Bab. 9 | Menyakitkan tapi terasa benar
Tiga minggu kemudian....
"Mana nih, foto-foto kalian waktu di luar negeri? Mami mau lihat dong!"
Davin mengangsurkan ponselnya yang menampilkan gambar dirinya dan Kaori yang sudah diedit sedemikian rupa dengan latar belakang berbagai macam tempat di sepuluh negara tujuan bulan madu mereka. Untung saja, semua hasil editan Davin terlihat sempurna, sehingga Kintan dan Bella percaya begitu saja.
"Wah, romantis banget sih kalian?"
"Iya dong, namanya juga pengantin baru, Mi," jawab Davin yang dibalas dengan tatapan ragu-ragu oleh Kaori.
"Terus, gimana?" tanya Bella.
"Eh? Gimana apanya, Ma?" Kaori justru balik nanya.
"Ya itunya...." Kintan dan Bella menjawab kompak, lalu cekikikan.
Davin mengernyit. "Itunya apa, sih?"
"Itu loh, gimana sih. Cucu... cucu." Kintan memperjelas maksud ucapannya.
"Ya ampun, Ma, yang benar aja deh. Masa iya langsung jadi. Baru juga berapa minggu," jawab Kaori tak habis pikir.
Bisa nggak sih mereka jangan tanya-tanya soal itu dulu? Kaori dan Davin belum menyiapkan alasan untuk yang satu itu.
Kedua wanita itu pun tampak kecewa mendengar ucapan Kaori.
"Kurang ya honeymoon-nya? Gimana kalau Mami beliin tiket lagi ke negara mana gitu?"
Davin dan Kaori saling pandang, sebelum keduanya menjawab secara bersamaan, "Enggak!"
"Oh, enggak? Yakin?"
"Yakin!"
"Oh, okey. Ya udah kalo gitu. Pokoknya, kami tunggu kabar baik dari kalian, ya?"
"Iya, Mi."
"Pokoknya, gercep!"
"Iya, Ma." Lagi-lagi keduanya menjawab dengan kompak.
***
"Nih, baca! Terus tanda tangan." Kaori menaruh selembar kertas ke atas meja di depan Davin.
"Apaan, nih?"
"Kontrak yang harus kita tanda tangani."
"Harus apa pake beginian?" Davin mengambilnya dan mulai membacanya.
"Ini apaan lagi isinya? Nggak boleh merokok selama di rumah? Nggak boleh mencampuri urusan satu sama lain? Nggak boleh pulang malam dan wajib jaga jarak," eja Davin, begitu melihat isi kertas tersebut.
Kaori mengangguk mantap. "Iya, kenapa?"
"Ini maksudnya apaan?"
"Masa nggak ngerti juga, sih? Ya intinya, selama kita menikah, lo nggak boleh melanggar peraturan yang udah di situ."
"Nggak bisa. Lo nggak bisa ngelarang gue merokok. Ini kan rumah gue."
"Iya, gue tau. Tapi, gue nggak suka ngelihat ada orang yang ngerokok, apalagi di dalam rumah."
"Ini nggak adil sih buat gue. Kenapa peraturan ini kesannya ngeberatin gue? Nggak boleh pulang malem? Lo sendiri tau gue punya coffe shop yang buka selama dua puluh empat jam dan gue bakal pulang kapan pun gue mau pulang."
"Ya udah tidur aja di sana, ngapain harus pulang. Gitu aja repot."
Davin mendecih. "Lo tuh egois banget ya ternyata jadi cewek."
"Kenapa? Nggak suka?"
Davin memajukan wajahnya dan reaksi Kaori di luar dugaannya, cewek itu justru mendongak, menatapnya dengan pandangan menantang.
"Tiga hal yang bikin gue nggak suka dari cewek kayak lo. Pertama, lo itu kasar. Kedua, lo egois. Ketiga, lo sombong," tukas Davin sehingga Kaori membuka mulutnya, tidak percaya dengan ucapan Davin yang jelas-jelas menyentil hatinya.
"Mungkin, karena selama ini lo selalu dimanja sama orangtua lo, makanya lo merasa kalau semua orang harus mengikuti kemauan lo. Lo egois, nggak pernah mikirin perasaan orang lain. Lo sombong, merasa punya segalanya dan bisa mengatur semua orang," tutur Davin dingin dan tajam. "Lo harus buka mata lo lebar-lebar, nggak semua keinginan lo harus terpenuhi dan nggak semua orang bisa lo atur!"
Kaori membeku. Untuk kali pertama ada seseorang yang berani mengatakan hal seburuk itu padanya. Dan entah mengapa meski terdengar menyakitkan, Kaori merasa itu... benar.
Apa iya dirinya seburuk itu? Kasar? Egois? Dan... sombong?
"Kita nggak tau seburuk apa kita. Tapi, orang lain yang ngerasain hal itu. Kalo lo terus kayak gitu, gue ragu bakal ada cowok yang benar-benar mau terima lo apa adanya."
Kaori masih terdiam. Tiba-tiba dia tak mampu berkata-kata. Rasanya lidahnya kelu dan dia merasa ingin menangis.
Tidak ada orang yang pernah mengatakan hal sebanyak ini kepadanya sebelum ini....
"Pokoknya, gue nggak mau tanda tangan. Percuma. Yang jelas, gue nggak akan ikut campur urusan lo di luar sana." Davin kemudian pergi, setelah menaruh selembar kertas yang diberikan Kaori padanya tadi ke atas meja.
Kaori duduk, mengusap bulir air mata yang turun membasahi pipinya.
"Sakit hati banget gue dengernya... kenapa sih dia...." Kaori terisak-isak.
Apakah benar dia seburuk itu?
Selama ini, Kaori memang selalu mendapatkan apa pun yang dia inginkan. Kedua orangtuanya pun tak akan mampu menolak permintaannya. Mereka sangat menyayangi Kaori sehingga apa pun yang Kaori minta, berusaha mereka penuhi, kecuali satu, menolak menikah dengan Davin. Untuk yang satu itu, Kaori terpaksa mengalah memang.
Kali ini, dia mencoba mengatur hidup Davin. Tapi, belum apa-apa, cowok itu sudah menolaknya dan bahkan mengatainya egois, sombong dan kasar. Yang membuat Kaori merasa sangat sedih ialah, kenyataan yang diucapkan oleh Davin tadi, benar adanya.
Sementara itu, Davin yang berada di ruangan lain tiba-tiba merasa bersalah. Dia pun lantas berbalik dan kembali ke ruang duduk. Seperti perkiraannya, Kaori sedang menangis tersedu-sedu akibat ucapan pedasnya tadi. Dasar, baperan.
"Sori, gue nggak maksud menyinggung perasaan lo," ucap Davin, tulus.
Kaori mendongak sedikit. "Gue nggak seburuk itu kok," ucapnya. Bagaimana pun juga, dia tetap harus membela dirinya.
Davin menghela napas. "Okey."
"Gue kayak gitu juga sama lo doang," tambah Kaori lagi.
Senyum kecil tersungging di bibir Davin. Ternyata selain yang disebutnya di atas tadi, cewek itu pun punya gengsi setinggi langit. Padahal, nyatanya, dia memang begitu.
"Minta maaf," ucap Kaori kemudian.
"Oke, gue maafin," balas Davin dan tersenyum.
"Bukan gue yang minta maaf, tapi lo. Lo yang harus minta maaf ke gue."
Alis Davin terangkat. "Ha? Gimana, gimana?"
"Lo udah bikin gue sakit hati."
"Tapi, yang gue bilang itu kenyataan, kan? Lo itu... egois, kasar, dan sombong!"
Kaori berdiri dan hendak melayangkan tangannya ke arah Davin, tapi dengan sigap Davin menahannya dan memelintir tangan mulus Kaori itu ke balik punggungnya.
"Lepasin, nggak?" geram Kaori.
Davin tersenyum dan berbisik di telinga Kaori. "Bar-bar banget sih jadi cewek? Tangan selembut ini, sayang kalo dipake buat nampar orang."
Kaori mendengus. "Gue kayak gini juga sama lo doang. Asal lo tau."
"Gitu? Gimana caranya biar lo nggak gini lagi ke gue?"
"Gue benci sama lo. Dan selama perasaan itu masih ada, gue bakalan tetap kayak gini," ujar Kaori, benar-benar menunjukkan keras kepalanya.
"Okey." Davin menganggukkan kepalanya berkali-kali dan melepaskan tangan Kaori. "Gue bakal hilangin perasaan itu, cepat atau lambat," lanjutnya lantas berlalu, meninggalkan Kaori yang segera mendelik.
"Nggak bakal bisa," gumam Kaori penuh percaya diri.
***
*Jangan lupa klmmekoment ya gaks.Davin terkejut bukan main ketika dia masuk ke dalam kamar, sebuah underwear terbang ke wajahnya. Setelah dilihat-lihat, ternyata itu adalah pakaian dalam miliknya."Berapa kali sih gue harus bilang sama lo? Jangan taruh baju kotor sembarangan!" semprot Kaori, sebelum Davin sempat bertanya."Lo pikir nggak capek apa beresin kamar yang setiap hari berantakan gini? Itu juga tuh! Abu rokok di mana-mana!" Kaori terus mengomel sambil membersihkan ranjang dari buku-buku, charger, headset, dan bahkan beberapa sampah bungkus makanan ringan. Davin memang biasa makan camilan pada malam hari menjelang tidur.Sejak pindah ke rumah Davin, keduanya memang tidur terpisah. Kaori tidur di lantai atas, sementara Davin tidur di lantai bawah. Tapi, walaupun begitu, tetap saja yang membersihkan kamarnya Kaori. Menyewa asisten rumah tangga hanya
"Gue harus pastiin, kalau gue ngelepasin lo hanya pada orang yang tepat. Biar lo bahagia nantinya."Kaori tertegun mendengar ucapan Davin tersebut. Itu beneran dia yang ngomong? Kenapa dia jadi sok peduli gitu?"Makasih." Kaori membalas singkat lalu mengalihkan perhatiannya pada kendaraan di jalanan yang hilir mudik.Tak lama kemudian, mereka tiba di sebuah tempat yang pada malam itu ramai pengunjung. Begitu turun, mata Kaori langsung membaca tulisan yang ada di atas pintu masuk salah satu ruko bertingkat tiga tersebut."Ini bukannya coffee shop punya lo?"Davin mengangguk. "Iya.""Kok, di sini? Enggak ada tempat yang lebih bagusan dikit gitu?" tanya Kaori sinis.Sebenarnya, tempat ini cukup memukau dengan konsep bajak laut dan lukisan-lukisan pemandangan laut yang terpajang di dindingnya. Bahkan di meja kasir, ada sebuah peti antik berukuran sedang yang dipakai
Sepanjang perjalanan pulang, pikiran Kaori diganggu oleh pernyataan Davin mengenai Maya yang pernah menjadi pacarnya. Sebenarnya, mau dengan siapa pun Davin menjalin hubungan, itu tak masalah untuk Kaori, dia bahkan tidak peduli. Hanya saja, dia bertanya-tanya tentang Maya, sahabatnya semasa SMA dulu. Kenapa setelah pulang ke Indonesia, dia tidak mengabari Kaori sama sekali? Kenapa, ya? Apa dia lupa? Masa sih lupa. Atau mungkin, sebenarnya memang Maya merasa tidak perlu mengabarinya karena dia tak lagi penting.Setelah tiba di rumah, Kaori buru-buru masuk ke kamar, menyalakan laptop dan membuka email. Pesan-pesannya untuk Maya sejak bertahun-tahun yang lalu pun tak pernah dibalas. Mungkin, Maya sudah tidak memakai email itu lagi. Lalu, Kaori beralih ke media sosial Facebook, di mana dulu sewaktu SMA, baik dia dan Maya kerap kali menulis pesan wall to wall. Kaori mengarahkan kursornya ke profil Maya, demi mencari petunjuk. Dan benar saja, banyak sta
🍁🍁🍁🍁"Eh, Ri, by the way, lo sadar nggak sih, Davin bikin lo jadi mikir gitu buat nggak jadi tim rebahan seumur hidup lo?""Maksud lo?""Ya dia bikin lo jadi lebih dewasa aja gitu. Iya nggak, sih? Gara-gara mulut nutrijelnya Davin yang lemes, lo akhirnya rela ngebanting harga diri lo buat nyari kerja. Padahal, Davin kan udah ngasih lo apapun yang lo butuhin."Kaori mengangguk dengan bibir mencebik. "Gue ngerasa hati gue sakit banget waktu dia bilang gue tuh kebiasaan dimanjain dari kecil, jadi nggak tau rasanya susahnya nyari duit itu gimana."Putri tertawa. "Tapi, bener kan apa yang dia bilang?"Kaori melirik Putri dengan sinis, kemudian mendecih. "Ya bener, tapi nggak harus gitu juga dong. Tau gue baperan, ya nangis-nangislah denger dia ngomong gitu. Akhirnya, gue bulatin tekad gue buat nyari kerja. Pokoknya gue harus kerja!"
☘️🍀☘️ "Jadi, lo kerja di mana?" tanya Davin, ketika Kaori sudah bisa diajak ngobrol setelah makan malam. Davin membantu Kaori membersihkan meja makan dan mencuci piring kotor. "Hmm." Kaori terlihat ragu untuk bicara jujur, tapi pada akhirnya, dia mengatakannya secara gamblang, "Kerja di cafenya Evan." Davin sudah menduganya, tapi dia pura-pura tidak mengenal nama yang disebut Kaori barusan. "Evan?" "Temen SMA kita dulu, yang kerjanya ngintipin daleman anak cewek bareng lo itu!" Davin mengangguk-angguk. "Oh, Evan. Iya, iya, gue pernah dengar kalau dia buka café di jalan Mangga."
****"Mami mau Davin anterin pulangnya?" seru Davin keesokan harinya di meja makan."Loh? Siapa yang mau pulang? Orang Mami masih nginap di sini, kok.""Hah?!" seru Kaori dan Davin serentak.Kintan tersenyum. "Kenapa? Kalian nggak suka, ya, Mami nginap di rumah kalian lama-lama?"Sesaat, keduanya terdiam. Sadar kalau reaksi mereka tersebut akan menimbulkan kecurigaan, akhirnya, Davin buka suara."Enggak gitu, sih, Mi. Cuma kan, kasihan Papi di rumah.""Ya Papimu juga mau nginep di sini nanti malem.""Hah?!""Kenapa sih kalian? Curiga deh. Pasti ada yang disembunyikan, ya?" Kintan menyipitkan mata, memandang Kaori dan Davin secara bergantian."Enggak, enggak ada yang disembunyikan kok. Kaget aja kalau Papi mau ikut nginap di sini. Kenapa nggak ajak Disha aja sekalian? Hehehe," canda Davin.
Kaori masuk ke dalam rumah sambil bersenandung kecil. Tumben, jam segini Davin sudah di rumah, biasanya juga pulangnya jam enam sore, atau kalau lagi sibuk-sibuknya, dia akan pulang larut malam. Mobilnya masih parkir di halaman, itu sebabnya Kaori bertanya-tanya.Ketika melewati jendela panjang transparan yang menjadi dinding pembatas dengan kolam renang, langkah Kaori berhenti. Dia memutar kepalanya ke arah sama, lantaran melihat Davin sedang berenang dan ditemani oleh seorang wanita berkulit putih yang duduk di pinggir kolam.Kaori mulai bertanya-tanya, siapakah orang itu?Perlahan, Kaori melangkahkan kakinya ke sana, lalu berseru, "Hai."Davin yang berhenti di pinggir kolam menoleh dan melambaikan tangan. "Oi!"Kaori lantas menoleh menatap perempuan yang juga sedang menatapnya itu. Kaori memperhatikannya dengan seksama. Seperti kenal..."Hai, Ri. Apa kabar?"
🌺Kaori mendelik begitu melihat Davin berjalan bersisian dengan Maya, sementara dirinya berjalan di belakang keduanya. Cara Davin berinteraksi dengan Maya pun membuat Kaori sedikit agak gimanaaa gitu. Dibilang mesra sih enggak, tapi apa ya...? Kayak ada manis-manisnya gitu."Kita makan di sana aja, yuk!" Maya menunjuk salah satu tempat makan yang ada di dalam Mall.Davin mengangguk setuju. "Gimana, Ri? Mau nggak makan di sana?" tanya Davin pada Kaori."Gue sih ngikut aja."Davin tersenyum kecil. "Okey."Setelah tiba di tempat makan tersebut, Maya mengambil kursi lebih dulu, tepat di sebelah Davin. Kaori yang melihatnya hanya mendengus, dan duduk di kursi seberang mereka.Tiba-tiba, Kaori merasa menyesal dengan keputusannya untuk ikut dengan mereka. Mendingan dia di rumah, rebahan di kamar sambil nonton Drakor sampai larut
"Berapa kali gue bilang, jangan bawa sepatu ke dalam kamar!" Davin yang pagi menjelang siang itu masih berada di atas ranjang, perlahan membuka matanya karena samar-samar mendengar ada suara. Suara milik seseorang yang belakangan ini membuatnya sulit makan dan tidur. Seseorang yang dia rindukan siang dan malam. Dan satu-satunya orang yang mampu memporak-porandakan hatinya. "Itu juga isi lemari berantakan banget! Kalo ngambil apa-apa itu ditarik, jangan diangkat!" Suara itu terdengar semakin nyata. Davin sontak terduduk, kemudian melihat sekitar. Tepat di depan lemari pakaiannya, Kaori berdiri menghadapnya dengan bertolak pinggang. "Rumah berantakan! Sampah-sampah makanan berserakan! Bukannya dibersihin malah dibiarin!" Davin mengerjapkan matanya. Itu.... Kaori? "Habis pake handuk itu, digantung di tempatnya. Masa yang gitu-gitu harus diingetin mulu, sih?" Sesaat Davin terpelongo, mengucek mata berkali-kali lalu dengan tiba-tiba
"Ri.... Kamu kenapa? Mama perhatikan sudah seminggu ini kamu di kamar aja. Nggak mau keluar gitu jalan-jalan? Shopping, yuk, sama Mama?" bujuk Bella.Sudah seminggu Kaori terlihat murung. Dia lebih suka mengurung diri di dalam kamarnya sejak dia dan Davin bercerai. Hal itu tentu saja membuat Bella merasa khawatir, dia takut kalau lama-lama dibiarkan anaknya itu malah jadinya stres lantaran terlalu larut dalam kesedihan. Belum lagi Kaori juga jarang makan. Bagaimana kalau nanti dia sakit?Sampai sekarang pun, setiap ditanya apa alasan sebenarnya yang membuat mereka berpisah, Kaori tidak menjawabnya."Enggak pa-pa, Ma. Lagi males aja."Kaori juga sudah berhenti bekerja dan memutuskan untuk membuka usaha sendiri, yaitu membuat sebuah wedding organizer."Ri, tau nggak? Mama sama Papa dulu juga sempat berpisah, loh. Waktu itu kamu masih berumur dua tahun."Kaori terkesiap mendengarnya. "Mama serius?""Iya, Papamu itu jatuhkan talak ke Mama
Di kedai kopi miliknya, Davin duduk di meja paling pojok dekat jendela bersama Putri. Mereka memang sudah membuat janji untuk bertemu di sana sebelum jam makan siang.Davin memandangi undangan berwarna gold di tangannya lama-lama sambil tersenyum. Huruf inisial P & D jelas terpampang di bagian depannya, didesain sedemikian rupa sehingga tampak elegan.Davin tidak menyangka bahwa sebentar lagi Putri akan menjadi seorang istri, sementara dirinya baru saja menjadi duda. Kadang-kadang, takdir memang selucu itu.Diliriknya Putri yang tiba-tiba melepaskan cincin berlian yang melingkar di jari manisnya."Gue nggak bisa, Dav. Gue benar-benar nggak bisa," kata Putri sambil menggeleng kuat."Kenapa? Jangan dilepas cincinnya!" Davin menarik tangan Putri dan kembali memasukkan cincin tersebut ke jarinya. "Jangan sia-siakan orang yang sayang sama lo."Putri menarik napas dalam, memandangi jarinya yang tersemat cincin permata. "Tapi, gue nggak—"
Hari ini, adalah hari terakhir pernikahan Kaori dan Davin. Mereka menghabiskan waktu dengan bersenang-senang, persis seperti yang mereka lakukan beberapa bulan yang lalu. Pergi ke pantai, menonton film di bioskop, dan makan di tempat yang romantis.Namun, pada hari itu, Kaori tidak se-happy kemarin. Dia lebih banyak melamun, dan tentu saja hal itu membuat Davin bertanya-tanya. Meskipun kadang-kadang ada tawa yang keluar dari mulut Kaori, Davin bisa merasakan ada sesuatu di sana, tepat di matanya, yang seperti tidak sinkron dengan apa yang dilakukannya.Hingga malam pun tiba. Saat itu hujan lebat ketika mereka sampai di rumah. Keduanya sempat terkena hujan lantaran tadi berlari menuju mobil. Menunggu hujan reda punpasti akan memakan waktu yang lama, itu sebabnya mereka memilih menembus hujan demi tiba di dalam mobil lalu bergegas pulang.Di depan cermin besar di dalam kamarnya, Kaori bisa melihat kemunculan Davin yang
****Tepat jam sepuluh malam, Davin pulang ke rumah. Biasanya, jam-jam seperti itu Kaori sudah mengunci pintu jika Davin pulang agak telat. Namun tadi, sewaktu Davin memasukkan kunci cadangan, pintu itu justru membuka ketika Davin tak sengaja mendorongnya."Ck! Kebiasaan banget Kaori nggak ngunci pintu. Padahal ini kan udah malam," gerutu Davin lalu melangkah masuk.Disampirkannya kemejanya yang tadi dipakainya ke bahu lalu celingukan, mencari keberadaan Kaori.Sebelum memanggil nama Kaori, Davin sudah lebih dulu mendapati wanita itu tengah tertidur pulas di atas sofa tepat di depan TV."Tuh, kan! Kebiasaan banget tidur pas pintu nggak dikunci gitu. Kalau ada orang jahat, gimana coba?" ujar Davin lalu mengambil posisi bertimpuh di sisi Kaori dan memandangi wajahnya lama-lama."Semoga setelah semuanya berakhir, lo dipertemukan sama orang yang tepat.
DAVIN penggemar film action, tetapi pada saat Kaori memintanya untuk menonton film komedi romantis, Davin mengiyakannya. Davin sebenarnya sudah akan menolak, namun tidak mungkin juga merusak suasana hati Kaori yang sedang baik hari ini. Lagipula, sebelum ke sini, Kaori juga sudah bilang kalau dia akan menonton film dengan genre itu. Jadi, ya sudahlah, tujuan liburan kilat ini kan juga buat Kaori….Tapi, masalahnya…. Davin tidak mengira kalau akan ada banyak adegan mantap-mantap di film yang akan mereka tonton itu. Bukan hanya memperlihatkan kedua pasangan yang nyaris telanjang, juga adegan ranjang yang benar-benar membuat darah Davin berdesir dan setika dia merasa suhu di ruang bioskop itu menjadi meningkat. Belum lagi suara desahan yang membuat Davin berkali-kali menahan napasnya.Davin melirik Kaori yang tampak serius menyaksikan adegan ciuman yang sedang berlangsung. Matanya tidak berkedip sama sekali dan dia tampak terkag
"Mama sakit apa, Ma? Kok baru bilang sama Kaori kalau Mama lagi sakit?" Kaori duduk di sisi ranjang ibunya dan menangis."Kolesterol Mama kemarin tinggi, Ri. Tapi, sekarang udah nggak lagi, kok. Kamu ngapain malam-malam ke sini? Pasti disuruh papa, ya?"Kaori berhenti menangis lalu menggenggam jemari ibunya yang mulai keriput meski wajahnya masih menawan."Maaf, ya, Ma, belakangan ini Kaori sibuk kerja dan jarang ke sini. Kaori jarang perhatiin Mama dan Papa.""Kamu kok ngomongnya gitu sih, Ri? Kamu kan sekarang udah jadi seorang istri, kamu harus lebih memprioritaskan suami kamu.""Tapi, kalau lihat Mama sakit gini, Kaori nggak tega. Rasanya nggak mau jauh-jauh dari Mama.""Namanya Mama ini sudah tua, Ri. Ya wajarlah kalau sakit-sakit sedikit.""Mana pasti makannya sembarangan, ya? Kaori kan udah bilang, jangan sering makan-makanan yang mengandung koleste
Cafe milik Evan terlihat ramai selama lima bulan terakhir ini. Setelah melakukan renovasi dan menambah beberapa menu baru seperti yang disarankan Kaori, cafe ini menunjukkan kemajuan yang signifikan. Evan benar-benar berterima kasih pada Kaori karena sudah membawa angin segar untuk cafenya yang sudah dirintisnya sejak dua tahun lalu itu."Ri, thanks, ya? Gara-gara lo cafe gue jadi rame lagi, hehehe," kata Evan dengan wajah sumringah. "Gue juga udah naikin gaji kalian. Nih, gaji lo bulan ini!" Evan mengangsurkan sebuah amplop pada Kaori.Namun, seperti biasanya, Kaori justru mengembalikan amplop berisi upahnya itu ke hadapan Evan."Gue titip buat Sista, ya? Tapi seperti biasa, jangan bilang kalo itu dari gue.""Ri, sejak lo kerja sama gue, lo nggak pernah mau terima gaji dari gue. Lagian, lo kok baik banget sih sama Sista?"Apa yang dikatakan Evan, benar adanya. Sudah hampir setengah tahun
Kaori sedang mengambil minum di dapur ketika dia mendengar suara pintu diketuk. Ditaruhnya cangkir yang sudah kosong ke atas meja makan lalu dia berjalan menuju pintu sambil mengira-ngira siapa yang datang.Itu pasti Davin, siapa lagi, pikirnya."Davin?" seru Kaori, memastikan. Namun anehnya tidak ada jawaban.Kaori mulai deg-degan, apalagi mengingat obrolannya dan Davin beberapa saat yang lalu di telepon. Mana Davin sempat menakut-nakutinya pula.Meskipun tidak ada jawaban, pintu itu masih diketuk dari luar. Kali ini agak keras dan tidak sabaran."Davin, itu elo, kan?!" tanya Kaori dengan nada tinggi sambil menempelkan telinganya ke pintu.Kok nggak ada yang jawab, sih? Jangan-jangan....Maling?Tapi, mana ada maling yang ngetuk pintu targetnya sebelum ngerampok.Ini pasti....Kaori memberanikan diri untuk mengintip ke luar melalui jendela kaca di sisi pintu. Di depan pagar rumahnya tampak ada sebuah gerobak baks