“I-ini sa-saya jadi tamu?” tanya Zana merasa pilon.
Sebuah undangan luxurious berwarna putih bak salju mendarat di telapak tangannya. Tentu saja Zana tergegau.
Dari tadi dia sendirian di taman. Meratapi nasibnya yang harus mengalami patah hati tatkala pria yang selama satu tahun ini ia pacari ternyata selingkuh selama satu bulan di belakangnya.
Lebih parahnya lagi, dia lebih memilih selingkuhannya setelah Zana mengetahui pengkhianatannya.
Zana memutuskan duduk sendirian di taman, tak lama kemudian seorang pria datang memberikannya undangan.
Pria tampan di depan Zana ini menggeleng pelan. “Jadi pengantin,” terangnya, “bukannya nama Zanayya Auristella tertulis di sana?” Ia tersenyum kecil.
Dia mengulurkan tangannya, bermaksud untuk bersalaman. Tapi, Zana mengira dia sedang meminta kembali undangannya, makanya ia memberikannya.
Pemuda berseragam formal itu terkekeh pelan. Lucu juga. Katanya dalam hati.
Sekujur tubuh Zana mendadak tremor. “Ini, sebenarnya ... maksudnya apa ya?” Tanyanya bimbang.
Pria ini tiba-tiba datang memberinya undangan pernikahan. Bukannya menjadi tamu justru menjadi pengantinnya. Sejak kapan manusia ini membuat undangan tersebut yang di mana isi dari keseluruhannya adalah realitas. Pun, nama-nama yang tercantum di undangan, seperti nama orang tua dan beberapa kerabatnya memang benar adanya. Bagaimana semua ini terjadi begitu saja?
Dan mengapa aku nggak mengetahui tentang ini? Batinnya merasa pelik.
Zana berani menatap. Mengamati wajah itu yang tampak tidak asing lagi baginya. Entah ia merasa familiar saja atau mungkin perkiraannya benar.
“Lo ... mirip dengan seseorang,” sahut Zana tanpa menyebutkan namanya karena takut salah.
Zana menggigit pipi dalamnya. Karena lelah mendongak, gadis bertubuh mungil itu berdiri di hadapan dia. Zana tertawa di dalam hati, tetap saja harus mendongak, karena ia hanya setinggi pundaknya saja.
“Kakak lupa padaku?” Tanyanya dengan sopan. Dia tersenyum lembut. “Sampai sekarang, aku masih ingat betul bagaimana sosok perempuan yang minta dilemparkan tasnya ke luar batas gedung kepada orang asing. Niatnya mau bolos, ternyata gagal ketahuan ibu kantin,” Bebernya.
Bibir Zana membentuk simbol sirkuit. Pria itu merasa puas melihat keterkejutannya. “Aku, Zain, Kak Zana.” Akhirnya dia mengenalkan dirinya sendiri.
Melihat perubahan besar pada Zain membuat Zana sendiri menjadi canggung. Cowok di hadapannya saat ini sudah menjadi orang besar. Tidak tahu bagaimana caranya, kenyataannya Zana tidak begitu tahu bagaimana caranya bisa bertransisi seapik itu.
Tapi, mungkin saja dia telah melewati hari-hari yang begitu berat hingga berhasil berdiri di titik terang saatnya ia menikmati hasil jerih payahnya.
Zana mesem-mesem, tak tahu harus berekspresi seperti apa lagi. Cukup canggung bila bertemu, seseorang yang dulu pernah kenal kini mengenali wajahnya saja merasa ragu. Parasnya semakin tampan.
Dulu, dia tidak begitu peduli dengan rambut masainya, kulitnya agak gelap. Yang menjadikan ia tak berubah karena sikapnya. Keep calm and cool.
Sadar bila adik kelas semasa SMA-nya itu ingin mendengar jawabannya kini, Zana menatap lagi Zain yang juga memandangnya.
“Bisa dijelaskan? Gue nggak paham kenapa tiba-tiba datang dengan urusan menikah.”
Mata Zain berkedip lambat menatap wanita di hadapannya. Surai hitam legam Zana tertiup angin seolah-olah sedang menebarkan pesonanya.
***
Jam dinding menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Suasana di dalam rumah sewaan sederhana yang terletak di tepi jalan raya perumahan jl. Rawa Cemerlang penghuninya masih belum melelapkan mata mereka tuk segera beristirahat.
Marsha sesekali tertawa riang karena film yang dia tonton. Beberapa kemasan camilan dan tiga kotak minuman sedari tadi nangkring di atas meja.
Sepulang dari kantor, badannya memang terasa penat. Namun, jika belum nonton film rasanya ada yang kurang.
Gadis bertubuh agak berisi itu tertawa lagi seorang diri. Kedua matanya melirik ke ruang samping kanannya, kemudian kembali menoleh ke layar laptopnya. Jari telunjuk dan ibu jarinya mengapit sebutir makaroni pedas lalu memasukkannya ke dalam mulut dan mengunyahnya, tidak benar-benar sampai halus kemudian menelannya. Ia menoleh ke arah yang sama lalu berpaling lagi ke layar laptopnya.
Karena penasaran, ia menjeda film yang ditontonnya. Kedua kakinya yang tadi bersilang di atas sofa harus turun memijak lantai keramik lalu mengarahkannya ke ruang depan, ia mencolek pipinya untuk bertanya.
“Dari pulang sore tadi muka lo kayak banyak masalah begitu, sih, Na? Kenapa?” tanya Marsha memuntahkan pertanyaan yang bersarang di kepala.
Zana terdesak duduk bersila dan menyandarkan punggungnya di kepala sofa. Bantal ia taruh di pangkuannya, membiarkan temannya itu mengisi kekosongan sofa di sebelahnya.
“Cerita deh sama gue, atau lo nggak bisa tidur ntar.”
“Memang nggak akan bisa tidur, Sha.” Pasang wajah sedihnya, Zana memberi tanda-tanda ingin merengek.
Kalau sudah melihat temannya begitu, Marsha bisa menebak masalah yang dihadapi Zana pasti serius sekali.
Zana mengambil sesuatu di dalam tas kecilnya, menaruh sebuah undangan bergaya unik itu yang sejak tadi menghantui pikirannya.
“Undangan siapa sampai-sampai lo galau begini? Unik ya modelnya, pasti mahal banget ya biaya percetakannya? Undangan anak para Sultan ini mah.” Marsha tak berhenti mencerocos.
Membolak-balikkan undangan berwarna putih yang tampak elegan dan mewah. Ia buka isinya. Cukup mengejutkan, nama yang tertera di sana jelas membuat jantungnya serasa ingin melompat keluar dan menjerit tidak mungkin!
Padahal ia tahu Zana hanya memiliki satu pacar, yaitu Reza. Lantas, ada apakah gerangan sehingga pasangan yang tertera di sana terpampang nama Zainuddin Alskara? Nama yang tidak asing baginya.
Pucuk dicinta ulam pun tiba, atau lebih pantasnya mati satu tumbuh seribu. Kenapa temannya yang satu ini menjadi sangat beruntung?
Marsha menggigit bibir bawahnya meratapi dinding yang hanya bisa menjadi saksi bisu saja.
Zana menatap nama lengkapnya yang tertulis di atas kaca akrilik dengan aksara kaligrafi berwarna putih. Bisa saja ia merasa senang karena memiliki undangan pernikahannya sebegini mewahnya.
Namun, ia tak bisa membayangkan jika pernikahan terikat bukan dengan orang yang ia cintai.
Masih diingatnya bagaimana obrolan dirinya dan Zain tadi sore di taman. Karena langit mulai gelap, dia mengajaknya mengobrol di cafe. Obrolan yang memecah rasa penasaran yang masih hinggap di pikiran Zana.
“Seminggu yang lalu, aku pergi mengunjungi keluarga Kakak. Tau dari kak Ega, kami awalnya bekerja sama dalam suatu proyek yang di mana sama-sama bisa menguntungkan perusahaan masing-masing.”
Zain mengangguk sembari tersenyum kecil ketika seorang waiters datang ke meja mereka mengantar pesanan yang sudah diajukan beberapa menit lalu. Zana hanya memerhatikan saja sang waiters bersemu merah pipinya. Bisa ia tebak, dia menggandrungi pria dua tahun lebih muda darinya itu.
“Kak Zana, aku memiliki teman sebaik kak Ega. Saat memiliki waktu luang, kak Ega mengundangku untuk makan malam di rumah Kakak. Memperkenalkan seluruh keluarga termasuk Kak Zana,” Mata elangnya berkedip, “aku tau Kak Zana tinggal di rumah sewaan karena ingin hidup mandiri. Saat itu aku cukup kaget karena Zana yang mereka kira ternyata Kakak.”
Zain tersenyum entah apa maksudnya, Zana tak mengerti. “Kakak kelas sewaktu SMA. Semakin yakin ketika kak Ega memperlihatkan foto Kakak, mereka berpendapat bagaimana kalau aku mencoba berhubungan dengan Kak Zana?”
Detak jantung Zana sedari tadi terus berpacu cepat. Bertambah gugup dan resah. Takut Zain datang hanya karena dijodohkan.
“Kak Ega banyak cerita, sih. Kakak punya pacar. Jadi, dia agak ragu ngenalin Kakak ke aku.” Rampungnya, nadanya terdengar kecewa.
That's why. Tiga hari yang lalu, kakak laki-lakinya itu menghubunginya tentang bagaimana hubungannya dengan Reza. Apa mungkin ada hubungannya masalah mereka dengan Reza? Apa sebenarnya Reza tidak selingkuh. Tapi, terpaksa melakukannya karena kecaman dari kakaknya?
“Dua hari yang lalu, aku ngeliat pacar Kakak sama wanita lain di mal.”
“Kok lo tau pacar gue—hm, ma-maksudnya mantan pacar,” Ralat Zana rikuh, “dari mana lo tau dia?” Tanyanya galak.
Zain mengambil alih perhatian penuh kepada wanita cantik di hadapannya seusai menyeduh kopi panasnya. “Entah kebetulan atau sengaja, aku pernah melihat kebersamaan kalian di mal.”
“Lagi-lagi. Apa lo kerja di sana?” tanya Zana menukik alisnya.
“Bukan. Kakak bisa cari aku di Zeaash group.” Zain menggeser card name di depan meja Zana. “Cuma karena klien sering minta rapat di sana, letaknya yang cukup strategis. Lagi pula di lantai dua itu ada ruang cafe luas di mana nuansanya sangat cocok menukar pikiran dengan pekerjaan apa pun, kan?”
Sangat tepat sekali, bahkan ketika Zana lelah berada di bawah tekanan bertumpuk-tumpuk pelajaran yang harus diulang. Ia sering kali melarikan diri ke sana. Kalau begitu, bisa jadi Zain pernah melihatnya sesekali di sana, kan? Atau malah sering?
Zain dengan mata lelahnya berkedip. Mengambil atensi penuh sedari tadi kepada wanita di hadapannya. Zana berpikir, apakah dia lelah bekerja? Tapi, karena ingin berbicara dengannya, dia berusaha untuk tetap terjaga sesekali menyeduh kopinya agar tetap melek. “Aku tau pacar Kakak selingkuh, kemungkinan besar kalian akan segera mengakhiri hubungan. Jadi, aku pikir dengan begitu aku bisa menikahi Kakak langsung,” Katanya tanpa ragu. “Tapi, kenapa?” Sonder Zana ketahui, ia meninggikan suaranya. Lantas ia menjadi pusat perhatian pengunjung cafe. Zana berdehem mencoba untuk tidak merasa rikuh. “Apa karena lo merasa berjasa kepada Kakak gue?” Tebaknya dengan suara pelan. Nyaris terdengar seperti berbisik. Zain sedikit mencondongkan dirinya ke depan. “Justru kak Ega yang merasa berjasa kepadaku, karena aku banyak membantunya.” jawabnya ikut berbisik seperti yang dilakukan Zana lalu diakhiri dengan senyuman manis. Sudut mata
Zain mengusap pelipisnya kanannya. “Masih di kantor. Ada apa, Mah? Kok nelpon? Belum tidur?” tanya Zain khawatir.Handphonenya ia pindahkan ke telinga kirinya. Tangan yang lain sibuk menari-narikan mouse di alas mouse pad.Jika pulang terlambat, mamanya pasti mengkhawatirkannya dan meneleponnya seperti saat ini.Punggung tangannya kontan menutup mulutnya ujug-ujug menguap, sedikit lagi ia berhasil menyelesaikan pekerjaannya.“Jangan terlalu memaksakan diri untuk bekerja, Zain. Pulanglah, Nak. Jam kerja kamu seharusnya sudah selesai, kan tadi sore?”“Iya, Mah. Ini sudah mau selesai.” Kedua netra cokelat Zain tidak lepas dari layar laptopnya.“Ya sudah, kalau capek jangan paksakan ya, Zain. Cepat pulang.”“Iya, Mah. Ini udah mau beres-beres kok.” Tangan kanannya bekerja menyusun berkas-berkas. Mematikan laptopnya lalu menyimpannya di dalam tas. “Udah dulu ya, Mah. Aku mau
Zana mengelap ingusnya dengan tisu, satu lubang hidungnya mendadak tidak bisa berfungsi hingga menimbulkan sakit kepala yang membuat Zana semakin malas bangun dari tidurnya.Nada dering telepon serta getaran yang mengganggu ketenangannya memaksa lengan kiri Zana mengulur meraih benda pipih itu kembali.“Assalamu’alaikum, Zana.”“Wa’alaikumussalam, Mah.” jawab Zana dengan suara seraknya.Ketika mencoba bernapas seperti biasanya membuat matanya berair saking sakitnya kepala.“Bagaimana dengan kondisi kamu, Sayang. Udah baikkan? Udah pergi ke Dokter?” tanya sang mama yang terdengar khawatir dengan kondisi anak bungsunya itu.“Cuma minum obat aja, Mah.” jawab wanita itu malas.Kedua matanya terpejam rapat. Sesekali ia menyendal ingusnya kuat-kuat karena susah bernapas.“Gimana acaranya, Mah. Udah selesai?” Tanyanya.Meski kurang suka juga menyadari dirin
Meski sempat suka.Ya, sebagai wanita dewasa yang normal. Tentu saja pria tipe semacam Zainuddin Alskara adalah idaman para wanita termasuk Marsha Quinara.Selama ini, Zain tidak pernah terdengar desas-desus mendekati, berpacaran ataupun niat menikah dengan seorang wanita.Tapi, ketika tahu sekali-sekali berhubungan dengan wanita langsung diajak menikah. Bagaimana karyawan sekantor tidak geger? Para karyawan cewek langsung patah hati mendengarnya.“Tau diri sih, lagian para karyawan pun nggak ada yang sanggup memikat hatinya pak Zain termasuk gue.” Gumamnya pelan, Marsha tersenyum kecut. “Beruntung banget lo, Zana.”Marsha beralih ke dapur untuk membuatkan bubur untuk Zana dan secangkir kopi untuk bosnya.***Zain duduk di sisi ranjang dengan tenangnya, memandangi wajah pucat sang istri yang tampak enggan membuka mata atau sebenarnya dia tahu akan kehadirannya, tapi memilih tidak ped
Zana menggigit rakus jarinya. Wajah yang tampak gelisah semenjak tadi malam. "Nggak ... nggak. Gue nggak boleh jadi terhanyut dengan sikap manisnya," Monolognya. Zana menggelengkan kepalanya berulang kali. Menghindari perasaan nyaman terhadap Zain. Zana bolak-balik di depan kamar barunya. Setelah sembuh dari sakitnya, dua hari Zain berada di rumah sewaannya akhirnya mereka jadi pindah tadi malam, ia pikir rumahnya benar-benar banyak debu dan bau. Ternyata di rumah itu sudah ada dua orang pembantu mengurus rumah dengan baik. Zain bilang, pembantu itu baru saja diperkerjakan kemarin. Jadi, Zana tidak perlu merasa khawatir dan lelah mengurus rumah. Ia bisa masak jika menginginkannya. "Kenapa kamu di sini? Udah makan kan?" Suara itu mengejutkan Zana. Membalikkan badannya ketika mendapati Zain lengkap dengan seragam kantornya. Mereka memang pisah kamar. Zana yang menginginkannya. "Aku ... akan makan nanti," balasn
Zana menggigit rakus jarinya. Wajah yang tampak gelisah semenjak tadi malam. "Nggak ... nggak. Gue nggak boleh jadi terhanyut dengan sikap manisnya," Monolognya. Zana menggelengkan kepalanya berulang kali. Menghindari perasaan nyaman terhadap Zain. Zana bolak-balik di depan kamar barunya. Setelah sembuh dari sakitnya, dua hari Zain berada di rumah sewaannya akhirnya mereka jadi pindah tadi malam, ia pikir rumahnya benar-benar banyak debu dan bau. Ternyata di rumah itu sudah ada dua orang pembantu mengurus rumah dengan baik. Zain bilang, pembantu itu baru saja diperkerjakan kemarin. Jadi, Zana tidak perlu merasa khawatir dan lelah mengurus rumah. Ia bisa masak jika menginginkannya. "Kenapa kamu di sini? Udah makan kan?" Suara itu mengejutkan Zana. Membalikkan badannya ketika mendapati Zain lengkap dengan seragam kantornya. Mereka memang pisah kamar. Zana yang menginginkannya. "Aku ... akan makan nanti," balasn
Meski sempat suka.Ya, sebagai wanita dewasa yang normal. Tentu saja pria tipe semacam Zainuddin Alskara adalah idaman para wanita termasuk Marsha Quinara.Selama ini, Zain tidak pernah terdengar desas-desus mendekati, berpacaran ataupun niat menikah dengan seorang wanita.Tapi, ketika tahu sekali-sekali berhubungan dengan wanita langsung diajak menikah. Bagaimana karyawan sekantor tidak geger? Para karyawan cewek langsung patah hati mendengarnya.“Tau diri sih, lagian para karyawan pun nggak ada yang sanggup memikat hatinya pak Zain termasuk gue.” Gumamnya pelan, Marsha tersenyum kecut. “Beruntung banget lo, Zana.”Marsha beralih ke dapur untuk membuatkan bubur untuk Zana dan secangkir kopi untuk bosnya.***Zain duduk di sisi ranjang dengan tenangnya, memandangi wajah pucat sang istri yang tampak enggan membuka mata atau sebenarnya dia tahu akan kehadirannya, tapi memilih tidak ped
Zana mengelap ingusnya dengan tisu, satu lubang hidungnya mendadak tidak bisa berfungsi hingga menimbulkan sakit kepala yang membuat Zana semakin malas bangun dari tidurnya.Nada dering telepon serta getaran yang mengganggu ketenangannya memaksa lengan kiri Zana mengulur meraih benda pipih itu kembali.“Assalamu’alaikum, Zana.”“Wa’alaikumussalam, Mah.” jawab Zana dengan suara seraknya.Ketika mencoba bernapas seperti biasanya membuat matanya berair saking sakitnya kepala.“Bagaimana dengan kondisi kamu, Sayang. Udah baikkan? Udah pergi ke Dokter?” tanya sang mama yang terdengar khawatir dengan kondisi anak bungsunya itu.“Cuma minum obat aja, Mah.” jawab wanita itu malas.Kedua matanya terpejam rapat. Sesekali ia menyendal ingusnya kuat-kuat karena susah bernapas.“Gimana acaranya, Mah. Udah selesai?” Tanyanya.Meski kurang suka juga menyadari dirin
Zain mengusap pelipisnya kanannya. “Masih di kantor. Ada apa, Mah? Kok nelpon? Belum tidur?” tanya Zain khawatir.Handphonenya ia pindahkan ke telinga kirinya. Tangan yang lain sibuk menari-narikan mouse di alas mouse pad.Jika pulang terlambat, mamanya pasti mengkhawatirkannya dan meneleponnya seperti saat ini.Punggung tangannya kontan menutup mulutnya ujug-ujug menguap, sedikit lagi ia berhasil menyelesaikan pekerjaannya.“Jangan terlalu memaksakan diri untuk bekerja, Zain. Pulanglah, Nak. Jam kerja kamu seharusnya sudah selesai, kan tadi sore?”“Iya, Mah. Ini sudah mau selesai.” Kedua netra cokelat Zain tidak lepas dari layar laptopnya.“Ya sudah, kalau capek jangan paksakan ya, Zain. Cepat pulang.”“Iya, Mah. Ini udah mau beres-beres kok.” Tangan kanannya bekerja menyusun berkas-berkas. Mematikan laptopnya lalu menyimpannya di dalam tas. “Udah dulu ya, Mah. Aku mau
Zain dengan mata lelahnya berkedip. Mengambil atensi penuh sedari tadi kepada wanita di hadapannya. Zana berpikir, apakah dia lelah bekerja? Tapi, karena ingin berbicara dengannya, dia berusaha untuk tetap terjaga sesekali menyeduh kopinya agar tetap melek. “Aku tau pacar Kakak selingkuh, kemungkinan besar kalian akan segera mengakhiri hubungan. Jadi, aku pikir dengan begitu aku bisa menikahi Kakak langsung,” Katanya tanpa ragu. “Tapi, kenapa?” Sonder Zana ketahui, ia meninggikan suaranya. Lantas ia menjadi pusat perhatian pengunjung cafe. Zana berdehem mencoba untuk tidak merasa rikuh. “Apa karena lo merasa berjasa kepada Kakak gue?” Tebaknya dengan suara pelan. Nyaris terdengar seperti berbisik. Zain sedikit mencondongkan dirinya ke depan. “Justru kak Ega yang merasa berjasa kepadaku, karena aku banyak membantunya.” jawabnya ikut berbisik seperti yang dilakukan Zana lalu diakhiri dengan senyuman manis. Sudut mata
“I-ini sa-saya jadi tamu?” tanya Zana merasa pilon.Sebuah undangan luxurious berwarna putih bak salju mendarat di telapak tangannya. Tentu saja Zana tergegau.Dari tadi dia sendirian di taman. Meratapi nasibnya yang harus mengalami patah hati tatkala pria yang selama satu tahun ini ia pacari ternyata selingkuh selama satu bulan di belakangnya.Lebih parahnya lagi, dia lebih memilih selingkuhannya setelah Zana mengetahui pengkhianatannya.Zana memutuskan duduk sendirian di taman, tak lama kemudian seorang pria datang memberikannya undangan.Pria tampan di depan Zana ini menggeleng pelan. “Jadi pengantin,” terangnya, “bukannya nama Zanayya Auristella tertulis di sana?” Ia tersenyum kecil.Dia mengulurkan tangannya, bermaksud untuk bersalaman. Tapi, Zana mengira dia sedang meminta kembali undangannya, makanya ia memberikannya.Pemuda berseragam formal itu terkekeh pelan. Lucu juga. Katanya dalam hati.