Perempuan itu melirik dengan tajam ke arah Kevin. "Terus, maunya gimana? Maunya itu saya jambak-jambak Mas Kevin sama Mbak Desi? Koar-koar sana-sini kalau suami saya selingkuh, sampai selingkuhannya hamil. Bahkan, selingkuhnya dengan mantan istrinya. Gitu?"Akhirnya perempuan itu kesal atas tuduhan Kevin yang terus menerus mencurigainya lantaran sikap tak biasa Jasmine. Padahal, memang aslinya Jasmine sudah lelah, sudah pasrah. Mau diapakan pun semuanya sudah terjadi."Mas Kevin maunya saya mengizinkan Mas rujuk lagi, sama Mbak Desi?" tanya Jasmine kemudian.Lantas pria itu menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Tidak mau, Jasmine. Saya sudah bilang berkali-kali pada kamu, kalau saya tidak pernah berniat punya dua istri.""Ya udah, nggak usah ngegas. Biasa aja. Saya mau tidur. Pusing, kalau mikirin masalah tadi. Biarkan semuanya berlalu."Perempuan itu memilih untuk merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Biar saja semuanya berlalu begitu saja. Ia ingin hidupnya tentram. Masa bodoh
“Mama Desi udah berangkat belum, Ma?” tanya Arshi setelah keheningan menemani perjalanan menuju sekolah.Jasmine menoleh pada Arshi. “Mama kirim pesan dulu, yaa. Sudah berangkat atau belum.”“Oke, Mama.”Jasmine pun mengambil ponselnya dan mengirim pesan pada Desi.Lima menit kemudian, Desi membalasnya jika ia sudah tiba di sekolah bersama Justin yang ingin bicara dengan Kevin.Waktu Justin tinggal satu bulan satu minggu lagi. Dan ia belum bisa menaklukan Kevin agar mau kerja sama lagi dengan perusahaannya.Setibanya di sekolah.Kevin, Jasmine dan Arshi keluar dari mobil. Anak kecil berlari menghampiri sang mama yang sudah merentangkan tangannya untuk memeluk sang anak.“Semangat ya, Sayang. Jangan gugup, okay? Ada Mama, Mama Jasmine, Papa dan Om Justin yang akan support Arshi.”Arshi lantas mengangguk. “Oke, Mama. Makasih ya, Ma. Udah mau datang ke acaranya Arshi.”“Iya, Sayang.” Desi mengusapi rambut anaknya itu, menatapnya dengan sendu. “Mama kangen sama kamu, Nak,” ucapnya lirih.
Sudah selesai sesi foto. Jasmine mempersilakan Desi untuk mengambil foto bersama Arshi dan Kevin. Ada rasa canggung dalam diri kedua manusia itu—Kevin dan Desi.Mereka sama-sama tidak enak hati. Tapi, Jasmine sendiri yang memang memberi kesempatan untuk mereka berfoto bersama.“Eeuuh, Jasmine. Bagaimana kalau sama kamu juga? Saya nggak enak, kalau foto hanya bertiga,” kata Desi berucap sembari memainkan jarinya.Jasmine mengulas senyum lebar. “Buat kenang-kenangan, Mbak. Agar Arshi tidak lupa, ada perempuan hebat yang sudah membawanya ke dunia.”Desi menelan saliva dengan pelan. “Saya tidak enak, Jasmine.”“Jangan seperti ini terus, Mbak. Saya nggak apa-apa. Jangan terus menerus merasa bersalah. Kalian orang tua kandung Arshi. Yang lebih pantas berfoto bersama.“Saya hanya ibu sambung yang berharap bisa dicintai dan disayangi oleh Arshi dengan sepenuh hatinya. Silakan, Mbak. Jangan sungkan apalagi tidak enak.”Jasmine menarik tangan Desi agar menghampiri Kevin dan Arshi yang masih ber
Justin menoleh kepada Desi. “Hati-hati, Des. Si Gemma masih berkeliaran. Jangan sampai mimpi elo jadi kenyataan. Gue khawatir aja, elo kenapa-napa apalagi diapa-apain sama tuh orang.”Desi menganggukkan kepalanya. “Iya, Justin. Makanya gue jarang banget keluar rumah. Bisa dibilang nggak pernah. Kalau gue pengen keluar, temenin ya?”Justin mengusapi pundak Desi. “Tenang aja. Gue akan selalu ada buat elo. Kan gue udah jadi penanggung jawab elo. Semenjak hamil, muka elo makin bersinar. Udah tobat lo, yee? Rajin wudhu nih pasti.”Justin—dengan kebodohannya bertanya hal yang paling absurd yang pernah Desi dengar. Hingga perempuan itu geleng-geleng kepala dengan ucapan Justin.“Lebih tepatnya gue lagi meratapi nasib. Menyesali semua perbuatan jahat gue ke Mas Kevin dan Jasmine.”“Iya, iyaa. Nggak perlu diperjelas. Gue pengen hidup tenang juga padahal. Tapi belum tenang. Kalau belum denger Kevin maafin gue.”Desi menepuk pundak Justin. “Gue pun nggak bisa bantu elo. Karena gue udah nggak ada
“Ngobrolin soal perempuan lah. Mas Kevin kok kepo?”“Saya ingin tahu lah, Jasmine. Tidak boleh?”Jasmine mengangguk. “Ya. Rahasia perempuan. Mas Kevin dilarang tahu!”Pria itu lantas memutar bola matanya dengan pelan. “Tidak meminta saya untuk menikah dengan dia, kan?”Jasmine terkekeh pelan. “Kalau Mas Kevin mau, ya udah. Nikah aja sana!”Kevin mencubit hidung Jasmine karena gemas. “Jangan bicara yang aneh-aneh, Jasmine. Desi pernah jahat pada kita. Jangan terlalu percaya dengan kealiman dia.”Jasmine lantas memukul dengan pelan mulut Kevin. “Jaga mulutnya, Mas. Orang, kalau berubah tuh harus dihargai. Memangnya Mas mau, Mbak Desi selamanya jadi jahat terus?”Kevin menggeleng. “Yaa nggak mau.”“Ya udah. Terima dan bersyukur, karena Mbak Desi sudah mau berubah.”Desi keluar dari dalam sana sambil membawa kue ulang tahun milik sang anak. Dengan semangat, perempuan itu membawanya ke tempat yang sudah disediakan.Namun, langkahnya tiba-tiba terhenti. “Mas Gemma!” ucapnya dengan terkejut.
Desi kembali mengulas senyumnya. Mata sayu yang sudah hampir menutup itu menatap Kevin dengan lembut."Maafkan Justin. Berikan ia kesempatan untuk berubah. Jangan bebani dia karena kamu yang bersikeras tidak ingin memaafkannya. Hanya itu. Dan ... jangan lupa untuk tengok aku setiap ada waktu."Desi menoleh dengan pelan ke arah Jasmine yang ada di samping Kevin. "Terima kasih, Jasmine. Yang kini sudah menjadi adikku. Aku titip Arshi, yaa. Dia tidak akan kehilangan sosok ibu. Karena kamu selalu menyayanginya lebih dari ibu kandungnya."Jasmine mengangguk dengan pelan sambil terisak."Terima kasih semuanya. Sudah memaafkan kesalahanku yang tidak pantas untuk dimaafkan ini."Desi menghela napasnya dengan pelan. Mengedarkan matanya hingga akhirnya ia menangkap Arshi di dalam gendongan Andrian. Mengulas senyumnya dengan tipis."Desi!" Justin baru tiba di rumah sakit. Menghampiri Desi dengan napas yang tersengal.Perempuan itu mengulas senyumnya. "Makasih untuk tempat tinggalnya. Gue pamit,
“Gemma di mana?” tanya Kevin datar.“Udah dibawa ke kantor polisi, Vin. Gemma aman. Bahkan, sekarang dia dimasukkan ke penjara bawah tanah. Biar gak bisa kabur lagi.”Kevin manggut-manggut. Kemudian menatap Justin kembali. “Apa yang akan elo lakukan di sana? Ternak kanguru?”Justin mengangguk. “Karena kakek gue pemilik taman wisata, otomatis gue pasti bakal disuruh ternak kanguru.”Kevin menghela napas jengah. “Justin?” panggilnya kemudian.Justin menatap Kevin setelah dipanggil oleh pria itu. Menunggu Kevin yang ingin berbicara sesuatu padanya.“Elo tahu kan, betapa fatalnya kesalahan elo?”Justin mengangguk pelan. “Sorry, Vin.”“Seandainya saat itu elo ada di posisi gue. Seandainya elo dijebak oleh orang yang gak suka sama elo. Bini elo tahu. Dia minta cerai. Pasti sakit ‘kan, Justin?”Justin mengangguk pasrah. “Iya, Kevin. Gue tahu. Makanya gue minta maaf. Hidup gue nggak bisa tenang kalau elo belum mau maafin gue.”“Permintaan maaf bukan hanya permintaan maaf. Tapi, ubah juga pend
Kevin lantas menghela napas kasar. "Mulai lagi. Pulang sana! Tahlilnya nanti malam, setelah maghrib. Mending balik dulu, sana. Debatnya jangan di sini. Kalau kalian berani debat di depan gue, gak akan segan-segan buat nikahin kalian!" ancam Kevin kemudian.Justin lantas bangun dari duduknya kemudian keluar dari rumah tersebut. Pun dengan Selena. Lekas pulang lantaran tak ingin dinikahkan oleh Kevin. Padahal pria itu hanya berbohong. Mana mungkin Kevin menikahkan orang yang tidak saling mencintai.Ini bukan kisahnya. Yang terpaksa menikah dengan Jasmine lantaran menginginkan status pernikahan. Oleh karena itu, ia pun menjual Jasmine. Membayar dengan harga fantastis.**Waktu sudah menunjuk angka delapan malam. Acara tahlilan malam pertama baru saja selesai dilaksanakan. Banyak pada tamu yang diundang oleh Kevin untuk sama-sama mendoakan Desi di rumah itu.Kini, Arshi tengah merebahkan tubuhnya di atas paha Jasmine di atas sofa. Mengusapi perut mama sambungnya itu dengan lembut."Dedek
Justin mengangguk setuju. “Kamu bener, Jasmine. Si Kevin bakal rugi kalau nggak mau Gita dijodohin sama anakku. Orang ganteng-ganteng gini. Iya, nggak?”Jasmine terkekeh sembari menganggukkan kepalanya. “Yang ini namanya siapa, Pak? Kan, sudah ada di sini.”“Anak yang pertama yang mana, yaa?” tanya Justin. Ia pun bingung mana anak pertama dan anak kedua.“Yang pertama yang sedang diberi ASI, Pak. Yang ini anak kedua,” kata perawat memberi tahu Justin.“Awas! Jangan sampai keliru. Wajahnya nggak mirip banget kok, Mas. Yang pertama lebih mirip kamu.”Justin menggaruk rambutnya kembali. Ia masih belum bisa membedakan kedua anaknya itu. Kemudian memberikan cengiran kepada istrinya itu.“Nanti beli baju dikasih nama masing-masing. Pesan dua ratus jenis baju beda-beda. Terus border, biar nggak keliru. Aku belum bisa membedakan mana yang pertama dan mana yang kedua,” ucapnya jujur.Selena menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah kocak suaminya itu. “Terserah kamu aja!”Justin kembali m
Rosita menganggukkan kepalanya dengan pelan. “Iya, Pa. Semoga nggak gila kayak papanya aja.”Kini, Antony tak bisa menahan tawanya. Mentertawakan Justin, kapan lagi. Sementara orang yang sedang mereka bicarakan tidak peduli bahkan tidak menyadari.“Justin!” panggil Antony kemudian.Justin menatap sang papa dengan malas. “Ada apa sih, Pa?” tanyanya dengan lemas.“Nama anak-anak kamu, sudah kamu siapkan?”Justin mengangguk pelan. “Udah. Kasih tau kalau Selena udah bangun.”“Dua jam lagi bangun, Justin. Kamu hitung saja. Tebakan Papa pasti bener.”Justin tak peduli. Yang ia pedulikan kini menatap Selena agar tidak tertinggal saat Selena membuka matanya.Kevin dan Jasmine baru saja tiba di rumah sakit setelah mendengar kabar dari orang tua Justin mengenai Selena yang sudah melahirkan kedua anaknya itu. Sementara orang tua Selena masih di jalan menuju rumah sakit."Belum sadar juga?" tanya Kevin kepada ada kedua orang tua Justin. Karena ia tahu Justin tidak akan menjawab pertanyaannya.Ros
Pria itu lantas mengecup kening sang istri. “Kita akan segera melihat bayi-bayi kita. Walaupun harus melakukan perawatan terlebih dahulu di ikubator. “Selena mengulas senyum tipis. “Jangan ke mana-mana, Mas. Temani aku saat operasi nanti.”“Of course, Sayang. Aku akan menemani kamu sampai si twins keluar. Kamu jangan khawatir. Sebelum kamu meminta, aku sudah berniat akan menemani kamu.”Hati Selena sangat tenang mendengarnya. Ia kemudian menjatuhkan kepalanya di bahu Justin. “Terima kasih untuk cinta dan sayang kamu, Mas Justin. Kamu adalah alasan aku untuk bertahan dan berjuang untuk bayi kembar kita.”Justin mengusapi perut buncit Selena dengan lembut. “Anak-anak, Papa. Kita akan segera bertemu. Jangan buat Mama sakit lagi ya, Sayang-sayangnya Papa.”Selena mengulas senyum tipis kala mendengar percakapan Justin dengan bayi-bayi di dalam perutnya.“Maaf ya, Mas. Aku hanya bisa memberi kamu dua anak. Nggak akan bisa lagi kasih kamu anak lagi,” ucap Selena dengan pelan.Justin terseny
Justin menutup wajahnya dengan kedua tangannya sembari menangis sesenggukan. Pun dengan Selena. Lebih berduka karena kehilangan Diandra yang belum sempat berbaikan itu.“Justin! Selena! Di mana Diandra?”Kevin dan Jasmine baru tiba di rumah sakit setelah mendengar kabar dari Selena.“Kenapa kalian menangis? Apa yang terjadi dengan Diandra?” tanya Kevin kembali. Kemudian menoleh ke arah Dokter Felix. “Ada apa dengan Diandra, Dok?”Dokter Felix menghela napas pelan. “Bu Diandra sudah pergi menyusul kakaknya, Pak Kevin.”Kevin menganga. Begitu juga dengan Jasmine. Kevin tersenyum pasi seolah tak percaya dengan ucapan Dokter Felix.“Anda sedang bercanda? Diandra baik-baik saja, Dok! Mana mungkin pergi!” ucap Kevin tak percaya.Dokter mengangguk-anggukan kepalanya. “Saya paham. Kalian semua pasti tidak akan percaya dengan ucapan saya jika tidak melihat langsung jasad Bu Diandra yang masih berada di dalam.”Kevin menoleh ke arah pintu ruang operasi. Kemudian masuk ke dalam dengan tergesa-ge
Justin mengendikan bahunya. "Hanya Giandra yang tahu. Walaupun aku bilang nggak siap, ternyata Giandra siap. Mungkin bisa kamu tanyakan saja pada Giandra langsung.""Nggak mau!""Ya udah kalau nggak mau. Aku gak maksa juga."Selena mengerucutkan bibirnya kemudian menoleh ke arah Diandra. Perempuan itu ternyata melihat kehadiran mereka. "Mas?" panggilnya kemudian."Heung? Kenapa, Sayang?"Selena menunjuk Diandra. "Dia sudah terlanjur melihat kita. Sebaiknya kita masuk ke dalam, Mas. Setidaknya memberi semangat untuk perjuangannya."Justin menoleh ke arah Diandra kemudian menatap Selena kembali. "Ayok!" Justin menggenggam tangan Selena lalu masuk ke dalam ruangan persalinan Diandra.Pria itu menepuk bahu Giandra yang tengah duduk di samping Diandra. "Udah bukaan berapa?" tanya Justin kemudian."Baru dua," ucapnya dengan pelan.Justin manggut-manggut. Sementara Selena menghampiri Diandra yang tengah menahan rasa sakit. Namun, tak bersuara sedikit pun. Hanya mengulas senyumnya kepada Sele
Giandra menghela napas pelan. "Dari mamanya. Amanda datang ke rumah gue sambil bawa Gino. Kasih tau ke Diandra kalau itu anak gue. Bahkan, dia berani tes DNA kalau gue gak mau mengakuinya."Justin menaikkan alisnya sebelah. "Apa maksudnya si Amanda datang ke rumah? Elo gak pernah nengokin anak elo sih! Jadi marah kan, si Amanda."Giandra menelan salivanya. "Gue gak pernah tengok Gino karena ada Fery. Dia yang bilang kalau gue udah gak punya urusan lagi sama Gino. Ya udah, gue menuruti perintah si Fery. Tapi, ternyata dia jebak gue."Justin manggut-manggut. Ia paham maksud arti dari kata menjebak. Karena pada akhirnya Amanda datang ke rumahnya, membawa Gino yang akhirnya membuat Diandra murka karena tidak tahu menau perihal Giandra memiliki anak dari perempuan lain."Terus, kondisi rumah tangga elo gimana sekarang?" tanya Justin kembali.Giandra mengendikan bahunya. "Dari awal Diandra memang gak pernah cinta sama gue. Gue yang udah jatuh cinta sama dia. Bisa dianggap kalau cinta itu be
Kevin memiringkan kepalanya menatap Justin. “Ketemu Diandra di toko donnut? Beliin Selena?”Justin mengangguk. “Iyalah. Buat siapa lagi!”Kevin tersenyum miring. “Ketemu Diandra, terus nyapa elo? Biasanya gak pernah nyapa sama sekali bahkan kata elo udah kayak warga negara asing? Cukup aneh. Mau minta maaf kali, ke elo.”“Minta maaf kok gak bilang waktu ketemu.”“Siapa tahu lupa.”“Mana mungkin lupa. Minta maaf itu harus pake niat. Otomatis pasti akan keinget terus.”“Ya udah. Gue juga gak tahu alasannya kenapa. Yang penting elo bersikap biasa aja sama Diandra.”Justin menghela napas pelan. “Kalau dia mau damai sama gue, semuanya selesai. Tapi, kalau damainya karena lagi berantem sama Giandra, patut dicurigai.”“Pinter! Jangan sampai elo tergoda oleh bujuk rayunya Diandra. Selena jauh lebih baik dari dia. Diandra juga baik. Tapi, istri elo saat ini Selena, bukan Diandra. Dia hanya masa lalu elo. Jangan goyah hanya karena tahu Diandra lagi marahan sama lakinya.”Justin menganggukkan ke
Kini, kondisi Selena sudah terlihat sedikit lebih baik. Hanya main sekali tidak masalah menurutnya.Selena menganggukkan kepalanya. “Silakan, Mas Justin!” ucapnya dengan lembut.Justin lantas mengecup kening Selena dan mengulas senyumnya. “Terima kasih, Sayang. Aku janji, hanya kelembutan yang akan aku lakukan padamu.”Selena mengangguk. “I trust you!”Justin pun memulainya. Membuka seluruh pakaian yang ia kenakan. Kemudian pakaian Selena. Penetrasi terlebih dahulu tentunya. Walau sinyal itu sudah terpancar begitu terang, Justin tidak akan selonong boy begitu saja.Memanjakan istri juga harus. Agar menggapai kenikmatan masing-masing. Tak ingin egois adalah salah satu sikap Justin yang paling baik jika dalam hal berhubungan intim.**Pagi hari telah tiba. Terik matahari mulai menyinari bumi. Mengintip di balik tirai jendela, mencoba masuk ke dalam tirai jendela kamar. Tidur terlelap setelah pergumulan semalam yang menurut Selena begitu indah.Penuh dengan kelembutan sesuai dengan janji
Justin menghela napasnya. “Surat ini … sengaja dia kasih ke kamu agar kamu membalas cinta dia? Selama ini kamu pura-pura cinta sama aku, padahal mencintai Andrian. Begitu?”Jelas perempuan itu menggelengkan kepalanya dengan cepat. Tangannya beradu karena harus mencari alasan yang logis agar Justin tidak marah padanya.“Lalu apa, Selena?” tanya Justin dengan suara menekan.Selena menghela napas pelan. “Maaf, Mas. Aku hanya ingin menyimpannya sebagai kenang-kenangan dari dia. Nggak ada lagi selain itu. Soal cinta, aku hanya mencintai kamu. Nggak ada lagi selain kamu.”Selena menatap Justin agar pria itu tahu, dia sedang berbicara dengan serius. Agar Justin paham dan mengurungkan niatnya untuk memarahinya.Justin memang tak berani memarahi Selena dalam keadaan hamil seperti ini. Yang dia lakukan hanya memutus kalung tersebut kemudian membuangnya dengan kasar ke lantai.Mata Selena hanya bisa menatap kalung yang kini sudah hancur itu. Sementara Justin pergi dari kamar tersebut. Namun, saa