Zana mengelap ingusnya dengan tisu, satu lubang hidungnya mendadak tidak bisa berfungsi hingga menimbulkan sakit kepala yang membuat Zana semakin malas bangun dari tidurnya.
Nada dering telepon serta getaran yang mengganggu ketenangannya memaksa lengan kiri Zana mengulur meraih benda pipih itu kembali.
“Assalamu’alaikum, Zana.”
“W*’alaikumussalam, Mah.” jawab Zana dengan suara seraknya.
Ketika mencoba bernapas seperti biasanya membuat matanya berair saking sakitnya kepala.
“Bagaimana dengan kondisi kamu, Sayang. Udah baikkan? Udah pergi ke Dokter?” tanya sang mama yang terdengar khawatir dengan kondisi anak bungsunya itu.
“Cuma minum obat aja, Mah.” jawab wanita itu malas.
Kedua matanya terpejam rapat. Sesekali ia menyendal ingusnya kuat-kuat karena susah bernapas.
“Gimana acaranya, Mah. Udah selesai?” Tanyanya.
Meski kurang suka juga menyadari dirinya sekarang sudah menjadi seorang istri dari pria yang tidak ia cintai, setidaknya ia harus peduli dengan para kerabat yang rela datang ke acara pernikahannya.
“Alhamdulillah semuanya berjalan dengan lancar, Na. Teman-teman kamu di sini pada nanyain loh, kecewa banget mereka nggak bisa jumpa kamu padahal sudah lama banget kamu nggak pulang-pulang.”
Zana tersenyum.
“Semua tamu sudah pulang. Zain juga sudah pergi,” ujar mamanya lagi.
Terdengar dari kejauhan suara bising dan tawa saling bersahutan.
“Pergi ke mana, Mah?” tanya Zana penasaran.
“Ke rumah kamu, katanya mau jenguk kamu yang sakit. Perhatian banget kan, menantu idaman.” Ucapnya dengan bangga. Sementara Zana di sini hanya mesem-mesem mendengar mamanya bahagia.
“Mah ... tapi, kan bisa di lain hari aja ketemunya. Aku nggak bisa ketemu dia hari ini.”
Tawa kecil mamanya terdengar, Zana jadi grogi mendengarnya.
“Kamu gugup ya? Kamu malu, iya?” Godanya disertai dengan tawa.
Zana sebal, ia bisa mendengar tawa kencang dari kakaknya di seberang sana. Ternyata Elgana Kali juga bersama ibunya.
“Mama iihh!” Zana sedikit menjauhkan handphone dari telinganya.
Tak ingin mamanya mendengar jika ia sedang terkekeh. Entahlah, Zana hanya ingin terkekeh karena sedih, haru, dan mungkin ... senang?
“Zana, Sayang?” Panggil mamanya.
“Hem, iya, Mah?” Kepalanya bergerak mencari kenyamanan rebahannya.
“Maafin, Mama ya, Na. Nggak ngasih tau kamu dulu soal Zain.” Ia hanya diam menunggu. “Tapi, Mama, Papa, sama Kak Ega nggak mungkin jahatin kamu, Na. Kami tau kamu dan Reza hubungan kalian udah nggak sehat. Makanya Mama menyarankan Zain menikah sama kamu. Ini bukan perjodohan kok, Na. Murni keinginan Zain sendiri. Mamanya juga baik.”
Air mata Zana kembali jatuh. Bisakah ia menerima pernikahan yang tidak didasarkan oleh cinta?
“Kak Ega itu sayang sama kamu, Na. Karena kamu adalah adik satu-satunya. Jadi, dia juga turun tangan dengan siapa kamu menikah. Kamu berhak bahagia, Nak. Karena pilihan terbaik keluarga kamu nggak pernah salah.”
Wanita yang sudah melahirkan Zana dengan susah payah itu ikut menangis. Suaranya serak.
“Iya, Mah. Zana ngerti kok.” Zana tersenyum.
Meski mamanya tak melihat senyum yang menandakan dirinya baik-baik saja. Apa sih yang dilakukan Zain kepada keluarganya sehingga mereka begitu yakin?
Bertepatan dengan usainya percakapan ibu dan anak itu, ketukan pintu kamarnya terdengar. Tak lama kemudian seorang wanita cantik yang sepantaran dengannya itu berjalan menghampiri tempat tidur.
Duduk di sisi ranjangnya. Ternyata dia sudah pulang dari kantornya. Cepat sekali?
“Gimana dengan keadaan lo, Na? Kepala lo masih sakit?” Tanyanya.
Punggung tangannya mendarat di kening Zana. Mengecek suhunya.
“Sudah minum obat? Apa perlu kita pergi ke rumah sakit aja, Na?”
“Nggak perlu, Sha. Gue cuma butuh istirahat doang kok.” jawab Zana sembari tersenyum. “Lo jadi mirip sama Mama gue, barusan tadi perhatian ke gue.”
Wanita yang amat cantik dengan dress biru belel itu berdecak. “Lo sih, kenapa harus sakit? Udah tau hari ini tuh hari spesial buat lo. Harusnya jaga diri kek,” Gerutunya.
Entah kenapa dia merasa kesal. Marsha menopang dagunya menatap wajah pucat temannya. “Seharusnya malam nanti jadi malam terindah juga bagi lo, Na.” Ia tersenyum jahil.
Akan tetapi, Zana tidak menangkap maksud dari ujarannya.
Mata merahnya menatap malas. “What do you mean? Bagi gue hari-hari malam sama aja. Tidur, lelap udah. Nunggu pagi.”
Marsha meringis. “Cuma itu yang lo tau, Na? Gue kira lo bakalan berpikir jauh.”
Zana menutup matanya, tubuh yang sedang sakit memang tidak pernah enak. Bergerak sedikit saja kepalanya menyerang seperti ada yang memukul.
“First night. Lo tau itu kan? Nggak mungkin Zain nggak akan berpikir ke sana. Sudah pengetahuan awam bagi pasangan yang telah menikah memikirkan hal demikian,” Jelasnya sembari dengan jari telunjuk yang mengacung ke udara.
“Kalau dia mau, pasti datang ke sini kok. Minta kalau berani.” ketus Zana ogah-ogahan.
Apa masih tidak punya hati jika sampai Zain berani menyentuhnya? Sementara kini ia tengah sakit.
“Umm, baiklah. Pasti lo udah siap lahir batin ya,” Zana memandang sinis.
Marsha tertawa liar membayangkan kegiatan hal semacam itu.
Ck! “Gue saranin lo cepat-cepat menikah. Jangan sampai pikiran luar lo salah dipergunakan.”
“Maksud lo apaan hei!”
“Sana lo keluar! Gue mau tidur,” Usirnya. Zana bergelung dalam selimutnya.
Netranya langsung terpejam rapat, bahunya tampak naik turun dengan ritme normal.
Marsha tak punya pilihan lain selain keluar dari kamar. Membiarkan temannya itu istirahat memulihkan tenaganya kembali. Untuk itu ia akan membuat bubur untuknya.
“Ah, kurang baik apa gue ini, Na? Sulit bagi lo nanti cari teman sebaik gue.” Ucapnya dalam hati.
“Andai saja Zana tau kalau gue ....” Ucapan Marsha terhenti.
Mendengar bel rumah berbunyi. Ia segera berjalan cepat menuju pintu utama.
Marsha membuka pintu ketika bel berbunyi untuk kedua kalinya. Ia sedikit kaget ketika tahu tamu rumahnya kali ini adalah suami dari sahabatnya.
“Pak?” Sapanya.
Senyum sungkan nan sopan saat berjumpa sosok pria yang dia panggil pak, kendatipun di luar jam kerja.
Ia mengerti kebingungan pria di hadapannya itu. “Pak, saya tinggal di sini dengan teman saya.”
Raut muka heran pria itu lantas berubah, kepalanya sedikit miring ke kiri.
“Kalau begitu saya permisi, ternyata salah alamat.” Hendak berbalik pergi.
Namun, urung ketika karyawannya kembali memanggilnya.
“Tunggu, Pak!” Serunya.
Marsha melebarkan pintu rumah membuat bosnya terheran-heran.
“Saya temannya Zana, Pak,” Katanya pelan, mencoba meyakinkan. “Zana ada di kamarnya, kalau Bapak mau bisa saya antar ke kamarnya.”
Zain berdehem pelan. “Di luar jam kerja santai aja. Tapi, lo serius temannya Zana kan?” Tanyanya memastikan.
Marsha gelagapan, baru kali ini bertemu dengan bosnya makanya ia jadi kikuk. “Bapak—eh, maksud saya—eh, gue ... serius. Kalau lo nggak percaya telpon Zana aja.”
Dia mengangguk.
Sepertinya Zain tipe orang yang sulit sekali percaya. Dia memang menelepon Zana untuk mempertanyakan alamatnya lagi. Ketika alamat yang dia sebut benar, barulah Zain masuk menuju kamar yang ditunjuk Marsha.
Gue orang baik kok, Pak. Batin Marsha berhenti di depan pintu Zana yang tertutup rapat.
Meski sempat suka.Ya, sebagai wanita dewasa yang normal. Tentu saja pria tipe semacam Zainuddin Alskara adalah idaman para wanita termasuk Marsha Quinara.Selama ini, Zain tidak pernah terdengar desas-desus mendekati, berpacaran ataupun niat menikah dengan seorang wanita.Tapi, ketika tahu sekali-sekali berhubungan dengan wanita langsung diajak menikah. Bagaimana karyawan sekantor tidak geger? Para karyawan cewek langsung patah hati mendengarnya.“Tau diri sih, lagian para karyawan pun nggak ada yang sanggup memikat hatinya pak Zain termasuk gue.” Gumamnya pelan, Marsha tersenyum kecut. “Beruntung banget lo, Zana.”Marsha beralih ke dapur untuk membuatkan bubur untuk Zana dan secangkir kopi untuk bosnya.***Zain duduk di sisi ranjang dengan tenangnya, memandangi wajah pucat sang istri yang tampak enggan membuka mata atau sebenarnya dia tahu akan kehadirannya, tapi memilih tidak ped
Zana menggigit rakus jarinya. Wajah yang tampak gelisah semenjak tadi malam. "Nggak ... nggak. Gue nggak boleh jadi terhanyut dengan sikap manisnya," Monolognya. Zana menggelengkan kepalanya berulang kali. Menghindari perasaan nyaman terhadap Zain. Zana bolak-balik di depan kamar barunya. Setelah sembuh dari sakitnya, dua hari Zain berada di rumah sewaannya akhirnya mereka jadi pindah tadi malam, ia pikir rumahnya benar-benar banyak debu dan bau. Ternyata di rumah itu sudah ada dua orang pembantu mengurus rumah dengan baik. Zain bilang, pembantu itu baru saja diperkerjakan kemarin. Jadi, Zana tidak perlu merasa khawatir dan lelah mengurus rumah. Ia bisa masak jika menginginkannya. "Kenapa kamu di sini? Udah makan kan?" Suara itu mengejutkan Zana. Membalikkan badannya ketika mendapati Zain lengkap dengan seragam kantornya. Mereka memang pisah kamar. Zana yang menginginkannya. "Aku ... akan makan nanti," balasn
“I-ini sa-saya jadi tamu?” tanya Zana merasa pilon.Sebuah undangan luxurious berwarna putih bak salju mendarat di telapak tangannya. Tentu saja Zana tergegau.Dari tadi dia sendirian di taman. Meratapi nasibnya yang harus mengalami patah hati tatkala pria yang selama satu tahun ini ia pacari ternyata selingkuh selama satu bulan di belakangnya.Lebih parahnya lagi, dia lebih memilih selingkuhannya setelah Zana mengetahui pengkhianatannya.Zana memutuskan duduk sendirian di taman, tak lama kemudian seorang pria datang memberikannya undangan.Pria tampan di depan Zana ini menggeleng pelan. “Jadi pengantin,” terangnya, “bukannya nama Zanayya Auristella tertulis di sana?” Ia tersenyum kecil.Dia mengulurkan tangannya, bermaksud untuk bersalaman. Tapi, Zana mengira dia sedang meminta kembali undangannya, makanya ia memberikannya.Pemuda berseragam formal itu terkekeh pelan. Lucu juga. Katanya dalam hati.
Zain dengan mata lelahnya berkedip. Mengambil atensi penuh sedari tadi kepada wanita di hadapannya. Zana berpikir, apakah dia lelah bekerja? Tapi, karena ingin berbicara dengannya, dia berusaha untuk tetap terjaga sesekali menyeduh kopinya agar tetap melek. “Aku tau pacar Kakak selingkuh, kemungkinan besar kalian akan segera mengakhiri hubungan. Jadi, aku pikir dengan begitu aku bisa menikahi Kakak langsung,” Katanya tanpa ragu. “Tapi, kenapa?” Sonder Zana ketahui, ia meninggikan suaranya. Lantas ia menjadi pusat perhatian pengunjung cafe. Zana berdehem mencoba untuk tidak merasa rikuh. “Apa karena lo merasa berjasa kepada Kakak gue?” Tebaknya dengan suara pelan. Nyaris terdengar seperti berbisik. Zain sedikit mencondongkan dirinya ke depan. “Justru kak Ega yang merasa berjasa kepadaku, karena aku banyak membantunya.” jawabnya ikut berbisik seperti yang dilakukan Zana lalu diakhiri dengan senyuman manis. Sudut mata
Zain mengusap pelipisnya kanannya. “Masih di kantor. Ada apa, Mah? Kok nelpon? Belum tidur?” tanya Zain khawatir.Handphonenya ia pindahkan ke telinga kirinya. Tangan yang lain sibuk menari-narikan mouse di alas mouse pad.Jika pulang terlambat, mamanya pasti mengkhawatirkannya dan meneleponnya seperti saat ini.Punggung tangannya kontan menutup mulutnya ujug-ujug menguap, sedikit lagi ia berhasil menyelesaikan pekerjaannya.“Jangan terlalu memaksakan diri untuk bekerja, Zain. Pulanglah, Nak. Jam kerja kamu seharusnya sudah selesai, kan tadi sore?”“Iya, Mah. Ini sudah mau selesai.” Kedua netra cokelat Zain tidak lepas dari layar laptopnya.“Ya sudah, kalau capek jangan paksakan ya, Zain. Cepat pulang.”“Iya, Mah. Ini udah mau beres-beres kok.” Tangan kanannya bekerja menyusun berkas-berkas. Mematikan laptopnya lalu menyimpannya di dalam tas. “Udah dulu ya, Mah. Aku mau
Zana menggigit rakus jarinya. Wajah yang tampak gelisah semenjak tadi malam. "Nggak ... nggak. Gue nggak boleh jadi terhanyut dengan sikap manisnya," Monolognya. Zana menggelengkan kepalanya berulang kali. Menghindari perasaan nyaman terhadap Zain. Zana bolak-balik di depan kamar barunya. Setelah sembuh dari sakitnya, dua hari Zain berada di rumah sewaannya akhirnya mereka jadi pindah tadi malam, ia pikir rumahnya benar-benar banyak debu dan bau. Ternyata di rumah itu sudah ada dua orang pembantu mengurus rumah dengan baik. Zain bilang, pembantu itu baru saja diperkerjakan kemarin. Jadi, Zana tidak perlu merasa khawatir dan lelah mengurus rumah. Ia bisa masak jika menginginkannya. "Kenapa kamu di sini? Udah makan kan?" Suara itu mengejutkan Zana. Membalikkan badannya ketika mendapati Zain lengkap dengan seragam kantornya. Mereka memang pisah kamar. Zana yang menginginkannya. "Aku ... akan makan nanti," balasn
Meski sempat suka.Ya, sebagai wanita dewasa yang normal. Tentu saja pria tipe semacam Zainuddin Alskara adalah idaman para wanita termasuk Marsha Quinara.Selama ini, Zain tidak pernah terdengar desas-desus mendekati, berpacaran ataupun niat menikah dengan seorang wanita.Tapi, ketika tahu sekali-sekali berhubungan dengan wanita langsung diajak menikah. Bagaimana karyawan sekantor tidak geger? Para karyawan cewek langsung patah hati mendengarnya.“Tau diri sih, lagian para karyawan pun nggak ada yang sanggup memikat hatinya pak Zain termasuk gue.” Gumamnya pelan, Marsha tersenyum kecut. “Beruntung banget lo, Zana.”Marsha beralih ke dapur untuk membuatkan bubur untuk Zana dan secangkir kopi untuk bosnya.***Zain duduk di sisi ranjang dengan tenangnya, memandangi wajah pucat sang istri yang tampak enggan membuka mata atau sebenarnya dia tahu akan kehadirannya, tapi memilih tidak ped
Zana mengelap ingusnya dengan tisu, satu lubang hidungnya mendadak tidak bisa berfungsi hingga menimbulkan sakit kepala yang membuat Zana semakin malas bangun dari tidurnya.Nada dering telepon serta getaran yang mengganggu ketenangannya memaksa lengan kiri Zana mengulur meraih benda pipih itu kembali.“Assalamu’alaikum, Zana.”“Wa’alaikumussalam, Mah.” jawab Zana dengan suara seraknya.Ketika mencoba bernapas seperti biasanya membuat matanya berair saking sakitnya kepala.“Bagaimana dengan kondisi kamu, Sayang. Udah baikkan? Udah pergi ke Dokter?” tanya sang mama yang terdengar khawatir dengan kondisi anak bungsunya itu.“Cuma minum obat aja, Mah.” jawab wanita itu malas.Kedua matanya terpejam rapat. Sesekali ia menyendal ingusnya kuat-kuat karena susah bernapas.“Gimana acaranya, Mah. Udah selesai?” Tanyanya.Meski kurang suka juga menyadari dirin
Zain mengusap pelipisnya kanannya. “Masih di kantor. Ada apa, Mah? Kok nelpon? Belum tidur?” tanya Zain khawatir.Handphonenya ia pindahkan ke telinga kirinya. Tangan yang lain sibuk menari-narikan mouse di alas mouse pad.Jika pulang terlambat, mamanya pasti mengkhawatirkannya dan meneleponnya seperti saat ini.Punggung tangannya kontan menutup mulutnya ujug-ujug menguap, sedikit lagi ia berhasil menyelesaikan pekerjaannya.“Jangan terlalu memaksakan diri untuk bekerja, Zain. Pulanglah, Nak. Jam kerja kamu seharusnya sudah selesai, kan tadi sore?”“Iya, Mah. Ini sudah mau selesai.” Kedua netra cokelat Zain tidak lepas dari layar laptopnya.“Ya sudah, kalau capek jangan paksakan ya, Zain. Cepat pulang.”“Iya, Mah. Ini udah mau beres-beres kok.” Tangan kanannya bekerja menyusun berkas-berkas. Mematikan laptopnya lalu menyimpannya di dalam tas. “Udah dulu ya, Mah. Aku mau
Zain dengan mata lelahnya berkedip. Mengambil atensi penuh sedari tadi kepada wanita di hadapannya. Zana berpikir, apakah dia lelah bekerja? Tapi, karena ingin berbicara dengannya, dia berusaha untuk tetap terjaga sesekali menyeduh kopinya agar tetap melek. “Aku tau pacar Kakak selingkuh, kemungkinan besar kalian akan segera mengakhiri hubungan. Jadi, aku pikir dengan begitu aku bisa menikahi Kakak langsung,” Katanya tanpa ragu. “Tapi, kenapa?” Sonder Zana ketahui, ia meninggikan suaranya. Lantas ia menjadi pusat perhatian pengunjung cafe. Zana berdehem mencoba untuk tidak merasa rikuh. “Apa karena lo merasa berjasa kepada Kakak gue?” Tebaknya dengan suara pelan. Nyaris terdengar seperti berbisik. Zain sedikit mencondongkan dirinya ke depan. “Justru kak Ega yang merasa berjasa kepadaku, karena aku banyak membantunya.” jawabnya ikut berbisik seperti yang dilakukan Zana lalu diakhiri dengan senyuman manis. Sudut mata
“I-ini sa-saya jadi tamu?” tanya Zana merasa pilon.Sebuah undangan luxurious berwarna putih bak salju mendarat di telapak tangannya. Tentu saja Zana tergegau.Dari tadi dia sendirian di taman. Meratapi nasibnya yang harus mengalami patah hati tatkala pria yang selama satu tahun ini ia pacari ternyata selingkuh selama satu bulan di belakangnya.Lebih parahnya lagi, dia lebih memilih selingkuhannya setelah Zana mengetahui pengkhianatannya.Zana memutuskan duduk sendirian di taman, tak lama kemudian seorang pria datang memberikannya undangan.Pria tampan di depan Zana ini menggeleng pelan. “Jadi pengantin,” terangnya, “bukannya nama Zanayya Auristella tertulis di sana?” Ia tersenyum kecil.Dia mengulurkan tangannya, bermaksud untuk bersalaman. Tapi, Zana mengira dia sedang meminta kembali undangannya, makanya ia memberikannya.Pemuda berseragam formal itu terkekeh pelan. Lucu juga. Katanya dalam hati.