Kevin masih menahannya. Ia tahu, ia yang salah. Karena langsung berkata dengan tegas kepada Jasmine. Kevin pun sadar diri. Tapi, saat ini ia ingin tahu kenapa Desi dan Arshi sampai terjatuh.“Kalau kamu tidak mau bicara, berarti memang benar, kamu sudah mendorong Desi dan Arshi!” ucapnya kemudian.Jasmine menoleh dengan cepat. Matanya menatap nanar Kevin. Rasanya ia ingin menjambak rambut Kevin dengan sangat kencang.“Terserah! Mau mikir kayak gitu juga terserah! Saya nggak peduli!” pekik Jasmine yang sudah tidak bisa menahan emosinya lagi.Kevin menarik paksa tangan Jasmine. Kemudian memeluknya. Kevin sedang tak ingin berdebat. Baru saja baikan, kenapa harus marahan lagi. Kevin ingin berdamai.“Maaf. Saya sudah membuat kamu marah lagi. Kamu yang selalu memancing kekesalan saya. Jangan marah-marah terus, yaa. Sayang, mukanya jadi jelek.”Jasmine memukul lengan Kevin. “Bodo!”Kevin lantas terkekeh mendengar ucapan istrinya itu. “Sudah, yaa. Jangan marah-marah terus. Khawatirnya kamu la
“Mantan! Ketinggalan sedikit doing juga.” “Karena ketinggalan itu, menjadikan arti dari yang kamu ucapkan menjadi berbeda.” “Iya, iyaa. Mas Kevin emang pria dingin yang pandai debat. Sampai kiamat pun, Mas Kevin nggak akan mau kalah dalam debat. Saya mau mandi dulu! Gerah!” Jasmine beranjak dari duduknya. Namun, tangan Kevin kembali menariknya. Hingga perempuan itu duduk di atas paha Kevin. Bibir itu memagut bibir Jasmine. Sehingga membuat Jasmine terbelalak. Saat akan berontak, Kevin lebih dulu menguncinya. “Mau ke mana?” tanya Kevin dengan bibirnya yang masih sedikit menempel di bibir Jasmine. “Kan tadi saya udah bilang. Mau ke kamar mandi, mau mandi. Mas. Jangan sekarang, okay? Saya lagi nggak mood.” Kevin menatap dengan lekat. Matanya tak berkedip. Sementara Jasmine sedari tadi mengedip-ngedipkan matanya. ‘Astaga. Ganteng banget sih, Mas Kevin. Dilihat dari dekat seperti ini, bikin hatiku meleleh. Sayangnya, aku terlambat datangnya. Mbak Desi yang lebih dulu hadir dalam hid
Jasmine terdiam mendengar ucapan Kevin. Kemudian tersenyum tipis.“Tapi, jika saya yang pergi lebih dulu, Mas Kevin akan Dirawat oleh Arshi dan istrinya.”Kevin mengangguk. “Saya akan mengajak Arshi jalan-jalan. Dia masih kecil. Mudah marah dan mudah memaafkan. Dia sangat senang jalan-jalan.”“Iya, Mas. Selagi masih bisa diperbaiki, maka perbaiki. Jangan sampai menyesal. Anak adalah asset berharga yang kita miliki. Dan Arshi seorang laki-laki. Yang akan meneruskan apa yang Mas Kevin kelola sekarang.”Kevin mengangguk. Paham dengan apa yang diucapkan oleh istrinya itu.“Kamu memang bijaksana. Tapi, hanya dalam waktu tertentu.”Jasmine menyunggingkan bibirnya. “Dasar! Saya mau tidur dulu. Kepala saya berat banget. Udah kayak memikul beban berat aja. Padahal, sebelumnya nggak pernah sakit seperti ini.”“Beban karena sudah menikah dengan saya? Begitu, maksud kamu?”Jasmine mengendikan bahunya. “Saya nggak mau munafik sih, Mas. Tapi, memang bener. Beban banget. Nikah sama duda anak satu. D
Kevin menyandarkan punggungnya di sandaran kursinya. Kemudian memijat keningnya. Pening yang ia rasakan kini.“Kamu benar. Jasmine sudah dewasa. Bisa memaafkan kembali setelah hatinya sudah siap memaafkan. Tapi Arshi … saya tidak mau dia merasa saya sudah tidak menyayanginya.“Perpisahan kami saja sudah membuatnya menjadi anak broken home. Saya tidak ingin Arshi merasa tidak disayangi oleh ayahnya sendiri. Hanya jalan-jalan. Tidak lebih.”Kevin akan mengatakan dengan jujur kepada Jasmine. Berharap Jasmine akan memakluminya.Waktu sudah menunjuk angka lima sore. Kevin masih bekutat dengan pekerjaannya yang sempat terbengkalai karena pikirannya yang sedang kalut.Ting!Pesan masuk dari Jasmine. kevin segera membukanya. Sebab, ia tak ingin melewatkan apa pun yang ingin disampaikan oleh istrinya itu.Jasmine: [Masih sibuk ya, Mas? Maaf udah ganggu, yaa. Saya hanya mau tanya, Mas Kevin pulang jam berapa kira-kira? Saya pengen martabak manis, Mas. Beliin, yaa. Hehehe.]Kevin terkekeh meliha
Dengan langkah yang berat, Kevin keluar dari kamar tersebut. Meninggalkan Jasmine yang masih enggan untuk membuka matanya.Setelah satu jam lamanya, setelah Kevin serta anak dan mantan istrinya pergi liburan bersama. Jasmine baru membuka matanya. Meregangkan otot-ototnya kemudian mengucek matanya.“Sudah jam Sembilan?!” ucapnya dengan terkejut. “Ya ampun. Apa karena efek baru tidur jam tiga subuh, jam segini baru bangun. Haaisss!”Jasmine menghela napasnya dengan pelan. Kemudian beranjak dari duduknya. Pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri terlebih dahulu. Setelahnya, mencari angina segar. Pergi keluar, tanpa harus izin terlebih dahulu kepada Kevin.“Mas Kevin mana inget padaku. Sedang membahagiakan anak dan mantan istrinya. Aku juga bisa, membahagiakan diri sendiri, dengan caraku sendiri.”Jasmine yang baru saja menyelesaikan acara mandinya itu terus bergumam, meracau tak jelas.Ting!Notifikasi pesan masuk pada ponsel Jasmine. Dengan malas, perempuan itu membukanya.Kevin: [S
“Arshi mengajak Pak Kevin liburan. Dan ingin membawa Desi juga. Mungkin, bisa jadi jika itu semua atas titah Desi. Bisa jadi juga, Jasmine sedang sakit hati karena ini.”Diandra manggut-manggut. “Begitu rupanya. Baiklah kalau begitu. Aku sudah paham. Dan … semoga aku segera melupakan Pak Justin. Berhenti berharap, dan mencari penggantinya.”Andrian mengulas senyumnya kepada sang adik. Ia bisa bernapas lega, karena akhirnya Diandra mau menerima dengan lapang dada. Menuruti perintahnya untuk melupakan Justin. Yang tidak akan pernah membalas cintanya.Di seberang sana. Jasmine tengah memeriksa ponselnya. Ada puluhan panggilan tak terjawab dari suaminya. Tapi, Jasmine memilih untuk mengabaikannya.‘Kamu menghubungiku hanya saat jam makan siang. Di jam yang lainnya, nggak ada. Untuk apa menerima panggilan pada orang yang hanya baru saja ingat kalau ada orang yang menunggu kabarnya.‘Tapi, aku nggak butuh kabar jika hanya saat kamu baru saja mengingatku. Seharusnya kamu paham, Mas. Semoga m
Kevin tak terima dengan keputusan yang diambil oleh Jasmine secara sepihak. Dia sangat mencintainya, mana mungkin bisa merelakan pergi begitu saja."Apa yang Mas Kevin mau dari saya? Nggak ada lagi, kan? Mas Kevin udah bahagia sama anak dan istri Mas Kevin. Kenapa menghalangi saya untuk pergi dari hidup Mas Kevin?""MANTAN, Jasmine. Mantan! Jangan pernah kamu ucapkan hal itu lagi di depan saya. Karena sampai kapan pun, saya tidak akan pernah melepaskan kamu begitu saja. Tidak akan!" pekik Kevin yang sudah mulai terbawa emosi karena Jasmine yang terus menyudutkan dirinya, jika dia amat sangat bahagia bersama Arshi dan Desi.Jasmine kembali menangis. Sesenggukan sembari duduk di atas lantai. Menangkup kedua lutut kakinya, dengan kepala menunduk."Saya hanya orang yang mampir dalam hidupnya Mas Kevin. Kebahagiaan sebenarnya ada di keluarga lama Mas Kevin. Bukan di saya," ucapnya sembari sesenggukan.Kevin memejamkan matanya sekejap, kemudian memijat keningnya. Ikut duduk di depan Jasmine
Jasmine mengatup bibirnya. Kemudian menunduk. Mana mungkin dia menuruti perintah Kevin. Agar jangan dekat dengan Justin lagi. Sedangkan Justin selalu ada di saat dia sedang patah hati.“Mas. Saya dan Pak Justin hanya teman. Nggak lebih dari itu. Kalau Mas Kevin melarang saya untuk menjauhi Pak Justin, lantas dengan siapa lagi saya berteman?” tanya Jasmine. Ia menolak perintah Kevin.Kevin menghela napasnya dengan pelan. Baru saja hendak berbicara, ada pesan masuk di ponselnya. Ia harus segera membukanya.“Justin?” gumamnya sembari membuka isi pesan yang dikirim oleh Justin.Justin: [Happy birthday ya, Bro. Kalau gue nggak ketemu sama Jasmine, mungkin gue udah lupa sama hari lahir elo. By the way, si Jasmine kagak ngamuk, kan? Soalnya dari tadi dia ngomong gak jelas terus.]Justin: [Pertahankan Jasmine. Dia berharga buat elo. Daripada si Desi, Jasmine lebih baik dari segalanya. Asal elo tahu, dulu … sebelum perceraian kalian terjadi, gue pernah lihat dia jalan sama cowok. Bukan sama Ge
Justin mengangguk setuju. “Kamu bener, Jasmine. Si Kevin bakal rugi kalau nggak mau Gita dijodohin sama anakku. Orang ganteng-ganteng gini. Iya, nggak?”Jasmine terkekeh sembari menganggukkan kepalanya. “Yang ini namanya siapa, Pak? Kan, sudah ada di sini.”“Anak yang pertama yang mana, yaa?” tanya Justin. Ia pun bingung mana anak pertama dan anak kedua.“Yang pertama yang sedang diberi ASI, Pak. Yang ini anak kedua,” kata perawat memberi tahu Justin.“Awas! Jangan sampai keliru. Wajahnya nggak mirip banget kok, Mas. Yang pertama lebih mirip kamu.”Justin menggaruk rambutnya kembali. Ia masih belum bisa membedakan kedua anaknya itu. Kemudian memberikan cengiran kepada istrinya itu.“Nanti beli baju dikasih nama masing-masing. Pesan dua ratus jenis baju beda-beda. Terus border, biar nggak keliru. Aku belum bisa membedakan mana yang pertama dan mana yang kedua,” ucapnya jujur.Selena menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah kocak suaminya itu. “Terserah kamu aja!”Justin kembali m
Rosita menganggukkan kepalanya dengan pelan. “Iya, Pa. Semoga nggak gila kayak papanya aja.”Kini, Antony tak bisa menahan tawanya. Mentertawakan Justin, kapan lagi. Sementara orang yang sedang mereka bicarakan tidak peduli bahkan tidak menyadari.“Justin!” panggil Antony kemudian.Justin menatap sang papa dengan malas. “Ada apa sih, Pa?” tanyanya dengan lemas.“Nama anak-anak kamu, sudah kamu siapkan?”Justin mengangguk pelan. “Udah. Kasih tau kalau Selena udah bangun.”“Dua jam lagi bangun, Justin. Kamu hitung saja. Tebakan Papa pasti bener.”Justin tak peduli. Yang ia pedulikan kini menatap Selena agar tidak tertinggal saat Selena membuka matanya.Kevin dan Jasmine baru saja tiba di rumah sakit setelah mendengar kabar dari orang tua Justin mengenai Selena yang sudah melahirkan kedua anaknya itu. Sementara orang tua Selena masih di jalan menuju rumah sakit."Belum sadar juga?" tanya Kevin kepada ada kedua orang tua Justin. Karena ia tahu Justin tidak akan menjawab pertanyaannya.Ros
Pria itu lantas mengecup kening sang istri. “Kita akan segera melihat bayi-bayi kita. Walaupun harus melakukan perawatan terlebih dahulu di ikubator. “Selena mengulas senyum tipis. “Jangan ke mana-mana, Mas. Temani aku saat operasi nanti.”“Of course, Sayang. Aku akan menemani kamu sampai si twins keluar. Kamu jangan khawatir. Sebelum kamu meminta, aku sudah berniat akan menemani kamu.”Hati Selena sangat tenang mendengarnya. Ia kemudian menjatuhkan kepalanya di bahu Justin. “Terima kasih untuk cinta dan sayang kamu, Mas Justin. Kamu adalah alasan aku untuk bertahan dan berjuang untuk bayi kembar kita.”Justin mengusapi perut buncit Selena dengan lembut. “Anak-anak, Papa. Kita akan segera bertemu. Jangan buat Mama sakit lagi ya, Sayang-sayangnya Papa.”Selena mengulas senyum tipis kala mendengar percakapan Justin dengan bayi-bayi di dalam perutnya.“Maaf ya, Mas. Aku hanya bisa memberi kamu dua anak. Nggak akan bisa lagi kasih kamu anak lagi,” ucap Selena dengan pelan.Justin terseny
Justin menutup wajahnya dengan kedua tangannya sembari menangis sesenggukan. Pun dengan Selena. Lebih berduka karena kehilangan Diandra yang belum sempat berbaikan itu.“Justin! Selena! Di mana Diandra?”Kevin dan Jasmine baru tiba di rumah sakit setelah mendengar kabar dari Selena.“Kenapa kalian menangis? Apa yang terjadi dengan Diandra?” tanya Kevin kembali. Kemudian menoleh ke arah Dokter Felix. “Ada apa dengan Diandra, Dok?”Dokter Felix menghela napas pelan. “Bu Diandra sudah pergi menyusul kakaknya, Pak Kevin.”Kevin menganga. Begitu juga dengan Jasmine. Kevin tersenyum pasi seolah tak percaya dengan ucapan Dokter Felix.“Anda sedang bercanda? Diandra baik-baik saja, Dok! Mana mungkin pergi!” ucap Kevin tak percaya.Dokter mengangguk-anggukan kepalanya. “Saya paham. Kalian semua pasti tidak akan percaya dengan ucapan saya jika tidak melihat langsung jasad Bu Diandra yang masih berada di dalam.”Kevin menoleh ke arah pintu ruang operasi. Kemudian masuk ke dalam dengan tergesa-ge
Justin mengendikan bahunya. "Hanya Giandra yang tahu. Walaupun aku bilang nggak siap, ternyata Giandra siap. Mungkin bisa kamu tanyakan saja pada Giandra langsung.""Nggak mau!""Ya udah kalau nggak mau. Aku gak maksa juga."Selena mengerucutkan bibirnya kemudian menoleh ke arah Diandra. Perempuan itu ternyata melihat kehadiran mereka. "Mas?" panggilnya kemudian."Heung? Kenapa, Sayang?"Selena menunjuk Diandra. "Dia sudah terlanjur melihat kita. Sebaiknya kita masuk ke dalam, Mas. Setidaknya memberi semangat untuk perjuangannya."Justin menoleh ke arah Diandra kemudian menatap Selena kembali. "Ayok!" Justin menggenggam tangan Selena lalu masuk ke dalam ruangan persalinan Diandra.Pria itu menepuk bahu Giandra yang tengah duduk di samping Diandra. "Udah bukaan berapa?" tanya Justin kemudian."Baru dua," ucapnya dengan pelan.Justin manggut-manggut. Sementara Selena menghampiri Diandra yang tengah menahan rasa sakit. Namun, tak bersuara sedikit pun. Hanya mengulas senyumnya kepada Sele
Giandra menghela napas pelan. "Dari mamanya. Amanda datang ke rumah gue sambil bawa Gino. Kasih tau ke Diandra kalau itu anak gue. Bahkan, dia berani tes DNA kalau gue gak mau mengakuinya."Justin menaikkan alisnya sebelah. "Apa maksudnya si Amanda datang ke rumah? Elo gak pernah nengokin anak elo sih! Jadi marah kan, si Amanda."Giandra menelan salivanya. "Gue gak pernah tengok Gino karena ada Fery. Dia yang bilang kalau gue udah gak punya urusan lagi sama Gino. Ya udah, gue menuruti perintah si Fery. Tapi, ternyata dia jebak gue."Justin manggut-manggut. Ia paham maksud arti dari kata menjebak. Karena pada akhirnya Amanda datang ke rumahnya, membawa Gino yang akhirnya membuat Diandra murka karena tidak tahu menau perihal Giandra memiliki anak dari perempuan lain."Terus, kondisi rumah tangga elo gimana sekarang?" tanya Justin kembali.Giandra mengendikan bahunya. "Dari awal Diandra memang gak pernah cinta sama gue. Gue yang udah jatuh cinta sama dia. Bisa dianggap kalau cinta itu be
Kevin memiringkan kepalanya menatap Justin. “Ketemu Diandra di toko donnut? Beliin Selena?”Justin mengangguk. “Iyalah. Buat siapa lagi!”Kevin tersenyum miring. “Ketemu Diandra, terus nyapa elo? Biasanya gak pernah nyapa sama sekali bahkan kata elo udah kayak warga negara asing? Cukup aneh. Mau minta maaf kali, ke elo.”“Minta maaf kok gak bilang waktu ketemu.”“Siapa tahu lupa.”“Mana mungkin lupa. Minta maaf itu harus pake niat. Otomatis pasti akan keinget terus.”“Ya udah. Gue juga gak tahu alasannya kenapa. Yang penting elo bersikap biasa aja sama Diandra.”Justin menghela napas pelan. “Kalau dia mau damai sama gue, semuanya selesai. Tapi, kalau damainya karena lagi berantem sama Giandra, patut dicurigai.”“Pinter! Jangan sampai elo tergoda oleh bujuk rayunya Diandra. Selena jauh lebih baik dari dia. Diandra juga baik. Tapi, istri elo saat ini Selena, bukan Diandra. Dia hanya masa lalu elo. Jangan goyah hanya karena tahu Diandra lagi marahan sama lakinya.”Justin menganggukkan ke
Kini, kondisi Selena sudah terlihat sedikit lebih baik. Hanya main sekali tidak masalah menurutnya.Selena menganggukkan kepalanya. “Silakan, Mas Justin!” ucapnya dengan lembut.Justin lantas mengecup kening Selena dan mengulas senyumnya. “Terima kasih, Sayang. Aku janji, hanya kelembutan yang akan aku lakukan padamu.”Selena mengangguk. “I trust you!”Justin pun memulainya. Membuka seluruh pakaian yang ia kenakan. Kemudian pakaian Selena. Penetrasi terlebih dahulu tentunya. Walau sinyal itu sudah terpancar begitu terang, Justin tidak akan selonong boy begitu saja.Memanjakan istri juga harus. Agar menggapai kenikmatan masing-masing. Tak ingin egois adalah salah satu sikap Justin yang paling baik jika dalam hal berhubungan intim.**Pagi hari telah tiba. Terik matahari mulai menyinari bumi. Mengintip di balik tirai jendela, mencoba masuk ke dalam tirai jendela kamar. Tidur terlelap setelah pergumulan semalam yang menurut Selena begitu indah.Penuh dengan kelembutan sesuai dengan janji
Justin menghela napasnya. “Surat ini … sengaja dia kasih ke kamu agar kamu membalas cinta dia? Selama ini kamu pura-pura cinta sama aku, padahal mencintai Andrian. Begitu?”Jelas perempuan itu menggelengkan kepalanya dengan cepat. Tangannya beradu karena harus mencari alasan yang logis agar Justin tidak marah padanya.“Lalu apa, Selena?” tanya Justin dengan suara menekan.Selena menghela napas pelan. “Maaf, Mas. Aku hanya ingin menyimpannya sebagai kenang-kenangan dari dia. Nggak ada lagi selain itu. Soal cinta, aku hanya mencintai kamu. Nggak ada lagi selain kamu.”Selena menatap Justin agar pria itu tahu, dia sedang berbicara dengan serius. Agar Justin paham dan mengurungkan niatnya untuk memarahinya.Justin memang tak berani memarahi Selena dalam keadaan hamil seperti ini. Yang dia lakukan hanya memutus kalung tersebut kemudian membuangnya dengan kasar ke lantai.Mata Selena hanya bisa menatap kalung yang kini sudah hancur itu. Sementara Justin pergi dari kamar tersebut. Namun, saa