Ada yang pergi karena tak sehati.Ada yang pergi karena takut patah hati.Tapi, ada juga yang pergi karena takut jatuh hati.Seperti aku yang memilih meninggalkanmu setelah aku tahu kau tak bisa kumiliki.Austin masih terduduk dalam diam. Di kursi restoran yang sudah ditinggalkan oleh keluarga Alfred. Pikirannya berkecamuk dan perasaan bersalah mulai menyusupi. Austin egois. Mengakuinya saja tak membuat banyak perubahan kalau dirinya memang bersalah. Padahal, seharusnya Austin sadar bahwa tindakannya walaupun membuatnya untung tapi belum tentu membuat Jazzy senang. Jazzy juga punya pilihan dan berhak memilih apa yang di sukainya.Tidak seharusnya urusan bisnis membawa Jazzy dan keluarganya. Bagaimana pun, Austin adalah yang tertua di keluarga Anderson. Dan sudah seharusnya bersikap melindungi bukan malah melakukan hal-hal yang seperti ini.“Kau menyesal?” tanya Alaina yang langsung datang setelah Austin meneleponnya. “Aku harap kau tak pergi terlalu jauh saat membicarakan bisnis.”“Ki
“Kau butuh sesuatu yang lain?” Clara bertanya, Jazzy menggeleng. “Kau harus fokus pada dirimu sendiri. Pada sekolah dan masa depanmu. Sudah memutuskan ingin ke Universitas mana?” Helaan napas Clara terdengar. Jazzy menunduk sedalam-dalamnya. “Jazzy, kau tak perlu memikirkan para orang dewasa—tidak, salah—para orangtua yang egois kepada anak-anaknya. Kau harus berhasil dan menentukan pilihanmu sendiri.”Mendengar itu, jiwa ketidakterimaan William meronta-ronta. Bibirnya mencebik dan raut wajahnya masam maksimal. Kenapa istrinya itu mempunyai mulut cabai berlevel neraka? Dari mana asalnya kira-kira?“Sayang …” Clara menoleh dengan wajah yang tak bersahabat. Hampir membuat William urung untuk mengatakannya. “Untuk ukuran seorang istri dengan tiga orang anak, kau cukup sadis mengataiku begitu.”“Kau merasa?” hardiknya sarkas. “Jika tidak, kau tak perlu protes.”“Sayang, aku tak melakukan apa yang seperti Austin lakukan. Aku—sekejam apa pun sikapku—““Bagus! Kau mengakui jika dirimu memang
Jodoh itu, bukan soal dia yang sempurna. Tetapi dia yang mau menerimamu apa adanya dan sanggup menerima kekuranganmu. Barangkali dia tidak sesempurna orang lain, tetapi pasti dia yang terbaik dari semuanya. Karena dia punya cinta dan sayang yang lebih untukmu, yang tak di miliki siapa pun.“Kau pasti tahu.” Clara memulai tanpa basa-basi. Memasuki rumah mewah Austin dan melihat sang kakak ipar duduk dengan koran di tangannya. Clara tak peduli jika itu mengganggu acara berita yang sedang di baca Austin. “Kau sudah menjalaninya lebih dulu dank au pernah punya cerita masa muda. Kau punya kisah, kau melewati setiap perjalanan dan apa pun itu yang akhirnya membawamu pada puncak sekarang ini.”“Tapi, apa kau lupa, siapa yang sedang kau ajak berbisnis? Adikmu sendiri. Meskipun akan kau sangkal mati-matian. Jazzy memiliki darah yang sama denganmu. Kau lupa?”Alaina juga terdiam pun dengan William. Menyerahkan segala urusan kepada Clara, William paham betul marahnya seorang Clara. Terlebih jika
Jazzy Anderson tumbuh menjadi seorang remaja yang pendiam. Tak banyak yang bisa Jazzy ungkapkan jika masalah datang menghampiri dirinya atau menceritakan beberapa perasaan yang membuatnya kacau. Katakanlah, Jazzy tak punya pegangan untuk dirinya bertumpu.Ingin berlari kepada Alaina, Jazzy merasa sungkan. Terlebih jika sudah melihat betapa kerepotannya Alaina mengurusi Kaela dan Michael. Ingin menghampiri Clara, kerepotan Clara jauh lebih dahsyat dari Alaina. Clara dan William punya tiga anak kembar, sekaligus.Jadi, Jazzy secara tanpa sadar membiasakan dirinya untuk terus memendam perasaa-perasaan kacau yang timbul.Yang biasa Jazzy lakukan hanyalah menulisnya lewat kata-kata di buku catatan hariannya. Seperti yang terjadi hari ini dan membuat seluruh keluarganya gempar.Seperti kejadian hari ini misalnya. Terkejut? Tentu. Jazzy sampai tak bisa berkata-kata dan bingung harus bersikap yang bagaimana. Meski tahu tindakan Austin demi kebaikan dirinya di kemudian hari, tetap saja, tanpa
Austin datang pagi harinya. Di saat keriuhan merambah di seluruh ruangan keluarga William. Dan sikap sinis Clara—meskipun menyediakan kopi serta roti untuknya sarapan. Austin tak masalah.“Jazzy,” panggil Austin begitu melihat Jazzy menuruni tangga. “Maaf,” katanya setelah Jazzy mendekat.“Aku tidak apa-apa. Kau mau ke kantor dengan William?” Jazzy sudah melupakan hari kemarin. “Belikan aku sekotak es krim dan cokelat.” Permintaan Jazzy random tapi Austin lega dan melebarkan senyumnya. “Aku kesulitan menghafal sesuatu jika tak ada cokelat di meha belajarku.”“Oh ya? Kau suka di sini atau mau pindah lagi—““Berani membawa Jazzy melangkah dari pintu itu—“ potong Clara cepat dan kencang. “Kau habis di tanganku.” Pisau daging yang sedang Clara pegang benar-benar membuat Austin yang melihatnya merinding.“Aku menawarinya. Kaela—““Alasanmu adalah Kaela dan Kaela selalu Kaela. Tapi kau membuat Jazzy harus hengkang dari sana. Kau benar-benar bosan hidup, ya?” William menyahuti. “Kau harus me
Clara masih mengomel. Sepanjang hari ini dan membuat William menebalkan telinganya. Alih-alih menjadi pendengar yang baik. Sampai-sampai William berpikir; kenapa setelah menikah, sikap Clara tak romantis seperti sebelum menikah?Tapi hanya sebentar. William menggelengkan kepalanya dan teringat jika semakin lama hubungan yang kita jalani, maka akan semakin terlihat seperti apa sosok pasangan kita. Walaupun benar, sejauh ini yang William rasakan adalah semakin bertambah sempurnanya pula Clara di matanya.Itu sudah pasti terjadi, tidak tahu dengan pasangan lainnya. Yang jelas, William merasakan hal tersebut. William mendapati hal-hal special dan luar biasa yang terlihat dari diri Clara sungguh terjadi sekarang ini.“Apa!? Kau tak mendengarku? Kau tak peduli padaku? Kau mengabaikanku?”William menghela napasnya di berondong tuduhan sebanyak itu oleh Clara. Hingga detik ini, makhluk berjenis kelamin wanita memang terlalu sulit untuk di taklukan bahkan terlalu menyusahkan jika di cari kesal
Ini weekend.Keluarga William berkumpul kecuali Austin dan jajarannya. Lucas dan Stella juga tak mungkin akan berkumpul di rumahnya saat ada bayi yang harus mereka urus.William sibuk dengan memanjakan Alexa. Meski sebentar lagi akan pergi ke kantornya. Seakan-akan abai, William terus membacakan dongeng untuk Alexa. Ini aneh. Padahal semalam keduanya tidur bersama—tidak semalaman full, sih. Karena William lekas hengkang begitu Alexa terlelap nyenyak.“Itu nyata?” tanya Alexa.“Benar.” William menilai bahwa Alexa berbeda dengan anak-anak seumurannya. Jika anak-anak yang lain senang berkubang dengan imajinasinya maka Alexa terlalu ragu untuk mempercayai apa yang ada di buku dongeng dan televisi.“Dan sang putri harus kembali tepat di jam 00.00 malam …” William hentikan bacaannya. Merasa terpikirkan oleh sesuatu. Kenapa putrinya berbeda?Seingatnya dulu, William punya yang namanya imajinasi dan suka dengan berbagai cerita mengenai dongeng seperti ini. Kenapa Alexa tidak, ya?“Kenapa di t
“Kau punya lagu untuk di dengarkan?” William memutar musik di mobilnya. Alexa mengangguk dan mulai menyanyi mengikuti tiap bait liriknya.“Aku suka lagu ini,” kata Alexa. “Camilla memang cantik.”Oh, William merasa harus terkejut. Putrinya bahkan sudah tahu nama penyanyinya.“Kau bertanya pada mama?” Sekali lagi Alexa mengangguk. “Mama sering membiarkanmu mendengar lagu-lagu ini?”“Aku yang meminta pada mama. Mama begitu baik padaku, papa tahu!”Tentu William tahu. Karena itulah William benar-benar menjaga Clara. Karena Clara adalah kelemahan William.Alexa terus mengikuti lirik lagu yang dinyanyikan. William meliriknya sesekali.Wah, sudah sejauh ini dirinya ketinggalan perkembangan Alexa. Ini baru Alexa.Bagaimana dengan Alex dan Axel?Dan saat mobil berhenti di lampu merah, mendadak pikiran William melayang. Membayangkan seperti apa perkembangan-perkembangn terhadap ketiga anaknya. Lalu merasa bahwa dirinya sudah gagal memberikan pelatihan terhadap ketiganya.Selama ini, William te
Clara merasa jika loncatan dalam hidupnya terjadi begitu cepat. Sekarang siapa yang menyangka jika pada akhirnya Clara berada di sini, di sisi William Anderson yang arogan dan konvensional tapi tidak dipungkiri jika Clara pun mencintai pria kaku ini. Clara tidak akan menjadi munafik sekadar mengakui jika dirinya memang takut kehilangan William. Setelah kesepian seorang diri dan ditemukan dengan William, pelangi yang tidak pernah Clara lihat nyatanya memang seindah itu."Memikirkan apa?"Malam adalah waktu yang tepat bagi Clara dan William menghabiskan waktu bersama. Sudah sejak dulu kala pillowtalk menjadi pilihan keduanya untuk mengungkapkan perasaan satu sama lain dan apa-apa saja yang sudah dilalui hari ini. Bersama mau pun tidak, dekat atau jauh mereka berdua akan selalu terhubung satu sama lain. Bahkan semesta seperti memberi dukungan untuk keduanya melakukan hal itu."Keringkan rambutmu dengan benar."William baru selesai dengan urusan mandinya. Hari ini William pulang agak laru
"Sejak dulu mereka selalu penurut. Kamu membuatku iri melihat bagaimana mereka tumbuh dengan baik." Alaina datang dari arah pintu garasi yang membuat Clara terpekik kaget sekaligus senang. "Kapan datang? Kamu tidak memberi kabar akan datang." Clara memanyunkan bibir persis seperti bocah tidak diberi permen keinginannya. "Bagaimana kabarmu?" Clara bertanya karena melihat lingkaran hitam di bawah mata Alaina kentara terlihat. "Berhenti mengomeliku!" Alaina duduk di kursi dekat Clara dan tersenyum tipis. "Aku sedang iri dengan caramu mendidik mereka. Tahukah kamu bahwa Kaela bukan lagi Kaela yang aku kenal? Dan ya aku baik. Aku ini orang paling handal dalam menjadi diri." Clara tidak punya daya untuk membela atau membenarkan kisah hidup yang Alaina alami dengan segala keputusan yang menurut orang dewasa matang tapi bagi Kaela itu tidak adil. Menjadi dewasa memang memusingkan sejak dulu kala dan Clara membenarkan hal itu. Dan apa pun yang Alaina katakan semuanya terasa sangat menyesa
Pancake buatan Clara selalu menjadi favorit William. William bahkan bersumpah jika seumur hidupnya dia mau menikmati pancake buatan Clara setiap harinya. Namun berbanding terbalik dengan kedua putranya yang memandangi pancake itu diikuti hidung mengkerut tanda tidak sukanya."Kenapa?" William menyeruput kopi hitamnya setelah menelan pancakenya. "Kalian akan protes tentang masakan mama dan apa yang sudah papa beri? Kalian tidak mau mensyukuri itu?" William bukan tipe orang tua keras yang akan langsung menghakimi tindakan anaknya. William hanya bersikap tegas untuk membuat anak-anaknya merasa ditegasi."Aku merasa kenyang papa." Alex mengutarakan yang dirasakannya. "Pancake buatan mama bukannya tidak enak tapi bukan termasuk favoritku.""Lalu, apa makanan favoritmu?" tanya William santai dan memasukan lagi potongan pancakenya. "Ah, kamu menyukai makanan cepat saji seperti sampah yang akan membuatmu tidak hidup sehat, begitu?""Bukan begitu papa." Kali ini Axel membuka suaranya yang leb
Sudah memutuskan menikah, artinya sudah memperkirakan apa saja yang akan terjadi. Bukan hal aneh jika sekarang banyak yang melakukan perjanjian pranikah sebelum akhirnya berhadapan dengan pendeta dan Tuhannya. Itu juga yang Clara pikirkan melihat kondisi dewasa saat ini. Meski pernikahannya bersama William terbilang singkat, jelas, dan padat bukab berarti tidak ada masalah yang menerpa kehidupan rumah tangga mereka. Perjalanan mereka terbilang penuh liku. Bukannya tidak mensyukuri sudah diberi bahagia sampai sejauh ini. Clara hanya ingin berbagi cerita, kisah dan mungkin sedikit nasihat. Bahwa sebelum meyakinkan diri untuk terikat dalam sebuah komitmen yang panjang maka pikirkanlah matang-matang. Menikah tidak sekadar memiliki ikatan dan merubah status namun juga menyatukan dua kepala dalam satu pemikiran. Agar tidak timbul ego untuk menang sendiri dan merasa paling benar."Apa yang kamu pikirkan?"William selesai dengan mandinya. Hari ini William pulang lebih awal karena tidak ada p
Kehidupan Clara dan William yang sesungguhnya baru dimulai. Ketiga anaknya telah beranjak dewasa dan William punya kesibukan yang selalu tak terduga. Clara merasa kesepian tapi selalu ditepisnya. Beruntungnya ada Valerie dan Stella yang bisa menjadi temannya."Kalian sudah berkenalan?" Clara sedikit terkejut saat Valerie dan Stella jauh lebih akrab dari bayangannya. "Aku senang mendengarnya. Jadi Stella, ada kue apalagi di tokomu?""William memberiku resep.""William?" Clara terperangah tidak percaya. "Manusia es itu berubah jadi baik dan memberimu resep?""Yang tidak pernah aku duga-duga. Manusia itu bukan lagi sedingin kutub, dia mulai hangat.""Aku tidak percaya ini.""Aku juga. Tapi ini kenyataan yang terjadi. Dia sungguh memberiku resep kue dan setelah aku sajikan di etalase semua pelanggan menyukainya.""Kamu harus membaginya padaku. Aku juga ingin tahu rasanya. Sebaik apa resep kue dari William sampai-sampai dia sangat pelit." Clara menyesap kopi panasnya sambil membayangkan ra
Kata berakhir tidak benar-benar selalu berakhir. Buktinya Clara dan William menemukan sebuah kehidupan sulit meski bukan dari dirinya langsung. Adalah Valeria yang terpuruk karena Justin, kekasihnya, yang bimbang ingin membersamai siapa. Belum lagi dengan fakta di mana Valeria menyembunyikan kehamilannya.Valerie hanya diam mematung menatap langit sore yang mulai kekuningan. Sunyi di rumah Clara adalah yang biasa karena anak-anaknya belum kembali dari tempat les. Tapi bagi Valerie itu sebuah penyiksaan. Dan dengan sabarnya, Clara ikut diam duduk di kursi santai.Jika melepas adalah ungkapan kata yang selaras dengan tindakan, bisa jelaskan padaku adakah rasa sakit? Jika ada, bisakah berhenti dan biarkan genggaman tangan ini tetap bertaut. Aku tak bisa—walau aku sudah memaksa. Genggaman tangan ini, kau tahu? Meski ini erat, kehangatan yang tersalur bahkan tak mampu memberi ketenangan, sedikit pun.Kau tahu soal sakit tapi tak berdarah? Sepertinya inilah definisi rasa sakit tapi tak meng
“Karena semuanya sudah berakhir …” Bradley mengembuskan napasnya. Wanita paruh baya itu ada di kediaman Clara dan William. Sedang bersama dengan Axel, Alex, Alexa, dan Michael. Menunggu Alaina yang baru saja tiba. “Ini bukan tentang siapa yang salah dan siapa yang benar. Aku juga tidak tahu ingin mengatakan ini sebagai apa. Tapi setidaknya kau lebih beruntung mengambil keputusan. Tidak apa, mungkin ini yang terbaik. Kau punya rencana?”Alaina menggeleng sebentar dan berpikir. Wajahnya terlampau tenang dan baik-baik saja padahal baru mengambil keputusan besar. Clara sampai terheran-heran di buatnya.“Ah, aku punya satu tempat di ruang terbuka. Di pinggiran kota yang lumayan banyak lalu-lalang pelancong. Mungkin, aku bisa membuka toko kue di sana. Menjajakan kue-kue buatanku.”Semuanya terdiam. Alaina juga terdiam bahkan William yang menjadi pria satu-satunya di sana juga terdiam. Lalu berdeham setelah melirikkan kedua matanya ke kanan dan ke kiri.“Kau bilang ingin kembali ke Ontario.”
Karena tidak semua kisah harus berakhir dengan bahagia. Meski permulaan selalu membahagiakan. Tapi sudah konsekuensi dari setiap pertemuan selalu ada perpisahan.Alaina memaknai perjalanan hidupnya seperti itu. Toh itu sudah di catat sejak dulu kala. Sudah menjadi hukum alam bahwa kehidupan yang kita jalani akan ada pengakhiran.Sama halnya dengan selembar kertas yang sudah Alaina bubuhkan tanda tangannya. Pada akhirnya, pertemuan manisnya dengan Austin dan perjalanan susah senang yang dilaluinya harus ada di titik ini: berpisah.Alaina sudah memaafkan, andai itu dijadikan pertanyaan mengapa bisa ada perpisahan.Mengenai Austin yang berselingkuh, Alaina menutup bukunya rapat-rapat. Ada banyak pertanyaan yang ingin Alaina ajukan. Termasuk; apa kurangnya Alaina. Bukan itu saja, Alaina juga ingin menanyakan perihal apa maunya Austin sehingga bisa berbuat seperti ini. Tapi alih-alih mengucapkannya, Alaina justru menemukan dua fakta yang lebih berguna. Pertama, Alaina merasa happy dan bers
Sesi pillowtalk milik Clara dan William setiap malam selalu terjadi. Sesibuk apa pun William, akan ada waktu penting seperti ini untuk ketiga anaknya dan Clara. William hanya menyadari sesusah apa untuk mempertahankan setelah mendapatkan dan enggan untuk bermain-main dengan sesuka hati. William hanya menjaga dan diimbangi oleh Clara.“Apa lagunya?” tanya William dengan melingkarkan tangan kekarnya di perut Clara. Yang masih ramping dan seksi meski sudah melahirkan tiga anak sekaligus.“Pillowtalk. Sesuai dengan hobi kita.” Clara ciumi telapak tangan besar William. Telapak tangan yang sudah sangat bekerja keras untuk keluarga ini dan menjaga Clara serta ketiga anaknya.“Out Of Love, bagaimana?” William ingin mendengarkan lagu itu. Yang terdengar lembut dan ingin segera memejamkan kedua kelopak matanya dalam dekapan Clara. “Hari ini melelahkan,” ucapnya.Clara memutar lagu sesuai yang William mau dan mengelusi tangannya yang melingkar di perutnya.“Sesuatu yang buruk?”Komunikasi antara