"Gue harus pastiin, kalau gue ngelepasin lo hanya pada orang yang tepat. Biar lo bahagia nantinya."
Kaori tertegun mendengar ucapan Davin tersebut. Itu beneran dia yang ngomong? Kenapa dia jadi sok peduli gitu?
"Makasih." Kaori membalas singkat lalu mengalihkan perhatiannya pada kendaraan di jalanan yang hilir mudik.
Tak lama kemudian, mereka tiba di sebuah tempat yang pada malam itu ramai pengunjung. Begitu turun, mata Kaori langsung membaca tulisan yang ada di atas pintu masuk salah satu ruko bertingkat tiga tersebut.
"Ini bukannya coffee shop punya lo?"
Davin mengangguk. "Iya."
"Kok, di sini? Enggak ada tempat yang lebih bagusan dikit gitu?" tanya Kaori sinis.
Sebenarnya, tempat ini cukup memukau dengan konsep bajak laut dan lukisan-lukisan pemandangan laut yang terpajang di dindingnya. Bahkan di meja kasir, ada sebuah peti antik berukuran sedang yang dipakai sebagai mesin penyimpanan uang. Meja-meja dan kursinya terbuat dari kayu jati dan dihias sedemikian rupa. Belum lagi di setiap meja ada akuarium mini yang berisi ikan-ikan kecil nan imut dan cantik.
Ini kali pertama Kaori menginjakkan kakinya ke sini. Dia hanya tahu Davin punya usaha coffee shop, tapi tidak tahu di mana lokasinya. Padahal tempat ini sering disebut-sebut sewaktu di kampus dulu. Gengsilah yang membuat Kaori ogah datang ke sini.
"Di sini gratis," tandas Davin acuh tak acuh.
"Bilang aja pelit."
"Terserah." Davin kemudian menggiring Kaori menaiki lantai dua. Tempat itu terlihat lebih privat. Konsepnya masih sama seperti yang di lantai bawah. Hanya saja, ruangan ini lebih terkesan romantis.
Davin berhenti di depan sebuah akuarium besar. Dia melirik Kaori sekilas yang tampak terpukau melihat pemandangan bawah laut yang ada di akuarium berukuran 2 meter tersebut. Bermacam-macam jenis ikan hias ada di dalamnya.
Kaori menyentuh kaca akuarium dan tanpa sadar tersenyum.
"Lo suka?"
Untuk pertama kalinya, Kaori tersenyum tulus padanya. "Hm-mm. Ini keren banget."
Davin balas tersenyum. Ia kemudian beranjak, mengangkat sebuah meja dan menaruhnya tepat di depan akuarium. Setelahnya, dia mengambil dua buah kursi.
"Duduk," ujarnya.
Kaori mengangguk lalu duduk di kursi kayu tersebut. Selagi Kaori sibuk melihat-lihat ikan, Davin menelepon salah seorang karyawannya untuk mengantarkan menu spesial ke meja mereka.
"By the way, gue mau minta maaf sekali lagi soal ucapan gue yang tadi sore." Davin membuka suara.
Kaori meliriknya sekilas. "Oh, okey. Tapi, makasih, gara-gara itu, gue jadi pengen kerja."
"Ha?"
"Iya, gue pengen kerja, cari duit sendiri."
Davin mengerjap. "Apa yang gue kasih ke elo itu nggak cukup? Saldo di ATM itu bisa lo pake buat beli mobil, asal lo tau."
Kaori mendengkus. Lihat siapa yang tersinggung sekarang?
"Gue pengen tau rasanya nyari duit sendiri. Soalnya, selama ini, semua kebutuhan gue ada karena gue minta-minta sama orangtua gue."
Davin menelan ludah. Apa perkataannya tadi benar-benar sudah menyinggung perasaan Kaori?
"Lupain apa yang pernah gue bilang. Lo nggak perlu kerja. Lo nggak akan bisa. Hm, maksud gue, lo nggak tau susahnya—"
"Gue bisa!" potong Kaori sengit.
"Okey, lo mau kerja apa?"
"Belum tau. Gue pengen yang ringan-ringan aja. Kayak makan dibayar, jalan-jalan dibayar, atau jadi penonton bayaran juga nggak apa-apa, yang penting nggak capek."
Davin tertawa mendengus. "Yang benar aja deh. Lo tuh," Davin menghela napas, "lo harus merasakan capek dulu untuk bisa menghargai waktu dan usaha. Karena tanpa adanya rasa lelah, perjuangan untuk menjadi sesuatu itu nggak bakal berarti."
Kaori tersenyum mengejek. "Tempat ini juga nggak bakalan ada tanpa bantuan orangtua lo, kan?"
"Salah! Tempat ini gue rintis dari bawah. Dari nol. Sendirian." Davin tampak serius ketika menjelaskan, "hampir sepuluh kali gue bangkrut karena peminat coffee shop gue sedikit. Gue pindah ke tempat yang lain, mencari peluang, tapi tetap aja, rejeki sudah ada yang atur. Gue tawarin kopi buatan gue ke temen-temen dan orang-orang secara online, dan alhamdulillah usaha gue lancar. Itu juga nggak lama. Selalu ada aja jalan yang bikin gue terpuruk.
"Gue hampir menyerah, tapi gue tahu gue masih bisa usaha. Karena usaha itu nggak akan mengkhianati hasil. Dan tempat inilah, hasil dari kerja keras dan doa gue. Gue bisa menghidupi diri gue sendiri dan beli apa aja yang gue mau tanpa harus ngebebanin orangtua gue."
"Bukan beban, itu kewajiban mereka." Kaori masih tak mau kalah. Tapi, alih-alih mengajak Davin adu bacot, Kaori berkata, "Tapi, gue salut sih sama lo. Sukses di usia muda. Good job."
Kaori mengatakannya dengan sungguh-sungguh. Sejenak dia mengenyampingkan rasa bencinya pada lelaki itu. Padahal, dengan uang orangtuanya, Davin bisa memiliki apa pun yang dia mau. Akan tetapi, dia justru memilih berdiri sendiri, menantang dunia.
Kaori bukan apa-apa dibandingkan dirinya. Seketika, Kaori merasa malu pada dirinya. Dia selalu membanggakan apa yang dia punya dengan semua orang. Semua yang pada kenyataannya adalah pemberian orangtuanya, bukan dari hasil jerih payahnya. Tekadnya pun kian bulat untuk mencari kerja. Kaori ingin keluar dari zona nyamannya, mencoba mandiri.
"Jadi, sekarang, lo akui gue keren, nih?" canda Davin yang segera dibalas Kaori dengan mendengus malas.
"Bukan lo-nya yang keren. Tapi, kerja keras lo."
"Ngeles."
"Terserah deh."
"Permisi, selamat malam." Seorang wanita muda datang seraya membawa pesanan Davin tadi di telepon.
"Thanks, Dewi. Oh, ya, tadi ada nyariin saya nggak?" ucap Davin ramah.
Dewi mengangguk. "Ada, Mas. Mbak Maya." Sesaat diliriknya Kaori yang juga meliriknya, sebelum akhirnya mundur dan beranjak dari sana.
"Maya siapa? Pacar lo yang mana?" Kaori langsung melontarkan pertanyaannya dengan nada sinis.
Davin menatap Kaori, kemudian menjawab, "Maya Inggrid. Temen SMA dulu."
Dahi Kaori mengernyit, seperti sedang berusaha mengingat-ingat. Sebuah visualisasi instan seorang perempuan berkepang dua dengan gigi kelinci tahu-tahu terbayang olehnya.
"Maya temen sebangku gue?"
"Iya. Masih ingat?"
"Bukannya dia selama ini di Thailand, ya?"
"Udah lama balik, sekitar setahun yang lalu. Sekarang kerja di perusahaan apa gitu, nggak ngerti."
"Kok dia nggak bilang-bilang gue kalo mau balik?"
"Mana gue tau."
"Terus, dia ngapain nyariin lo?"
"Mana gue tau."
Kaori mendecih. Davin ini apaan, sih? Kok nggak jelas gini. Dan itu si Maya kenapa coba, balik Indonesia nggak kasih kabar. Padahal, mereka kan teman dekat waktu SMA dulu. Pernah berbagi rasa bersama, suka dan duka. Bahkan, Kaori menjadikan Maya sebagai orang yang paling tahu segala hal tentangnya, termasuk rahasianya. Kaori juga sempat menangis ketika Maya memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya ke luar negeri. Karena pada saat itu, cuma Maya temannya yang benar-benar tulus. Dan betapa merasa kehilangannya Kaori ketika Maya pergi.
Sejak itu, mereka memang tidak pernah bertemu, bertukar kabar pun jarang. Dan Davin bilang dia sudah setahun pulang ke sini? Yang benar saja. Masa iya dia nggak ingat Kaori sama sekali, sih?
"Kalian, lagi deket?" Akhirnya, Kaori tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya.
Davin berhenti mengaduk cappucino-nya, menatap sepasang mata yang berpendar itu. Dia terlihat sangat menawan ketika terkena cahaya lampu dari akuarium di depannya.
"Dia salah satu pacar gue, sebenarnya. Tapi, dulu, sebelum gue nikah sama lo."
"Ha?"
Bukannya dulu waktu SMA, Maya paling benci dengan Davin? Bahkan, pada saat Maya tahu Kaori pernah naksir cowok itu, Maya langsung menghalang-halangi. Karena menurutnya, Davin itu nggak banget. Tapi, sekarang...?
Lima tahun tidak bertemu, sepertinya ada banyak cerita tentang Maya yang tidak Kaori tahu.
****
Sepanjang perjalanan pulang, pikiran Kaori diganggu oleh pernyataan Davin mengenai Maya yang pernah menjadi pacarnya. Sebenarnya, mau dengan siapa pun Davin menjalin hubungan, itu tak masalah untuk Kaori, dia bahkan tidak peduli. Hanya saja, dia bertanya-tanya tentang Maya, sahabatnya semasa SMA dulu. Kenapa setelah pulang ke Indonesia, dia tidak mengabari Kaori sama sekali? Kenapa, ya? Apa dia lupa? Masa sih lupa. Atau mungkin, sebenarnya memang Maya merasa tidak perlu mengabarinya karena dia tak lagi penting.Setelah tiba di rumah, Kaori buru-buru masuk ke kamar, menyalakan laptop dan membuka email. Pesan-pesannya untuk Maya sejak bertahun-tahun yang lalu pun tak pernah dibalas. Mungkin, Maya sudah tidak memakai email itu lagi. Lalu, Kaori beralih ke media sosial Facebook, di mana dulu sewaktu SMA, baik dia dan Maya kerap kali menulis pesan wall to wall. Kaori mengarahkan kursornya ke profil Maya, demi mencari petunjuk. Dan benar saja, banyak sta
🍁🍁🍁🍁"Eh, Ri, by the way, lo sadar nggak sih, Davin bikin lo jadi mikir gitu buat nggak jadi tim rebahan seumur hidup lo?""Maksud lo?""Ya dia bikin lo jadi lebih dewasa aja gitu. Iya nggak, sih? Gara-gara mulut nutrijelnya Davin yang lemes, lo akhirnya rela ngebanting harga diri lo buat nyari kerja. Padahal, Davin kan udah ngasih lo apapun yang lo butuhin."Kaori mengangguk dengan bibir mencebik. "Gue ngerasa hati gue sakit banget waktu dia bilang gue tuh kebiasaan dimanjain dari kecil, jadi nggak tau rasanya susahnya nyari duit itu gimana."Putri tertawa. "Tapi, bener kan apa yang dia bilang?"Kaori melirik Putri dengan sinis, kemudian mendecih. "Ya bener, tapi nggak harus gitu juga dong. Tau gue baperan, ya nangis-nangislah denger dia ngomong gitu. Akhirnya, gue bulatin tekad gue buat nyari kerja. Pokoknya gue harus kerja!"
☘️🍀☘️ "Jadi, lo kerja di mana?" tanya Davin, ketika Kaori sudah bisa diajak ngobrol setelah makan malam. Davin membantu Kaori membersihkan meja makan dan mencuci piring kotor. "Hmm." Kaori terlihat ragu untuk bicara jujur, tapi pada akhirnya, dia mengatakannya secara gamblang, "Kerja di cafenya Evan." Davin sudah menduganya, tapi dia pura-pura tidak mengenal nama yang disebut Kaori barusan. "Evan?" "Temen SMA kita dulu, yang kerjanya ngintipin daleman anak cewek bareng lo itu!" Davin mengangguk-angguk. "Oh, Evan. Iya, iya, gue pernah dengar kalau dia buka café di jalan Mangga."
****"Mami mau Davin anterin pulangnya?" seru Davin keesokan harinya di meja makan."Loh? Siapa yang mau pulang? Orang Mami masih nginap di sini, kok.""Hah?!" seru Kaori dan Davin serentak.Kintan tersenyum. "Kenapa? Kalian nggak suka, ya, Mami nginap di rumah kalian lama-lama?"Sesaat, keduanya terdiam. Sadar kalau reaksi mereka tersebut akan menimbulkan kecurigaan, akhirnya, Davin buka suara."Enggak gitu, sih, Mi. Cuma kan, kasihan Papi di rumah.""Ya Papimu juga mau nginep di sini nanti malem.""Hah?!""Kenapa sih kalian? Curiga deh. Pasti ada yang disembunyikan, ya?" Kintan menyipitkan mata, memandang Kaori dan Davin secara bergantian."Enggak, enggak ada yang disembunyikan kok. Kaget aja kalau Papi mau ikut nginap di sini. Kenapa nggak ajak Disha aja sekalian? Hehehe," canda Davin.
Kaori masuk ke dalam rumah sambil bersenandung kecil. Tumben, jam segini Davin sudah di rumah, biasanya juga pulangnya jam enam sore, atau kalau lagi sibuk-sibuknya, dia akan pulang larut malam. Mobilnya masih parkir di halaman, itu sebabnya Kaori bertanya-tanya.Ketika melewati jendela panjang transparan yang menjadi dinding pembatas dengan kolam renang, langkah Kaori berhenti. Dia memutar kepalanya ke arah sama, lantaran melihat Davin sedang berenang dan ditemani oleh seorang wanita berkulit putih yang duduk di pinggir kolam.Kaori mulai bertanya-tanya, siapakah orang itu?Perlahan, Kaori melangkahkan kakinya ke sana, lalu berseru, "Hai."Davin yang berhenti di pinggir kolam menoleh dan melambaikan tangan. "Oi!"Kaori lantas menoleh menatap perempuan yang juga sedang menatapnya itu. Kaori memperhatikannya dengan seksama. Seperti kenal..."Hai, Ri. Apa kabar?"
🌺Kaori mendelik begitu melihat Davin berjalan bersisian dengan Maya, sementara dirinya berjalan di belakang keduanya. Cara Davin berinteraksi dengan Maya pun membuat Kaori sedikit agak gimanaaa gitu. Dibilang mesra sih enggak, tapi apa ya...? Kayak ada manis-manisnya gitu."Kita makan di sana aja, yuk!" Maya menunjuk salah satu tempat makan yang ada di dalam Mall.Davin mengangguk setuju. "Gimana, Ri? Mau nggak makan di sana?" tanya Davin pada Kaori."Gue sih ngikut aja."Davin tersenyum kecil. "Okey."Setelah tiba di tempat makan tersebut, Maya mengambil kursi lebih dulu, tepat di sebelah Davin. Kaori yang melihatnya hanya mendengus, dan duduk di kursi seberang mereka.Tiba-tiba, Kaori merasa menyesal dengan keputusannya untuk ikut dengan mereka. Mendingan dia di rumah, rebahan di kamar sambil nonton Drakor sampai larut
****"May, biar aku aja. Mendingan sekarang kamu pulang." Davin meraih piring kotor yang akan dibawa Maya ke tempat pencucian piring."Nggak pa-pa, biar aku aja. Kamu siap-siap aja dulu. Mau ke cafe, kan?" tolak Maya sambil tersenyum manis."Iya, tapi aku nggak enak aja. Lain kali, kalau mau ke sini, kamu bilang dulu, ya. Entar ada yang baper."Maya mengangguk. "Okey.""Sip. Aku siap-siap sebentar." Davin lantas beranjak menuju kamarnya.Pada saat Davin menanggalkan pakaiannya, Maya tahu-tahu membuka pintu kamar."May? Ngapain ke sini?" tanya Davin. Ia mengambil kemeja dan memakainya.Maya mendekat, tatapannya dalam, membuat perasaan Davin tak nyaman."Dav, kamu tau kan, aku nggak bisa kehilangan kamu?"Davin mengulum bibir, lalu berkata, "May, kita udah bicarakan ini baik-baik, kan?"
Halo, apa kabar? 🤭🤭🤭****"Ri, lo lihat sepatu futsal gue nggak?" Davin bertanya sambil berjalan menuju ruang keluarga, di mana beberapa menit yang lalu dia melihat Kaori sedang menonton di sana."Lah? Malah tidur...." Davin mendekati Kaori yang tengah tertidur pulas di atas sofa. "Tumben jam segini udah tepar? Biasanya juga masih gentayangan tengah malam."Davin melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul delapan malam. Sebenarnya dia ada janji untuk main futsal dengan teman-temannya malam ini. Namun melihat Kaori tidur sekarang, membuatnya enggan meninggalkan Kaori sendirian di rumah."Oi, bangun! Tidur itu di kamar," ucap Davin, berniat membangunkan Kaori untuk menyuruhnya pindah ke kamar dan mengunci pintunya. Dengan begitu, Davin tidak akan begitu khawatir meninggalkannya sendirian.Tapi, tubuh itu tidak bergerak."Ri, gue mau keluar sebentar. Lo
"Berapa kali gue bilang, jangan bawa sepatu ke dalam kamar!" Davin yang pagi menjelang siang itu masih berada di atas ranjang, perlahan membuka matanya karena samar-samar mendengar ada suara. Suara milik seseorang yang belakangan ini membuatnya sulit makan dan tidur. Seseorang yang dia rindukan siang dan malam. Dan satu-satunya orang yang mampu memporak-porandakan hatinya. "Itu juga isi lemari berantakan banget! Kalo ngambil apa-apa itu ditarik, jangan diangkat!" Suara itu terdengar semakin nyata. Davin sontak terduduk, kemudian melihat sekitar. Tepat di depan lemari pakaiannya, Kaori berdiri menghadapnya dengan bertolak pinggang. "Rumah berantakan! Sampah-sampah makanan berserakan! Bukannya dibersihin malah dibiarin!" Davin mengerjapkan matanya. Itu.... Kaori? "Habis pake handuk itu, digantung di tempatnya. Masa yang gitu-gitu harus diingetin mulu, sih?" Sesaat Davin terpelongo, mengucek mata berkali-kali lalu dengan tiba-tiba
"Ri.... Kamu kenapa? Mama perhatikan sudah seminggu ini kamu di kamar aja. Nggak mau keluar gitu jalan-jalan? Shopping, yuk, sama Mama?" bujuk Bella.Sudah seminggu Kaori terlihat murung. Dia lebih suka mengurung diri di dalam kamarnya sejak dia dan Davin bercerai. Hal itu tentu saja membuat Bella merasa khawatir, dia takut kalau lama-lama dibiarkan anaknya itu malah jadinya stres lantaran terlalu larut dalam kesedihan. Belum lagi Kaori juga jarang makan. Bagaimana kalau nanti dia sakit?Sampai sekarang pun, setiap ditanya apa alasan sebenarnya yang membuat mereka berpisah, Kaori tidak menjawabnya."Enggak pa-pa, Ma. Lagi males aja."Kaori juga sudah berhenti bekerja dan memutuskan untuk membuka usaha sendiri, yaitu membuat sebuah wedding organizer."Ri, tau nggak? Mama sama Papa dulu juga sempat berpisah, loh. Waktu itu kamu masih berumur dua tahun."Kaori terkesiap mendengarnya. "Mama serius?""Iya, Papamu itu jatuhkan talak ke Mama
Di kedai kopi miliknya, Davin duduk di meja paling pojok dekat jendela bersama Putri. Mereka memang sudah membuat janji untuk bertemu di sana sebelum jam makan siang.Davin memandangi undangan berwarna gold di tangannya lama-lama sambil tersenyum. Huruf inisial P & D jelas terpampang di bagian depannya, didesain sedemikian rupa sehingga tampak elegan.Davin tidak menyangka bahwa sebentar lagi Putri akan menjadi seorang istri, sementara dirinya baru saja menjadi duda. Kadang-kadang, takdir memang selucu itu.Diliriknya Putri yang tiba-tiba melepaskan cincin berlian yang melingkar di jari manisnya."Gue nggak bisa, Dav. Gue benar-benar nggak bisa," kata Putri sambil menggeleng kuat."Kenapa? Jangan dilepas cincinnya!" Davin menarik tangan Putri dan kembali memasukkan cincin tersebut ke jarinya. "Jangan sia-siakan orang yang sayang sama lo."Putri menarik napas dalam, memandangi jarinya yang tersemat cincin permata. "Tapi, gue nggak—"
Hari ini, adalah hari terakhir pernikahan Kaori dan Davin. Mereka menghabiskan waktu dengan bersenang-senang, persis seperti yang mereka lakukan beberapa bulan yang lalu. Pergi ke pantai, menonton film di bioskop, dan makan di tempat yang romantis.Namun, pada hari itu, Kaori tidak se-happy kemarin. Dia lebih banyak melamun, dan tentu saja hal itu membuat Davin bertanya-tanya. Meskipun kadang-kadang ada tawa yang keluar dari mulut Kaori, Davin bisa merasakan ada sesuatu di sana, tepat di matanya, yang seperti tidak sinkron dengan apa yang dilakukannya.Hingga malam pun tiba. Saat itu hujan lebat ketika mereka sampai di rumah. Keduanya sempat terkena hujan lantaran tadi berlari menuju mobil. Menunggu hujan reda punpasti akan memakan waktu yang lama, itu sebabnya mereka memilih menembus hujan demi tiba di dalam mobil lalu bergegas pulang.Di depan cermin besar di dalam kamarnya, Kaori bisa melihat kemunculan Davin yang
****Tepat jam sepuluh malam, Davin pulang ke rumah. Biasanya, jam-jam seperti itu Kaori sudah mengunci pintu jika Davin pulang agak telat. Namun tadi, sewaktu Davin memasukkan kunci cadangan, pintu itu justru membuka ketika Davin tak sengaja mendorongnya."Ck! Kebiasaan banget Kaori nggak ngunci pintu. Padahal ini kan udah malam," gerutu Davin lalu melangkah masuk.Disampirkannya kemejanya yang tadi dipakainya ke bahu lalu celingukan, mencari keberadaan Kaori.Sebelum memanggil nama Kaori, Davin sudah lebih dulu mendapati wanita itu tengah tertidur pulas di atas sofa tepat di depan TV."Tuh, kan! Kebiasaan banget tidur pas pintu nggak dikunci gitu. Kalau ada orang jahat, gimana coba?" ujar Davin lalu mengambil posisi bertimpuh di sisi Kaori dan memandangi wajahnya lama-lama."Semoga setelah semuanya berakhir, lo dipertemukan sama orang yang tepat.
DAVIN penggemar film action, tetapi pada saat Kaori memintanya untuk menonton film komedi romantis, Davin mengiyakannya. Davin sebenarnya sudah akan menolak, namun tidak mungkin juga merusak suasana hati Kaori yang sedang baik hari ini. Lagipula, sebelum ke sini, Kaori juga sudah bilang kalau dia akan menonton film dengan genre itu. Jadi, ya sudahlah, tujuan liburan kilat ini kan juga buat Kaori….Tapi, masalahnya…. Davin tidak mengira kalau akan ada banyak adegan mantap-mantap di film yang akan mereka tonton itu. Bukan hanya memperlihatkan kedua pasangan yang nyaris telanjang, juga adegan ranjang yang benar-benar membuat darah Davin berdesir dan setika dia merasa suhu di ruang bioskop itu menjadi meningkat. Belum lagi suara desahan yang membuat Davin berkali-kali menahan napasnya.Davin melirik Kaori yang tampak serius menyaksikan adegan ciuman yang sedang berlangsung. Matanya tidak berkedip sama sekali dan dia tampak terkag
"Mama sakit apa, Ma? Kok baru bilang sama Kaori kalau Mama lagi sakit?" Kaori duduk di sisi ranjang ibunya dan menangis."Kolesterol Mama kemarin tinggi, Ri. Tapi, sekarang udah nggak lagi, kok. Kamu ngapain malam-malam ke sini? Pasti disuruh papa, ya?"Kaori berhenti menangis lalu menggenggam jemari ibunya yang mulai keriput meski wajahnya masih menawan."Maaf, ya, Ma, belakangan ini Kaori sibuk kerja dan jarang ke sini. Kaori jarang perhatiin Mama dan Papa.""Kamu kok ngomongnya gitu sih, Ri? Kamu kan sekarang udah jadi seorang istri, kamu harus lebih memprioritaskan suami kamu.""Tapi, kalau lihat Mama sakit gini, Kaori nggak tega. Rasanya nggak mau jauh-jauh dari Mama.""Namanya Mama ini sudah tua, Ri. Ya wajarlah kalau sakit-sakit sedikit.""Mana pasti makannya sembarangan, ya? Kaori kan udah bilang, jangan sering makan-makanan yang mengandung koleste
Cafe milik Evan terlihat ramai selama lima bulan terakhir ini. Setelah melakukan renovasi dan menambah beberapa menu baru seperti yang disarankan Kaori, cafe ini menunjukkan kemajuan yang signifikan. Evan benar-benar berterima kasih pada Kaori karena sudah membawa angin segar untuk cafenya yang sudah dirintisnya sejak dua tahun lalu itu."Ri, thanks, ya? Gara-gara lo cafe gue jadi rame lagi, hehehe," kata Evan dengan wajah sumringah. "Gue juga udah naikin gaji kalian. Nih, gaji lo bulan ini!" Evan mengangsurkan sebuah amplop pada Kaori.Namun, seperti biasanya, Kaori justru mengembalikan amplop berisi upahnya itu ke hadapan Evan."Gue titip buat Sista, ya? Tapi seperti biasa, jangan bilang kalo itu dari gue.""Ri, sejak lo kerja sama gue, lo nggak pernah mau terima gaji dari gue. Lagian, lo kok baik banget sih sama Sista?"Apa yang dikatakan Evan, benar adanya. Sudah hampir setengah tahun
Kaori sedang mengambil minum di dapur ketika dia mendengar suara pintu diketuk. Ditaruhnya cangkir yang sudah kosong ke atas meja makan lalu dia berjalan menuju pintu sambil mengira-ngira siapa yang datang.Itu pasti Davin, siapa lagi, pikirnya."Davin?" seru Kaori, memastikan. Namun anehnya tidak ada jawaban.Kaori mulai deg-degan, apalagi mengingat obrolannya dan Davin beberapa saat yang lalu di telepon. Mana Davin sempat menakut-nakutinya pula.Meskipun tidak ada jawaban, pintu itu masih diketuk dari luar. Kali ini agak keras dan tidak sabaran."Davin, itu elo, kan?!" tanya Kaori dengan nada tinggi sambil menempelkan telinganya ke pintu.Kok nggak ada yang jawab, sih? Jangan-jangan....Maling?Tapi, mana ada maling yang ngetuk pintu targetnya sebelum ngerampok.Ini pasti....Kaori memberanikan diri untuk mengintip ke luar melalui jendela kaca di sisi pintu. Di depan pagar rumahnya tampak ada sebuah gerobak baks