🌷
Sinar matahari pagi menerobos masuk ke dalam kamar, membuat Kaori perlahan-lahan membuka mata dan mengambil posisi duduk. Dipandanginya sekitar, dan ia terkejut bukan main begitu melihat Davin tertidur pulas di sampingnya, sambil memeluk guling. Kontan, Kaori mengambil bantal dan melemparkannya ke wajah Davin.
"Nggak tau, kayaknya diangkut setan," jawab Davin asal.
"Lo pasti mau modusin gue, kan? Atau jangan-jangan, tadi malem lo udah grepe-grepe gue?"
Giliran Davin yang melempar bantal ke muka Kaori sambil tertawa mendengus. "Lo bisa nggak sih... sekali aja nggak buruk sangka sama gue?"
Kaori hanya mendelik dan bergegas turun dari ranjang. Ketika ia berjalan menuju kamar mandi, Davin sudah lebih dulu berlari dan masuk ke sana. Melihat itu, terang saja Kaori naik darah. Dia lantas meneriaki Davin sambil menggedor-gedor pintu dengan tak sabar.
"Woi! Curang ya lo! Buka, nggak? Gue mau mandi!"
Davin membuka pintu. Dia sengaja menanggalkan baju kaus yang tadi dikenakannya, dan hanya menyisakan celana berbahan katun bunga-bunga.
"Mau mandi bareng? Ayok!"
Kaori membuang muka, setelah sebelumnya sempat terpana dengan perut kotak-kotak milik Davin. "Kan, tadi gue duluan yang mau masuk!"
"Terus, gue peduli?" Davin mengangkat satu alisnya. "Enggak," lanjutnya dan tersenyum menyeringai. Puas membuat Koari kesal, Davin lalu menutup pintu.
"Ihhh! Nyebelin banget sih?!"
"Ngapain lo berdiri di situ? Lo nggak punya niat buat ngintip gue, kaaaan?" goda Davin dari dalam sana.
Cowok kampret!
Dengan jengkel, Kaori beranjak dari depan pintu dan memilih menunggu Davin selesai mandi di dekat jendela. Kaori membukanya dan tersenyum begitu melihat pemandangan pantai Kuta di ujung sana. Bukan hanya itu, langit biru yang menaunginya pun kian meninggalkan kesan di hati Kaori. Seketika ia merasa damai, meskipun ada beban berat yang sedang dipikulnya untuk satu tahun ke depan, yaitu kontrak pernikahannya dengan Davin. Belum lagi dia harus membohongi semua orang, terutama kedua orangtuanya dan orangtua Davin. Seandainya mereka tahu kalau pernikahan ini hanyalah kontrak semata, tanpa cinta, tanpa adanya ketulusan, Kaori tidak berani membayangkan betapa kecewanya mereka.
Akan tetapi, di sisi lain, Kaori merasa lelah jika terus-menerus diminta untuk menikah dengan Davin, satu-satunya cowok yang paling menyebalkan di muka bumi ini. Dan melihat bagaimana bahagianya kedua orangtua mereka akan pernikahan ini, sedikit banyaknya perasaan bersalah itu berkurang.
Mungkin, tidak ada salahnya berbohong demi kebaikan. Meski Kaori tahu pada akhirnya keputusan ini akan menciptakan kesedihan yang lebih besar suatu hari nanti.
"Jangan ngelamun, entar kesambet!" tegur Davin setelah keluar dari kamar mandi.
Kaori tidak membalas, dia berjalan menuju kamar mandi, seakan-akan dia tidak melihat keberadaan Davin di sana.
"Kenapa sih tuh anak?" gumam Davin seraya mengacak-acak rambutnya yang masih basah.
***
Hari kedua duduk di pelaminan, membuat Kaori dan Davin bosan setengah mati. Rasanya mereka ingin waktu ini cepat berlalu agar mereka bisa kembali ke Jakarta. Kaori capek harus berpura-pura bahagia berdiri di sana, tersenyum sepanjang hari kepada setiap tamu yang datang. Bahkan dia harus membiarkan Davin merangkulnya, mengusap kepalanya, atau bahkan menyelipkan tangannya di pinggang Kaori, demi menunjukkan kepada semua orang kalau mereka tengah berbahagia, meski kenyataannya tidak.
"Haiiiii!" Putri muncul bersama beberapa teman mereka semasa kuliah dulu.
Kaori refleks jingkrak-jingkrak mengetahui teman-temannya baiknya di kampus akhirnya datang ke pesta pernikahannya. "Ya ampun, gaes! Gue kira kalian nggak bakalan datang tau nggak?"
Putri memeluk Kaori. "Sori yaaa, kita baru bisa dateng hari ini. Selamat, ya, Ri. Semoga jadi keluarga yang sakinah, mawadah, warahmah."
Kaori memeluk Putri erat-erat, seakan-akan pelukan itu mengisyaratkan sesuatu. "Thanks, Put."
"Amin dong yang kenceng," tukas Putri lagi.
Kaori tertawa dan berseru, "Aamiiiin."
"Nah, gitu dooong." Putri kemudian beralih pada Davin dan mengulurkan tangannya. "Selamat ya, Dav. Semoga kalian bisa bahagia sampai tua nanti. Oh, ya, yang sabar yang ngadepin Kaori, dia agak gila," ucap Putri dan terkikik.
"Okey, Put. Makasih, ya." Davin menyambut uluran tangan Putri dan tersenyum manis.
"Selamat, ya, Dav, Ri.... Nggak nyangka ya, kalian yang sering berantem di kelas, eh, akhirnya malah jadi suami-istri, hahaha." Yang lain mulai berkomentar.
"Iya, nggak nyangka, ya. Jodoh emang di tangan Tuhan. Nggak ada yang tahu siapa yang bakal bersanding sama kita nantinya di pelaminan."
"Namanya juga cinta, nggak ada yang tahu kapan dia akan datang."
Davin dan Kaori berpandangan sejenak. Dan kontak itu terputus ketika Putri berbicara lagi.
"Ada banyak orang yang mendoakan kalian untuk bahagia, semoga langgeng ya kalian. Aamin."
Kaori menarik napas dan mengembuskannya pelan-pelan. "Foto, yuk!" ujar Kaori, sengaja mengalihkan pembicaraan.
"Okeee." Teman-temannya menyahut semangat.
"Eh, bentar dong! Gue mau minta foto lo berdua ya, entar biar gue pamerin ke teman-teman yang lain, hehehe." Putri mengeluarkan ponselnya. "Dav, lo kejauhan deh! Yang mesra dikit dong! Gimana sih, kaku banget."
Davin kemudian meraih pinggang Kaori, merapatkan tubuh Kaori ke sisinya, dan memasang senyum terbaiknya. "Gimana look-nya? Udah oke?"
Putri tersenyum puas. "Iya, gitu, kan romantis banget kesannya. Sebentar, yaaa!"
Putri lalu mengambil langkah mundur dan mengarahkan kamera ponselnya pada Davin dan Kaori yang sedang tersenyum. "Satu, dua, tiga! Oke, sip! Bagus nih!"
"Mana? Coba lihat dong!"
"Ya ampun, kalian ini serasi banget sumpah."
"Couple goals ini mah."
Kaori dan Davin sama-sama tersenyum, meski mati-matian ingin saling menghujat satu sama lain.
"Nggak usah modus lo," bisik Kaori sengit.
Davin mendengus. "Biasa aja dong. Siapa juga yang mau modusin...."
Putri mengalihkan pandangannya dari layar ponsel. Dia mengernyit ketika menangkap momen di mana Kaori dan Davin seperti saling adu bacot meski dilakukan sambil bisik-bisik. Tiba-tiba saja, Putri merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh Kaori. Apa ya kira-kira?
*
🌷🌷Kaori tidak langsung menjawab, dia duduk di depan meja rias, memandangi pantulan dirinya di cermin. "Emangnya kalo enggak, kelihatan?"
"Gue sempat lihat lo sama Davin kayak berdebat gitu tadi. Dan jujur sih, gue ngerasa lo nggak bahagia sama pernikahan ini. Bener nggak sih gue?"
"Lo paling tau kan, Put, perasaan gue ke Davin selama ini? Nggak mungkin dong gue bisa cinta sama cowok yang setiap hari bikin gue emosi kayak dia. Gue sama dia itu sebenarnya nikah kontrak."
"Hah?!" Putri membelalak. "Nikah kontrak?! Kok bisa?"
Kaori mengembuskan napas, lalu menjelaskan, "Gue capek dipaksa-paksa mulu nikah sama Davin. Davin juga sama posisinya kayak gue. Ya udah, biar orangtua kita berdua seneng, gue sama dia mutusin buat nikah, tapi kontrak. Dan itu setahun doang. Setelah itu, kita bakalan pisah, supaya orangtua gue sama orangtuanya dia tahu, kalau yang namanya perjodohan itu nggak bakal berakhir bahagia."
Putri menggeleng tak percaya. "Iya gue tau lo capek dipaksa nikah terus. Tapi, lo sadar nggak kalau apa yang kalian lakukan ini, udah memberi harapan palsu ke orangtua kalian? Mereka pasti berharap kalau kalian bakal bahagia dan cepat-cepat kasih mereka cucu. Dan apa jadinya kalau sampai mereka tahu yang sebenarnya? Mereka pasti bakalan sedih banget, Ri. Jauh lebih sedih daripada lo tolak perjodohan ini...."
Karena Kaori tak memberikan respon apa-apa, Putri menambahi, "Kenapa lo nggak coba aja buka hati lo buat Davin? Toh, waktu SMA dulu, lo juga sempat naksir dia, kan?"
***
"Kenapa lo nggak coba buka hati lo aja buat si Davin? Bukannya waktu SMA lo sempat naksir dia, ya?"Kaori menganga. "Wah! Gila lo! Dapat info dari mana tuh? Ngarang deh. Nggak mungkin gue naksir cowok kayak dia!"“Udahlah, Ri, ngapain sih lo harus bohong sama gue? Gue sempat baca sendiri kok buku diary lo yang lo bakar beberapa tahun yang lalu itu.”“Hah? Ngaco lo! Buku diary yang mana pula?”“Haduh, udah deh. Tinggal jujur aja sama gue apa salahnya sih? Di situ jelas-jelas lo tulis, lo suka sama dia.”Kaori terkesiap. Selama beberapa detik, dia terdiam, bingung harus mengatakan apa. “Kok lo baru bilang ini sama gue?” tanyanya.“Karena gue nggak mau aja bikin lo merasa malu. Dan gue tau lo pasti nggak bakalan ngaku. Tapi, sekarang gue beneran serius nanya, kenapa sih lo bisa benci sama dia? Emangnya ada hal apa sampai-sampai lo nggak suka banget sama dia?”Kaori ingin menjawab, namun tahu-tahu orang yang menjadi topik pembicaraan mereka munc
"Dav, bentar deh." Putri memanggil Davin yang hendak keluar kamar.Setelah Davin berhenti, Putri berjalan mendekat dan tak disangka-sangka, dia langsung mengancingkan jas navy yang dikenakan Davin sambil tersenyum manis. Davin menatap Putri sesaat, kemudian balas tersenyum. Di belakang mereka, Kaori mengamati sambil mendelik sebal.Apaan sih, Putri! Sok-sokan manis gitu ke Davin! Sori ya, bukannya cemburu atau apa. Kaori tidak mau saja kalau Putri dengan bodohnya ikut jatuh pada modusnya Davin, lalu bukan tak mungkin mereka akan berakhir di atas ranjang. Sebenarnya, tidak masalah Davin mau kencan dengan siapa saja, asalkan itu bukan sahabatnya."Okey, udah," kata Putri kemudian."Thanks," balas Davin sekenanya dan berlalu."Oi!" Kaori langsung mencolek pundak sahabatnya itu. "Ngapain lo ngurusin dia?""Kenapa, sih?" Putri mengedikkan bahunya acuh tak acuh. "Biar dia kelihatan ra
Setelah resepsi hari ketiga selesai diadakan dengan konsep yang sama dan berkesan mewah, rencananya mereka semua akan kembali ke Jakarta pada hari ini. Namun, sebelum itu, Kintan dan Bella meminta mereka semua untuk berkumpul. Katanya, ada sesuatu hal penting yang ingin mereka sampaikan. Entah apa.“Jadi, Mami mau kasih kejutan buat kalian berdua!” seru Kintan dengan semangat.“Kejutan apa, Mi?” tanya Davin, penasaran.Kintan tersenyum lebar, begitu pun dengan yang lainnya.“Mami sama Papi udah beliin tiket bulan madu ke sepuluh negara untuk kamu dan Kaori!”Kaori terbatuk-batuk, tersedak minuman yang sedang diteguknya ketika ibu mertuanya itu berbicara.“HA? Sepuluh negara?” seru Davin, terkejut.“Waaaah! Enak banget sih jalan-jalan gratis!” timpal Disha, adik perempuan Davin.“Aku juga mau dong!” Giliran Karel, adik laki-laki Kaori yang duduk di bangku tahun
Bab. 9 | Menyakitkan tapi terasa benarTiga minggu kemudian...."Mana nih, foto-foto kalian waktu di luar negeri? Mami mau lihat dong!"Davin mengangsurkan ponselnya yang menampilkan gambar dirinya dan Kaori yang sudah diedit sedemikian rupa dengan latar belakang berbagai macam tempat di sepuluh negara tujuan bulan madu mereka. Untung saja, semua hasil editan Davin terlihat sempurna, sehingga Kintan dan Bella percaya begitu saja."Wah, romantis banget sih kalian?""Iya dong, namanya juga pengantin baru, Mi," jawab Davin yang dibalas dengan tatapan ragu-ragu oleh Kaori."Terus, gimana?" tanya Bella."Eh? Gimana apanya, Ma?" Kaori justru balik nanya."Ya itunya...." Kintan dan Bella menjawab kompak, lalu cekikikan.Davin mengernyit. "Itunya apa, sih?""Itu loh, gimana sih. Cucu... cucu." Kintan memperjelas maksud ucap
*Jangan lupa klmmekoment ya gaks.Davin terkejut bukan main ketika dia masuk ke dalam kamar, sebuah underwear terbang ke wajahnya. Setelah dilihat-lihat, ternyata itu adalah pakaian dalam miliknya."Berapa kali sih gue harus bilang sama lo? Jangan taruh baju kotor sembarangan!" semprot Kaori, sebelum Davin sempat bertanya."Lo pikir nggak capek apa beresin kamar yang setiap hari berantakan gini? Itu juga tuh! Abu rokok di mana-mana!" Kaori terus mengomel sambil membersihkan ranjang dari buku-buku, charger, headset, dan bahkan beberapa sampah bungkus makanan ringan. Davin memang biasa makan camilan pada malam hari menjelang tidur.Sejak pindah ke rumah Davin, keduanya memang tidur terpisah. Kaori tidur di lantai atas, sementara Davin tidur di lantai bawah. Tapi, walaupun begitu, tetap saja yang membersihkan kamarnya Kaori. Menyewa asisten rumah tangga hanya
"Gue harus pastiin, kalau gue ngelepasin lo hanya pada orang yang tepat. Biar lo bahagia nantinya."Kaori tertegun mendengar ucapan Davin tersebut. Itu beneran dia yang ngomong? Kenapa dia jadi sok peduli gitu?"Makasih." Kaori membalas singkat lalu mengalihkan perhatiannya pada kendaraan di jalanan yang hilir mudik.Tak lama kemudian, mereka tiba di sebuah tempat yang pada malam itu ramai pengunjung. Begitu turun, mata Kaori langsung membaca tulisan yang ada di atas pintu masuk salah satu ruko bertingkat tiga tersebut."Ini bukannya coffee shop punya lo?"Davin mengangguk. "Iya.""Kok, di sini? Enggak ada tempat yang lebih bagusan dikit gitu?" tanya Kaori sinis.Sebenarnya, tempat ini cukup memukau dengan konsep bajak laut dan lukisan-lukisan pemandangan laut yang terpajang di dindingnya. Bahkan di meja kasir, ada sebuah peti antik berukuran sedang yang dipakai
Sepanjang perjalanan pulang, pikiran Kaori diganggu oleh pernyataan Davin mengenai Maya yang pernah menjadi pacarnya. Sebenarnya, mau dengan siapa pun Davin menjalin hubungan, itu tak masalah untuk Kaori, dia bahkan tidak peduli. Hanya saja, dia bertanya-tanya tentang Maya, sahabatnya semasa SMA dulu. Kenapa setelah pulang ke Indonesia, dia tidak mengabari Kaori sama sekali? Kenapa, ya? Apa dia lupa? Masa sih lupa. Atau mungkin, sebenarnya memang Maya merasa tidak perlu mengabarinya karena dia tak lagi penting.Setelah tiba di rumah, Kaori buru-buru masuk ke kamar, menyalakan laptop dan membuka email. Pesan-pesannya untuk Maya sejak bertahun-tahun yang lalu pun tak pernah dibalas. Mungkin, Maya sudah tidak memakai email itu lagi. Lalu, Kaori beralih ke media sosial Facebook, di mana dulu sewaktu SMA, baik dia dan Maya kerap kali menulis pesan wall to wall. Kaori mengarahkan kursornya ke profil Maya, demi mencari petunjuk. Dan benar saja, banyak sta
🍁🍁🍁🍁"Eh, Ri, by the way, lo sadar nggak sih, Davin bikin lo jadi mikir gitu buat nggak jadi tim rebahan seumur hidup lo?""Maksud lo?""Ya dia bikin lo jadi lebih dewasa aja gitu. Iya nggak, sih? Gara-gara mulut nutrijelnya Davin yang lemes, lo akhirnya rela ngebanting harga diri lo buat nyari kerja. Padahal, Davin kan udah ngasih lo apapun yang lo butuhin."Kaori mengangguk dengan bibir mencebik. "Gue ngerasa hati gue sakit banget waktu dia bilang gue tuh kebiasaan dimanjain dari kecil, jadi nggak tau rasanya susahnya nyari duit itu gimana."Putri tertawa. "Tapi, bener kan apa yang dia bilang?"Kaori melirik Putri dengan sinis, kemudian mendecih. "Ya bener, tapi nggak harus gitu juga dong. Tau gue baperan, ya nangis-nangislah denger dia ngomong gitu. Akhirnya, gue bulatin tekad gue buat nyari kerja. Pokoknya gue harus kerja!"
"Berapa kali gue bilang, jangan bawa sepatu ke dalam kamar!" Davin yang pagi menjelang siang itu masih berada di atas ranjang, perlahan membuka matanya karena samar-samar mendengar ada suara. Suara milik seseorang yang belakangan ini membuatnya sulit makan dan tidur. Seseorang yang dia rindukan siang dan malam. Dan satu-satunya orang yang mampu memporak-porandakan hatinya. "Itu juga isi lemari berantakan banget! Kalo ngambil apa-apa itu ditarik, jangan diangkat!" Suara itu terdengar semakin nyata. Davin sontak terduduk, kemudian melihat sekitar. Tepat di depan lemari pakaiannya, Kaori berdiri menghadapnya dengan bertolak pinggang. "Rumah berantakan! Sampah-sampah makanan berserakan! Bukannya dibersihin malah dibiarin!" Davin mengerjapkan matanya. Itu.... Kaori? "Habis pake handuk itu, digantung di tempatnya. Masa yang gitu-gitu harus diingetin mulu, sih?" Sesaat Davin terpelongo, mengucek mata berkali-kali lalu dengan tiba-tiba
"Ri.... Kamu kenapa? Mama perhatikan sudah seminggu ini kamu di kamar aja. Nggak mau keluar gitu jalan-jalan? Shopping, yuk, sama Mama?" bujuk Bella.Sudah seminggu Kaori terlihat murung. Dia lebih suka mengurung diri di dalam kamarnya sejak dia dan Davin bercerai. Hal itu tentu saja membuat Bella merasa khawatir, dia takut kalau lama-lama dibiarkan anaknya itu malah jadinya stres lantaran terlalu larut dalam kesedihan. Belum lagi Kaori juga jarang makan. Bagaimana kalau nanti dia sakit?Sampai sekarang pun, setiap ditanya apa alasan sebenarnya yang membuat mereka berpisah, Kaori tidak menjawabnya."Enggak pa-pa, Ma. Lagi males aja."Kaori juga sudah berhenti bekerja dan memutuskan untuk membuka usaha sendiri, yaitu membuat sebuah wedding organizer."Ri, tau nggak? Mama sama Papa dulu juga sempat berpisah, loh. Waktu itu kamu masih berumur dua tahun."Kaori terkesiap mendengarnya. "Mama serius?""Iya, Papamu itu jatuhkan talak ke Mama
Di kedai kopi miliknya, Davin duduk di meja paling pojok dekat jendela bersama Putri. Mereka memang sudah membuat janji untuk bertemu di sana sebelum jam makan siang.Davin memandangi undangan berwarna gold di tangannya lama-lama sambil tersenyum. Huruf inisial P & D jelas terpampang di bagian depannya, didesain sedemikian rupa sehingga tampak elegan.Davin tidak menyangka bahwa sebentar lagi Putri akan menjadi seorang istri, sementara dirinya baru saja menjadi duda. Kadang-kadang, takdir memang selucu itu.Diliriknya Putri yang tiba-tiba melepaskan cincin berlian yang melingkar di jari manisnya."Gue nggak bisa, Dav. Gue benar-benar nggak bisa," kata Putri sambil menggeleng kuat."Kenapa? Jangan dilepas cincinnya!" Davin menarik tangan Putri dan kembali memasukkan cincin tersebut ke jarinya. "Jangan sia-siakan orang yang sayang sama lo."Putri menarik napas dalam, memandangi jarinya yang tersemat cincin permata. "Tapi, gue nggak—"
Hari ini, adalah hari terakhir pernikahan Kaori dan Davin. Mereka menghabiskan waktu dengan bersenang-senang, persis seperti yang mereka lakukan beberapa bulan yang lalu. Pergi ke pantai, menonton film di bioskop, dan makan di tempat yang romantis.Namun, pada hari itu, Kaori tidak se-happy kemarin. Dia lebih banyak melamun, dan tentu saja hal itu membuat Davin bertanya-tanya. Meskipun kadang-kadang ada tawa yang keluar dari mulut Kaori, Davin bisa merasakan ada sesuatu di sana, tepat di matanya, yang seperti tidak sinkron dengan apa yang dilakukannya.Hingga malam pun tiba. Saat itu hujan lebat ketika mereka sampai di rumah. Keduanya sempat terkena hujan lantaran tadi berlari menuju mobil. Menunggu hujan reda punpasti akan memakan waktu yang lama, itu sebabnya mereka memilih menembus hujan demi tiba di dalam mobil lalu bergegas pulang.Di depan cermin besar di dalam kamarnya, Kaori bisa melihat kemunculan Davin yang
****Tepat jam sepuluh malam, Davin pulang ke rumah. Biasanya, jam-jam seperti itu Kaori sudah mengunci pintu jika Davin pulang agak telat. Namun tadi, sewaktu Davin memasukkan kunci cadangan, pintu itu justru membuka ketika Davin tak sengaja mendorongnya."Ck! Kebiasaan banget Kaori nggak ngunci pintu. Padahal ini kan udah malam," gerutu Davin lalu melangkah masuk.Disampirkannya kemejanya yang tadi dipakainya ke bahu lalu celingukan, mencari keberadaan Kaori.Sebelum memanggil nama Kaori, Davin sudah lebih dulu mendapati wanita itu tengah tertidur pulas di atas sofa tepat di depan TV."Tuh, kan! Kebiasaan banget tidur pas pintu nggak dikunci gitu. Kalau ada orang jahat, gimana coba?" ujar Davin lalu mengambil posisi bertimpuh di sisi Kaori dan memandangi wajahnya lama-lama."Semoga setelah semuanya berakhir, lo dipertemukan sama orang yang tepat.
DAVIN penggemar film action, tetapi pada saat Kaori memintanya untuk menonton film komedi romantis, Davin mengiyakannya. Davin sebenarnya sudah akan menolak, namun tidak mungkin juga merusak suasana hati Kaori yang sedang baik hari ini. Lagipula, sebelum ke sini, Kaori juga sudah bilang kalau dia akan menonton film dengan genre itu. Jadi, ya sudahlah, tujuan liburan kilat ini kan juga buat Kaori….Tapi, masalahnya…. Davin tidak mengira kalau akan ada banyak adegan mantap-mantap di film yang akan mereka tonton itu. Bukan hanya memperlihatkan kedua pasangan yang nyaris telanjang, juga adegan ranjang yang benar-benar membuat darah Davin berdesir dan setika dia merasa suhu di ruang bioskop itu menjadi meningkat. Belum lagi suara desahan yang membuat Davin berkali-kali menahan napasnya.Davin melirik Kaori yang tampak serius menyaksikan adegan ciuman yang sedang berlangsung. Matanya tidak berkedip sama sekali dan dia tampak terkag
"Mama sakit apa, Ma? Kok baru bilang sama Kaori kalau Mama lagi sakit?" Kaori duduk di sisi ranjang ibunya dan menangis."Kolesterol Mama kemarin tinggi, Ri. Tapi, sekarang udah nggak lagi, kok. Kamu ngapain malam-malam ke sini? Pasti disuruh papa, ya?"Kaori berhenti menangis lalu menggenggam jemari ibunya yang mulai keriput meski wajahnya masih menawan."Maaf, ya, Ma, belakangan ini Kaori sibuk kerja dan jarang ke sini. Kaori jarang perhatiin Mama dan Papa.""Kamu kok ngomongnya gitu sih, Ri? Kamu kan sekarang udah jadi seorang istri, kamu harus lebih memprioritaskan suami kamu.""Tapi, kalau lihat Mama sakit gini, Kaori nggak tega. Rasanya nggak mau jauh-jauh dari Mama.""Namanya Mama ini sudah tua, Ri. Ya wajarlah kalau sakit-sakit sedikit.""Mana pasti makannya sembarangan, ya? Kaori kan udah bilang, jangan sering makan-makanan yang mengandung koleste
Cafe milik Evan terlihat ramai selama lima bulan terakhir ini. Setelah melakukan renovasi dan menambah beberapa menu baru seperti yang disarankan Kaori, cafe ini menunjukkan kemajuan yang signifikan. Evan benar-benar berterima kasih pada Kaori karena sudah membawa angin segar untuk cafenya yang sudah dirintisnya sejak dua tahun lalu itu."Ri, thanks, ya? Gara-gara lo cafe gue jadi rame lagi, hehehe," kata Evan dengan wajah sumringah. "Gue juga udah naikin gaji kalian. Nih, gaji lo bulan ini!" Evan mengangsurkan sebuah amplop pada Kaori.Namun, seperti biasanya, Kaori justru mengembalikan amplop berisi upahnya itu ke hadapan Evan."Gue titip buat Sista, ya? Tapi seperti biasa, jangan bilang kalo itu dari gue.""Ri, sejak lo kerja sama gue, lo nggak pernah mau terima gaji dari gue. Lagian, lo kok baik banget sih sama Sista?"Apa yang dikatakan Evan, benar adanya. Sudah hampir setengah tahun
Kaori sedang mengambil minum di dapur ketika dia mendengar suara pintu diketuk. Ditaruhnya cangkir yang sudah kosong ke atas meja makan lalu dia berjalan menuju pintu sambil mengira-ngira siapa yang datang.Itu pasti Davin, siapa lagi, pikirnya."Davin?" seru Kaori, memastikan. Namun anehnya tidak ada jawaban.Kaori mulai deg-degan, apalagi mengingat obrolannya dan Davin beberapa saat yang lalu di telepon. Mana Davin sempat menakut-nakutinya pula.Meskipun tidak ada jawaban, pintu itu masih diketuk dari luar. Kali ini agak keras dan tidak sabaran."Davin, itu elo, kan?!" tanya Kaori dengan nada tinggi sambil menempelkan telinganya ke pintu.Kok nggak ada yang jawab, sih? Jangan-jangan....Maling?Tapi, mana ada maling yang ngetuk pintu targetnya sebelum ngerampok.Ini pasti....Kaori memberanikan diri untuk mengintip ke luar melalui jendela kaca di sisi pintu. Di depan pagar rumahnya tampak ada sebuah gerobak baks