Zain dengan mata lelahnya berkedip. Mengambil atensi penuh sedari tadi kepada wanita di hadapannya.
Zana berpikir, apakah dia lelah bekerja? Tapi, karena ingin berbicara dengannya, dia berusaha untuk tetap terjaga sesekali menyeduh kopinya agar tetap melek.
“Aku tau pacar Kakak selingkuh, kemungkinan besar kalian akan segera mengakhiri hubungan. Jadi, aku pikir dengan begitu aku bisa menikahi Kakak langsung,” Katanya tanpa ragu.
“Tapi, kenapa?” Sonder Zana ketahui, ia meninggikan suaranya.
Lantas ia menjadi pusat perhatian pengunjung cafe. Zana berdehem mencoba untuk tidak merasa rikuh. “Apa karena lo merasa berjasa kepada Kakak gue?” Tebaknya dengan suara pelan. Nyaris terdengar seperti berbisik.
Zain sedikit mencondongkan dirinya ke depan. “Justru kak Ega yang merasa berjasa kepadaku, karena aku banyak membantunya.” jawabnya ikut berbisik seperti yang dilakukan Zana lalu diakhiri dengan senyuman manis.
Sudut mata Zana berkedut. “Jadi, apa karena lo banyak bantu kak Ega. Lo jadiin gue sebagai imbalannya?” tanyanya curiga.
Jujur saja, semenjak dirinya diputuskan mantan kekasihnya, Reza. Ia suka berpikir negatif tentang laki-laki sampai akhirnya ia berniat tidak akan memiliki hubungan dengan pria mana pun, sakit hatinya karena diputuskan Reza masih membekas dalam.
“Kakak bisa tanyakan kepada kak Ega.” jawabnya dengan tenang.
“Untuk apa gue bertanya ke kak Ega kalau orang yang aku interogasi itu lo!” Serunya.
Dia malah tersenyum tampan, membuat mata Zana sulit berpaling.
Zain sedikit membuka mulutnya, Zana pun bersedia mendengarkan.
“Karena ... aku ingin.”
***
“Hanya ingin?!” Asap tebal di atas kepala Zana keluar mengelabui ruangan.
Tentu saja itu hanya fantasi mereka saja. Marsha heran dengan alasan menikah pemuda itu.
Marsha mengipas-ngipasi wajahnya karena panas. “Lo yakin cuma itu jawabannya?” tanyanya tak begitu yakin.
“Ya. Gue udah tanya ke kakak gue juga, dan jawabannya cuma itu.”
“Terus, sekarang gimana?” tanyanya frustrasi. Zana menyipitkan matanya merasa Marsha yang entah kenapa dia ikutan panik.
“Gue nggak tau, Sha. Sedangkan hari H jatuh pada tanggal 12.”
Kedua mata Marsha membola. “Lusa?”
Zana hanya mengangguk lemah. “Gue nggak tau, sumpah! Bersamaan dengan putusnya gue hari ini justru mantan adik kelas gue itu tiba-tiba ngasih undangan pernikahan kami. Gue nggak paham!”
“Lo putus sama Reza?” tanya Marsha dengan tatapan selidik.
Zana mengangguk. “Dia selingkuhin gue selama satu bulan. Lo bayangin aja selama ini gue dikhianati dia, Sha.”
Kedua matanya berkaca-kaca. Rasa sakit yang dia rasakan begitu pilu. Bagaimana tidak? Selama satu tahun ia berpacaran dengan Reza justru dengan mudahnya berpaling ke wanita lain. Hal demikian membuat dirinya takut berhubungan dengan lelaki mana pun. Akan tetapi, Sang Maha Kuasa justru berkehendak lain.
Sudut bibir Marsha berkedut. “Jadi, lo bakalan nikah sama Zain?” tanyanya lagi. Ada ekspresi yang tidak bisa Zana baca.
Kedua tangan Zana asyik berperang satu sama lain di atas bantal. “Kalau ditolak, Kak Ega yang nyebelin itu sudah terlanjur nyebarin undangannya, Sha. Kalau gue tolak malah buat malu keluarga aja, tapi salah juga sih mereka nggak ada mendiskusikan tentang pernikahan itu sama gue.” Bibirnya maju beberapa senti.
“Apa yang menjadi alasan lo bisa menerima Zain?” tanya Marsha.
Mereka mendengar suara petir yang menyambar dari kejauhan. Tak lama setelahnya terdengar rintik hujan deras yang mengguyuri perkotaan.
Zana menopang dagunya sembari berpikir. “Lumayan aja sih, dia punya etika, rapi, nggak banyak tingkah, juga tampan. Setidaknya dengan keberadaan dia mantan gue jadi iri. Karena gue bisa bahagia tanpa dia, haha!” Tertawa iblis.
Sebetulnya Zana tidak tahu kenapa malah berbicara seperti ini. Mungkin saja karena efek putus cinta. Jadi, dendam kesumatnya pun berkoar-koar.
Senyum tipis Marsha terukir terkesan mengerasi. “Terus, gimana dengan perasaan lo? Apa lo suka sama Zain?”
Zana bertemu pandang dengan temannya itu. Marsha menatap serius padanya. “Jujur aja gue masih cinta ke Reza, Sha. Tapi, karena udah terlanjur mengkhianati gue pantang mau balikan ke cowok kayak gitu.”
Wanita bermata bundar itu menutup mulutnya selagi menguap. Zana tidak tahu kenapa Marsha begitu banyak menanyakan Zain. Karena ia malas bertanya, ia pun tak peduli apa pun alasannya.
“Gue ke kamar dulu, ya. Pengin tidur,” pamitnya.
Tidak begitu banyak yang Zana tahu tentang Zain. Ia hanya ingat beberapa kali bertemu dengannya di beberapa tempat di sekolah. Kadang ia menyapa karena Zain yang memandangnya seperti sedang mengingat jika mereka sebelumnya pernah bersua.
“Gue liat lo keren, lo pintar ya? Jadi guru sama gue yuk?” tanya Zana random.
Saat itu masih duduk di bangku SMA. Menyapa Zain yang saat itu berdiri sendiri di dekat balkon dengan buku bacaannya.
“Bercanda, paling lo jadi orang besar ya? Keren, sih. Duluan ya.” Zain memerhatikan Zana pergi.
Absurd, kan? Cara menyapanya itu loh. Tapi, Zain tak membuka suara untuk membalas perkataannya. Dalam diam hanya mengamati keramahan seorang kakak kelas kepadanya.
***
Pemuda tampan rupawan pemakai hem putih dengan letak dasi yang sudah tak karuan itu sibuk berkutat di belakang meja kerjanya, dengan laptop menyala di depannya.
Mata lelahnya melirik jam dinding ruangan. Sudah menunjukkan pukul setengah dua belas, tetapi ia masih sibuk memeriksa pekerjaan para karyawan untuk besok. Karena jika tidak dikerjakan sekarang, ia tidak bisa menemui calon istrinya lebih leluasa.
Tangan kekarnya meraih ponsel yang tergeletak di atas meja tepat di samping laptopnya. Wajah flatnya mengamati foto kartun kelinci lucu, rupanya dia tidak terlalu suka memamerkan fotonya sendiri. Padahal parasnya cukup manis, ia sendiri pun tak merasa bosan memandangnya.
Dua jempol Zain bergerak aktif di papan keyboard ponselnya, mengetik tujuh huruf di sana. Ia hanya tersenyum tipis.
Kak Zana
Kak Zana.
Setelah ia mengirimnya, ponselnya kembali ia simpan. Melanjutkan pekerjaannya lagi.
Selama ini Zain memang terlalu fokus pada pekerjaannya saja tanpa peduli wanita. Karena menurutnya pasti akan ada waktunya menuju ke sana. Jika terburu-buru pun mencari, ia takut tidak menemukan seseorang yang pantas justru menimbulkan masalah.
Belajar dari masa lalu, cewek yang pernah ia cintai sewaktu SMA pun tak bisa ia pertahankan. Hanya karena masalah kecil, mereka selesai. Sekalipun ia berusaha menjelaskan, tapi tetap saja dia tidak mau mendengarkan.
Zain tak berani mengejar, karena cewek itulah yang memulai dan dia pulalah yang mengakhiri.
Dering telepon Zain menyadarkan lamunannya, ia mengira wanita itu yang meneleponnya. Ternyata wanita lain yang menghubunginya tengah malam begini.
Setelah menerima panggilan tersebut, Zain mendekatkan handphonenya ke indra pendengarannya.
“Halo, Sayang. Kamu di mana? Udah tengah malam kok belum pulang.” tanya seorang wanita di seberang sana.
Zain hanya tersenyum kecil. Merasa rindu.
Zain mengusap pelipisnya kanannya. “Masih di kantor. Ada apa, Mah? Kok nelpon? Belum tidur?” tanya Zain khawatir.Handphonenya ia pindahkan ke telinga kirinya. Tangan yang lain sibuk menari-narikan mouse di alas mouse pad.Jika pulang terlambat, mamanya pasti mengkhawatirkannya dan meneleponnya seperti saat ini.Punggung tangannya kontan menutup mulutnya ujug-ujug menguap, sedikit lagi ia berhasil menyelesaikan pekerjaannya.“Jangan terlalu memaksakan diri untuk bekerja, Zain. Pulanglah, Nak. Jam kerja kamu seharusnya sudah selesai, kan tadi sore?”“Iya, Mah. Ini sudah mau selesai.” Kedua netra cokelat Zain tidak lepas dari layar laptopnya.“Ya sudah, kalau capek jangan paksakan ya, Zain. Cepat pulang.”“Iya, Mah. Ini udah mau beres-beres kok.” Tangan kanannya bekerja menyusun berkas-berkas. Mematikan laptopnya lalu menyimpannya di dalam tas. “Udah dulu ya, Mah. Aku mau
Zana mengelap ingusnya dengan tisu, satu lubang hidungnya mendadak tidak bisa berfungsi hingga menimbulkan sakit kepala yang membuat Zana semakin malas bangun dari tidurnya.Nada dering telepon serta getaran yang mengganggu ketenangannya memaksa lengan kiri Zana mengulur meraih benda pipih itu kembali.“Assalamu’alaikum, Zana.”“Wa’alaikumussalam, Mah.” jawab Zana dengan suara seraknya.Ketika mencoba bernapas seperti biasanya membuat matanya berair saking sakitnya kepala.“Bagaimana dengan kondisi kamu, Sayang. Udah baikkan? Udah pergi ke Dokter?” tanya sang mama yang terdengar khawatir dengan kondisi anak bungsunya itu.“Cuma minum obat aja, Mah.” jawab wanita itu malas.Kedua matanya terpejam rapat. Sesekali ia menyendal ingusnya kuat-kuat karena susah bernapas.“Gimana acaranya, Mah. Udah selesai?” Tanyanya.Meski kurang suka juga menyadari dirin
Meski sempat suka.Ya, sebagai wanita dewasa yang normal. Tentu saja pria tipe semacam Zainuddin Alskara adalah idaman para wanita termasuk Marsha Quinara.Selama ini, Zain tidak pernah terdengar desas-desus mendekati, berpacaran ataupun niat menikah dengan seorang wanita.Tapi, ketika tahu sekali-sekali berhubungan dengan wanita langsung diajak menikah. Bagaimana karyawan sekantor tidak geger? Para karyawan cewek langsung patah hati mendengarnya.“Tau diri sih, lagian para karyawan pun nggak ada yang sanggup memikat hatinya pak Zain termasuk gue.” Gumamnya pelan, Marsha tersenyum kecut. “Beruntung banget lo, Zana.”Marsha beralih ke dapur untuk membuatkan bubur untuk Zana dan secangkir kopi untuk bosnya.***Zain duduk di sisi ranjang dengan tenangnya, memandangi wajah pucat sang istri yang tampak enggan membuka mata atau sebenarnya dia tahu akan kehadirannya, tapi memilih tidak ped
Zana menggigit rakus jarinya. Wajah yang tampak gelisah semenjak tadi malam. "Nggak ... nggak. Gue nggak boleh jadi terhanyut dengan sikap manisnya," Monolognya. Zana menggelengkan kepalanya berulang kali. Menghindari perasaan nyaman terhadap Zain. Zana bolak-balik di depan kamar barunya. Setelah sembuh dari sakitnya, dua hari Zain berada di rumah sewaannya akhirnya mereka jadi pindah tadi malam, ia pikir rumahnya benar-benar banyak debu dan bau. Ternyata di rumah itu sudah ada dua orang pembantu mengurus rumah dengan baik. Zain bilang, pembantu itu baru saja diperkerjakan kemarin. Jadi, Zana tidak perlu merasa khawatir dan lelah mengurus rumah. Ia bisa masak jika menginginkannya. "Kenapa kamu di sini? Udah makan kan?" Suara itu mengejutkan Zana. Membalikkan badannya ketika mendapati Zain lengkap dengan seragam kantornya. Mereka memang pisah kamar. Zana yang menginginkannya. "Aku ... akan makan nanti," balasn
“I-ini sa-saya jadi tamu?” tanya Zana merasa pilon.Sebuah undangan luxurious berwarna putih bak salju mendarat di telapak tangannya. Tentu saja Zana tergegau.Dari tadi dia sendirian di taman. Meratapi nasibnya yang harus mengalami patah hati tatkala pria yang selama satu tahun ini ia pacari ternyata selingkuh selama satu bulan di belakangnya.Lebih parahnya lagi, dia lebih memilih selingkuhannya setelah Zana mengetahui pengkhianatannya.Zana memutuskan duduk sendirian di taman, tak lama kemudian seorang pria datang memberikannya undangan.Pria tampan di depan Zana ini menggeleng pelan. “Jadi pengantin,” terangnya, “bukannya nama Zanayya Auristella tertulis di sana?” Ia tersenyum kecil.Dia mengulurkan tangannya, bermaksud untuk bersalaman. Tapi, Zana mengira dia sedang meminta kembali undangannya, makanya ia memberikannya.Pemuda berseragam formal itu terkekeh pelan. Lucu juga. Katanya dalam hati.
Zana menggigit rakus jarinya. Wajah yang tampak gelisah semenjak tadi malam. "Nggak ... nggak. Gue nggak boleh jadi terhanyut dengan sikap manisnya," Monolognya. Zana menggelengkan kepalanya berulang kali. Menghindari perasaan nyaman terhadap Zain. Zana bolak-balik di depan kamar barunya. Setelah sembuh dari sakitnya, dua hari Zain berada di rumah sewaannya akhirnya mereka jadi pindah tadi malam, ia pikir rumahnya benar-benar banyak debu dan bau. Ternyata di rumah itu sudah ada dua orang pembantu mengurus rumah dengan baik. Zain bilang, pembantu itu baru saja diperkerjakan kemarin. Jadi, Zana tidak perlu merasa khawatir dan lelah mengurus rumah. Ia bisa masak jika menginginkannya. "Kenapa kamu di sini? Udah makan kan?" Suara itu mengejutkan Zana. Membalikkan badannya ketika mendapati Zain lengkap dengan seragam kantornya. Mereka memang pisah kamar. Zana yang menginginkannya. "Aku ... akan makan nanti," balasn
Meski sempat suka.Ya, sebagai wanita dewasa yang normal. Tentu saja pria tipe semacam Zainuddin Alskara adalah idaman para wanita termasuk Marsha Quinara.Selama ini, Zain tidak pernah terdengar desas-desus mendekati, berpacaran ataupun niat menikah dengan seorang wanita.Tapi, ketika tahu sekali-sekali berhubungan dengan wanita langsung diajak menikah. Bagaimana karyawan sekantor tidak geger? Para karyawan cewek langsung patah hati mendengarnya.“Tau diri sih, lagian para karyawan pun nggak ada yang sanggup memikat hatinya pak Zain termasuk gue.” Gumamnya pelan, Marsha tersenyum kecut. “Beruntung banget lo, Zana.”Marsha beralih ke dapur untuk membuatkan bubur untuk Zana dan secangkir kopi untuk bosnya.***Zain duduk di sisi ranjang dengan tenangnya, memandangi wajah pucat sang istri yang tampak enggan membuka mata atau sebenarnya dia tahu akan kehadirannya, tapi memilih tidak ped
Zana mengelap ingusnya dengan tisu, satu lubang hidungnya mendadak tidak bisa berfungsi hingga menimbulkan sakit kepala yang membuat Zana semakin malas bangun dari tidurnya.Nada dering telepon serta getaran yang mengganggu ketenangannya memaksa lengan kiri Zana mengulur meraih benda pipih itu kembali.“Assalamu’alaikum, Zana.”“Wa’alaikumussalam, Mah.” jawab Zana dengan suara seraknya.Ketika mencoba bernapas seperti biasanya membuat matanya berair saking sakitnya kepala.“Bagaimana dengan kondisi kamu, Sayang. Udah baikkan? Udah pergi ke Dokter?” tanya sang mama yang terdengar khawatir dengan kondisi anak bungsunya itu.“Cuma minum obat aja, Mah.” jawab wanita itu malas.Kedua matanya terpejam rapat. Sesekali ia menyendal ingusnya kuat-kuat karena susah bernapas.“Gimana acaranya, Mah. Udah selesai?” Tanyanya.Meski kurang suka juga menyadari dirin
Zain mengusap pelipisnya kanannya. “Masih di kantor. Ada apa, Mah? Kok nelpon? Belum tidur?” tanya Zain khawatir.Handphonenya ia pindahkan ke telinga kirinya. Tangan yang lain sibuk menari-narikan mouse di alas mouse pad.Jika pulang terlambat, mamanya pasti mengkhawatirkannya dan meneleponnya seperti saat ini.Punggung tangannya kontan menutup mulutnya ujug-ujug menguap, sedikit lagi ia berhasil menyelesaikan pekerjaannya.“Jangan terlalu memaksakan diri untuk bekerja, Zain. Pulanglah, Nak. Jam kerja kamu seharusnya sudah selesai, kan tadi sore?”“Iya, Mah. Ini sudah mau selesai.” Kedua netra cokelat Zain tidak lepas dari layar laptopnya.“Ya sudah, kalau capek jangan paksakan ya, Zain. Cepat pulang.”“Iya, Mah. Ini udah mau beres-beres kok.” Tangan kanannya bekerja menyusun berkas-berkas. Mematikan laptopnya lalu menyimpannya di dalam tas. “Udah dulu ya, Mah. Aku mau
Zain dengan mata lelahnya berkedip. Mengambil atensi penuh sedari tadi kepada wanita di hadapannya. Zana berpikir, apakah dia lelah bekerja? Tapi, karena ingin berbicara dengannya, dia berusaha untuk tetap terjaga sesekali menyeduh kopinya agar tetap melek. “Aku tau pacar Kakak selingkuh, kemungkinan besar kalian akan segera mengakhiri hubungan. Jadi, aku pikir dengan begitu aku bisa menikahi Kakak langsung,” Katanya tanpa ragu. “Tapi, kenapa?” Sonder Zana ketahui, ia meninggikan suaranya. Lantas ia menjadi pusat perhatian pengunjung cafe. Zana berdehem mencoba untuk tidak merasa rikuh. “Apa karena lo merasa berjasa kepada Kakak gue?” Tebaknya dengan suara pelan. Nyaris terdengar seperti berbisik. Zain sedikit mencondongkan dirinya ke depan. “Justru kak Ega yang merasa berjasa kepadaku, karena aku banyak membantunya.” jawabnya ikut berbisik seperti yang dilakukan Zana lalu diakhiri dengan senyuman manis. Sudut mata
“I-ini sa-saya jadi tamu?” tanya Zana merasa pilon.Sebuah undangan luxurious berwarna putih bak salju mendarat di telapak tangannya. Tentu saja Zana tergegau.Dari tadi dia sendirian di taman. Meratapi nasibnya yang harus mengalami patah hati tatkala pria yang selama satu tahun ini ia pacari ternyata selingkuh selama satu bulan di belakangnya.Lebih parahnya lagi, dia lebih memilih selingkuhannya setelah Zana mengetahui pengkhianatannya.Zana memutuskan duduk sendirian di taman, tak lama kemudian seorang pria datang memberikannya undangan.Pria tampan di depan Zana ini menggeleng pelan. “Jadi pengantin,” terangnya, “bukannya nama Zanayya Auristella tertulis di sana?” Ia tersenyum kecil.Dia mengulurkan tangannya, bermaksud untuk bersalaman. Tapi, Zana mengira dia sedang meminta kembali undangannya, makanya ia memberikannya.Pemuda berseragam formal itu terkekeh pelan. Lucu juga. Katanya dalam hati.