Restoran milik Papa mengalami masalah karena sebuah kesepakatan bisnis yang ternyata hanyalah tipuan. Seseorang yang dikenalnya dari seorang teman menawarkan kepada Papa untuk membuka cabang restoran dan memberi pinjaman yang cukup besar.
Bangunan bertingkat tiga itu ternyata tidak mempunyai izin, dan terpaksa disegel ketika sudah sembilan puluh persen rampung. Papa memercayakan pengurusan izin kepada orang yang diutus oleh kenalannya tersebut dan tidak pernah memeriksa hasil kerjanya.
Karena restoran tidak jadi dibangun, Papa dianggap telah melanggar perjanjian kerja sama dan diminta untuk mengembalikan uang yang telah dipinjam beserta penalti yang harus dibayar. Jumlahnya sangat besar. Uang simpanan Papa bahkan belum cukup untuk membayarnya.
“Pa, ini uang tabunganku dan Este. Semoga ini bisa membantu,” kata Kakak sambil memberikan setumpuk uang di atas meja kerja Papa.
“Tidak.” Dia mendorong uang itu kembali ke arah kami. “Kamu perlu uang untuk membuka praktik, sedangkan adikmu butuh uang kuliah. Aku akan pikirkan cara lain.”
Restoran, rumah, dan mobil terpaksa digadaikan untuk mendapatkan uang tambahan membayar pinjaman dan penalti tersebut. Tidak ada yang bisa dilakukan, menempuh jalur hukum pun mustahil karena itu adalah perjanjian yang disepakati bersama dan sama sekali tidak ada unsur paksaan. Papa yang teledor karena tidak membaca surat perjanjian tersebut dengan jeli.
Keadaan keuangan memburuk, sedangkan restoran masih membutuhkan uang operasional jika ingin tetap terus berjalan. Papa sudah tidak punya uang untuk membayar gaji pegawai dan membeli bahan makanan. Stres dengan keadaannya itulah yang membuat Papa jatuh sakit.
Om Jarvis menawarkan bantuan, tetapi Papa tidak segera menerimanya karena berat menerima syarat yang diajukan. Karena tidak menemukan jalan lain dan nasib pegawai bergantung pada uluran tangan Om Jarvis, maka Papa pun menerima tawaran tersebut. Topik yang jadi pertengkaran kami.
“Kalau begitu, saya permisi sekarang, Pak. Saya masih punya pekerjaan lain,” ucap pengacara itu. Om Jarvis mempersilakannya.
“Saya juga permisi, Om,” pamitku.
“Tidak. Kamu habiskan teh dan makanan itu. Kamu pasti belum sempat sarapan saat datang ke sini.” Pria itu duduk bersandar. Dia benar. Aku belum makan apa pun sejak bangun tidur. “Aku tidak percaya kamu tidak punya pertanyaan sama sekali.”
“Aku tidak percaya kamu setuju begitu saja untuk menikah dengan kakakku,” timpal pria yang sedari tadi hanya diam. Aku segera mengenali suaranya.
Aku menoleh dan melihat pria yang tadi aku tabrak di lantai dasar. Aku tidak segera mengenalinya, karena dia tidak lagi mengenakan pakaian yang sama. Aku sekarang ingat siapa dia. Dia adalah putra kedua Om Jarvis. Aku kembali menoleh ke arah Om Jarvis.
“Saya benar-benar tidak punya pertanyaan, Om.” Aku mengambil sebuah roti dan menggigitnya. Jika aku ingin segera pergi dari tempat ini, maka aku harus menghabiskan makanan dan minuman ini.
“Jonah, bersikaplah sopan. Perkenalkan dirimu.” Om Jarvis menatap putranya tersebut. Aku segera meletakkan roti ke atas piring, mengambil selembar tisu dari kotak di depanku, dan membersihkan tanganku. Aku menerima uluran tangan pria yang tampan itu.
“Jonah,” ucap pria itu menyebut namanya. Jonah Diandra Putra. Meskipun namanya tidak muncul di media sesering nama kakaknya, namanya mudah untuk diingat. Dia lebih tampan dilihat secara langsung daripada lewat fotonya.
Dia memiliki wajah yang mirip dengan mamanya. Mukanya berbentuk oval, alis matanya hitam dan tebal, tatapan matanya dalam yang tertutup sempurna jika dia sedang tersenyum, hidungnya kecil dengan ujung sedikit terangkat ke atas, dan bibirnya unik dengan bagian atas lebih tebal daripada bagian bawah. Orang-orang biasanya menyebutnya versi laki-laki mamanya.
Tubuhnya sedikit lebih pendek daripada Jason, dan badannya atletis karena rutin berolahraga, tidak berotot seperti kakaknya yang teratur mendatangi pusat kebugaran. Anehnya, tidak banyak wanita yang tertarik untuk mendekatinya. Para perempuan lebih suka mengelilingi Jason daripada Jonah. Mungkin mereka berpikir bahwa jika bisa mendapatkan nomor satu, untuk apa membuang-buang waktu mendekati nomor dua? Entahlah.
Atau bisa jadi Jason lebih menarik karena sikap ramahnya dan bersahabat kepada semua orang, tetapi sedikit pendiam yang membuatnya terkesan misterius. Berbeda dengan Jonah yang dingin dan tidak akan pernah bisa menahan dirinya untuk bicara jujur kapan saja dia mau sehingga orang-orang kurang suka berada di dekatnya.
“Celeste,” balasku dan dia melepaskan genggaman tangannya. Aku kembali melihat ke arah pakaiannya. “Ng, aku benar-benar minta maaf untuk kejadian tadi.”
“Kamu sudah meminta maaf, dan aku memaafkan kamu. Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan.” Dia melihat ke arah ayahnya yang menatap kami secara bergantian. “Hanya kecelakaan kecil, Yah.”
“Pantas saja pakaianmu berbeda dengan yang kamu pakai saat berangkat dari rumah tadi.” Om Jarvis mengangguk mengerti.
“Aku benar-benar berharap kamu akan membuat sedikit drama di ruangan ini untuk menghibur aku. Tantang ayahku, bantah persyaratan yang dia ajukan. Mengapa kamu malah menerimanya tanpa perlawanan?” Dia menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Berhenti mengganggunya, Jonah,” ucap Om Jarvis. Pria itu kembali melihat ke arahku. “Jason sedang mengurus pekerjaan di luar kota, jadi dia tidak bisa bersama kita di sini. Tetapi aku pastikan kepadamu bahwa dia pria yang baik.”
“Sangat baik. Dia tahu bagaimana membuat seorang wanita bahagia di tempat tidur,” tambah Jonah. Aku terbatuk-batuk mendengar kalimat lugasnya itu.
“Jangan dengarkan dia.” Om Jarvis tidak terlihat marah dengan perkataan anaknya itu. Sepertinya begitu cara mereka berkomunikasi. “Kalian akan bertunangan lebih dahulu. Hanya acara antara dua keluarga. Aku tidak akan sempat menyiapkan acara besar dalam waktu dekat.”
Tanggal pertunangan sudah tertera pada surat perjanjian. Hari Sabtu ini. Itu artinya aku hanya punya waktu tiga hari untuk menikmati hidupku sebagai perempuan bebas. Pernikahan akan dilangsungkan setelah aku wisuda beberapa bulan lagi. Aku tidak yakin pria bernama Jason ini akan punya waktu untuk saling mengenal denganku. Sekarang saja, dia sedang bekerja di luar kota.
Aku tidak akan mengeluh dengan calon suami yang ditentukan oleh Om Jarvis. Jason adalah pria yang tampan, cerdas, dan penerusnya yang akan memimpin perusahaan ini. Perbedaan usia kami yang terpaut sembilan tahun juga bukan masalah untukku. Masalahnya, aku belum mau menikah.
Yang membuat aku bertengkar dengan Papa adalah karena aku ingin hidup mandiri selepas kuliah nanti. Pernikahan belum ada dalam rencana hidupku dalam waktu dekat. Sejak mengenal cinta saja aku tidak pernah menjalin hubungan asmara dengan pemuda mana pun karena aku tidak berencana untuk menikah pada usia muda.
Semua harapanku untuk meniti karier, menikmati gaji yang aku dapatkan dengan kerja keras sendiri, berjalan-jalan ke mana saja yang aku mau, membeli mobil dan rumah dengan uang hasil kerja kerasku sendiri harus pupus. Aku terpaksa melupakan semua impianku itu.
“Tantemu akan menemani kamu besok sore untuk membeli pakaian, perhiasan, dan apa saja yang kamu butuhkan pada hari Sabtu nanti. Apakah kamu bisa atau kamu masih ada mata kuliah yang harus kamu hadiri?” tanya Om Jarvis pelan.
“Bisa, Om. Saya sudah berjanji akan menemui dosen pembimbing saya pada hari ini. Jika tidak ada masalah dengan skripsi yang saya susun, saya hanya akan mengetik bab selanjutnya di rumah.” Aku sangat berharap bahwa hari ini suasana hati dosen pembimbingku sedang baik.
“Apa judul skripsimu?” tanya Jonah penasaran. Aku menjawabnya. “Hm. Kamu menggunakan usaha ayahmu dengan baik. Hati-hati. Jangan sampai membuka rahasia usaha kalian dalam skripsimu.”
“Tidak. Data yang saya ambil hanyalah data yang saya butuhkan dalam penelitian. Saya sama sekali tidak memasukkan data rahasia. Lagi pula, Papa tidak akan membiarkan saya menyentuh data rahasia restorannya. Saya juga tidak punya akses ke sana,” jawabku dengan jujur. Dia mengangguk.
“Kepalaku sakit mendengar kamu bicara seperti itu,” sela Om Jarvis. Aku menoleh ke arahnya. “Bicara dengan bahasa biasa saja. Jangan formal begitu. Kita akan segera menjadi satu keluarga.”
“Baik, Om,” ucapku patuh.
“Bisakah kamu makan lebih cepat?” Jonah melirik jam tangannya. “Aku masih punya dua rapat penting dan aku tidak bisa pergi sebelum mendiskusikan sesuatu dengan ayahku.” Aku ikut melirik jam tanganku.
“Ya, ampun!” Aku segera meneguk habis teh dalam cangkir. Untung saja dia mengingatkan aku mengenai jam. “Aku juga harus segera menemui dosenku.”
“Hati-hati menyetir, Nak,” ucap Om Jarvis yang ikut berdiri bersamaku.
“Iya, Om. Jonah.” Aku pamit kepada mereka berdua. Pria itu hanya memutar bola matanya.
Aku bergegas keluar dari ruangan. Wanita yang tadi mengantar aku sudah menunggu di luar pintu. Dia tersenyum dan mengantar aku kembali keluar dari tempat itu. Syukurlah. Karena aku tidak yakin aku akan bisa menemukan di mana letak elevator yang tadi kami naiki.
Jantungku mulai berdebar-debar. Meskipun setelah wisuda nanti aku tidak bisa lagi mengejar mimpiku, setidaknya aku ingin menyelesaikan studiku tepat waktu. Apakah kira-kira dosenku akan memberi catatan khusus lagi pada skripsiku atau aku sudah bisa lanjut ke bab terakhir?
~Jonah~ Menyusun rencana, memeriksa lokasi, mengajukan proposal, mengadakan event, mengawasi pelaksanaannya, mengevaluasi pelaksanaan setiap harinya, menulis laporan, menerima masukan, kemudian menyusun rencana baru lagi, begitu terus berputar-putar yang harus aku lakukan sebagai manajer pemasaran. Tidak ada hari untukku duduk diam di ruanganku selama sebulan terakhir ini karena peluncuran apartemen baru yang dibangun oleh perusahaan Ayah mendapat sambutan baik, tetapi belum semua unit terjual. Jika kami tidak bergerak cepat, kami akan segera disibukkan lagi dengan program baru untuk memasarkan unit pada mal yang sebentar lagi akan selesai dibangun. Fabian sedang menunjukkan laporan terbaru promosi yang kami lakukan di sebuah mal ketika seseorang menabrak tubuhku sehingga cup kopi yang aku pegang mengenai pakaianku dan tumpah. Kopi itu sudah tidak panas lagi tetapi isinya masih penuh. Aku tidak sempat meminumnya karena tidak berhenti bicara dengan asistenku. “Aku mohon, maafkan aku
~Celeste~ Setelah memarkirkan mobil di halaman kampus, aku setengah berlari menuju kantor jurusanku. Suasana kampus sedang sepi karena perkuliahan sudah dimulai. Aku melihat sahabatku melambai-lambaikan tangannya ke arahku. Aku segera mendekatinya. Melihat wajah bahagianya, aku mengerutkan kening. Kemarin Nola masih terlihat berduka karena khawatir tidak akan bisa membayar biaya kuliahnya untuk semester berikutnya. Jadi, dia mulai mencari-cari pekerjaan paruh waktu yang bisa dilamarnya untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarganya sekaligus biaya kuliahnya. Orang tuanya masih mencicil rumah dan kendaraan mereka, karena itu pendapatan bulanan mereka selalu habis untuk kebutuhan sehari-hari dan tagihan kredit. Yang disimpan juga hanya cukup untuk membayar biaya pendidikan Nola dan adik-adiknya. “Terima kasih banyak, Cel.” Dia memeluk aku, lalu melompat-lompat bahagia. Aku terpaksa ikut melompat karenanya. Aku masih bingung dengan apa yang terjadi. “Papa dan mamaku sudah mendapatkan g
Walaupun aku sudah tidak sabar ingin mengerjakan skripsiku, aku tidak bisa segera pulang ke rumah. Papa masih dirawat di rumah sakit. Kakak sedang bekerja, jadi Papa pasti kesepian jika sepanjang hari ini tidak ada yang menemani. Keadaan akan berbeda andai saja Mama masih hidup. Mama sudah meninggal dunia dua tahun yang lalu karena kanker otak yang dideritanya. Kanker itu baru diketahui ketika Mama sudah tidak bisa diselamatkan lagi. Kami berjuang bersama selama hampir enam bulan ketika Mama akhirnya mengembuskan napas yang terakhir. Aku masih sering melihat Papa berwajah sedih saat dia berpikir tidak ada yang sedang melihatnya. Hidup bersama selama dua puluh lima tahun pasti tidak mudah untuk membiasakan diri hidup tanpa pasangan lagi. Karena itu, aku mengerti mengapa Papa sangat berharap bisa mempertahankan restoran miliknya. Restoran itu adalah usahanya dari nol bersama Mama. Mereka memulai dari usaha warung makan kecil yang perlahan menerima katering. Pelanggan semakin banyak da
~Jonah~ Semua peserta rapat sudah berada di dalam ruangan ketika aku masuk bersama asistenku. Dia memimpin jalannya rapat dan aku hanya membaca serta mendengarkan laporan dari setiap kegiatan yang kami adakan pada minggu lalu, dan rencana kegiatan yang akan diadakan pada minggu ini. Seharusnya rapat ini kami adakan pada hari Senin, namun karena satu dan lain hal, rapat dibatalkan. Aku segera menolak ketika salah satu dari mereka begitu bersemangat untuk menaikkan target pada minggu ini. Kami mati-matian mengerahkan tenaga dan waktu untuk mencapai target pada minggu lalu. Jika target pada minggu ini dinaikkan, aku tidak bisa membayangkan berapa banyak waktu istirahat yang harus dikorbankan demi satu persen saja. “Pak Jonah benar. Kita bisa stabil memenuhi target pada setiap minggunya sudah sebuah prestasi. Itu saja dahulu yang kita pertahankan. Bila kita semua sudah terbiasa dengan ritmenya dan tidak mengalami kesulitan lagi, kita bisa menaikkan target sebagai percobaan,” kata Fabian
~Celeste~ Jantungku berdebar-debar saat menyerahkan skripsiku yang sudah utuh tersebut dari bab awal hingga terakhir. Dosen pembimbingku langsung membaca pada bab terakhir yang belum pernah dibacanya sama sekali. Dia mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian tersenyum. Tanganku mulai sakit karena aku meremasnya dengan kuat untuk mengurangi ketegangan yang aku rasakan. Jika aku mendapatkan lampu hijau, maka aku tidak perlu lagi bergelut dengan penelitian yang sudah aku kerjakan selama enam bulan ini. Jujur saja, aku sudah muak membacanya. “Apakah kamu mengubah sesuatu yang sudah aku periksa pada bagian dan bab sebelumnya?” tanya pembimbingku itu. “Tidak, Pak. Semuanya masih sama seperti yang Bapak periksa kemarin,” jawabku yang semakin harap-harap cemas. Dia menganggukkan kepalanya. “Kerja yang bagus,” pujinya dengan senyum di wajahnya. Dia memberikan tanda tangannya pada bagian depan skripsiku tersebut. “Kamu bisa menemui bagian administrasi untuk mengurus jadwal sidang skripsi kam
Tepat pada pukul empat sore, aku menuruni tangga menuju pintu depan. Bu Liana membukakan pintu untukku. Aku keluar rumah bertepatan dengan pintu gerbang dibuka dan sebuah mobil masuk ke halaman rumah kami. Mobil tersebut berhenti tepat di depanku. Seorang pria muda keluar dari sisi pengemudi. Dia menundukkan tubuhnya sedikit kepadaku lalu mengeliling mobil untuk membukakan pintunya untukku. Aku melihat Tante Inggrid melambaikan tangannya kepadaku. Aku segera masuk ke mobil. “Selamat sore, Tante,” sapaku dengan ramah. “Selamat sore. Kamu cantik sekali,” pujinya dengan tulus. “Terima kasih, Tante. Tante jauh lebih cantik.” Aku membalas pujiannya. Dia tertawa kecil. “Aku sudah tidak muda lagi, kecantikanku mana bisa dibandingkan dengan kamu,” ucapnya merendah. “Aku mendengar kabar bahwa Bisma sudah pulang dari rumah sakit, apakah papamu sudah baik-baik saja?” “Sudah, Tante. Papa sedang beristirahat di kamarnya,” jawabku. Dia menganggukkan kepalanya. “Aku senang sekali Jason akhirny
~Jonah~ “Jason belum pulang, Raihan?” tanya Bunda kepada kepala pelayan rumah kami. “Belum, Nyonya,” jawab pria itu dengan sopan. Bunda melihat ke arah Ayah. Setahuku, Jason berencana mengurus perjanjian dengan rekan bisnis Ayah untuk satu hari saja. Namun yang ada di ruang makan pada pagi harinya hanya Ayah dan Bunda. Itu artinya dia telah membatalkan kepulangannya semalam. Kali ini dia akan tinggal lebih lama untuk berapa hari? Aku tahu apa yang dia lakukan di luar sana setiap kali menunda kepulangannya saat melakukan perjalanan bisnis. Dia menghabiskan malam bersama seorang perempuan yang telah menarik perhatiannya di kota tersebut. Semakin lama dia tinggal di sana, maka semakin memuaskan wanita itu dalam melayaninya di tempat tidur. Jason sangat pintar menutupi hobi buruknya. Dia akan menggunakan waktunya pada siang dan sore hari dengan bermain golf, makan siang, atau minum kopi bersama dengan rekan bisnis yang ditemuinya sehingga Ayah tidak mencurigai motif utamanya tinggal l
~Celeste~ Makanan pesanan kami datang, Tante Inggrid yang mendominasi pembicaraan. Dia menceritakan kegiatan sehari-harinya sebagai seorang istri. Aktivitasnya lumayan padat dengan berbagai kegiatan di luar rumah. Aku berharap bahwa aku tidak perlu melakukan semua itu. Aku belum tahu apa yang menjadi tugasku nanti sebagai istri Jason. Dari cara Tante Inggrid memilih momen ini untuk menceritakan mengenai kegiatannya, sepertinya apa yang menjadi tanggung jawabku tidak akan jauh berbeda dengan itu. “Yang kamu dengar itu belum seberapa. Masih ada banyak lagi aktivitas lain yang Bunda kerjakan di luar sana,” timpal Jonah. Tante Inggrid yang baru menerima kartu kreditnya kembali dari pelayan hanya tersenyum. “Kamu akan terkejut bagaimana Bunda masih bisa mengomeli aku pada malam hari setelah mengerjakan semua hal yang melelahkan itu.” “Kira-kira seperti inilah percakapan kami di rumah nanti. Jadi kamu tidak akan terkejut lagi.” Tante tersenyum penuh arti. Melihat layar ponselnya menyala
Pagi hari adalah waktu yang paling berat bagi kami berdua. Celeste sudah sulit bangun sendiri karena kondisi perutnya yang sangat besar. Aku berusaha untuk menolongnya, tetapi apa pun yang aku lakukan selalu salah di matanya. Dan dia sering sekali menangis. Sebentar lagi dia akan melahirkan, hanya itu yang membuatku bisa bertahan. Keadaan ini tidak permanen dan hanya sementara saja, aku selalu mengingatkan diri sendiri mengenai itu. Aku tidak sabar ingin bisa bertengkar lagi dengan istriku yang suka membantah. Hari ini adalah hari peringatan kematian Jason. Satu tahun sudah dia pergi meninggalkan kami dan hidup di keabadian. Tidak banyak yang berubah dalam kehidupan keluarga kami. Ayah dan Bunda sudah tidak sabar menunggu kelahiran cucu pertama mereka. Papa sibuk dengan dua restorannya. Nevan dan Naura belum juga mengalami perkembangan apa pun dalam hubungan mereka. Sembilan bulan lebih menjadi wakil Ayah, aku sangat menikmati pekerjaanku. Aku bahkan bekerja lebih santai dibandingka
Ya, ampun. Ini lebih mendebarkan dari yang aku duga. Dia sudah pernah melakukan lebih dari sekadar mencium leherku, tetapi aku tidak pernah merasakan segugup ini. Saat dia mencium tengkukku tadi, aku refleks menjauh darinya. Tenang, Este. Tenanglah. Ini hanya Jonah. Kekasihmu, cintamu, suamimu … Suamiku. Iya. Dia sudah bukan lagi sekadar tunanganku.Aku sudah terlalu lama berada di kamar mandi, jadi aku menarik napas panjang sebelum memutar kenop pintu. Aku lupa membawa pakaian ganti, maka aku hanya memakai mantel mandi untuk membungkus tubuhku. Jonah tidak bersikap aneh. Dia hanya menoleh ke arahku saat pintu terbuka, lalu dia berjalan melewatiku untuk menggunakan kamar mandi juga.Aku mendesah lega. Koperku sudah diletakkan di sisi tempat tidur. Aku mengambil celana pendek dan sebuah kaus, lalu cepat-cepat mengenakannya. Pemandangan kota pada malam hari dari jendela kamar sangat indah. Aku hanya bisa menatapnya sebentar karena aku merasa haus.
Rumah kami ramai dengan orang-orang yang membantu kami berdandan dan berpakaian dengan benar. Juga ada fotografer dan kamerawan yang mengabadikan setiap hal yang kami lakukan. Wanita yang diutus oleh event organizerlangganan keluarga kami juga datang untuk memastikan setiap persiapan akhir sudah beres.Aku sudah rapi dengan tuksedo hitamku, lengkap dengan semua asesoris yang harus aku kenakan. Aku pergi diam-diam menuju tempat pemakaman umum. Sampai di tempat peristirahatan terakhir saudaraku, aku duduk di makamnya. Korsase mawar putih yang aku bawa aku letakkan di atas kuburannya, dekat dengan nisannya.“Aku tidak mau orang lain yang menjadi pendampingku, jadi kamu harus melakukan tugas itu. Aku tidak peduli bagaimana caranya kamu bisa hadir nanti, kamu harus memakai korsase itu,” ucapku pelan. Aku menyentuh nisannya. “Bagaimana kabarmu di sana? Apakah kamu masih melakukan kebiasaan burukmu? Jangan tidur dengan sembarang perempuan lagi
“Celeste?” tanya Retno dan Sari yang terkejut dengan kedatanganku pada pagi itu. Aku hanya tertawa kecil melihat wajah mereka.“Kamu akan menikah besok, mengapa kamu masih datang?” tanya Sari bingung.“Aku ingin menyelesaikan beberapa pekerjaan agar saat kembali nanti, Tyas tidak sengaja memberi laporan yang menggunung kepadaku.” Atasan kami itu hanya tertawa geli dari meja kerjanya.“Wah, wajah kamu terlihat lebih ceria. Beberapa hari ini kamu seperti orang yang akan menghadiri pemakaman, bukan pernikahanmu sendiri,” kata Retno menggodaku.“Hei, ini tempat kerja. Kalau mau mengobrol, nanti saat istirahat makan siang.” Tyas berseru dari mejanya. Kami tertawa cekikikan, lalu memasuki bilik kerja kami masing-masing.Pada saat istirahat makan siang, aku dan Jonah menjenguk Yosef dan Vita di kantor polisi. Aku membiarkan tunanganku bicara dengan sepupunya tanpa ikut campur. Pria itu sangat men
“Ada apa denganmu?” Aku menguatkan diriku untuk tetap bertahan menghadapinya. Tubuhku masih bergetar akibat kekuatan amarahnya. “Ini rumahku, jadi tolong jaga sikapmu.” “Kamu tidak bisa menikah dengan pria lain.” Dia berdiri dari tempat duduknya. “Apa?” Aku menatapnya tidak percaya. “Memangnya kamu siapa melarangku untuk menikah? Aku yakin Papa dan Kakak akan setuju dengan pria pilihanku. Dan hanya restu dari mereka yang aku butuhkan. Kamu dan aku bukan siapa-siapa lagi. Kita sudah putus, ingat?” “Dan kamu tidak akan mencium pria lain.” Dia berjalan mendekatiku. “Yang benar saja. Mana ada pasangan suami istri yang tidak pernah berciuman.” Aku mendengus mengejeknya. Dia berhenti di depanku dan menarik lenganku sehingga aku berdiri begitu dekat dengannya nyaris menyentuh dadanya. Aku meletakkan kedua tanganku di dadanya memberi jarak di antara kami. “Kamu juga tidak akan bercinta dengan pria lain.” Tangannya melingkari pinggangku dan bibirnya me
Berani-beraninya dia mengakhiri hubungan begitu saja tanpa memberi penjelasan apa pun kepadaku. Aku bicara, berteriak, memohon, tetapi dia hanya mengabaikan aku. Tanpa perasaan sedikit pun, dia melajukan mobilnya pergi dari hadapanku. Dia boleh saja memasang wajah dingin tanpa ekspresinya itu. Tetapi aku tahu bahwa hatinya masih untukku. Dia bisa membohongi semua orang dengan omongan kasarnya, tidak denganku. Aku hanya perlu berusaha lebih keras untuk meyakinkannya lagi. Kami berdua diciptakan untuk bersama. Telepon dariku tidak diacuhkannya sepanjang malam itu. Aku tidak peduli, aku terus mengganggu dia. Jika aku tidak bisa tidur, maka dia juga tidak. Karena apa yang terjadi kepadaku adalah karena ulahnya. Aku hanya membutuhkan penjelasan. Aku berhak diperlakukan lebih baik dari ini. “Mengapa kalian masih mengikuti aku?” tanyaku kepada kedua pengawal yang langsung berjalan di sisiku saat aku keluar dari mobil Jonah. Dia yang menginginkan hubungan kami berakh
Celeste terlihat sangat bahagia saat aku menjemputnya dari tempat kerjanya. Dia tidak berhenti bicara mengenai pekerjaannya, rekan-rekannya, dan berita viral yang mereka bicarakan. Iya, itu adalah berita yang paling menggegerkan sepanjang hari ini. Penangkapan Om Gunawan, Jovita, dan Yosef. Hukuman Jovita akan sangat berat karena aku memberikan rekaman CCTV restoran di mana dia berusaha untuk menyakiti tunanganku. Yang sebentar lagi sudah bukan milikku lagi. Merencanakannya ternyata tidak semudah melakukan. Aku terdiam cukup lama di dalam mobil saat kami sudah sampai di pekarangan rumahnya. Mungkin dia berpikir aku tidak berniat membukakan pintu untuknya sehingga dia mengucapkan selamat malam dan memegang kenop pintu. Tetapi aku memintanya untuk menunggu. Aku hanya berniat untuk menyentuh wajahnya dan melihatnya untuk terakhir kalinya. Sayangnya, tubuhku mempunyai rencananya sendiri. Aku menciumnya seolah-olah itu adalah ciuman terakhir kami. Selamanya aku tidak akan
Semuanya terasa tidak berarti lagi untukku. Mengetahui sebuah fakta dibandingkan dengan mendengar langsung pengakuan dari orang jahat yang telah melakukannya adalah dua hal yang berbeda. Yang satu terlihat tidak nyata, ketika yang satu lagi menyerangmu pada titik yang paling menyakitkan. Jantungmu. Aku hanya bisa diam mendengar alasan yang Jovita ucapkan dan Yosef utarakan sehingga mereka melakukan semua ketidakadilan itu. Cinta, nafsu, harta, kedudukan, apa artinya semua itu jika nurani mati? Mereka tidak hanya mengorbankan masa depan seseorang, tetapi juga nyawanya. Pada Minggu pagi, aku berlari hingga kepalaku berhenti berpikir. Aku tidak bisa memejamkan mata sekejap pun semalam dan tubuh serta jiwaku sangat letih. Rasa sakit saat pertama kali mengetahui Jason pergi tidak seperih ini. Setelah tahu apa yang dialaminya menjelang hari kematiannya membuat rasa kehilangan itu semakin menyakitkan. Paru-paruku terasa begitu sesak dan aku mulai kesulitan bernapas,
Acara menonton itu jadi terasa aneh karena teman-temanku sesekali menoleh ke arah Kak Nevan dan Naura. Mereka berdua duduk dengan tegak dan menjaga jarak, sangat berbeda dengan posisi duduk mereka sebelumnya yang sangat dekat. Hanya aku yang mengetahui mengenai hubungan mereka, jadi wajar jika teman-temanku percaya tidak percaya melihat mereka bersama. Begitu film berakhir, kami keluar bersama melalui pintu keluar. Kakak dan Naura berjalan dengan kaku saat mendekati kami yang menunggu mereka di depan elevator. Tidak ada seorang pun yang bicara, maka aku juga tidak mencoba untuk mencairkan suasana. “Kalau kalian tertarik, bagaimana jika kita ke restoran dan ikut menghabiskan sisa bahan makanan untuk minggu ini?” tanya Nola yang sedang membaca pesan yang ada di ponselnya. “Ayahku mengirim pesan. Dia koki di sana.” Nola menoleh ke arahku. “Tidak hanya makanan berat yang disajikan, ada juga menu makanan ringan. Ayo, kita ke sana,” ajakku. Retno dan Sari menoleh k