Zana menggigit rakus jarinya. Wajah yang tampak gelisah semenjak tadi malam.
"Nggak ... nggak. Gue nggak boleh jadi terhanyut dengan sikap manisnya," Monolognya. Zana menggelengkan kepalanya berulang kali. Menghindari perasaan nyaman terhadap Zain.
Zana bolak-balik di depan kamar barunya. Setelah sembuh dari sakitnya, dua hari Zain berada di rumah sewaannya akhirnya mereka jadi pindah tadi malam, ia pikir rumahnya benar-benar banyak debu dan bau. Ternyata di rumah itu sudah ada dua orang pembantu mengurus rumah dengan baik.
Zain bilang, pembantu itu baru saja diperkerjakan kemarin. Jadi, Zana tidak perlu merasa khawatir dan lelah mengurus rumah. Ia bisa masak jika menginginkannya.
"Kenapa kamu di sini? Udah makan kan?" Suara itu mengejutkan Zana. Membalikkan badannya ketika mendapati Zain lengkap dengan seragam kantornya.
Mereka memang pisah kamar. Zana yang menginginkannya.
"Aku ... akan makan nanti," balasnya kagok. Menggerakkan sedikit kepalanya. Zana mundur sedikit karena tidak mau berdekatan dengan pria itu meski tahu dia adalah suaminya.
Zain mengulas senyum tipis. "Ya udah, makan ya. Jangan telat makan. Aku berangkat ke kantor dulu."
Zana mengangguk pelan lalu masuk ke kamar. Tidak begitu peduli bila Zain berniat mencium keningnya setelah ia berinisiatif menyalami tangannya.
***
Zana baru saja menelepon tante Linda, ibu salah seorang muridnya. Bahwa sore nanti ia sudah mulai bisa mengajar anaknya. Meski Zain telah memberi kartu VIP gold yang jumlahnya tidak tanggung-tanggung banyaknya, Zana tetap ingin bekerja dan ingin menikmati uang hasil jerih payahnya sendiri.
Toh! Sampai sekarang ia tidak mengerti apa yang membuat Zain benar ingin menikahinya padahal bertahun-tahun sudah tidak bertemu. Sekalinya bertemu malah memberikan undangan pernikahan yang membuatnya jantungan.
Bukan tak mungkin Zain bisa mendapatkan wanita lebih cantik darinya. Meski ia sendiri mengakui betapa tampannya pria itu, namun Zana tipikal wanita yang tidak suka pada pria yang berumur lebih muda darinya.
Zana melihat ke penjuru ruangan. Memijak undakan tangga yang setengah melingkar menuju lantai bawah. Rumah ini cukup mewah dan besar, tak salah mengira bahwa Zain ini memang pria kaya raya dan ramah.
"Sudah, nggak apa-apa. Biar saya aja, Bi." Zana menolak dilayani ketika salah satu pembantu hendak mendekati meja makan.
"Baik, Non. Kalau begitu saya permisi." Dia mundur pergi, mengambil kemocengnya lagi lalu pergi ke ruangan lain melanjutkan tugasnya.
Setelah berkutat dengan sarapannya, Zana pergi ke kamarnya lagi. Rumah yang benar-benar sepi sampai ia merindukan kembali temannya, Marsha. Pasti dia sedih karena sendirian di rumah.
"Gue sama sekali nggak paham ke mana arah pernikahan ini nanti." Zana menghela napas sembari melihat pemandangan luar dari balkon kamarnya. "
***
Pintu diketuk tiga kali membuat sorot pandang Zain yang tengah mengamati layar laptopnya berhenti sejenak.
"Masuk." ujarnya tanpa memutuskan perhatiannya ke layar laptopnya.
Terdengar suara ketukan high heels di lantai keramik secara berirama. Seorang wanita berpakaian minim berjalan mendekat ke meja kerja Zain setelah pintu ditutup rapat.
Senyum anggunnya tampak manis sekali, namun pria yang ia coba untuk menaklukkan hatinya itu sama sekali tidak menoleh hingga sudut bibirnya mencebik kesal. "Ini kopi buat Bapak." katanya dengan suara yang sengaja di lembut-lembutkan.
"Terima kasih." balas Zain mengedipkan matanya sekali memindai kopi hitam kemudian ke depan.
Merasa salah satu staf perusahaannya itu tak urung meninggalkan ruangan, Zain mengangkat dagunya. "Apa ada yang ingin kamu sampaikan, Thary?"
Tampak sekali wajahnya mengerut kesal. "Aku sudah mencoba untuk membuatmu jatuh cinta padaku, tapi kenapa kamu gak suka sama aku? Kenapa kamu menikah dengan wanita lain?"
Thary memang mencoba dekat dengan Zain beberapa bulan ini meski tahu Zain adalah bosnya, tetap saja Thary tidak malu-malu mengungkapkan isi hatinya dan Zain menghargai kejujurannya. Tapi, jika untuk cinta rasanya sampai sejauh ini hatinya masih tidak tersentuh.
"Maaf, Thary. Saya tidak bisa karena saya memang tidak ada rasa sama kamu." Zain berkata jujur. "Dari awal saya sudah menyuruh kamu buat berhenti. Tapi kamu tetap mau mencobanya kan? Sekali lagi saya minta maaf. Saya tidak bisa."
Mata Thary menjadi berembun. Namun, ia tahan. Kedua tangannya mengepal menahan pilu di dalam dada. "Kenapa Bapak gak suka sama saya? Apa saya kurang cantik, Pak?" tanyanya frustrasi. Memegangi rambut yang tergerai indah di kepalanya.
"Kamu tidak apa-apa Thary. Justru saya yang tidak bisa menyukai kamu. Silakan keluar, lanjutkan pekerjaanmu." Zain mempersilakan wanita itu keluar.
Thary membalikkan badannya, pergi dari ruangan tersebut dengan hati yang terluka. Sudah tidak ada lagi harapan.
Tanpa sadar Zain menghela napasnya. Menatap kosong pada kopi hitam di atas mejanya. Ia teringat Zana. Empat hari yang lalu mereka resmi menikah, tapi tak ada cinta di keduanya.
Zain menikah dengan Zana itu karena hatinya tak pernah menemukan yang spesial. Zain belum menyukai Zana, tapi ia tidak akan membuatnya bersedih. Karena sudah tugasnya seorang suami membahagiakan istrinya.
Jika dikatakan ia belum move on sama seseorang yang sudah lama lenyap dari kehidupannya, ia tidak merasa begitu. Hanya saja ... rindu yang tak berarti.
***
"Di dunia ini gak ada yang namanya cinta tulus seperti pantat bayi yang mulus, Kakak. Aku tau dia lagi manfaatin Kakak. Kekayaan yang berlimpah!" Zana berbicara dengan sangat antusias.
Mengangkat tangannya tinggi-tinggi seolah menggapai langit. Sementara Ega menggeleng-gelengkan kepalanya, adik bungsunya ini tetap seperti anak kecil yang aktif. Saat bicara pun dirasa tidak perlu memilih-milih kosakata yang sopan atau tidak. Sikap blak-blakannya tidak akan pernah hilang.
"Setelah aku mengalami patah hati. Aku sudah gak butuh cowok lagi."
"Zana, tidak semua laki-laki itu jahat." petuah Rera, ibunya.
"Tapi, Ma. Gak mungkin Zain suka sama aku secepat itu. Kami baru aja ketemu empat hari yang lalu." Zana menyingkirkan tangan usil menjawil pipinya.
Ega meringis mendapat cubitan keras dari adik kesayangannya. "Contohnya Kakak gak jahat loh." Menunjuk dirinya sendiri.
"Ngh ... kata siapa? Yang ninggalin aku waktu di danau siapa? Katanya cuma sebentar, tapi apa? Kakak jemput aku pulang udah mau senja!" cetusnya.
Ega terdiam. Sedetik kemudian dia mengapit kepala si bungsu di antara ketiaknya membuat wanita itu berteriak minta dilepas. "Kamu harus bahagia sama Zain, Na. Urusan cinta belakangan. Dan kamu juga harus melupakan masa lalu, membuka hati yang baru."
Sedangkan Rera yang melihat kedekatan mereka tidak pernah berubah. Meski Ega sudah punya anak tetap saja kasihs ayangnya tak pernah luntur.
"Ma," Zana berkata lirih setelah berhasil lepas dari kakaknya. "Kalau aku minta cerai ... gak apa-apa kan?"
Zain memang terlihat memiliki segalanya, sama seperti Reza. Zain memang tampan, tapi Reza juga tak kalah menarik. Jadi, Zana tidak akan terbujuk rayu dengan ketampanan yang dimilikinya. Ia hanya tidak ingin kejadian sama terulang lagi.
"Assalamu'alaikum!"
“I-ini sa-saya jadi tamu?” tanya Zana merasa pilon.Sebuah undangan luxurious berwarna putih bak salju mendarat di telapak tangannya. Tentu saja Zana tergegau.Dari tadi dia sendirian di taman. Meratapi nasibnya yang harus mengalami patah hati tatkala pria yang selama satu tahun ini ia pacari ternyata selingkuh selama satu bulan di belakangnya.Lebih parahnya lagi, dia lebih memilih selingkuhannya setelah Zana mengetahui pengkhianatannya.Zana memutuskan duduk sendirian di taman, tak lama kemudian seorang pria datang memberikannya undangan.Pria tampan di depan Zana ini menggeleng pelan. “Jadi pengantin,” terangnya, “bukannya nama Zanayya Auristella tertulis di sana?” Ia tersenyum kecil.Dia mengulurkan tangannya, bermaksud untuk bersalaman. Tapi, Zana mengira dia sedang meminta kembali undangannya, makanya ia memberikannya.Pemuda berseragam formal itu terkekeh pelan. Lucu juga. Katanya dalam hati.
Zain dengan mata lelahnya berkedip. Mengambil atensi penuh sedari tadi kepada wanita di hadapannya. Zana berpikir, apakah dia lelah bekerja? Tapi, karena ingin berbicara dengannya, dia berusaha untuk tetap terjaga sesekali menyeduh kopinya agar tetap melek. “Aku tau pacar Kakak selingkuh, kemungkinan besar kalian akan segera mengakhiri hubungan. Jadi, aku pikir dengan begitu aku bisa menikahi Kakak langsung,” Katanya tanpa ragu. “Tapi, kenapa?” Sonder Zana ketahui, ia meninggikan suaranya. Lantas ia menjadi pusat perhatian pengunjung cafe. Zana berdehem mencoba untuk tidak merasa rikuh. “Apa karena lo merasa berjasa kepada Kakak gue?” Tebaknya dengan suara pelan. Nyaris terdengar seperti berbisik. Zain sedikit mencondongkan dirinya ke depan. “Justru kak Ega yang merasa berjasa kepadaku, karena aku banyak membantunya.” jawabnya ikut berbisik seperti yang dilakukan Zana lalu diakhiri dengan senyuman manis. Sudut mata
Zain mengusap pelipisnya kanannya. “Masih di kantor. Ada apa, Mah? Kok nelpon? Belum tidur?” tanya Zain khawatir.Handphonenya ia pindahkan ke telinga kirinya. Tangan yang lain sibuk menari-narikan mouse di alas mouse pad.Jika pulang terlambat, mamanya pasti mengkhawatirkannya dan meneleponnya seperti saat ini.Punggung tangannya kontan menutup mulutnya ujug-ujug menguap, sedikit lagi ia berhasil menyelesaikan pekerjaannya.“Jangan terlalu memaksakan diri untuk bekerja, Zain. Pulanglah, Nak. Jam kerja kamu seharusnya sudah selesai, kan tadi sore?”“Iya, Mah. Ini sudah mau selesai.” Kedua netra cokelat Zain tidak lepas dari layar laptopnya.“Ya sudah, kalau capek jangan paksakan ya, Zain. Cepat pulang.”“Iya, Mah. Ini udah mau beres-beres kok.” Tangan kanannya bekerja menyusun berkas-berkas. Mematikan laptopnya lalu menyimpannya di dalam tas. “Udah dulu ya, Mah. Aku mau
Zana mengelap ingusnya dengan tisu, satu lubang hidungnya mendadak tidak bisa berfungsi hingga menimbulkan sakit kepala yang membuat Zana semakin malas bangun dari tidurnya.Nada dering telepon serta getaran yang mengganggu ketenangannya memaksa lengan kiri Zana mengulur meraih benda pipih itu kembali.“Assalamu’alaikum, Zana.”“Wa’alaikumussalam, Mah.” jawab Zana dengan suara seraknya.Ketika mencoba bernapas seperti biasanya membuat matanya berair saking sakitnya kepala.“Bagaimana dengan kondisi kamu, Sayang. Udah baikkan? Udah pergi ke Dokter?” tanya sang mama yang terdengar khawatir dengan kondisi anak bungsunya itu.“Cuma minum obat aja, Mah.” jawab wanita itu malas.Kedua matanya terpejam rapat. Sesekali ia menyendal ingusnya kuat-kuat karena susah bernapas.“Gimana acaranya, Mah. Udah selesai?” Tanyanya.Meski kurang suka juga menyadari dirin
Meski sempat suka.Ya, sebagai wanita dewasa yang normal. Tentu saja pria tipe semacam Zainuddin Alskara adalah idaman para wanita termasuk Marsha Quinara.Selama ini, Zain tidak pernah terdengar desas-desus mendekati, berpacaran ataupun niat menikah dengan seorang wanita.Tapi, ketika tahu sekali-sekali berhubungan dengan wanita langsung diajak menikah. Bagaimana karyawan sekantor tidak geger? Para karyawan cewek langsung patah hati mendengarnya.“Tau diri sih, lagian para karyawan pun nggak ada yang sanggup memikat hatinya pak Zain termasuk gue.” Gumamnya pelan, Marsha tersenyum kecut. “Beruntung banget lo, Zana.”Marsha beralih ke dapur untuk membuatkan bubur untuk Zana dan secangkir kopi untuk bosnya.***Zain duduk di sisi ranjang dengan tenangnya, memandangi wajah pucat sang istri yang tampak enggan membuka mata atau sebenarnya dia tahu akan kehadirannya, tapi memilih tidak ped
Zana menggigit rakus jarinya. Wajah yang tampak gelisah semenjak tadi malam. "Nggak ... nggak. Gue nggak boleh jadi terhanyut dengan sikap manisnya," Monolognya. Zana menggelengkan kepalanya berulang kali. Menghindari perasaan nyaman terhadap Zain. Zana bolak-balik di depan kamar barunya. Setelah sembuh dari sakitnya, dua hari Zain berada di rumah sewaannya akhirnya mereka jadi pindah tadi malam, ia pikir rumahnya benar-benar banyak debu dan bau. Ternyata di rumah itu sudah ada dua orang pembantu mengurus rumah dengan baik. Zain bilang, pembantu itu baru saja diperkerjakan kemarin. Jadi, Zana tidak perlu merasa khawatir dan lelah mengurus rumah. Ia bisa masak jika menginginkannya. "Kenapa kamu di sini? Udah makan kan?" Suara itu mengejutkan Zana. Membalikkan badannya ketika mendapati Zain lengkap dengan seragam kantornya. Mereka memang pisah kamar. Zana yang menginginkannya. "Aku ... akan makan nanti," balasn
Meski sempat suka.Ya, sebagai wanita dewasa yang normal. Tentu saja pria tipe semacam Zainuddin Alskara adalah idaman para wanita termasuk Marsha Quinara.Selama ini, Zain tidak pernah terdengar desas-desus mendekati, berpacaran ataupun niat menikah dengan seorang wanita.Tapi, ketika tahu sekali-sekali berhubungan dengan wanita langsung diajak menikah. Bagaimana karyawan sekantor tidak geger? Para karyawan cewek langsung patah hati mendengarnya.“Tau diri sih, lagian para karyawan pun nggak ada yang sanggup memikat hatinya pak Zain termasuk gue.” Gumamnya pelan, Marsha tersenyum kecut. “Beruntung banget lo, Zana.”Marsha beralih ke dapur untuk membuatkan bubur untuk Zana dan secangkir kopi untuk bosnya.***Zain duduk di sisi ranjang dengan tenangnya, memandangi wajah pucat sang istri yang tampak enggan membuka mata atau sebenarnya dia tahu akan kehadirannya, tapi memilih tidak ped
Zana mengelap ingusnya dengan tisu, satu lubang hidungnya mendadak tidak bisa berfungsi hingga menimbulkan sakit kepala yang membuat Zana semakin malas bangun dari tidurnya.Nada dering telepon serta getaran yang mengganggu ketenangannya memaksa lengan kiri Zana mengulur meraih benda pipih itu kembali.“Assalamu’alaikum, Zana.”“Wa’alaikumussalam, Mah.” jawab Zana dengan suara seraknya.Ketika mencoba bernapas seperti biasanya membuat matanya berair saking sakitnya kepala.“Bagaimana dengan kondisi kamu, Sayang. Udah baikkan? Udah pergi ke Dokter?” tanya sang mama yang terdengar khawatir dengan kondisi anak bungsunya itu.“Cuma minum obat aja, Mah.” jawab wanita itu malas.Kedua matanya terpejam rapat. Sesekali ia menyendal ingusnya kuat-kuat karena susah bernapas.“Gimana acaranya, Mah. Udah selesai?” Tanyanya.Meski kurang suka juga menyadari dirin
Zain mengusap pelipisnya kanannya. “Masih di kantor. Ada apa, Mah? Kok nelpon? Belum tidur?” tanya Zain khawatir.Handphonenya ia pindahkan ke telinga kirinya. Tangan yang lain sibuk menari-narikan mouse di alas mouse pad.Jika pulang terlambat, mamanya pasti mengkhawatirkannya dan meneleponnya seperti saat ini.Punggung tangannya kontan menutup mulutnya ujug-ujug menguap, sedikit lagi ia berhasil menyelesaikan pekerjaannya.“Jangan terlalu memaksakan diri untuk bekerja, Zain. Pulanglah, Nak. Jam kerja kamu seharusnya sudah selesai, kan tadi sore?”“Iya, Mah. Ini sudah mau selesai.” Kedua netra cokelat Zain tidak lepas dari layar laptopnya.“Ya sudah, kalau capek jangan paksakan ya, Zain. Cepat pulang.”“Iya, Mah. Ini udah mau beres-beres kok.” Tangan kanannya bekerja menyusun berkas-berkas. Mematikan laptopnya lalu menyimpannya di dalam tas. “Udah dulu ya, Mah. Aku mau
Zain dengan mata lelahnya berkedip. Mengambil atensi penuh sedari tadi kepada wanita di hadapannya. Zana berpikir, apakah dia lelah bekerja? Tapi, karena ingin berbicara dengannya, dia berusaha untuk tetap terjaga sesekali menyeduh kopinya agar tetap melek. “Aku tau pacar Kakak selingkuh, kemungkinan besar kalian akan segera mengakhiri hubungan. Jadi, aku pikir dengan begitu aku bisa menikahi Kakak langsung,” Katanya tanpa ragu. “Tapi, kenapa?” Sonder Zana ketahui, ia meninggikan suaranya. Lantas ia menjadi pusat perhatian pengunjung cafe. Zana berdehem mencoba untuk tidak merasa rikuh. “Apa karena lo merasa berjasa kepada Kakak gue?” Tebaknya dengan suara pelan. Nyaris terdengar seperti berbisik. Zain sedikit mencondongkan dirinya ke depan. “Justru kak Ega yang merasa berjasa kepadaku, karena aku banyak membantunya.” jawabnya ikut berbisik seperti yang dilakukan Zana lalu diakhiri dengan senyuman manis. Sudut mata
“I-ini sa-saya jadi tamu?” tanya Zana merasa pilon.Sebuah undangan luxurious berwarna putih bak salju mendarat di telapak tangannya. Tentu saja Zana tergegau.Dari tadi dia sendirian di taman. Meratapi nasibnya yang harus mengalami patah hati tatkala pria yang selama satu tahun ini ia pacari ternyata selingkuh selama satu bulan di belakangnya.Lebih parahnya lagi, dia lebih memilih selingkuhannya setelah Zana mengetahui pengkhianatannya.Zana memutuskan duduk sendirian di taman, tak lama kemudian seorang pria datang memberikannya undangan.Pria tampan di depan Zana ini menggeleng pelan. “Jadi pengantin,” terangnya, “bukannya nama Zanayya Auristella tertulis di sana?” Ia tersenyum kecil.Dia mengulurkan tangannya, bermaksud untuk bersalaman. Tapi, Zana mengira dia sedang meminta kembali undangannya, makanya ia memberikannya.Pemuda berseragam formal itu terkekeh pelan. Lucu juga. Katanya dalam hati.