PoV Herlina
Hampir enam bulan, aku mendekam di penjara. Jangan tanya rasanya seperti apa? Sumpek, sesak, tersiksa! Aku pikir, bisa memesan tempat atau ruangan khusus, seperti para koruptor lakukan. Mungkin bisa, kalau aku punya banyak uang. Sialnya, uang yang aku kumpulkan hasil penjualan perusahaan dan hasil investasi sudah atas nama Firman Aditama. Si anak dungu!
Aku sengaja mengatasnamakan Firman supaya jika suatu waktu terjadi masalah, dialah yang tertangkap. Ternyata dugaanku salah besar. Justru perbuatanku itu sangat menguntungkannya. Ya aku tahu, dia seperti itu karena hasutan dari seorang gadis bernama Putri Dewani. Gadis yang sudah dinikahinya beberapa bulan lalu. Karena kehadiran gadis itu, Firman jadi pelit memberikanku uang dalam jumlah besar.
Kalau saja, bisa kabur dari penjara ini, dapat dipastikan nyawa Putri lenyap ditanganku.
“Eh, Ratih! Dipanggil Sipir Trisno!
PoV SabrinaEsok harinya, Dira mengajakku ke salah satu rumah kontrakan yang terletak tak jauh dari tempat tinggalnya.“Kalau ada apa-apa, hubungi aku,” ujar lelaki berlesung pipit saat membantuku merapikan rumah kontrakan tersebut.“Iya, Sayang ... makasih,” sahutku menggamit lengannya.Dira mengajak duduk di bangku teras.“Aku mau bicara sesuatu.” Katanya dengan tatapan serius.“Bicara apa?” Melepaskan gamitan dari lengannya, kemudian kami duduk berhadapan.“Lusa, aku ditugasin keluar kota. Ngawasin proyek di sana.” Berarti kami harus berpisah.“Berapa lama?”“Mungkin satu bulan,” sahut Dira lirih. Aku menghela napas. Rasanya berat berpisah dengan lelaki yang sudah membantuku berubah menjadi orang yang lebih baik. 
PoV AbangRasanya bahagia sekali dapat menyentuh Ayu kembali dan melihat dia bermanja lagi.Usai ‘melakukan’, kedua lengan Ayu masih memelukku. Ia tampak kelelahan. Membelai rambut dan mengecup puncak kepalanya.“Sayang, maaf ya? Abang gak sempat mandi dulu. Gak tahan!”Dia menarik tubuh, memandang dengan kedua mata membulat.“Idih iya, Abang belum mandi. Pantesan bau!!” Ayu mencibir, memencet hidung.“Hm ... bau juga tapi enak kaaann?” Aku mulai menggodanya. Bibir istriku mengerucut. “Ya udah gak apa-apa. Tapi Abang tadi sempat baca doa kan?”“Sempetlah. Gak mau berhubungan dibantu ama setan. Abang juga tadi masih punya wudhu.”“Masa?”“Iya. Tadi jam delapanan Salat Isya di jalan. Sampe masukin mobil di gara
PoV CindyAndai saja, satu tahun lalu, Papa tidak terjerat kasus korupsi, hartanya tidak disita Negara, sekarang Ibu tidak hanya berjualan kue, aku tak mungkin mau menjadi simpanan Om-Om. Apalagi Om itu adalah Papa kandung dari sahabatku, Sabrina.Terkadang rasa sesal menyelimuti hati, tapi apa daya, semua telah terjadi. Aku yang sudah terbiasa bergaya hidup hedonis, mau tak mau menerima tawaran Om Rahmat untuk melayaninya selama ia menginginkan. Tentu saja, tidak gratis. Papa Sabrina harus membayar mahal tiap kali mengajakku bersenggama. Ya, apalagi awal pertama melakukannya. Ia rela membayar seratus juta untuk harga keperawananku.Hubungan gelapku dan Om tentu saja rapi. Aku yang terbiasa bermain ke rumah Sabrina, atau menginap, menjadi alasan Om Rahmat jatuh cinta padaku. Ia tak sanggup lagi menahan hasratnya saat memergokiku sedang tertidur di kamar Sabrina.Kala itu malam Min
PoV Abang“Dendi, Sayang ... duduk dulu, Nak ....” Bunda masih saja menahanku. Rasanya muak berada di tengah-tengah mereka. Kenapa Bunda semakin egosi? Bukan membela anak malah mengorbankan kebahagiaan anaknya sendiri?Sebenarnya sebesar apa sih jasa si dokter itu? Kenapa juga, ngotot pengen jodohin anaknya sama aku, yang jelas-jelas sudah punya istri.“Enggak, Bun. Dendi mau pulang.”“Kita bicarain masalah ini baik-baik, Sayang ... kita pikirin, lebih banyak kebaikannya atau keburukannya untuk Ayu dan kamu.”Di mana pikiran Bunda? Mana ada seorang istri yang rela dipoligami? Seadil-adilnya suami membagi waktu pada istri-istrinya, pasti akan ada yang tersakiti. Istri satu aja, aku masih suka menyakiti Ayu, apalagi lebih dari satu? Astaghfirullah Bunda ... bagaimana kalau Bunda yang diduakan oleh Papa Bram? 
PoV Abang“Bang, buka mulutnya. Mau disuapin gak?” Gak tahu kenapa, aku merasa mual mencium aroma nasi.“Nasinya bau, Yu.”“Bau? Masa sih?” Nasi yang berada di atas sendok di dekatkan ke hidung istriku.“Enggak, Bang. Biasa aja. Ini beras yang kemarin lho. Udah deh, jangan main-main, buka mulutnya.” Ayu memaksakan mulutku agar terbuka, namun rasa mual makin menjadi-jadi, berlari ke toilet, muntah.Kenapa jadi gini? Perasaan kemarin makan nasi biasa-biasa aja.“Abang beneran mual?” Wanita yang sedang mengandung buah hatiku sudah berdiri di samping, memijat-mijat tengkukku.“Beneran, Yu. Nasinya bau banget. Maaf ya?” Wajah Ayu tampak lesu.“Jadi, Abang gak mau makan sotonya?”Merangkul pinggang Ayu, berjalan keluar t
PoV Abang“Ayu ikut ya, Bang?” Ayu memegang lengan bajuku. Dia tampak sangat cemas. Kubelai pipinya dengan lembut.“Jangan, Sayang ... Ayu tunggu di rumah aja. Tunggu Abang pulang.”“Ayu takut Abang ditahan ....” Kedua matanya mulai berembun. Meski tak tahu ada masalah apa, tapi aku tidak mau kalau Ayu kenapa-napa. Apalagi sampai mengeluarkan air mata.“Gak mungkin ... kalau Abang punya salah atau ada yang melaporkan, pasti polisi dateng ke rumah langsung bukan lewat telepon.” Istriku mengerjapkan mata, jurus kemudian bibirnya mengembangkan senyum.“Iya juga sih, Bang. Terus kira-kira masalah apa ya?” Aku menghela napas. Berpikir sesaat, lalu secara tiba-tiba terpikirkan soal Ratih Herlina.“Mungkin masalah Herlina.” Kedua bola mata Ayu membulat sempurna. Raut wajahnya berub
PoV Abang“Aneh. Ruangan dingin kok kepanasan? Apa jangan-jangan ... Bapak ya yang membantu Ratih kabur dari penjara?”Sipir tersebut langsung salah tingkah. Aku semakin yakin kalau orang yang bernama Trisno ini ikut andil atas hilangnya Ratih Herlina dari penjara.“Jangan nuduh sembarangan! Saya gak mungkin melakukan itu!!” Suara Sipir Trisno terdengar lantang, ia berdiri dengan napas memburu. Pak Heru ikut berdiri, menenangkan Pak Trisno. Sipir berkulit hitam itu menatapku nyalang, kubalas dengan tersenyum sinis.“Tenang, Pak Trisno, tenang.” Pak Heru berusaha menenangkan.“Lo, Den! Ngomong sekata-kata.” Dion menyenggol lenganku. Aku sendiri tetap santai. Reaksi Pak Trisno sudah kuduga sebelumnya.“Jujur saja, saya tidak percaya kalau seorang Ratih Herlina pembunuh berdarah dingin mengalami penyiksaan di
PoV Ratih HerlinaDengan penampilan seperti ini, aku pastikan tidak akan ada yang dapat mengenaliku. Sebelum ke rumah si anak dungu, aku akan menjual handphone Trisno. Uangnya lumayan untuk tambahan ongkos. Dari dalam dompet sipir b*doh itu hanya terselip uang tiga ratus ribu. Hah dasar sipir miskin!!Setelah menjual handphone, aku bergegas menaiki taksi kembali menuju kediamanku yang sekarang ditempati Firman. Aku sudah sangat rindu sekali, mandi di bawah guyuran air shower, berendam di dalam bathtub, dan tidur pulas di atas ranjang yang empuk. Membayangkannya saja membuatku ingin segera sampai rumah.Tiba di depan rumah peninggalan alamarhum Pras, taksi berhenti. Aku membayar ongkos taksi dengan uang lebih.“Kembaliannya buat Mas aja.”“Oh iya, makasih, Bu.” Keluar dari dalam taksi, aku melangkahkan kaki menuju depan gerbang. Sambil berjing
PoV Abang Setelah acara peresmian selesai, aku segera meninggalkan tempat acara. Ingin cepat-cepat menemui Ayu. Tadi Bunda menelepon, katanya Ayu sudah dibawa ke rumah sakit. Dokter bilang, Ayu sudah mulai pembukaan dua. “Bang, tunggu!” seru Sabrina yang memang ikut datang bersama Sudira. Aku menghentikkan langkah, membalikkan badan. Sabrina dan Dira mendekati. “Ada apa?” sabrina mengatur napas. “Papa gimana kabarnya?” Aku menghela napas. “Udah nemuin belum?” Aku balik tanya. Kali ini Sabrina harus mau menemui Papanya. Kasihan Om Rahmat, kesepian. Aku tidak akan membiarkan salah satu amggota keluarga hidup sebatang kara lagi. Sabrina menggeleng. “Kamu temui dulu. Sorry, gue lagi buru-buru.” Aku melanjutkan langkah dengan cepat menuju parkiran. tapi pasangan itu terus mengikuti. “Bang, aku serius. Papa gimana keadaannya?” Sabrina berusaha mensejajarkan langkah. “Nanti aku kirim alamat apartemennya.” Ucapku masuk ke dalam mobil. “Ada apa sih buru-buru?” Rina tidak sabaran. “Ay
PoV Abang“Om gak nyangka secepat ini ditinggalkan Cindy. Padahal Om mulai yakin, kalau dia benar-benar sayang Om. Tidak hanya menginginkan uang Om.” Tutur Om Rahmat di tengah isak tangisnya. Aku menghela napas sebelum menanggapi.“Jodoh, rejeki, kematian, itu semua rahasia Tuhan. Om harus sabar dan ikhlas, biar Cindy tenang di sana.” Kucoba menghibur Papanya Sabrina. Ia terlihat sedih sekali. Kepalanya merunduk. Sesekali menyeka cairan yang keluar dari hidung dan mata. Aku tahu bagaimana rasanya kehilangan orang yang kita sayangi. Saat kehilangan Ayah, berbulan-bulan kehilangan gairah hidup. Murung di kamar, enggan berbicara, bahkan kebiasaanku menjahili Ayu pun hilang dalam beberapa waktu.“Iya, Den. Om akan berusaha untuk ikhlas. Terima kasih.”Aku melongok ke atas, melihat keadaan apartemen yang sebagiannya sudah hangus terbakar. Api sudah tidak lagi berkobar.&
PoV Abang Pukul delapan pagi, tiba di kantor. Bertepatan dengan kedatangan Dion. Kami bertemu di area parkir. “Dira udah datang dari jam tujuh katanya,” ujar Dion mensejajari langkahku. “Wah tumben? Ada apa?” “Ada yang mau dibicarain soal perumahan itu. Dia mau langsung ke sana hari ini.” Saat melewati lobby, terlihat Dira sedang berbincang dengan seorang wanita. Aku dan Dion menghampiri Dira seketika pembicaraan mereka terhenti. “Pagi, Pak Dendi, Pak Dion.” Sapa Dira berdiri. Wanita di sampingnya membuang muka, menyeka air mata. “Pagi. Eh, bukannya itu Rina ya?” tanyaku melongok wanita yang kini berdiri di samping Dira. “Iya, Bang. Aku Rina,” sahut anak kedua Om Rahmat. “Ya udah, Ayo kita naik ke atas.” Ajakku pada mereka. Dion sudah lebih dahulu naik ke atas. Mungkin mempersiapkan beberapa berkas terkait proyek perumahan yang ditangani Dira. “Aku nunggu di sini aja,” ucap Rina. “Kamu ikut. Ada yang mau saya bicarakan.” Kataku berjalan lebih dulu dari Sabrina dan Sudira. M
PoV BundaAku hanya menghela napas. Bingung, harus bersikap bagaimana. Kakak kandungku menikah dengan wanita yang pernah dekat dengan Mas Bram. Haruskah berdiam diri, membiarkan Bang Yadi dikuras uangnya perlahan-lahan?“Riana, aku berani sumpah. Aku tidak pernah lagi menghubungi dia. Aku juga gak tahu, kalau dokter punya hubungan dengannya? Riana aku minta maaf.” Menoleh, menatap kedua netra laki-laki yang telah bertahun-tahun aku cintai. Kupaksakan bibir ini untuk tersenyum.“Aku percaya sama kamu, Mas.” Mas Bram terlihat lega. Ia menggenggam telapak tanganku lalu mengecupnya berkali-kali.“Aku janji! Gak akan mendekati wanita lain lagi. Apalagi mendekati Cindy atau Sari. Tidak akan, Riana!”“Sari? Maksud Mas apa?” Aku heran, kenapa Mas Bram menyebut nama Sari? Sikap suamiku salah tingkah kembali. Ia sekarang tampak gusar. Melepas
PoV BundaTak kusangka, dokter Rahmat yang tak lain adalah Kakak kandungku bertandang ke rumah lagi. Mas Bram yang kebetulan sedang ada di rumah menyambutnya cukup ramah, seolah kejadian malam tempo hari itu tidak terjadi. Bang Yadi dan Mas Bram duduk di kursi teras, mereka berbincang seolah tidak terjadi apa-apa. Aku ke dalam membawa dua cangkir kopi, menyuguhkannya pada suamiku dan Bang Yadi.“Jadi, kau juga sudah menemui Ibu?”Degh!Pertanyaan Mas Bram yang dilontarkan untuk Bang Yadi membuatku tersentak. Maksud Mas Bram Ibu siapa ya? Aku menarik kursi satunya, duduk di sebelah Mas Bram.“Sudah. Aku yakin, kalau beliau memang wanita yang telah melahirkanku dan Tari.”Jawaban Bang Yadi membuatku salah tingkah. Mas Bram dan Bang Yadi sudah bertemu dengan wanita itu, dan mereka sangat yakin kalau wanita yang tinggal di rumah Dendi adalah Ibuku dan B
PoV Abang“On, telepon Pak Heru. Kita nunggu di rumah Firman aja. Sekalian bilang ke Pak Heru, jenazah Herlina langsung urus di sana. Dari mulai dimandiin, dikafanin, dan juga dishalatin. Biar nanti di daerah kediaman Firman, kita persiapkan pemakamannya aja.” Kataku sambil menyetir.“Oke.” Dion langsung menghubungi komandan Heru Rudhiat.Sekian menit Dion berbicara dengan Komandan Heru. Sesekali aku menoleh, memastikan segala yang aku usulkan disanggupi.“Gimana, On?” tanyaku, begitu Dion mengakhiri sambungan telepon.“Iya. Jenazah Herlina diurus di sana. Tadi Pak Heru bilang, jam dua siang, Herlina dibawa ke rumah sakit. Sempat mengalami perawatan. Nah jam tiga, dia meninggal.”“Oh begitu. Sekarang udah dikafani belum?”“Tadi katanya lagi dimandiin sama pihak pemandi mayat rumah sakit
PoV AbangSetelah dua hari istirahat di rumah, akhirnya aku bisa keluar juga. Menghadiri acara pernikahan Mama Dahlia dan Pak Supriyatna. Acaranya dilaksanakan di kediaman baru Pak Supriyatna yang berlokasi tidak jauh dari rumah Ibu.“Kalau kata Ibu, Pak Supri sengaja beli rumah dekat rumah Ibu supaya Mama Dahlia ada temannya. Udah gitu kan, ibu sama Mama Dahlia lagi produksi usaha kue kering.” Jelas Ayu saat aku bertanya alasan Pak Supri membeli rumah di daerah situ.Tidak hanya aku dan Ayu yang datang di acara pernikahan orang tua Silvi itu, Nenek, Bi Sumi dan Bang Parto pun ikut datang.Setelah semuanya siap, kami meluncur ke lokasi acara tersebut. Bang Parto yang mengemudikan mobil.Tidak memerlukan waktu lama, kami telah sampai di tempat. Suasana sudah mulai ramai. Aku memapah dan memperkenalkan Nenek pada Ibu dan yang lainnya. Alhamdulillah mereka menerima dan percaya kalau N
PoV AbangAku membiarkan Nenek dan Om Rahmat hanyut dalam isak tangis kerinduan. Meninggalkan mereka dan Masuk ke dalam kamar, air mataku turut mengalir. Ayu yang sedang berselonjor di atas pembaringan terhenyak.“Bang, Abang kenapa?” Bergegas Ayu menghampiriku, duduk di tepi ranjang. Menyeka air mata.“Om Rahmat mengakui Nenek sebagai Ibunya?” Aku menoleh, menganggukkan kepala.“Alhamdulillah ....” Ayu memeluk pinggangku. Aku membelai kepalanya, mengecup cukup lama.“Abang terharu ya?”“Iya. Tapi sayang, Abang gagal bikin Bunda mau menemui Nenek.” Ayu mengembuskan napas. Mengusap punggung tanganku.“Gak apa-apa. Insya Allah, Bunda juga sebentar lagi mau mengakui Nenek.”“Sebentar lagi kan, Ayu mau lahiran. Abang pengen semua keluarga berkum
PoV dokter RahmatApa benar begitu? Perasaan sayang yang aku rasakan pada Tari, karena kami ada hubungan darah?Memang, kerap kali Tari merasa tersakiti, hatiku ikut tersakiti. Melihatnya bahagia, hatiku pun ikut bahagia. Apalagi jika mengingat kejadian malam itu. Di mana sebelumnya kami tertawa bersama, namun sikap kasar yang dilakukan oleh Bram terhadap Tari membuatku sangat amat marah.“Om, kalau ingin mendengar cerita lebih jelasnya, Om bisa ikut saya untuk ketemu Nenek. Kasihan Nenek, Om. Apakah Om tidak merindukan sosok wanita yang telah mengandung dan melahirkan Om?”“Kau ... telah bertemu dengan dia?” Bergetar aku melempar tanya.“Iya.”“Apa kau yakin, kalau dia wanita yang telah melahirkan Om dan Bundamu?”“Yakin. Walaupun kami belum melakukan tes DNA, tapi saya yakin kalau be