! Minggir dulu sana!" Kaori mendorong Davin sampai-sampai cowok itu jatuh ke karpet bulu yang ada di kaki sofa.
"Brutal banget sih jadi cewek?" ucap Davin seraya bangkit.
Kaori hanya mendelik dan pergi menuju dapur. Setibanya di dapur, dia mulai memasak mi instan untuk Davin. Davin mengamatinya, secara diam-diam tentunya. Seminggu tinggal bersama, pertengkaran pun kerap terjadi. Kaori kesal dengan kebiasaan Davin yang tidak menaruh sepatu ataupun sandal di tempatnya, begitu pun dengan handuk, dan pakaian kotor. Kebiasaannya tersebut tentu saja bertentangan dengan Kaori yang perfeksionis dan higienis.
Kaori mencintai kebersihan dan kerapihan. Itu sebabnya, dia sering mengomeli Davin kalau-kalau cowok itu membuang puntung rokoknya sembarangan, meskipun itu di halaman rumah sekali pun.
"Apa susahnya sih buang ke tong sampah doang?" tegur Kaori suatu pagi ketika dilihatnya Davin melemparkan puntung rokok ke halaman yang baru saja Kaori bersihkan.
"Mager," jawab Davin enteng.
Dan melayanglah satu buah sandal jepit ke kepala Davin. Sejak hari itu, Davin selalu membuang puntung rokoknya ke bawah meja, ataupun sekat-sekat tersembunyi yang tidak mungkin terlihat oleh Kaori jika dia tidak memeriksanya. Tapi, karena Kaori sangat jeli, Kaori selalu menemukannya dan dia akan langsung marah-marah pada Davin dan mengancam akan mengebirinya jika masih melakukan perbuatan jorok itu.
Dan sejak hari itu pula, Davin bertekad untuk memakan habis puntung rokoknya.
"Nih, habisin!" ucap Kaori, meletakkan satu mangkuk mi rebus ke atas meja di depan Davin.
"Makasih, Beb," balas Davin dengan senyum manis yang dibuat-buat.
Kaori merespons dengan mendelik sebal.
Tak disangka-sangka, terdengar suara dering ponsel dari bawah bantal di samping Kaori. Kaori mengambilnya dan betapa terkejutnya dia begitu melihat layar ponselnya.
"Mati, Dav! Mami ngajak video call!"
"HA? Mati." Davin lantas merebut ponsel milik Kaori tersebut dan melihat nama yang tertera di layarnya. "Gimana dong? Lo ngapain sih pake ngaktifin HP segala? Kan gue udah bilang, nggak usah ngidupin Hp selama kita di sini."
"Ya tadi tuh, gue lagi ini...." Kaori tampak bingung bagaimana cara menjelaskannya. Apa reaksi Davin kalau Kaori bilang dia baru saja chatting-an dengan Kafka?
"Okey, matiin aja!" Davin langsung menekan tombol merah dan lekas-lekas menonaktifkan ponsel tersebut.
Beberapa detik kemudian, setelah hening sempat menyergap, Kaori buka suara. "Lo merasa bersalah nggak sih, Dav?"
Davin menoleh menatap Kaori. "Ya jelaslah gue ngerasa bersalah. Tapi, ini juga keinginan lo, kan? Semua ini terjadi gara-gara lo. Lo yang minta gue terima perjodohan ini. Dan semua kebohongan ini, lo yang ciptakan." Davin lantas menyerahkan ponsel milik Kaori dan beranjak dari sana.
Eh? Dia marah? Cuih, baperan.
***
Bab. 9 | Menyakitkan tapi terasa benarTiga minggu kemudian...."Mana nih, foto-foto kalian waktu di luar negeri? Mami mau lihat dong!"Davin mengangsurkan ponselnya yang menampilkan gambar dirinya dan Kaori yang sudah diedit sedemikian rupa dengan latar belakang berbagai macam tempat di sepuluh negara tujuan bulan madu mereka. Untung saja, semua hasil editan Davin terlihat sempurna, sehingga Kintan dan Bella percaya begitu saja."Wah, romantis banget sih kalian?""Iya dong, namanya juga pengantin baru, Mi," jawab Davin yang dibalas dengan tatapan ragu-ragu oleh Kaori."Terus, gimana?" tanya Bella."Eh? Gimana apanya, Ma?" Kaori justru balik nanya."Ya itunya...." Kintan dan Bella menjawab kompak, lalu cekikikan.Davin mengernyit. "Itunya apa, sih?""Itu loh, gimana sih. Cucu... cucu." Kintan memperjelas maksud ucap
*Jangan lupa klmmekoment ya gaks.Davin terkejut bukan main ketika dia masuk ke dalam kamar, sebuah underwear terbang ke wajahnya. Setelah dilihat-lihat, ternyata itu adalah pakaian dalam miliknya."Berapa kali sih gue harus bilang sama lo? Jangan taruh baju kotor sembarangan!" semprot Kaori, sebelum Davin sempat bertanya."Lo pikir nggak capek apa beresin kamar yang setiap hari berantakan gini? Itu juga tuh! Abu rokok di mana-mana!" Kaori terus mengomel sambil membersihkan ranjang dari buku-buku, charger, headset, dan bahkan beberapa sampah bungkus makanan ringan. Davin memang biasa makan camilan pada malam hari menjelang tidur.Sejak pindah ke rumah Davin, keduanya memang tidur terpisah. Kaori tidur di lantai atas, sementara Davin tidur di lantai bawah. Tapi, walaupun begitu, tetap saja yang membersihkan kamarnya Kaori. Menyewa asisten rumah tangga hanya
"Gue harus pastiin, kalau gue ngelepasin lo hanya pada orang yang tepat. Biar lo bahagia nantinya."Kaori tertegun mendengar ucapan Davin tersebut. Itu beneran dia yang ngomong? Kenapa dia jadi sok peduli gitu?"Makasih." Kaori membalas singkat lalu mengalihkan perhatiannya pada kendaraan di jalanan yang hilir mudik.Tak lama kemudian, mereka tiba di sebuah tempat yang pada malam itu ramai pengunjung. Begitu turun, mata Kaori langsung membaca tulisan yang ada di atas pintu masuk salah satu ruko bertingkat tiga tersebut."Ini bukannya coffee shop punya lo?"Davin mengangguk. "Iya.""Kok, di sini? Enggak ada tempat yang lebih bagusan dikit gitu?" tanya Kaori sinis.Sebenarnya, tempat ini cukup memukau dengan konsep bajak laut dan lukisan-lukisan pemandangan laut yang terpajang di dindingnya. Bahkan di meja kasir, ada sebuah peti antik berukuran sedang yang dipakai
Sepanjang perjalanan pulang, pikiran Kaori diganggu oleh pernyataan Davin mengenai Maya yang pernah menjadi pacarnya. Sebenarnya, mau dengan siapa pun Davin menjalin hubungan, itu tak masalah untuk Kaori, dia bahkan tidak peduli. Hanya saja, dia bertanya-tanya tentang Maya, sahabatnya semasa SMA dulu. Kenapa setelah pulang ke Indonesia, dia tidak mengabari Kaori sama sekali? Kenapa, ya? Apa dia lupa? Masa sih lupa. Atau mungkin, sebenarnya memang Maya merasa tidak perlu mengabarinya karena dia tak lagi penting.Setelah tiba di rumah, Kaori buru-buru masuk ke kamar, menyalakan laptop dan membuka email. Pesan-pesannya untuk Maya sejak bertahun-tahun yang lalu pun tak pernah dibalas. Mungkin, Maya sudah tidak memakai email itu lagi. Lalu, Kaori beralih ke media sosial Facebook, di mana dulu sewaktu SMA, baik dia dan Maya kerap kali menulis pesan wall to wall. Kaori mengarahkan kursornya ke profil Maya, demi mencari petunjuk. Dan benar saja, banyak sta
🍁🍁🍁🍁"Eh, Ri, by the way, lo sadar nggak sih, Davin bikin lo jadi mikir gitu buat nggak jadi tim rebahan seumur hidup lo?""Maksud lo?""Ya dia bikin lo jadi lebih dewasa aja gitu. Iya nggak, sih? Gara-gara mulut nutrijelnya Davin yang lemes, lo akhirnya rela ngebanting harga diri lo buat nyari kerja. Padahal, Davin kan udah ngasih lo apapun yang lo butuhin."Kaori mengangguk dengan bibir mencebik. "Gue ngerasa hati gue sakit banget waktu dia bilang gue tuh kebiasaan dimanjain dari kecil, jadi nggak tau rasanya susahnya nyari duit itu gimana."Putri tertawa. "Tapi, bener kan apa yang dia bilang?"Kaori melirik Putri dengan sinis, kemudian mendecih. "Ya bener, tapi nggak harus gitu juga dong. Tau gue baperan, ya nangis-nangislah denger dia ngomong gitu. Akhirnya, gue bulatin tekad gue buat nyari kerja. Pokoknya gue harus kerja!"
☘️🍀☘️ "Jadi, lo kerja di mana?" tanya Davin, ketika Kaori sudah bisa diajak ngobrol setelah makan malam. Davin membantu Kaori membersihkan meja makan dan mencuci piring kotor. "Hmm." Kaori terlihat ragu untuk bicara jujur, tapi pada akhirnya, dia mengatakannya secara gamblang, "Kerja di cafenya Evan." Davin sudah menduganya, tapi dia pura-pura tidak mengenal nama yang disebut Kaori barusan. "Evan?" "Temen SMA kita dulu, yang kerjanya ngintipin daleman anak cewek bareng lo itu!" Davin mengangguk-angguk. "Oh, Evan. Iya, iya, gue pernah dengar kalau dia buka café di jalan Mangga."
****"Mami mau Davin anterin pulangnya?" seru Davin keesokan harinya di meja makan."Loh? Siapa yang mau pulang? Orang Mami masih nginap di sini, kok.""Hah?!" seru Kaori dan Davin serentak.Kintan tersenyum. "Kenapa? Kalian nggak suka, ya, Mami nginap di rumah kalian lama-lama?"Sesaat, keduanya terdiam. Sadar kalau reaksi mereka tersebut akan menimbulkan kecurigaan, akhirnya, Davin buka suara."Enggak gitu, sih, Mi. Cuma kan, kasihan Papi di rumah.""Ya Papimu juga mau nginep di sini nanti malem.""Hah?!""Kenapa sih kalian? Curiga deh. Pasti ada yang disembunyikan, ya?" Kintan menyipitkan mata, memandang Kaori dan Davin secara bergantian."Enggak, enggak ada yang disembunyikan kok. Kaget aja kalau Papi mau ikut nginap di sini. Kenapa nggak ajak Disha aja sekalian? Hehehe," canda Davin.
Kaori masuk ke dalam rumah sambil bersenandung kecil. Tumben, jam segini Davin sudah di rumah, biasanya juga pulangnya jam enam sore, atau kalau lagi sibuk-sibuknya, dia akan pulang larut malam. Mobilnya masih parkir di halaman, itu sebabnya Kaori bertanya-tanya.Ketika melewati jendela panjang transparan yang menjadi dinding pembatas dengan kolam renang, langkah Kaori berhenti. Dia memutar kepalanya ke arah sama, lantaran melihat Davin sedang berenang dan ditemani oleh seorang wanita berkulit putih yang duduk di pinggir kolam.Kaori mulai bertanya-tanya, siapakah orang itu?Perlahan, Kaori melangkahkan kakinya ke sana, lalu berseru, "Hai."Davin yang berhenti di pinggir kolam menoleh dan melambaikan tangan. "Oi!"Kaori lantas menoleh menatap perempuan yang juga sedang menatapnya itu. Kaori memperhatikannya dengan seksama. Seperti kenal..."Hai, Ri. Apa kabar?"
"Berapa kali gue bilang, jangan bawa sepatu ke dalam kamar!" Davin yang pagi menjelang siang itu masih berada di atas ranjang, perlahan membuka matanya karena samar-samar mendengar ada suara. Suara milik seseorang yang belakangan ini membuatnya sulit makan dan tidur. Seseorang yang dia rindukan siang dan malam. Dan satu-satunya orang yang mampu memporak-porandakan hatinya. "Itu juga isi lemari berantakan banget! Kalo ngambil apa-apa itu ditarik, jangan diangkat!" Suara itu terdengar semakin nyata. Davin sontak terduduk, kemudian melihat sekitar. Tepat di depan lemari pakaiannya, Kaori berdiri menghadapnya dengan bertolak pinggang. "Rumah berantakan! Sampah-sampah makanan berserakan! Bukannya dibersihin malah dibiarin!" Davin mengerjapkan matanya. Itu.... Kaori? "Habis pake handuk itu, digantung di tempatnya. Masa yang gitu-gitu harus diingetin mulu, sih?" Sesaat Davin terpelongo, mengucek mata berkali-kali lalu dengan tiba-tiba
"Ri.... Kamu kenapa? Mama perhatikan sudah seminggu ini kamu di kamar aja. Nggak mau keluar gitu jalan-jalan? Shopping, yuk, sama Mama?" bujuk Bella.Sudah seminggu Kaori terlihat murung. Dia lebih suka mengurung diri di dalam kamarnya sejak dia dan Davin bercerai. Hal itu tentu saja membuat Bella merasa khawatir, dia takut kalau lama-lama dibiarkan anaknya itu malah jadinya stres lantaran terlalu larut dalam kesedihan. Belum lagi Kaori juga jarang makan. Bagaimana kalau nanti dia sakit?Sampai sekarang pun, setiap ditanya apa alasan sebenarnya yang membuat mereka berpisah, Kaori tidak menjawabnya."Enggak pa-pa, Ma. Lagi males aja."Kaori juga sudah berhenti bekerja dan memutuskan untuk membuka usaha sendiri, yaitu membuat sebuah wedding organizer."Ri, tau nggak? Mama sama Papa dulu juga sempat berpisah, loh. Waktu itu kamu masih berumur dua tahun."Kaori terkesiap mendengarnya. "Mama serius?""Iya, Papamu itu jatuhkan talak ke Mama
Di kedai kopi miliknya, Davin duduk di meja paling pojok dekat jendela bersama Putri. Mereka memang sudah membuat janji untuk bertemu di sana sebelum jam makan siang.Davin memandangi undangan berwarna gold di tangannya lama-lama sambil tersenyum. Huruf inisial P & D jelas terpampang di bagian depannya, didesain sedemikian rupa sehingga tampak elegan.Davin tidak menyangka bahwa sebentar lagi Putri akan menjadi seorang istri, sementara dirinya baru saja menjadi duda. Kadang-kadang, takdir memang selucu itu.Diliriknya Putri yang tiba-tiba melepaskan cincin berlian yang melingkar di jari manisnya."Gue nggak bisa, Dav. Gue benar-benar nggak bisa," kata Putri sambil menggeleng kuat."Kenapa? Jangan dilepas cincinnya!" Davin menarik tangan Putri dan kembali memasukkan cincin tersebut ke jarinya. "Jangan sia-siakan orang yang sayang sama lo."Putri menarik napas dalam, memandangi jarinya yang tersemat cincin permata. "Tapi, gue nggak—"
Hari ini, adalah hari terakhir pernikahan Kaori dan Davin. Mereka menghabiskan waktu dengan bersenang-senang, persis seperti yang mereka lakukan beberapa bulan yang lalu. Pergi ke pantai, menonton film di bioskop, dan makan di tempat yang romantis.Namun, pada hari itu, Kaori tidak se-happy kemarin. Dia lebih banyak melamun, dan tentu saja hal itu membuat Davin bertanya-tanya. Meskipun kadang-kadang ada tawa yang keluar dari mulut Kaori, Davin bisa merasakan ada sesuatu di sana, tepat di matanya, yang seperti tidak sinkron dengan apa yang dilakukannya.Hingga malam pun tiba. Saat itu hujan lebat ketika mereka sampai di rumah. Keduanya sempat terkena hujan lantaran tadi berlari menuju mobil. Menunggu hujan reda punpasti akan memakan waktu yang lama, itu sebabnya mereka memilih menembus hujan demi tiba di dalam mobil lalu bergegas pulang.Di depan cermin besar di dalam kamarnya, Kaori bisa melihat kemunculan Davin yang
****Tepat jam sepuluh malam, Davin pulang ke rumah. Biasanya, jam-jam seperti itu Kaori sudah mengunci pintu jika Davin pulang agak telat. Namun tadi, sewaktu Davin memasukkan kunci cadangan, pintu itu justru membuka ketika Davin tak sengaja mendorongnya."Ck! Kebiasaan banget Kaori nggak ngunci pintu. Padahal ini kan udah malam," gerutu Davin lalu melangkah masuk.Disampirkannya kemejanya yang tadi dipakainya ke bahu lalu celingukan, mencari keberadaan Kaori.Sebelum memanggil nama Kaori, Davin sudah lebih dulu mendapati wanita itu tengah tertidur pulas di atas sofa tepat di depan TV."Tuh, kan! Kebiasaan banget tidur pas pintu nggak dikunci gitu. Kalau ada orang jahat, gimana coba?" ujar Davin lalu mengambil posisi bertimpuh di sisi Kaori dan memandangi wajahnya lama-lama."Semoga setelah semuanya berakhir, lo dipertemukan sama orang yang tepat.
DAVIN penggemar film action, tetapi pada saat Kaori memintanya untuk menonton film komedi romantis, Davin mengiyakannya. Davin sebenarnya sudah akan menolak, namun tidak mungkin juga merusak suasana hati Kaori yang sedang baik hari ini. Lagipula, sebelum ke sini, Kaori juga sudah bilang kalau dia akan menonton film dengan genre itu. Jadi, ya sudahlah, tujuan liburan kilat ini kan juga buat Kaori….Tapi, masalahnya…. Davin tidak mengira kalau akan ada banyak adegan mantap-mantap di film yang akan mereka tonton itu. Bukan hanya memperlihatkan kedua pasangan yang nyaris telanjang, juga adegan ranjang yang benar-benar membuat darah Davin berdesir dan setika dia merasa suhu di ruang bioskop itu menjadi meningkat. Belum lagi suara desahan yang membuat Davin berkali-kali menahan napasnya.Davin melirik Kaori yang tampak serius menyaksikan adegan ciuman yang sedang berlangsung. Matanya tidak berkedip sama sekali dan dia tampak terkag
"Mama sakit apa, Ma? Kok baru bilang sama Kaori kalau Mama lagi sakit?" Kaori duduk di sisi ranjang ibunya dan menangis."Kolesterol Mama kemarin tinggi, Ri. Tapi, sekarang udah nggak lagi, kok. Kamu ngapain malam-malam ke sini? Pasti disuruh papa, ya?"Kaori berhenti menangis lalu menggenggam jemari ibunya yang mulai keriput meski wajahnya masih menawan."Maaf, ya, Ma, belakangan ini Kaori sibuk kerja dan jarang ke sini. Kaori jarang perhatiin Mama dan Papa.""Kamu kok ngomongnya gitu sih, Ri? Kamu kan sekarang udah jadi seorang istri, kamu harus lebih memprioritaskan suami kamu.""Tapi, kalau lihat Mama sakit gini, Kaori nggak tega. Rasanya nggak mau jauh-jauh dari Mama.""Namanya Mama ini sudah tua, Ri. Ya wajarlah kalau sakit-sakit sedikit.""Mana pasti makannya sembarangan, ya? Kaori kan udah bilang, jangan sering makan-makanan yang mengandung koleste
Cafe milik Evan terlihat ramai selama lima bulan terakhir ini. Setelah melakukan renovasi dan menambah beberapa menu baru seperti yang disarankan Kaori, cafe ini menunjukkan kemajuan yang signifikan. Evan benar-benar berterima kasih pada Kaori karena sudah membawa angin segar untuk cafenya yang sudah dirintisnya sejak dua tahun lalu itu."Ri, thanks, ya? Gara-gara lo cafe gue jadi rame lagi, hehehe," kata Evan dengan wajah sumringah. "Gue juga udah naikin gaji kalian. Nih, gaji lo bulan ini!" Evan mengangsurkan sebuah amplop pada Kaori.Namun, seperti biasanya, Kaori justru mengembalikan amplop berisi upahnya itu ke hadapan Evan."Gue titip buat Sista, ya? Tapi seperti biasa, jangan bilang kalo itu dari gue.""Ri, sejak lo kerja sama gue, lo nggak pernah mau terima gaji dari gue. Lagian, lo kok baik banget sih sama Sista?"Apa yang dikatakan Evan, benar adanya. Sudah hampir setengah tahun
Kaori sedang mengambil minum di dapur ketika dia mendengar suara pintu diketuk. Ditaruhnya cangkir yang sudah kosong ke atas meja makan lalu dia berjalan menuju pintu sambil mengira-ngira siapa yang datang.Itu pasti Davin, siapa lagi, pikirnya."Davin?" seru Kaori, memastikan. Namun anehnya tidak ada jawaban.Kaori mulai deg-degan, apalagi mengingat obrolannya dan Davin beberapa saat yang lalu di telepon. Mana Davin sempat menakut-nakutinya pula.Meskipun tidak ada jawaban, pintu itu masih diketuk dari luar. Kali ini agak keras dan tidak sabaran."Davin, itu elo, kan?!" tanya Kaori dengan nada tinggi sambil menempelkan telinganya ke pintu.Kok nggak ada yang jawab, sih? Jangan-jangan....Maling?Tapi, mana ada maling yang ngetuk pintu targetnya sebelum ngerampok.Ini pasti....Kaori memberanikan diri untuk mengintip ke luar melalui jendela kaca di sisi pintu. Di depan pagar rumahnya tampak ada sebuah gerobak baks