~Celeste~
Jantungku berdebar-debar saat menyerahkan skripsiku yang sudah utuh tersebut dari bab awal hingga terakhir. Dosen pembimbingku langsung membaca pada bab terakhir yang belum pernah dibacanya sama sekali. Dia mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian tersenyum.
Tanganku mulai sakit karena aku meremasnya dengan kuat untuk mengurangi ketegangan yang aku rasakan. Jika aku mendapatkan lampu hijau, maka aku tidak perlu lagi bergelut dengan penelitian yang sudah aku kerjakan selama enam bulan ini. Jujur saja, aku sudah muak membacanya.
“Apakah kamu mengubah sesuatu yang sudah aku periksa pada bagian dan bab sebelumnya?” tanya pembimbingku itu.
“Tidak, Pak. Semuanya masih sama seperti yang Bapak periksa kemarin,” jawabku yang semakin harap-harap cemas. Dia menganggukkan kepalanya.
“Kerja yang bagus,” pujinya dengan senyum di wajahnya. Dia memberikan tanda tangannya pada bagian depan skripsiku tersebut. “Kamu bisa menemui bagian administrasi untuk mengurus jadwal sidang skripsi kamu.”
“Serius, Pak?” tanyaku tidak percaya.
“Itu sudah diberi tanda tangan. Kurang serius apa lagi?” ucapnya berkelakar.
“Terima kasih banyak, Pak.” Aku menjabat tangannya dan segera keluar dari ruangan tersebut. Aku menuju ke bagian administrasi dan menunjukkan skripsiku itu. Dia memberi aku sebuah formulir yang harus aku isi, kemudian daftar berkas yang harus aku siapkan.
Aku membutuhkan waktu sekitar dua jam untuk bisa memenuhi seluruh persyaratan pendaftaran tersebut. Setelah menerima jadwal sidang skripsiku, aku mendesah lega. Aku akan mengikutinya bersama tiga mahasiswa lain. Satu adalah seniorku dan dua lagi adalah teman seangkatanku sendiri.
Nola tidak datang ke kampus pada hari ini karena masih menyelesaikan bab selanjutnya dari skripsinya. Jadi aku memutuskan untuk pulang dan makan siang di rumah. Dengan begitu, aku punya waktu untuk beristirahat sebelum berbelanja bersama Tante Inggrid. Aku yakin kami tidak akan membutuhkan satu atau dua jam saja untuk mencari semua kebutuhanku.
Papa juga pasti sudah pulang ke rumah. Aku ingin segera memberi tahu dia mengenai kabar bahagia ini. Aku tidak mau mengabari lewat telepon. Aku ingin melihat langsung ekspresi wajahnya saat mendengar anak gadisnya sebentar lagi akan menjadi sarjana.
“Seharusnya kamu tidak melakukan apa yang kamu lakukan kemarin, Cel.” Aku mendengar suara seorang pria dari arah belakangku saat aku berjalan menuju mobilku. Pemuda ini lagi. Aku tidak menggubrisnya dan tetap melanjutkan langkahku.
“Beraninya kamu mengabaikan aku.” Aku merasakan dia mencengkeram rambutku. Aku segera memegang tangannya itu dengan kedua tanganku agar dia tidak menjambak rambutku, lalu mundur satu langkah. Aku memutar tubuhku melalui bagian bawah tangan kanannya sehingga dia menjerit kesakitan. Gerakanku itu membuat tangannya terpelintir ke belakang. Pegangannya dari rambutku terlepas dan aku segera berdiri menjauh darinya.
“Jika kamu berani menyentuh aku lagi, tanganmu tidak hanya terasa sakit. Aku akan mematahkan tanganmu itu,” ancamku sambil menahan diri untuk memukul kepalanya dengan ranselku. Dia memegang lengannya dan menatap aku dengan takut. Dia segera berlari terbirit-birit.
Apa sebenarnya masalah pemuda itu? Dia yang selingkuh sekarang dia yang tidak terima hubungan mereka diakhiri. Lagi pula, bukan aku yang memaksa atau membujuk Nola untuk memutuskan hubungan dengannya. Itu murni keputusan sahabatku sendiri.
Nola tidak mau kembali kepadanya, mengapa dia malah marah kepadaku? Kemarin, memangnya apa yang aku lakukan kemarin? Aku hanya mencoba untuk menolong sahabatku. Kalaupun aku tidak ikut campur, Nola tidak lantas akan bertekuk lutut dan kembali kepadanya. Apa dia pikir Nola sama seperti gadis lain yang mudah saja dirayu olehnya?
Mobil Kak Nevan ada di halaman rumah, aku segera memarkirkan mobil Papa di sampingnya. Bu Liana membukakan pintu depan untukku. Aku berterima kasih kepadanya dan segera menuju ruang makan di mana keluargaku berada.
Aku menyapa mereka, mencium pipi Papa, lalu duduk di sampingnya. Kakak memberikan piring yang sudah berisi nasi kepadaku, lalu aku menyendokkan filet ikan dan capcai ke atas nasi. Dari aromanya saja aku sudah bisa merasakan enaknya.
“Bagaimana pertemuan dengan dosenmu?” tanya Kak Nevan. Aku menelan makanan yang ada dalam mulutku sebelum menjawab.
“Semuanya sudah beres,” ucapku senang. “Aku sudah bisa maju sidang. Hari Rabu depan.”
“Itu baru adikku.” Kakak mengerlingkan sebelah matanya kepadaku.
“Selamat, Nak.” Papa mengusap-usap rambut pada bagian belakang kepalaku. Aku mengernyit kesakitan. “Ada apa? Apa aku menyakiti kamu?”
“Tidak, Pa.” Aku mengusap bagian yang terasa sakit. “Tadi ada mahasiswa yang marah kepadaku, lalu menarik rambutku. Aku sudah memberinya pelajaran, jangan khawatir.”
“Siapa?” tanya Kak Nevan. Ups. Aku keceplosan. “Jawab aku. Siapa yang melakukan itu?”
“Ng … itu ….” Mengapa aku tadi tidak berpikir dahulu sebelum bicara?
“Kalau kamu tidak mau menjawab, kamu tahu aku bisa datang ke kampusmu dan mendapatkan jawabannya sendiri, ‘kan?” ancam Kakak. Aku mendesah pelan.
“Kak, tidak perlu diperpanjang. Aku sudah memberinya pelajaran. Aku jamin, dia tidak akan berani melakukannya lagi.”
“Baik, aku akan temukan sendiri jawabannya besok,” katanya dengan tegas.
Jika Kakak pergi ke kampus dan menginterogasi satu per satu mahasiswa di kampusku hanya untuk mencari tahu siapa yang telah berbuat kasar kepadaku, itu sama saja dengan memberitahukan ke semua orang apa yang telah terjadi tadi.
“Oke. Pras yang melakukannya. Dia marah karena Nola memutuskan hubungan, lalu sepertinya dia berpikir bahwa aku yang memengaruhi sahabatku untuk melakukan itu,” kataku mengalah.
“Dia selingkuh lagi?” tanya Kakak dengan kening berkerut. Aku menganggukkan kepalaku. “Aku sudah bilang, kalian tidak percaya kepadaku. Laki-laki seperti itu tidak akan berubah.”
“Nola yang tidak percaya kepada Kakak, bukan aku.” Aku membela diri. Aku juga tidak setuju ketika Nola memutuskan untuk memberi kesempatan lagi kepada pemuda sok ganteng itu.
“Sudah, sudah. Habiskan makanan kalian. Jangan bertengkar lagi,” kata Papa melerai. Lalu dia melihat ke arahku. “Este, sebaiknya kamu berteriak minta tolong jika ada laki-laki yang menyakiti kamu. Jangan melawannya seorang diri.”
“Dia tidak akan bisa melawan siapa pun seorang diri, Pa. Aku hanya mengajarinya cara untuk kabur bila ada yang mencoba menyakitinya. Dia tahu itu.” Kakak menatap aku, memberi aku peringatan.
Kak Nevan tidak perlu melakukan itu. Aku tahu bahwa aku tidak boleh melawan siapa pun seorang diri, terutama laki-laki. Dia mengajari aku cara mempertahankan diri dalam keadaan darurat bukan untuk pamer kekuatan, tetapi menjauh dari bahaya.
“Apa maksud kamu?” tanya Papa bingung.
“Aku mengajarinya beberapa teknik untuk lepas dari cengkeraman orang jahat. Misalnya, jika ada yang membekap mulutnya, dia tidak akan bisa berteriak minta tolong, atau mencekik lehernya. Tetapi dia tahu bagaimana lepas dari hal-hal seperti itu supaya bisa kabur dan mencari pertolongan.” Kakak menjelaskan dengan sederhana. Papa mengangguk mengerti.
“Aku tidak pernah memikirkan hal itu sebelumnya. Terima kasih, Van,” ucap Papa kepada Kakak.
“Sama-sama, Pa. Adikku sangat cantik, jadi aku perlu menjaganya meskipun aku tidak sedang berada di dekatnya.” Kak Nevan menatap aku penuh arti. Aku hanya mendengus pelan.
“Kakak dan Papa akan berangkat jam berapa untuk belanja?” tanyaku mengganti topik pembicaraan.
“Mungkin sore. Papa akan beristirahat dahulu supaya tidak kelelahan,” jawab Kak Nevan.
“Kalau begitu, kita pergi bersama saja,” ajakku riang. Kakak segera menggelengkan kepalanya.
“Perempuan belanja butuh waktu berjam-jam, Papa tidak akan bisa menemani kamu dan Tante Inggrid selama itu. Kami berbelanja secara terpisah saja,” kata Kakak menolak. Aku langsung cemberut mendengarnya. “Kalian akan pergi ke mal yang mana?”
“Aku tidak tahu. Tante hanya mengatakan dia akan menjemput aku pada pukul empat sore dan tidak memberi tahu akan membawa aku ke mana.” Aku mengangkat kedua bahuku.
“Aku harap kamu akan bersikap baik selama kamu bersama Inggrid nanti,” ucap Papa mengingatkan.
“Iya, Pa. Papa jangan khawatir,” kataku menenangkannya.
Berbeda dengan Om Jarvis, aku baru satu kali bertemu langsung dengan Tante Inggrid. Pada hari jadi perusahaan mereka. Kami tidak sempat berbincang panjang lebar karena aku harus membantu menyajikan makanan. Hanya Papa yang banyak berbagi cerita dengan mereka.
Tetapi dari pertemuan yang singkat itu, aku tahu bahwa Tante Inggrid adalah orang yang baik. Pemberitaan mengenai dirinya di media juga selalu positif seperti halnya Om Jarvis. Aku tidak perlu khawatir berbelanja berdua saja dengannya.
“Aku tidak mengkhawatirkan kamu jika bersama orang lain,” kata Papa, menjelaskan maksudnya. “Inggrid tidak seperti wanita yang selama ini kamu kenal.”
Tepat pada pukul empat sore, aku menuruni tangga menuju pintu depan. Bu Liana membukakan pintu untukku. Aku keluar rumah bertepatan dengan pintu gerbang dibuka dan sebuah mobil masuk ke halaman rumah kami. Mobil tersebut berhenti tepat di depanku. Seorang pria muda keluar dari sisi pengemudi. Dia menundukkan tubuhnya sedikit kepadaku lalu mengeliling mobil untuk membukakan pintunya untukku. Aku melihat Tante Inggrid melambaikan tangannya kepadaku. Aku segera masuk ke mobil. “Selamat sore, Tante,” sapaku dengan ramah. “Selamat sore. Kamu cantik sekali,” pujinya dengan tulus. “Terima kasih, Tante. Tante jauh lebih cantik.” Aku membalas pujiannya. Dia tertawa kecil. “Aku sudah tidak muda lagi, kecantikanku mana bisa dibandingkan dengan kamu,” ucapnya merendah. “Aku mendengar kabar bahwa Bisma sudah pulang dari rumah sakit, apakah papamu sudah baik-baik saja?” “Sudah, Tante. Papa sedang beristirahat di kamarnya,” jawabku. Dia menganggukkan kepalanya. “Aku senang sekali Jason akhirny
~Jonah~ “Jason belum pulang, Raihan?” tanya Bunda kepada kepala pelayan rumah kami. “Belum, Nyonya,” jawab pria itu dengan sopan. Bunda melihat ke arah Ayah. Setahuku, Jason berencana mengurus perjanjian dengan rekan bisnis Ayah untuk satu hari saja. Namun yang ada di ruang makan pada pagi harinya hanya Ayah dan Bunda. Itu artinya dia telah membatalkan kepulangannya semalam. Kali ini dia akan tinggal lebih lama untuk berapa hari? Aku tahu apa yang dia lakukan di luar sana setiap kali menunda kepulangannya saat melakukan perjalanan bisnis. Dia menghabiskan malam bersama seorang perempuan yang telah menarik perhatiannya di kota tersebut. Semakin lama dia tinggal di sana, maka semakin memuaskan wanita itu dalam melayaninya di tempat tidur. Jason sangat pintar menutupi hobi buruknya. Dia akan menggunakan waktunya pada siang dan sore hari dengan bermain golf, makan siang, atau minum kopi bersama dengan rekan bisnis yang ditemuinya sehingga Ayah tidak mencurigai motif utamanya tinggal l
~Celeste~ Makanan pesanan kami datang, Tante Inggrid yang mendominasi pembicaraan. Dia menceritakan kegiatan sehari-harinya sebagai seorang istri. Aktivitasnya lumayan padat dengan berbagai kegiatan di luar rumah. Aku berharap bahwa aku tidak perlu melakukan semua itu. Aku belum tahu apa yang menjadi tugasku nanti sebagai istri Jason. Dari cara Tante Inggrid memilih momen ini untuk menceritakan mengenai kegiatannya, sepertinya apa yang menjadi tanggung jawabku tidak akan jauh berbeda dengan itu. “Yang kamu dengar itu belum seberapa. Masih ada banyak lagi aktivitas lain yang Bunda kerjakan di luar sana,” timpal Jonah. Tante Inggrid yang baru menerima kartu kreditnya kembali dari pelayan hanya tersenyum. “Kamu akan terkejut bagaimana Bunda masih bisa mengomeli aku pada malam hari setelah mengerjakan semua hal yang melelahkan itu.” “Kira-kira seperti inilah percakapan kami di rumah nanti. Jadi kamu tidak akan terkejut lagi.” Tante tersenyum penuh arti. Melihat layar ponselnya menyala
Satu tim penata rias dan rambut datang ke rumah pada sore itu. Tante Inggrid yang mengirim mereka. Aku mempersilakan mereka untuk menunggu di ruang duduk dan aku menuju lantai atas untuk mengambil pakaian yang akan aku kenakan. Mereka menyampaikan warna apa saja yang akan mereka pilih untuk riasan pada wajahku dan model rambut yang cocok dengan tema acara yang akan aku hadiri. Aku setuju saja dengan semua pendapat mereka. Yang penting, Tante Inggrid tidak akan kecewa melihat hasilnya nanti. Wajahku dirias secara minimalis sehingga aku tidak terlihat lebih tua dari usiaku yang sebenarnya. Mereka menggunakan warna-warna lembut yang disesuaikan dengan warna gaunku. Rambutku dibiarkan tergerai dengan membentuk spiral pada ujungnya. Aku tersenyum pada bayanganku di cermin. Aku hampir tidak bisa mengenali diriku sendiri. Setelah membantu aku memakai gaunku, mereka meminta aku untuk berpose agar mereka bisa memotret hasil karya mereka tersebut. Mereka memotret aku cukup lama sampai bibirk
~Jonah~ Ada ruang kebugaran di rumah, tetapi aku lebih nyaman joging mengelilingi pekarangan setiap pagi. Aku bisa menghirup udara yang segar sekaligus mendapatkan sinar matahari yang menyehatkan. Aku juga bisa berkeringat daripada joging menggunakan treadmill di ruangan berpendingin. Terdengar deru halus mesin sebuah mobil saat aku menuju pintu depan rumah. Aku menoleh ke arah jalan masuk dari pintu gerbang rumah kami. Mobil Jason mendekat. Aku menghentikan langkah dan melihat dia keluar dari mobilnya. “Selamat pagi, adikku. Masih berusaha untuk membentuk tubuhmu supaya bisa seperti aku?” tanyanya setengah menggoda. “Kamu tahu bahwa itu sia-sia saja, ‘kan?” “Suatu hari nanti kesombonganmu itu akan merugikan dirimu sendiri,” kataku mengingatkan. “Tubuhku lebih bagus darimu. Itu adalah kenyataan.” Dia mengangkat kedua tangannya di sisi tubuhnya. Aku memutar bola mataku. “Aku membahas mengenai kepulanganmu yang sangat mendadak. Aku tidak peduli mengenai tubuh.” “Aku tidak terlamba
~Celeste~ Posisi duduk kami kini berbeda. Aku, Papa, dan Kak Nevan duduk di sofa yang sama, Om Jarvis, Tante Inggrid, dan Jonah duduk bersama di seberang kami, Jason dan wanita bernama Jovita itu duduk bersebelahan di kepala meja, sedangkan Om Gunawan dan istrinya duduk bersebelahan di seberang mereka. Meja yang berada di tengah-tengah kami telah penuh dengan cangkir, teko, dan piring. Wanita itu menceritakan mengenai hubungannya yang putus-sambung dengan Jason. Mereka tidak memberi tahu siapa pun mengenai hubungan mereka, karena Jason belum siap untuk berkomitmen. Mereka sepakat bahwa mereka hanya menjalin hubungan atas dasar suka sama suka tanpa berharap akan menjalani masa depan bersama. Jason memutuskan hubungan karena dia akan bertunangan dengan seorang gadis pilihan ayahnya. Jovita berkata bahwa dia hamil, tetapi pria itu tidak percaya. Jadi, dia pergi menemui dokter dan memilih datang pada hari ini agar Jason tidak bisa berkelit lagi di depan keluarganya. “Kamu tidak bisa me
Papa mengajak kami semua ke ruang makan untuk makan malam. Kami dipersilakan untuk duduk di mana saja yang kami mau. Papa duduk di salah satu kursi di kepala meja, aku duduk di samping kanannya, sedangkan Kak Nevan di samping kirinya. Tentu saja Jonah memilih untuk duduk di sisiku. Di sebelahnya ada Tante Inggrid diikuti oleh Om Jarvis. Jason duduk di samping Kak Nevan, tunangannya di sebelahnya. Ibu Jovita duduk di sisi putrinya, kemudian Om Gunawan yang duduk di kepala meja di seberang Papa. Setelah Papa memimpin doa makan bersama, bunyi sendok beradu dengan piring pun terdengar. Kami tidak perlu saling mengoper makanan karena setiap menu makanan disajikan di atas meja tidak jauh dari hadapan kami masing-masing. “Karena Jovita sedang hamil, kita tidak perlu menunda pernikahan mereka. Bagaimana menurutmu, Gunawan?” tanya Om Jarvis. “Aku setuju, kapan paling cepat kita bisa melangsungkan pernikahan mereka?” tanya Om Gunawan. “Apakah kalian keberatan jika pernikahan kalian diadakan
Rasanya sangat aneh. Aku yang semula datang sebagai seorang pria yang bebas, yang akan menghadiri pertunangan antara kakakku dan wanita muda yang sudah dipilihkan untuknya, malah pulang dalam keadaan sudah terikat dengan janji akan menikahi wanita muda tersebut. Aku kini adalah tunangan Celeste Renjana.Entah apa yang mendorongku untuk melakukan hal itu tetapi aku tidak tega melihatnya dan keluarganya dipermalukan. Jovita telah melakukan hal yang sangat keterlaluan, namun itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Jason. Wanita itu sudah mengatakan kepadanya bahwa dia hamil. Jason malah tidak percaya dan tetap melanjutkan niatnya untuk menikahi Celeste?Untung saja wanita itu datang sebelum Jason dan Celeste resmi bertunangan. Aku tidak bisa membayangkan andai saja perempuan itu terus bungkam hingga mereka berdua resmi menjadi suami istri, lalu dia datang merusak acara sakral tersebut.Iya. Bagiku pernikahan adalah acara yang sakral. Ikatan antara suami dan is
Pagi hari adalah waktu yang paling berat bagi kami berdua. Celeste sudah sulit bangun sendiri karena kondisi perutnya yang sangat besar. Aku berusaha untuk menolongnya, tetapi apa pun yang aku lakukan selalu salah di matanya. Dan dia sering sekali menangis. Sebentar lagi dia akan melahirkan, hanya itu yang membuatku bisa bertahan. Keadaan ini tidak permanen dan hanya sementara saja, aku selalu mengingatkan diri sendiri mengenai itu. Aku tidak sabar ingin bisa bertengkar lagi dengan istriku yang suka membantah. Hari ini adalah hari peringatan kematian Jason. Satu tahun sudah dia pergi meninggalkan kami dan hidup di keabadian. Tidak banyak yang berubah dalam kehidupan keluarga kami. Ayah dan Bunda sudah tidak sabar menunggu kelahiran cucu pertama mereka. Papa sibuk dengan dua restorannya. Nevan dan Naura belum juga mengalami perkembangan apa pun dalam hubungan mereka. Sembilan bulan lebih menjadi wakil Ayah, aku sangat menikmati pekerjaanku. Aku bahkan bekerja lebih santai dibandingka
Ya, ampun. Ini lebih mendebarkan dari yang aku duga. Dia sudah pernah melakukan lebih dari sekadar mencium leherku, tetapi aku tidak pernah merasakan segugup ini. Saat dia mencium tengkukku tadi, aku refleks menjauh darinya. Tenang, Este. Tenanglah. Ini hanya Jonah. Kekasihmu, cintamu, suamimu … Suamiku. Iya. Dia sudah bukan lagi sekadar tunanganku.Aku sudah terlalu lama berada di kamar mandi, jadi aku menarik napas panjang sebelum memutar kenop pintu. Aku lupa membawa pakaian ganti, maka aku hanya memakai mantel mandi untuk membungkus tubuhku. Jonah tidak bersikap aneh. Dia hanya menoleh ke arahku saat pintu terbuka, lalu dia berjalan melewatiku untuk menggunakan kamar mandi juga.Aku mendesah lega. Koperku sudah diletakkan di sisi tempat tidur. Aku mengambil celana pendek dan sebuah kaus, lalu cepat-cepat mengenakannya. Pemandangan kota pada malam hari dari jendela kamar sangat indah. Aku hanya bisa menatapnya sebentar karena aku merasa haus.
Rumah kami ramai dengan orang-orang yang membantu kami berdandan dan berpakaian dengan benar. Juga ada fotografer dan kamerawan yang mengabadikan setiap hal yang kami lakukan. Wanita yang diutus oleh event organizerlangganan keluarga kami juga datang untuk memastikan setiap persiapan akhir sudah beres.Aku sudah rapi dengan tuksedo hitamku, lengkap dengan semua asesoris yang harus aku kenakan. Aku pergi diam-diam menuju tempat pemakaman umum. Sampai di tempat peristirahatan terakhir saudaraku, aku duduk di makamnya. Korsase mawar putih yang aku bawa aku letakkan di atas kuburannya, dekat dengan nisannya.“Aku tidak mau orang lain yang menjadi pendampingku, jadi kamu harus melakukan tugas itu. Aku tidak peduli bagaimana caranya kamu bisa hadir nanti, kamu harus memakai korsase itu,” ucapku pelan. Aku menyentuh nisannya. “Bagaimana kabarmu di sana? Apakah kamu masih melakukan kebiasaan burukmu? Jangan tidur dengan sembarang perempuan lagi
“Celeste?” tanya Retno dan Sari yang terkejut dengan kedatanganku pada pagi itu. Aku hanya tertawa kecil melihat wajah mereka.“Kamu akan menikah besok, mengapa kamu masih datang?” tanya Sari bingung.“Aku ingin menyelesaikan beberapa pekerjaan agar saat kembali nanti, Tyas tidak sengaja memberi laporan yang menggunung kepadaku.” Atasan kami itu hanya tertawa geli dari meja kerjanya.“Wah, wajah kamu terlihat lebih ceria. Beberapa hari ini kamu seperti orang yang akan menghadiri pemakaman, bukan pernikahanmu sendiri,” kata Retno menggodaku.“Hei, ini tempat kerja. Kalau mau mengobrol, nanti saat istirahat makan siang.” Tyas berseru dari mejanya. Kami tertawa cekikikan, lalu memasuki bilik kerja kami masing-masing.Pada saat istirahat makan siang, aku dan Jonah menjenguk Yosef dan Vita di kantor polisi. Aku membiarkan tunanganku bicara dengan sepupunya tanpa ikut campur. Pria itu sangat men
“Ada apa denganmu?” Aku menguatkan diriku untuk tetap bertahan menghadapinya. Tubuhku masih bergetar akibat kekuatan amarahnya. “Ini rumahku, jadi tolong jaga sikapmu.” “Kamu tidak bisa menikah dengan pria lain.” Dia berdiri dari tempat duduknya. “Apa?” Aku menatapnya tidak percaya. “Memangnya kamu siapa melarangku untuk menikah? Aku yakin Papa dan Kakak akan setuju dengan pria pilihanku. Dan hanya restu dari mereka yang aku butuhkan. Kamu dan aku bukan siapa-siapa lagi. Kita sudah putus, ingat?” “Dan kamu tidak akan mencium pria lain.” Dia berjalan mendekatiku. “Yang benar saja. Mana ada pasangan suami istri yang tidak pernah berciuman.” Aku mendengus mengejeknya. Dia berhenti di depanku dan menarik lenganku sehingga aku berdiri begitu dekat dengannya nyaris menyentuh dadanya. Aku meletakkan kedua tanganku di dadanya memberi jarak di antara kami. “Kamu juga tidak akan bercinta dengan pria lain.” Tangannya melingkari pinggangku dan bibirnya me
Berani-beraninya dia mengakhiri hubungan begitu saja tanpa memberi penjelasan apa pun kepadaku. Aku bicara, berteriak, memohon, tetapi dia hanya mengabaikan aku. Tanpa perasaan sedikit pun, dia melajukan mobilnya pergi dari hadapanku. Dia boleh saja memasang wajah dingin tanpa ekspresinya itu. Tetapi aku tahu bahwa hatinya masih untukku. Dia bisa membohongi semua orang dengan omongan kasarnya, tidak denganku. Aku hanya perlu berusaha lebih keras untuk meyakinkannya lagi. Kami berdua diciptakan untuk bersama. Telepon dariku tidak diacuhkannya sepanjang malam itu. Aku tidak peduli, aku terus mengganggu dia. Jika aku tidak bisa tidur, maka dia juga tidak. Karena apa yang terjadi kepadaku adalah karena ulahnya. Aku hanya membutuhkan penjelasan. Aku berhak diperlakukan lebih baik dari ini. “Mengapa kalian masih mengikuti aku?” tanyaku kepada kedua pengawal yang langsung berjalan di sisiku saat aku keluar dari mobil Jonah. Dia yang menginginkan hubungan kami berakh
Celeste terlihat sangat bahagia saat aku menjemputnya dari tempat kerjanya. Dia tidak berhenti bicara mengenai pekerjaannya, rekan-rekannya, dan berita viral yang mereka bicarakan. Iya, itu adalah berita yang paling menggegerkan sepanjang hari ini. Penangkapan Om Gunawan, Jovita, dan Yosef. Hukuman Jovita akan sangat berat karena aku memberikan rekaman CCTV restoran di mana dia berusaha untuk menyakiti tunanganku. Yang sebentar lagi sudah bukan milikku lagi. Merencanakannya ternyata tidak semudah melakukan. Aku terdiam cukup lama di dalam mobil saat kami sudah sampai di pekarangan rumahnya. Mungkin dia berpikir aku tidak berniat membukakan pintu untuknya sehingga dia mengucapkan selamat malam dan memegang kenop pintu. Tetapi aku memintanya untuk menunggu. Aku hanya berniat untuk menyentuh wajahnya dan melihatnya untuk terakhir kalinya. Sayangnya, tubuhku mempunyai rencananya sendiri. Aku menciumnya seolah-olah itu adalah ciuman terakhir kami. Selamanya aku tidak akan
Semuanya terasa tidak berarti lagi untukku. Mengetahui sebuah fakta dibandingkan dengan mendengar langsung pengakuan dari orang jahat yang telah melakukannya adalah dua hal yang berbeda. Yang satu terlihat tidak nyata, ketika yang satu lagi menyerangmu pada titik yang paling menyakitkan. Jantungmu. Aku hanya bisa diam mendengar alasan yang Jovita ucapkan dan Yosef utarakan sehingga mereka melakukan semua ketidakadilan itu. Cinta, nafsu, harta, kedudukan, apa artinya semua itu jika nurani mati? Mereka tidak hanya mengorbankan masa depan seseorang, tetapi juga nyawanya. Pada Minggu pagi, aku berlari hingga kepalaku berhenti berpikir. Aku tidak bisa memejamkan mata sekejap pun semalam dan tubuh serta jiwaku sangat letih. Rasa sakit saat pertama kali mengetahui Jason pergi tidak seperih ini. Setelah tahu apa yang dialaminya menjelang hari kematiannya membuat rasa kehilangan itu semakin menyakitkan. Paru-paruku terasa begitu sesak dan aku mulai kesulitan bernapas,
Acara menonton itu jadi terasa aneh karena teman-temanku sesekali menoleh ke arah Kak Nevan dan Naura. Mereka berdua duduk dengan tegak dan menjaga jarak, sangat berbeda dengan posisi duduk mereka sebelumnya yang sangat dekat. Hanya aku yang mengetahui mengenai hubungan mereka, jadi wajar jika teman-temanku percaya tidak percaya melihat mereka bersama. Begitu film berakhir, kami keluar bersama melalui pintu keluar. Kakak dan Naura berjalan dengan kaku saat mendekati kami yang menunggu mereka di depan elevator. Tidak ada seorang pun yang bicara, maka aku juga tidak mencoba untuk mencairkan suasana. “Kalau kalian tertarik, bagaimana jika kita ke restoran dan ikut menghabiskan sisa bahan makanan untuk minggu ini?” tanya Nola yang sedang membaca pesan yang ada di ponselnya. “Ayahku mengirim pesan. Dia koki di sana.” Nola menoleh ke arahku. “Tidak hanya makanan berat yang disajikan, ada juga menu makanan ringan. Ayo, kita ke sana,” ajakku. Retno dan Sari menoleh k