Sepanjang perjalanan pulang, pikiran Kaori diganggu oleh pernyataan Davin mengenai Maya yang pernah menjadi pacarnya. Sebenarnya, mau dengan siapa pun Davin menjalin hubungan, itu tak masalah untuk Kaori, dia bahkan tidak peduli. Hanya saja, dia bertanya-tanya tentang Maya, sahabatnya semasa SMA dulu. Kenapa setelah pulang ke Indonesia, dia tidak mengabari Kaori sama sekali? Kenapa, ya? Apa dia lupa? Masa sih lupa. Atau mungkin, sebenarnya memang Maya merasa tidak perlu mengabarinya karena dia tak lagi penting.
Setelah tiba di rumah, Kaori buru-buru masuk ke kamar, menyalakan laptop dan membuka email. Pesan-pesannya untuk Maya sejak bertahun-tahun yang lalu pun tak pernah dibalas. Mungkin, Maya sudah tidak memakai email itu lagi. Lalu, Kaori beralih ke media sosial F******k, di mana dulu sewaktu SMA, baik dia dan Maya kerap kali menulis pesan wall to wall. Kaori mengarahkan kursornya ke profil Maya, demi mencari petunjuk. Dan benar saja, banyak status dan foto terbaru Maya di sana, bahkan sepuluh menit yang lalu dengan caption yang membuat alis Kaori terangkat membacanya.
"Kangen kamu."
Saking lamanya tidak membuka F******k, Kaori sampai tidak tahu kalau selama ini ternyata Maya kembali aktif setelah beberapa tahun dia hilang dari peredaran. Kaori bingung, harus mengiriminya pesan melalui inbox atau tidak. Dia tidak yakin kalau Maya akan membalasnya, karena sepertinya, Maya bukanlah Maya yang dia kenal dulu. Entahlah, mungkin waktu memang bisa mengubah seseorang.
Pada akhirnya, Kaori kembali menutup laptopnya dan memutuskan untuk tidur. Lagi pula, untuk apa dia memikirkan seseorang yang bahkan mungkin tak lagi mengingatnya.
***
"Mau ke mana?" tanya Davin, saat dilihatnya Kaori sudah rapih. Padahal, jam masih menunjukkan pukul setengah tujuh pagi.
"Nyari kerja."
Davin mengernyit seraya mengamati penampilan Kaori pagi itu. Selain tas yang Davin yakin barang branded, cewek itu juga mengenakan pakaian yang lebih cocok dipakai untuk fashion show, glamor dan menor pula.
"Itu muka kenapa lagi ditabok-tabokin gitu sampe merah?"
Kaori mendengkus malas. "Terserah lo deh mau ngomong apa."
"Lo yakin mau ngelamar kerja kayak gini?"
"Iya, kenapa, sih?"
"Nggak bakal diterima."
"Nggak mungkinlah ada perusahaan yang mau nolak lamaran kerja cewek sosialita kayak gue. Hellooowwww!" Kaori mau tak mau menjadi lebay beberapa saat. Dia juga segera memakai kacamata hitam sebagai bentuk totalitasnya untuk melamar pekerjaan hari ini. Pokoknya, penampilan wajib nomor satu.
"Ya emang gitu kenyataannya. Tas lo aja bermerek gitu. Dari pakaian lo aja kelihatan kalo lo itu nggak butuh kerja. Yang dicari di dunia kerja itu adalah, orang-orang yang benar-benar butuh kerja, makan, dan duit. Bukan buat cari pengalaman atau semacamnya."
Kaori mengibaskan rambutnya dengan cara berlebihan. "Udah, ah. Lo tuh udah kayak nyokap gue, cerewet. Gue pergi dulu, bye!"
Melihat Kaori melenggang menuju pintu, Davin hanya mendengus lalu geleng-geleng kepala. Taruhan! Kaori pasti nggak bakalan dapat kerja dengan penampilannya yang sekarang. Dipikirnya, nyari kerja itu gampang apa? Apalagi, Kaori adalah manusia ciptaan Tuhan yang nggak mau capek kalau bukan karena terpaksa. Dia pasti memilih pekerjaan dengan gaji besar yang mampu memenuhi kebutuhannya akan barang-barang mahal, sekaligus pekerjaan yang patut untuk dipamerkan. Yakin, tuh cewek pasti bakalan pulang sambil mewek. Davin yakin seratus persen. Kaori kan anak manja, mana bisa apa-apa.
***
"Put, lo yakin mereka lagi buka lowongan pekerjaan?" tanya Kaori pada Putri yang bertugas menemaninya hari ini untuk mencari kerja.
Dan pagi ini, mereka sudah berada di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang telekomunikasi. Tempatnya tak jauh dari kampus mereka dulu.
"Kata temen gue sih iya. Ya udah lo masuk gih, tanya-tanya dulu sana!"
"Okey," ucap Kaori dan bergegas turun dari mobil.
"Ri?" Putri memanggil sebelum Kaori beranjak.
"Ya?"
"Lo yakin, mau masuk dengan dandanan kayak begini? Lebay tau nggak? Itu kacamata tolong deh diamankan dulu! Sini, sini!" Putri menjulurkan tangannya, hendak mengambil kacamata hitam yang dipakai Kaori.
"Kenapa sih emangnya? Sama aja lo sama si Davin. Bisanya komentar doang."
"Ya tapi emang lebay, gila. Gimana sih lo!"
Kaori mendecih, namun tetap melepaskan kacamatanya dan menyodorkannya pada Putri. "Awas lecet. Mahal tuh!"
"Iya, iya!" Putri pun langsung memakai kacamata tersebut dan tersenyum menyeringai. "Semangat, ya! Gue keliling sebentar, entar telepon aja kalo udah selesai."
"Okey."
***
Kaori menyisiri rambutnya yang halus dengan jari-jari lentiknya yang diberi kuteks berwarna merah muda. Setelah menunggu hampir setengah jam, akhirnya dia diberikan kesempatan untuk bertemu langsung dengan pimpinan personalia yang merupakan seorang wanita paruh baya dengan kacamata tebal dan berwajah jutek.
"Sepertinya kamu belum pernah bekerja, ya? Karena saya nggak ada lihat pengalaman kerja kamu," ujar wanita bernama Melisa itu seraya membolak-balik CV milik Kaori.
Kaori mengangguk mantap. "Ya, Ibu benar sekali. Saya memang belum punya pengalaman kerja apa pun."
"Kamu mau digaji berapa?"
Waw! Pertanyaan yang bagus. Kaori tidak mengira kalau dia akan ditawari secepat ini.
"Sepuluh juta atau lebih juga nggak masalah, sih, Bu. Cukuplah buat nambah-nambah beli skincare saya."
Beberapa pekerja wanita yang ada di ruangan itu tampak cekikikan ketika Kaori berkata demikian.
Melisa mendelik. "Okey, tapi mohon maaf, ya, Mbak, kami sedang tidak membuka lowongan."
"A-apa?"
"Sepertinya, Mbak ini orang yang sangat mampu. Tas yang Mbak pakai juga pasti harganya sebanding dengan gaji kami semua yang dijadikan satu selama satu tahun," Melisa memandang berkeliling, pada rekan kerjanya yang lain, "jadi, mohon maaf, Mbak bisa cari lowongan di tempat lain. Terima kasih."
Kaori mendengus kesal. "Okey."
Kepergian Kaori pun diiringi tatapan orang-orang di dalam ruangan. Kaori bahkan sempat mendengar mereka menggibahinya.
"Anak sultan kayaknya, Mbak!"
"Kayaknya nggak bisa kerja tuh dia. Kelihatan dari mukanya."
"Minta digaji gede lagi. Hahaha. Yang benar aja."
"Sok cantik juga kayaknya."
Kaori menggertakkan giginya. Dia butuh kacamatanya sekarang! Rasanya, dia benar-benar ingin menangis.
****
"Gue nggak apa-apa ditolak, asalkan gue jangan dikata-katain dong! Kesel tau nggak?!" Kaori marah-marah pada saat Putri menanyainya.
"Ya udah, ya udah, mendingan kita pulang aja gimana?"
"Tapi, gue belum dapet kerja, Put!"
"Kita bisa coba lagi besok."
"Gue nggak mau. Gue harus dapat kerja hari ini juga, Put."
Putri adalah orang yang anti ribut dan ribet, jadi dia akhirnya melajukan mobilnya. "Ya udah, ya udah, kita cari lagi yaaaa."
"Ikhlas nggak lo? Kalo enggak, ya udah biarin gue sendiri aja yang nyari."
"Ikhlaaaas doooong! Kan, kita sohiiiib," ucap Putri dengan gigi rapat. Tak lupa dia memberikan senyum terbaik agar Kaori tidak tahu dia sedang berdusta.
***
Jam menunjukkan pukul tujuh malam, tapi sampai detik ini, Kaori belum juga mendapatkan pekerjaan. Kebanyakan perusahaan yang didatanginya sedang tidak membuka lowongan. Jadilah keduanya duduk di sebuah cafe remang-remang yang ramai didatangi kawula muda. Kaori baru ingat kalau malam itu, malam Minggu.
"Pantesan tadi cowok gue ngajak jalan, ternyata mau ngajak malam mingguan," ucap Putri nelangsa.
Kaori mendecih. "Jadi, ceritanya, gue ngerusak malam Minggu lo sama cowok lo, gitu? Lo nyesel seharian nemenin gue?"
"Enggaklah, lo kan panutan gue." Putri malas ribut dan ribet, jadi mendingan dia mengalah saja. "Eh, by the way, Davin nggak ada nyariin lo dari tadi?"
Kaori menyalakan layar ponselnya. Sebenarnya ada. Bahkan panggilannya ada belasan kali. Tapi, Kaori sedang malas membacanya. Jadi, dia memutuskan untuk mengabaikannya saja.
"Ada sih, tapi nggak gue ladenin."
"Kenapa? Jangan-jangan, dia khawatir sama lo!"
"Enggak mungkinlah! Davin nggak sepeduli itu sama gue."
"Kenapa enggak? Gimana pun juga, lo itu kan istrinya. Kalo kenapa-kenapa, dia juga yang repot."
"Udahlah, lo kebanyakan baca novel romantis. Davin nggak gitu pokoknya."
Putri hanya mendengkus dan tidak membalas lagi.
***
Davin bolak-balik mengecek ponselnya dan Kaori masih belum membaca pesannya. Bahkan telponnya pun tidak diangkat. Davin tidak mengerti dengan dirinya, ada sesuatu yang membuatnya terus mengkhawatirkan Kaori. Bagaimana tidak? Cewek itu sudah seharian pergi mencari kerja, tapi sampai detik ini belum juga pulang.
"Ke mana, sih? Aktif tapi telpon nggak diangkat," gerutu Davin kesal.
Davin lalu meraih kunci mobilnya, berniat untuk mencari keberadaan Kaori. Davin takut dia kenapa-kenapa. Bagaimanapun juga, dia adalah suaminya dan Kaori merupakan tanggung jawabnya.
***
🍁🍁🍁🍁"Eh, Ri, by the way, lo sadar nggak sih, Davin bikin lo jadi mikir gitu buat nggak jadi tim rebahan seumur hidup lo?""Maksud lo?""Ya dia bikin lo jadi lebih dewasa aja gitu. Iya nggak, sih? Gara-gara mulut nutrijelnya Davin yang lemes, lo akhirnya rela ngebanting harga diri lo buat nyari kerja. Padahal, Davin kan udah ngasih lo apapun yang lo butuhin."Kaori mengangguk dengan bibir mencebik. "Gue ngerasa hati gue sakit banget waktu dia bilang gue tuh kebiasaan dimanjain dari kecil, jadi nggak tau rasanya susahnya nyari duit itu gimana."Putri tertawa. "Tapi, bener kan apa yang dia bilang?"Kaori melirik Putri dengan sinis, kemudian mendecih. "Ya bener, tapi nggak harus gitu juga dong. Tau gue baperan, ya nangis-nangislah denger dia ngomong gitu. Akhirnya, gue bulatin tekad gue buat nyari kerja. Pokoknya gue harus kerja!"
☘️🍀☘️ "Jadi, lo kerja di mana?" tanya Davin, ketika Kaori sudah bisa diajak ngobrol setelah makan malam. Davin membantu Kaori membersihkan meja makan dan mencuci piring kotor. "Hmm." Kaori terlihat ragu untuk bicara jujur, tapi pada akhirnya, dia mengatakannya secara gamblang, "Kerja di cafenya Evan." Davin sudah menduganya, tapi dia pura-pura tidak mengenal nama yang disebut Kaori barusan. "Evan?" "Temen SMA kita dulu, yang kerjanya ngintipin daleman anak cewek bareng lo itu!" Davin mengangguk-angguk. "Oh, Evan. Iya, iya, gue pernah dengar kalau dia buka café di jalan Mangga."
****"Mami mau Davin anterin pulangnya?" seru Davin keesokan harinya di meja makan."Loh? Siapa yang mau pulang? Orang Mami masih nginap di sini, kok.""Hah?!" seru Kaori dan Davin serentak.Kintan tersenyum. "Kenapa? Kalian nggak suka, ya, Mami nginap di rumah kalian lama-lama?"Sesaat, keduanya terdiam. Sadar kalau reaksi mereka tersebut akan menimbulkan kecurigaan, akhirnya, Davin buka suara."Enggak gitu, sih, Mi. Cuma kan, kasihan Papi di rumah.""Ya Papimu juga mau nginep di sini nanti malem.""Hah?!""Kenapa sih kalian? Curiga deh. Pasti ada yang disembunyikan, ya?" Kintan menyipitkan mata, memandang Kaori dan Davin secara bergantian."Enggak, enggak ada yang disembunyikan kok. Kaget aja kalau Papi mau ikut nginap di sini. Kenapa nggak ajak Disha aja sekalian? Hehehe," canda Davin.
Kaori masuk ke dalam rumah sambil bersenandung kecil. Tumben, jam segini Davin sudah di rumah, biasanya juga pulangnya jam enam sore, atau kalau lagi sibuk-sibuknya, dia akan pulang larut malam. Mobilnya masih parkir di halaman, itu sebabnya Kaori bertanya-tanya.Ketika melewati jendela panjang transparan yang menjadi dinding pembatas dengan kolam renang, langkah Kaori berhenti. Dia memutar kepalanya ke arah sama, lantaran melihat Davin sedang berenang dan ditemani oleh seorang wanita berkulit putih yang duduk di pinggir kolam.Kaori mulai bertanya-tanya, siapakah orang itu?Perlahan, Kaori melangkahkan kakinya ke sana, lalu berseru, "Hai."Davin yang berhenti di pinggir kolam menoleh dan melambaikan tangan. "Oi!"Kaori lantas menoleh menatap perempuan yang juga sedang menatapnya itu. Kaori memperhatikannya dengan seksama. Seperti kenal..."Hai, Ri. Apa kabar?"
🌺Kaori mendelik begitu melihat Davin berjalan bersisian dengan Maya, sementara dirinya berjalan di belakang keduanya. Cara Davin berinteraksi dengan Maya pun membuat Kaori sedikit agak gimanaaa gitu. Dibilang mesra sih enggak, tapi apa ya...? Kayak ada manis-manisnya gitu."Kita makan di sana aja, yuk!" Maya menunjuk salah satu tempat makan yang ada di dalam Mall.Davin mengangguk setuju. "Gimana, Ri? Mau nggak makan di sana?" tanya Davin pada Kaori."Gue sih ngikut aja."Davin tersenyum kecil. "Okey."Setelah tiba di tempat makan tersebut, Maya mengambil kursi lebih dulu, tepat di sebelah Davin. Kaori yang melihatnya hanya mendengus, dan duduk di kursi seberang mereka.Tiba-tiba, Kaori merasa menyesal dengan keputusannya untuk ikut dengan mereka. Mendingan dia di rumah, rebahan di kamar sambil nonton Drakor sampai larut
****"May, biar aku aja. Mendingan sekarang kamu pulang." Davin meraih piring kotor yang akan dibawa Maya ke tempat pencucian piring."Nggak pa-pa, biar aku aja. Kamu siap-siap aja dulu. Mau ke cafe, kan?" tolak Maya sambil tersenyum manis."Iya, tapi aku nggak enak aja. Lain kali, kalau mau ke sini, kamu bilang dulu, ya. Entar ada yang baper."Maya mengangguk. "Okey.""Sip. Aku siap-siap sebentar." Davin lantas beranjak menuju kamarnya.Pada saat Davin menanggalkan pakaiannya, Maya tahu-tahu membuka pintu kamar."May? Ngapain ke sini?" tanya Davin. Ia mengambil kemeja dan memakainya.Maya mendekat, tatapannya dalam, membuat perasaan Davin tak nyaman."Dav, kamu tau kan, aku nggak bisa kehilangan kamu?"Davin mengulum bibir, lalu berkata, "May, kita udah bicarakan ini baik-baik, kan?"
Halo, apa kabar? 🤭🤭🤭****"Ri, lo lihat sepatu futsal gue nggak?" Davin bertanya sambil berjalan menuju ruang keluarga, di mana beberapa menit yang lalu dia melihat Kaori sedang menonton di sana."Lah? Malah tidur...." Davin mendekati Kaori yang tengah tertidur pulas di atas sofa. "Tumben jam segini udah tepar? Biasanya juga masih gentayangan tengah malam."Davin melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul delapan malam. Sebenarnya dia ada janji untuk main futsal dengan teman-temannya malam ini. Namun melihat Kaori tidur sekarang, membuatnya enggan meninggalkan Kaori sendirian di rumah."Oi, bangun! Tidur itu di kamar," ucap Davin, berniat membangunkan Kaori untuk menyuruhnya pindah ke kamar dan mengunci pintunya. Dengan begitu, Davin tidak akan begitu khawatir meninggalkannya sendirian.Tapi, tubuh itu tidak bergerak."Ri, gue mau keluar sebentar. Lo
Koreksi kalau ada kesalahan, aku nggak baca ulang, hehehe.****Kaori terbangun saat merasakan ada sesuatu yang menekan wajahnya. Sesuatu yang berat dan berbulu. Ketika dia membuka mata lebar-lebar, barulah dia tahu itu apa. Kaki Davin, yang entah bagaimana ceritanya bisa berada di wajahnya. Kaori lalu mengambil posisi duduk dan terkejut bukan main sewaktu melihat Davin berada di kasurnya.Sejak kapan mereka tidur seranjang???Kaori menarik bulu kaki Davin kuat-kuat sampai si empunya kaki terbangun dan meringis kesakitan."Aduh!" Davin menarik kakinya dan terduduk. Dengan terkantuk-kantuk, dia menoleh ke sekeliling. "Kenapa sih?!""Ngapain lo tidur di kasur gue? Sampe tuh kaki ke muka gue lagi!" semprot Kaori.Davin mengerjapkan matanya. "Masa?""Iya! Lo kemarin cuma modus doang, kan? Ngaku nggak lo udah ngapain gue tadi malam? Lo nggak gr
"Berapa kali gue bilang, jangan bawa sepatu ke dalam kamar!" Davin yang pagi menjelang siang itu masih berada di atas ranjang, perlahan membuka matanya karena samar-samar mendengar ada suara. Suara milik seseorang yang belakangan ini membuatnya sulit makan dan tidur. Seseorang yang dia rindukan siang dan malam. Dan satu-satunya orang yang mampu memporak-porandakan hatinya. "Itu juga isi lemari berantakan banget! Kalo ngambil apa-apa itu ditarik, jangan diangkat!" Suara itu terdengar semakin nyata. Davin sontak terduduk, kemudian melihat sekitar. Tepat di depan lemari pakaiannya, Kaori berdiri menghadapnya dengan bertolak pinggang. "Rumah berantakan! Sampah-sampah makanan berserakan! Bukannya dibersihin malah dibiarin!" Davin mengerjapkan matanya. Itu.... Kaori? "Habis pake handuk itu, digantung di tempatnya. Masa yang gitu-gitu harus diingetin mulu, sih?" Sesaat Davin terpelongo, mengucek mata berkali-kali lalu dengan tiba-tiba
"Ri.... Kamu kenapa? Mama perhatikan sudah seminggu ini kamu di kamar aja. Nggak mau keluar gitu jalan-jalan? Shopping, yuk, sama Mama?" bujuk Bella.Sudah seminggu Kaori terlihat murung. Dia lebih suka mengurung diri di dalam kamarnya sejak dia dan Davin bercerai. Hal itu tentu saja membuat Bella merasa khawatir, dia takut kalau lama-lama dibiarkan anaknya itu malah jadinya stres lantaran terlalu larut dalam kesedihan. Belum lagi Kaori juga jarang makan. Bagaimana kalau nanti dia sakit?Sampai sekarang pun, setiap ditanya apa alasan sebenarnya yang membuat mereka berpisah, Kaori tidak menjawabnya."Enggak pa-pa, Ma. Lagi males aja."Kaori juga sudah berhenti bekerja dan memutuskan untuk membuka usaha sendiri, yaitu membuat sebuah wedding organizer."Ri, tau nggak? Mama sama Papa dulu juga sempat berpisah, loh. Waktu itu kamu masih berumur dua tahun."Kaori terkesiap mendengarnya. "Mama serius?""Iya, Papamu itu jatuhkan talak ke Mama
Di kedai kopi miliknya, Davin duduk di meja paling pojok dekat jendela bersama Putri. Mereka memang sudah membuat janji untuk bertemu di sana sebelum jam makan siang.Davin memandangi undangan berwarna gold di tangannya lama-lama sambil tersenyum. Huruf inisial P & D jelas terpampang di bagian depannya, didesain sedemikian rupa sehingga tampak elegan.Davin tidak menyangka bahwa sebentar lagi Putri akan menjadi seorang istri, sementara dirinya baru saja menjadi duda. Kadang-kadang, takdir memang selucu itu.Diliriknya Putri yang tiba-tiba melepaskan cincin berlian yang melingkar di jari manisnya."Gue nggak bisa, Dav. Gue benar-benar nggak bisa," kata Putri sambil menggeleng kuat."Kenapa? Jangan dilepas cincinnya!" Davin menarik tangan Putri dan kembali memasukkan cincin tersebut ke jarinya. "Jangan sia-siakan orang yang sayang sama lo."Putri menarik napas dalam, memandangi jarinya yang tersemat cincin permata. "Tapi, gue nggak—"
Hari ini, adalah hari terakhir pernikahan Kaori dan Davin. Mereka menghabiskan waktu dengan bersenang-senang, persis seperti yang mereka lakukan beberapa bulan yang lalu. Pergi ke pantai, menonton film di bioskop, dan makan di tempat yang romantis.Namun, pada hari itu, Kaori tidak se-happy kemarin. Dia lebih banyak melamun, dan tentu saja hal itu membuat Davin bertanya-tanya. Meskipun kadang-kadang ada tawa yang keluar dari mulut Kaori, Davin bisa merasakan ada sesuatu di sana, tepat di matanya, yang seperti tidak sinkron dengan apa yang dilakukannya.Hingga malam pun tiba. Saat itu hujan lebat ketika mereka sampai di rumah. Keduanya sempat terkena hujan lantaran tadi berlari menuju mobil. Menunggu hujan reda punpasti akan memakan waktu yang lama, itu sebabnya mereka memilih menembus hujan demi tiba di dalam mobil lalu bergegas pulang.Di depan cermin besar di dalam kamarnya, Kaori bisa melihat kemunculan Davin yang
****Tepat jam sepuluh malam, Davin pulang ke rumah. Biasanya, jam-jam seperti itu Kaori sudah mengunci pintu jika Davin pulang agak telat. Namun tadi, sewaktu Davin memasukkan kunci cadangan, pintu itu justru membuka ketika Davin tak sengaja mendorongnya."Ck! Kebiasaan banget Kaori nggak ngunci pintu. Padahal ini kan udah malam," gerutu Davin lalu melangkah masuk.Disampirkannya kemejanya yang tadi dipakainya ke bahu lalu celingukan, mencari keberadaan Kaori.Sebelum memanggil nama Kaori, Davin sudah lebih dulu mendapati wanita itu tengah tertidur pulas di atas sofa tepat di depan TV."Tuh, kan! Kebiasaan banget tidur pas pintu nggak dikunci gitu. Kalau ada orang jahat, gimana coba?" ujar Davin lalu mengambil posisi bertimpuh di sisi Kaori dan memandangi wajahnya lama-lama."Semoga setelah semuanya berakhir, lo dipertemukan sama orang yang tepat.
DAVIN penggemar film action, tetapi pada saat Kaori memintanya untuk menonton film komedi romantis, Davin mengiyakannya. Davin sebenarnya sudah akan menolak, namun tidak mungkin juga merusak suasana hati Kaori yang sedang baik hari ini. Lagipula, sebelum ke sini, Kaori juga sudah bilang kalau dia akan menonton film dengan genre itu. Jadi, ya sudahlah, tujuan liburan kilat ini kan juga buat Kaori….Tapi, masalahnya…. Davin tidak mengira kalau akan ada banyak adegan mantap-mantap di film yang akan mereka tonton itu. Bukan hanya memperlihatkan kedua pasangan yang nyaris telanjang, juga adegan ranjang yang benar-benar membuat darah Davin berdesir dan setika dia merasa suhu di ruang bioskop itu menjadi meningkat. Belum lagi suara desahan yang membuat Davin berkali-kali menahan napasnya.Davin melirik Kaori yang tampak serius menyaksikan adegan ciuman yang sedang berlangsung. Matanya tidak berkedip sama sekali dan dia tampak terkag
"Mama sakit apa, Ma? Kok baru bilang sama Kaori kalau Mama lagi sakit?" Kaori duduk di sisi ranjang ibunya dan menangis."Kolesterol Mama kemarin tinggi, Ri. Tapi, sekarang udah nggak lagi, kok. Kamu ngapain malam-malam ke sini? Pasti disuruh papa, ya?"Kaori berhenti menangis lalu menggenggam jemari ibunya yang mulai keriput meski wajahnya masih menawan."Maaf, ya, Ma, belakangan ini Kaori sibuk kerja dan jarang ke sini. Kaori jarang perhatiin Mama dan Papa.""Kamu kok ngomongnya gitu sih, Ri? Kamu kan sekarang udah jadi seorang istri, kamu harus lebih memprioritaskan suami kamu.""Tapi, kalau lihat Mama sakit gini, Kaori nggak tega. Rasanya nggak mau jauh-jauh dari Mama.""Namanya Mama ini sudah tua, Ri. Ya wajarlah kalau sakit-sakit sedikit.""Mana pasti makannya sembarangan, ya? Kaori kan udah bilang, jangan sering makan-makanan yang mengandung koleste
Cafe milik Evan terlihat ramai selama lima bulan terakhir ini. Setelah melakukan renovasi dan menambah beberapa menu baru seperti yang disarankan Kaori, cafe ini menunjukkan kemajuan yang signifikan. Evan benar-benar berterima kasih pada Kaori karena sudah membawa angin segar untuk cafenya yang sudah dirintisnya sejak dua tahun lalu itu."Ri, thanks, ya? Gara-gara lo cafe gue jadi rame lagi, hehehe," kata Evan dengan wajah sumringah. "Gue juga udah naikin gaji kalian. Nih, gaji lo bulan ini!" Evan mengangsurkan sebuah amplop pada Kaori.Namun, seperti biasanya, Kaori justru mengembalikan amplop berisi upahnya itu ke hadapan Evan."Gue titip buat Sista, ya? Tapi seperti biasa, jangan bilang kalo itu dari gue.""Ri, sejak lo kerja sama gue, lo nggak pernah mau terima gaji dari gue. Lagian, lo kok baik banget sih sama Sista?"Apa yang dikatakan Evan, benar adanya. Sudah hampir setengah tahun
Kaori sedang mengambil minum di dapur ketika dia mendengar suara pintu diketuk. Ditaruhnya cangkir yang sudah kosong ke atas meja makan lalu dia berjalan menuju pintu sambil mengira-ngira siapa yang datang.Itu pasti Davin, siapa lagi, pikirnya."Davin?" seru Kaori, memastikan. Namun anehnya tidak ada jawaban.Kaori mulai deg-degan, apalagi mengingat obrolannya dan Davin beberapa saat yang lalu di telepon. Mana Davin sempat menakut-nakutinya pula.Meskipun tidak ada jawaban, pintu itu masih diketuk dari luar. Kali ini agak keras dan tidak sabaran."Davin, itu elo, kan?!" tanya Kaori dengan nada tinggi sambil menempelkan telinganya ke pintu.Kok nggak ada yang jawab, sih? Jangan-jangan....Maling?Tapi, mana ada maling yang ngetuk pintu targetnya sebelum ngerampok.Ini pasti....Kaori memberanikan diri untuk mengintip ke luar melalui jendela kaca di sisi pintu. Di depan pagar rumahnya tampak ada sebuah gerobak baks