Tepat pada pukul empat sore, aku menuruni tangga menuju pintu depan. Bu Liana membukakan pintu untukku. Aku keluar rumah bertepatan dengan pintu gerbang dibuka dan sebuah mobil masuk ke halaman rumah kami. Mobil tersebut berhenti tepat di depanku.
Seorang pria muda keluar dari sisi pengemudi. Dia menundukkan tubuhnya sedikit kepadaku lalu mengeliling mobil untuk membukakan pintunya untukku. Aku melihat Tante Inggrid melambaikan tangannya kepadaku. Aku segera masuk ke mobil.
“Selamat sore, Tante,” sapaku dengan ramah.
“Selamat sore. Kamu cantik sekali,” pujinya dengan tulus.
“Terima kasih, Tante. Tante jauh lebih cantik.” Aku membalas pujiannya. Dia tertawa kecil.
“Aku sudah tidak muda lagi, kecantikanku mana bisa dibandingkan dengan kamu,” ucapnya merendah. “Aku mendengar kabar bahwa Bisma sudah pulang dari rumah sakit, apakah papamu sudah baik-baik saja?”
“Sudah, Tante. Papa sedang beristirahat di kamarnya,” jawabku. Dia menganggukkan kepalanya.
“Aku senang sekali Jason akhirnya akan segera menikah. Dia terlalu sibuk bekerja sehingga tidak punya waktu untuk berkencan. Walau cara ini sudah tidak lazim lagi dilakukan pada zaman sekarang, aku senang kamu bersedia menikah dengannya.” Wanita itu tersenyum bahagia.
“Terima kasih sudah mau menerima aku menjadi bagian keluarga Tante,” ucapku pelan.
“Aku yang berterima kasih kamu mau menjadi bagian dari keluarga kami. Apalagi dengan cara yang terburu-buru begini. Jangan khawatir. Pernikahan kalian tidak akan sesederhana acara pertunangan kalian.” Tante Inggrid menepuk pahaku dengan pelan.
Wanita itu sangat ramah dan suka sekali bicara. Aku tidak perlu susah memikirkan akan membahas topik apa karena dia yang melakukannya dengan luwes. Begitu tiba di mal tujuan kami, aku memberi tahu Kak Nevan lewat pesan. Jadi, mereka bisa pergi ke mal lain dan tidak akan berpapasan secara tidak sengaja dengan kami.
Selera berpakaian Tante Inggrid sangat baik. Dia tidak kesulitan menemukan gaun yang cocok untukku. Setelah mencoba tiga gaun malam yang semuanya cocok di tubuhku, pilihan jatuh pada gaun biru muda berleher rendah, berlengan pendek, dengan pola bunga putih yang menumpuk di bagian perut juga punggung bawah dan seolah-olah jatuh bertaburan hingga bagian bawah roknya yang menutupi kakiku sampai menyentuh lantai.
Kami kemudian memilih sebuah sepatu berwarna perak dan tas tangan berwarna biru muda yang berpinggiran emas. Untuk asesoris, Tante meminta aku untuk memilih antara gelang, kalung, atau anting-anting. Aku benar-benar tidak mengerti bagaimana memutuskannya, maka dia memilihkan sebuah anting-anting untukku.
“Jangan menggunakan terlalu banyak asesoris agar keindahan gaunmu tidak kalah dengan pernak-pernik tambahan yang kamu pakai di badanmu.” Dia melihat ke arah rambutku. “Nanti rambut kamu digerai saja, tidak perlu digelung atau diberi jepitan.”
“Baik, Tante.” Aku merasa seperti sedang berbelanja bersama Mama. Aku biasanya membiarkan Mama yang mendandani ku dan memilihkan pakaian yang cocok untuk aku kenakan.
“Semua sudah kita beli.” Tante memandang puas ke arah tas belanjaan kami yang dibawakan oleh sopirnya. Dia melihat ke sekeliling kami. “Kalian pasti sudah lapar. Sebaiknya kita makan, lalu pulang.”
Entah makanan apa yang ingin dinikmati oleh Tante Inggrid, tetapi kami melewati restoran demi restoran lalu menuju elevator. Kami keluar di lantai dasar. Bukannya menuju sebuah restoran, Tante mendekati sebuah stan di mana sebuah miniatur apartemen sedang dipamerkan.
Tante Inggrid menyentuh punggung seorang pria yang berdiri membelakangi kami. Pria itu membalikkan badannya dan aku pun mengerti. Aku melihat ke sekelilingku. Ini adalah stan dari apartemen baru yang dibangun oleh perusahaan Om Jarvis dengan beberapa rekan bisnisnya.
Jonah bukan seorang pegawai bagian penjualan, mengapa dia berada di sini? Apakah karena ini bagian dari acara yang diadakan perusahaannya, maka dia ikut mengawasi jalannya acara? Dia seorang atasan, seharusnya dia duduk mengawasi pekerjaan anak buahnya dari ruangannya saja sembari menunggu laporan. Untuk apa terjun langsung ke lokasi seperti ini?
“Sebentar lagi aku akan selesai di sini, Bunda. Sebaiknya Bunda makan lebih dahulu,” ucap Jonah kepada Tante Inggrid yang menarik tangannya.
“Fabian.” Tante Inggrid melihat ke arah seorang pria yang berdiri tidak jauh dariku. Pria itu segera menoleh dan membungkukkan badannya. “Kamu yang urus pekerjaan di sini. Jonah akan makan malam bersamaku. Apa kamu bisa menangani semua yang ada di sini?”
“Tentu saja, Bu. Semuanya akan berjalan dengan baik seolah-olah Pak Jonah juga berada di sini bersama kami,” jawabnya dengan sopan. Jonah menatapnya dengan tajam.
“Baik.” Tante Inggrid melihat ke arah putranya. “Kamu sudah tidak punya alasan lagi. Ayo.”
Pria itu tidak bisa lagi membantah mamanya. Tante Inggrid berjalan di depan bersama putranya, sedangkan aku mengikuti dari belakang bersama sopir mereka. Saat Tante Inggrid menanyakan apa yang ingin aku makan, maka aku memilih untuk makan daging panggang. Aku dari tadi mencium aromanya yang membuat aku sangat lapar.
“Aku suka dengan gadis yang tidak takut memakan apa pun.” Tante Inggrid tersenyum kepadaku. Seorang pelayan menolongnya untuk duduk, sedangkan Jonah membantu mendorong kursiku. “Tidak. Kamu duduk di samping Celeste. Biar Ihsan duduk di sampingku.”
“Kamu masih segan duduk di sampingku, Ihsan?” tanya Jonah kepada sopir tersebut. Pria muda itu hanya menundukkan kepalanya. “Apa yang sudah Bunda katakan kepadanya sampai dia setakut itu berada di dekatku?”
“Cepat pesan makananmu, jangan biarkan pemuda ini berdiri di samping meja kita terlalu lama,” ucap Tante Inggrid memberi perintah. Aku mengulum senyum mendengarnya.
Kami menyampaikan pesanan kami masing-masing, kemudian pelayan itu meninggalkan meja kami. Aku kagum melihat bagaimana pria yang bernama Ihsan itu diajak makan bersama kami. Tidak biasanya aku melihat orang sekelas mereka yang makan bersama pekerjanya di tempat umum seperti ini. Bukan tempat makan biasa, ini restoran yang mahal.
“Kamu tidak lupa mengambil setelanmu siang tadi, ‘kan?” tanya Tante Inggrid kepada putranya. “Apakah kamu juga sekalian mengambil setelan Jason? Apakah kamu hanya mengangguk-anggukkan kepalamu dan tidak bisa menjawab aku dengan kata?”
“Iya, Bunda. Aku sudah mengambil setelanku dan Jason. Semuanya sudah aku minta untuk dikirim ke rumah, apakah Ihsan tidak menyampaikan hal itu kepada Bunda?” Pria yang dimaksud hanya menundukkan kepalanya. Jonah menggeleng pelan.
“Dia sangat sibuk seharian ini, wajar saja jika dia lupa.” Tante Inggrid membela sopirnya tersebut.
“Aku harap bunda kesayanganku tidak membuat kakimu patah hari ini.” Jonah melihat ke arahku.
“Tidak. Kami langsung menemukan pakaian yang cocok, begitu juga dengan keperluan lainnya.” Aku melihat penuh arti ke arah Tante Inggrid.
“Tumben. Jika aku yang menemani Bunda, tiga jam berkeliling butik belum tentu ada satu baju pun yang dibelinya.” Jonah menyandarkan tubuhnya pada kursi dan meletakkan tangannya dengan santai pada sandaran kursiku. Tante Inggrid tertawa.
“Kalian semua terlalu sibuk sehingga tidak punya waktu untukku. Kapan lagi aku bisa berkeliling sambil memamerkan putra tampanku kepada semua wanita yang ada di tempat umum?” ucap Tante Inggrid acuh tak acuh.
“Bunda juga sibuk dengan arisan dan gosip,” ucap Jonah tidak mau kalah.
“Jonah tidak akan pernah peduli dengan perasaanmu.” Tante Inggrid melihat ke arahku. “Apa yang ada di kepalanya, itu yang akan dia ucapkan. Tetapi kamu jangan pernah memasukkannya ke dalam hati. Jika dia masih mau bicara denganmu, itu pertanda baik. Jika dia diam saja, itu tanda bahaya.”
“Baik, Tante.” Aku tersenyum mendengarnya.
“Aku memperingatkan kamu mengenai ini karena kamu akan bertemu dengannya setiap hari di rumah. Hubungannya dengan kakaknya sangat baik, jadi kamu jangan khawatir jika mendengar mereka perang mulut,” ujar Tante lagi menambahkan.
“Jason selalu menang. Selalu. Karena Bunda selalu berada di pihaknya,” ucap Jonah kepadaku. Aku tertawa mendengar aduannya itu.
“Aku dan Kak Nevan juga sering bertengkar, Tante. Aku sudah bisa bayangkan seperti apa hubungan Jason dan Jonah,” kataku.
“Apakah Om Bisma lebih sering membela kamu atau Nevan?” tanya Jonah penasaran.
“Tentu saja aku. Aku yang lebih muda,” ucapku dengan bangga. Jonah melihat ke arah Tante Inggrid.
“Bunda kesayanganku tidak sependapat dengan itu.” Jonah melihat ke arahku lagi. “Aku juga akan memberi kamu sebuah peringatan. Jika kamu bertengkar dengan Jason, jangan harap Bunda akan berpihak kepadamu. Selamat datang di duniaku.” Aku tertawa mendengar nada sarkasnya.
“Berhenti menakut-nakuti dia, Jonah.” omel Tante Inggrid. “Semua orang tahu, menghadapi kamu lebih mengerikan daripada aku.”
~Jonah~ “Jason belum pulang, Raihan?” tanya Bunda kepada kepala pelayan rumah kami. “Belum, Nyonya,” jawab pria itu dengan sopan. Bunda melihat ke arah Ayah. Setahuku, Jason berencana mengurus perjanjian dengan rekan bisnis Ayah untuk satu hari saja. Namun yang ada di ruang makan pada pagi harinya hanya Ayah dan Bunda. Itu artinya dia telah membatalkan kepulangannya semalam. Kali ini dia akan tinggal lebih lama untuk berapa hari? Aku tahu apa yang dia lakukan di luar sana setiap kali menunda kepulangannya saat melakukan perjalanan bisnis. Dia menghabiskan malam bersama seorang perempuan yang telah menarik perhatiannya di kota tersebut. Semakin lama dia tinggal di sana, maka semakin memuaskan wanita itu dalam melayaninya di tempat tidur. Jason sangat pintar menutupi hobi buruknya. Dia akan menggunakan waktunya pada siang dan sore hari dengan bermain golf, makan siang, atau minum kopi bersama dengan rekan bisnis yang ditemuinya sehingga Ayah tidak mencurigai motif utamanya tinggal l
~Celeste~ Makanan pesanan kami datang, Tante Inggrid yang mendominasi pembicaraan. Dia menceritakan kegiatan sehari-harinya sebagai seorang istri. Aktivitasnya lumayan padat dengan berbagai kegiatan di luar rumah. Aku berharap bahwa aku tidak perlu melakukan semua itu. Aku belum tahu apa yang menjadi tugasku nanti sebagai istri Jason. Dari cara Tante Inggrid memilih momen ini untuk menceritakan mengenai kegiatannya, sepertinya apa yang menjadi tanggung jawabku tidak akan jauh berbeda dengan itu. “Yang kamu dengar itu belum seberapa. Masih ada banyak lagi aktivitas lain yang Bunda kerjakan di luar sana,” timpal Jonah. Tante Inggrid yang baru menerima kartu kreditnya kembali dari pelayan hanya tersenyum. “Kamu akan terkejut bagaimana Bunda masih bisa mengomeli aku pada malam hari setelah mengerjakan semua hal yang melelahkan itu.” “Kira-kira seperti inilah percakapan kami di rumah nanti. Jadi kamu tidak akan terkejut lagi.” Tante tersenyum penuh arti. Melihat layar ponselnya menyala
Satu tim penata rias dan rambut datang ke rumah pada sore itu. Tante Inggrid yang mengirim mereka. Aku mempersilakan mereka untuk menunggu di ruang duduk dan aku menuju lantai atas untuk mengambil pakaian yang akan aku kenakan. Mereka menyampaikan warna apa saja yang akan mereka pilih untuk riasan pada wajahku dan model rambut yang cocok dengan tema acara yang akan aku hadiri. Aku setuju saja dengan semua pendapat mereka. Yang penting, Tante Inggrid tidak akan kecewa melihat hasilnya nanti. Wajahku dirias secara minimalis sehingga aku tidak terlihat lebih tua dari usiaku yang sebenarnya. Mereka menggunakan warna-warna lembut yang disesuaikan dengan warna gaunku. Rambutku dibiarkan tergerai dengan membentuk spiral pada ujungnya. Aku tersenyum pada bayanganku di cermin. Aku hampir tidak bisa mengenali diriku sendiri. Setelah membantu aku memakai gaunku, mereka meminta aku untuk berpose agar mereka bisa memotret hasil karya mereka tersebut. Mereka memotret aku cukup lama sampai bibirk
~Jonah~ Ada ruang kebugaran di rumah, tetapi aku lebih nyaman joging mengelilingi pekarangan setiap pagi. Aku bisa menghirup udara yang segar sekaligus mendapatkan sinar matahari yang menyehatkan. Aku juga bisa berkeringat daripada joging menggunakan treadmill di ruangan berpendingin. Terdengar deru halus mesin sebuah mobil saat aku menuju pintu depan rumah. Aku menoleh ke arah jalan masuk dari pintu gerbang rumah kami. Mobil Jason mendekat. Aku menghentikan langkah dan melihat dia keluar dari mobilnya. “Selamat pagi, adikku. Masih berusaha untuk membentuk tubuhmu supaya bisa seperti aku?” tanyanya setengah menggoda. “Kamu tahu bahwa itu sia-sia saja, ‘kan?” “Suatu hari nanti kesombonganmu itu akan merugikan dirimu sendiri,” kataku mengingatkan. “Tubuhku lebih bagus darimu. Itu adalah kenyataan.” Dia mengangkat kedua tangannya di sisi tubuhnya. Aku memutar bola mataku. “Aku membahas mengenai kepulanganmu yang sangat mendadak. Aku tidak peduli mengenai tubuh.” “Aku tidak terlamba
~Celeste~ Posisi duduk kami kini berbeda. Aku, Papa, dan Kak Nevan duduk di sofa yang sama, Om Jarvis, Tante Inggrid, dan Jonah duduk bersama di seberang kami, Jason dan wanita bernama Jovita itu duduk bersebelahan di kepala meja, sedangkan Om Gunawan dan istrinya duduk bersebelahan di seberang mereka. Meja yang berada di tengah-tengah kami telah penuh dengan cangkir, teko, dan piring. Wanita itu menceritakan mengenai hubungannya yang putus-sambung dengan Jason. Mereka tidak memberi tahu siapa pun mengenai hubungan mereka, karena Jason belum siap untuk berkomitmen. Mereka sepakat bahwa mereka hanya menjalin hubungan atas dasar suka sama suka tanpa berharap akan menjalani masa depan bersama. Jason memutuskan hubungan karena dia akan bertunangan dengan seorang gadis pilihan ayahnya. Jovita berkata bahwa dia hamil, tetapi pria itu tidak percaya. Jadi, dia pergi menemui dokter dan memilih datang pada hari ini agar Jason tidak bisa berkelit lagi di depan keluarganya. “Kamu tidak bisa me
Papa mengajak kami semua ke ruang makan untuk makan malam. Kami dipersilakan untuk duduk di mana saja yang kami mau. Papa duduk di salah satu kursi di kepala meja, aku duduk di samping kanannya, sedangkan Kak Nevan di samping kirinya. Tentu saja Jonah memilih untuk duduk di sisiku. Di sebelahnya ada Tante Inggrid diikuti oleh Om Jarvis. Jason duduk di samping Kak Nevan, tunangannya di sebelahnya. Ibu Jovita duduk di sisi putrinya, kemudian Om Gunawan yang duduk di kepala meja di seberang Papa. Setelah Papa memimpin doa makan bersama, bunyi sendok beradu dengan piring pun terdengar. Kami tidak perlu saling mengoper makanan karena setiap menu makanan disajikan di atas meja tidak jauh dari hadapan kami masing-masing. “Karena Jovita sedang hamil, kita tidak perlu menunda pernikahan mereka. Bagaimana menurutmu, Gunawan?” tanya Om Jarvis. “Aku setuju, kapan paling cepat kita bisa melangsungkan pernikahan mereka?” tanya Om Gunawan. “Apakah kalian keberatan jika pernikahan kalian diadakan
Rasanya sangat aneh. Aku yang semula datang sebagai seorang pria yang bebas, yang akan menghadiri pertunangan antara kakakku dan wanita muda yang sudah dipilihkan untuknya, malah pulang dalam keadaan sudah terikat dengan janji akan menikahi wanita muda tersebut. Aku kini adalah tunangan Celeste Renjana.Entah apa yang mendorongku untuk melakukan hal itu tetapi aku tidak tega melihatnya dan keluarganya dipermalukan. Jovita telah melakukan hal yang sangat keterlaluan, namun itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Jason. Wanita itu sudah mengatakan kepadanya bahwa dia hamil. Jason malah tidak percaya dan tetap melanjutkan niatnya untuk menikahi Celeste?Untung saja wanita itu datang sebelum Jason dan Celeste resmi bertunangan. Aku tidak bisa membayangkan andai saja perempuan itu terus bungkam hingga mereka berdua resmi menjadi suami istri, lalu dia datang merusak acara sakral tersebut.Iya. Bagiku pernikahan adalah acara yang sakral. Ikatan antara suami dan is
~Celeste~ Dengan malas-malasan, aku merias wajah dan menata rambutku. Aku membiarkan rambutku tergerai, tanpa memberi jepitan atau memakai bando. Karena semalam dia menyarankan agar aku memakai baju yang nyaman, aku memakai blus putih dan celana jins panjang. Supaya tinggi badan kami tidak terlalu kontras, aku mengenakan sandal berhak tinggi. Mendengar deru halus mesin mobil di depan rumah, aku mendesah keras. Papa dan Kak Nevan hanya tersenyum penuh arti. Setelah pamit kepada mereka berdua, aku keluar dari ruang keluarga. Papa memanggil dan mengingatkan aku sekali lagi agar bersikap baik. Huff. Bu Liana sudah membukakan pintu depan. Aku berjalan menuju pintu bersamaan dengan Jonah berjalan mendekati aku. Dia terlihat berbeda tanpa setelan kerja dan tuksedonya. Dia memakai kaus berlengan panjang berleher huruf V dan celana panjang santai. Wajahnya datar tanpa ekspresi. Dia seperti tidak senang akan kencan denganku siang ini. Terlalu fokus melihat penampilan dan wajah tampannya, aku
Pagi hari adalah waktu yang paling berat bagi kami berdua. Celeste sudah sulit bangun sendiri karena kondisi perutnya yang sangat besar. Aku berusaha untuk menolongnya, tetapi apa pun yang aku lakukan selalu salah di matanya. Dan dia sering sekali menangis. Sebentar lagi dia akan melahirkan, hanya itu yang membuatku bisa bertahan. Keadaan ini tidak permanen dan hanya sementara saja, aku selalu mengingatkan diri sendiri mengenai itu. Aku tidak sabar ingin bisa bertengkar lagi dengan istriku yang suka membantah. Hari ini adalah hari peringatan kematian Jason. Satu tahun sudah dia pergi meninggalkan kami dan hidup di keabadian. Tidak banyak yang berubah dalam kehidupan keluarga kami. Ayah dan Bunda sudah tidak sabar menunggu kelahiran cucu pertama mereka. Papa sibuk dengan dua restorannya. Nevan dan Naura belum juga mengalami perkembangan apa pun dalam hubungan mereka. Sembilan bulan lebih menjadi wakil Ayah, aku sangat menikmati pekerjaanku. Aku bahkan bekerja lebih santai dibandingka
Ya, ampun. Ini lebih mendebarkan dari yang aku duga. Dia sudah pernah melakukan lebih dari sekadar mencium leherku, tetapi aku tidak pernah merasakan segugup ini. Saat dia mencium tengkukku tadi, aku refleks menjauh darinya. Tenang, Este. Tenanglah. Ini hanya Jonah. Kekasihmu, cintamu, suamimu … Suamiku. Iya. Dia sudah bukan lagi sekadar tunanganku.Aku sudah terlalu lama berada di kamar mandi, jadi aku menarik napas panjang sebelum memutar kenop pintu. Aku lupa membawa pakaian ganti, maka aku hanya memakai mantel mandi untuk membungkus tubuhku. Jonah tidak bersikap aneh. Dia hanya menoleh ke arahku saat pintu terbuka, lalu dia berjalan melewatiku untuk menggunakan kamar mandi juga.Aku mendesah lega. Koperku sudah diletakkan di sisi tempat tidur. Aku mengambil celana pendek dan sebuah kaus, lalu cepat-cepat mengenakannya. Pemandangan kota pada malam hari dari jendela kamar sangat indah. Aku hanya bisa menatapnya sebentar karena aku merasa haus.
Rumah kami ramai dengan orang-orang yang membantu kami berdandan dan berpakaian dengan benar. Juga ada fotografer dan kamerawan yang mengabadikan setiap hal yang kami lakukan. Wanita yang diutus oleh event organizerlangganan keluarga kami juga datang untuk memastikan setiap persiapan akhir sudah beres.Aku sudah rapi dengan tuksedo hitamku, lengkap dengan semua asesoris yang harus aku kenakan. Aku pergi diam-diam menuju tempat pemakaman umum. Sampai di tempat peristirahatan terakhir saudaraku, aku duduk di makamnya. Korsase mawar putih yang aku bawa aku letakkan di atas kuburannya, dekat dengan nisannya.“Aku tidak mau orang lain yang menjadi pendampingku, jadi kamu harus melakukan tugas itu. Aku tidak peduli bagaimana caranya kamu bisa hadir nanti, kamu harus memakai korsase itu,” ucapku pelan. Aku menyentuh nisannya. “Bagaimana kabarmu di sana? Apakah kamu masih melakukan kebiasaan burukmu? Jangan tidur dengan sembarang perempuan lagi
“Celeste?” tanya Retno dan Sari yang terkejut dengan kedatanganku pada pagi itu. Aku hanya tertawa kecil melihat wajah mereka.“Kamu akan menikah besok, mengapa kamu masih datang?” tanya Sari bingung.“Aku ingin menyelesaikan beberapa pekerjaan agar saat kembali nanti, Tyas tidak sengaja memberi laporan yang menggunung kepadaku.” Atasan kami itu hanya tertawa geli dari meja kerjanya.“Wah, wajah kamu terlihat lebih ceria. Beberapa hari ini kamu seperti orang yang akan menghadiri pemakaman, bukan pernikahanmu sendiri,” kata Retno menggodaku.“Hei, ini tempat kerja. Kalau mau mengobrol, nanti saat istirahat makan siang.” Tyas berseru dari mejanya. Kami tertawa cekikikan, lalu memasuki bilik kerja kami masing-masing.Pada saat istirahat makan siang, aku dan Jonah menjenguk Yosef dan Vita di kantor polisi. Aku membiarkan tunanganku bicara dengan sepupunya tanpa ikut campur. Pria itu sangat men
“Ada apa denganmu?” Aku menguatkan diriku untuk tetap bertahan menghadapinya. Tubuhku masih bergetar akibat kekuatan amarahnya. “Ini rumahku, jadi tolong jaga sikapmu.” “Kamu tidak bisa menikah dengan pria lain.” Dia berdiri dari tempat duduknya. “Apa?” Aku menatapnya tidak percaya. “Memangnya kamu siapa melarangku untuk menikah? Aku yakin Papa dan Kakak akan setuju dengan pria pilihanku. Dan hanya restu dari mereka yang aku butuhkan. Kamu dan aku bukan siapa-siapa lagi. Kita sudah putus, ingat?” “Dan kamu tidak akan mencium pria lain.” Dia berjalan mendekatiku. “Yang benar saja. Mana ada pasangan suami istri yang tidak pernah berciuman.” Aku mendengus mengejeknya. Dia berhenti di depanku dan menarik lenganku sehingga aku berdiri begitu dekat dengannya nyaris menyentuh dadanya. Aku meletakkan kedua tanganku di dadanya memberi jarak di antara kami. “Kamu juga tidak akan bercinta dengan pria lain.” Tangannya melingkari pinggangku dan bibirnya me
Berani-beraninya dia mengakhiri hubungan begitu saja tanpa memberi penjelasan apa pun kepadaku. Aku bicara, berteriak, memohon, tetapi dia hanya mengabaikan aku. Tanpa perasaan sedikit pun, dia melajukan mobilnya pergi dari hadapanku. Dia boleh saja memasang wajah dingin tanpa ekspresinya itu. Tetapi aku tahu bahwa hatinya masih untukku. Dia bisa membohongi semua orang dengan omongan kasarnya, tidak denganku. Aku hanya perlu berusaha lebih keras untuk meyakinkannya lagi. Kami berdua diciptakan untuk bersama. Telepon dariku tidak diacuhkannya sepanjang malam itu. Aku tidak peduli, aku terus mengganggu dia. Jika aku tidak bisa tidur, maka dia juga tidak. Karena apa yang terjadi kepadaku adalah karena ulahnya. Aku hanya membutuhkan penjelasan. Aku berhak diperlakukan lebih baik dari ini. “Mengapa kalian masih mengikuti aku?” tanyaku kepada kedua pengawal yang langsung berjalan di sisiku saat aku keluar dari mobil Jonah. Dia yang menginginkan hubungan kami berakh
Celeste terlihat sangat bahagia saat aku menjemputnya dari tempat kerjanya. Dia tidak berhenti bicara mengenai pekerjaannya, rekan-rekannya, dan berita viral yang mereka bicarakan. Iya, itu adalah berita yang paling menggegerkan sepanjang hari ini. Penangkapan Om Gunawan, Jovita, dan Yosef. Hukuman Jovita akan sangat berat karena aku memberikan rekaman CCTV restoran di mana dia berusaha untuk menyakiti tunanganku. Yang sebentar lagi sudah bukan milikku lagi. Merencanakannya ternyata tidak semudah melakukan. Aku terdiam cukup lama di dalam mobil saat kami sudah sampai di pekarangan rumahnya. Mungkin dia berpikir aku tidak berniat membukakan pintu untuknya sehingga dia mengucapkan selamat malam dan memegang kenop pintu. Tetapi aku memintanya untuk menunggu. Aku hanya berniat untuk menyentuh wajahnya dan melihatnya untuk terakhir kalinya. Sayangnya, tubuhku mempunyai rencananya sendiri. Aku menciumnya seolah-olah itu adalah ciuman terakhir kami. Selamanya aku tidak akan
Semuanya terasa tidak berarti lagi untukku. Mengetahui sebuah fakta dibandingkan dengan mendengar langsung pengakuan dari orang jahat yang telah melakukannya adalah dua hal yang berbeda. Yang satu terlihat tidak nyata, ketika yang satu lagi menyerangmu pada titik yang paling menyakitkan. Jantungmu. Aku hanya bisa diam mendengar alasan yang Jovita ucapkan dan Yosef utarakan sehingga mereka melakukan semua ketidakadilan itu. Cinta, nafsu, harta, kedudukan, apa artinya semua itu jika nurani mati? Mereka tidak hanya mengorbankan masa depan seseorang, tetapi juga nyawanya. Pada Minggu pagi, aku berlari hingga kepalaku berhenti berpikir. Aku tidak bisa memejamkan mata sekejap pun semalam dan tubuh serta jiwaku sangat letih. Rasa sakit saat pertama kali mengetahui Jason pergi tidak seperih ini. Setelah tahu apa yang dialaminya menjelang hari kematiannya membuat rasa kehilangan itu semakin menyakitkan. Paru-paruku terasa begitu sesak dan aku mulai kesulitan bernapas,
Acara menonton itu jadi terasa aneh karena teman-temanku sesekali menoleh ke arah Kak Nevan dan Naura. Mereka berdua duduk dengan tegak dan menjaga jarak, sangat berbeda dengan posisi duduk mereka sebelumnya yang sangat dekat. Hanya aku yang mengetahui mengenai hubungan mereka, jadi wajar jika teman-temanku percaya tidak percaya melihat mereka bersama. Begitu film berakhir, kami keluar bersama melalui pintu keluar. Kakak dan Naura berjalan dengan kaku saat mendekati kami yang menunggu mereka di depan elevator. Tidak ada seorang pun yang bicara, maka aku juga tidak mencoba untuk mencairkan suasana. “Kalau kalian tertarik, bagaimana jika kita ke restoran dan ikut menghabiskan sisa bahan makanan untuk minggu ini?” tanya Nola yang sedang membaca pesan yang ada di ponselnya. “Ayahku mengirim pesan. Dia koki di sana.” Nola menoleh ke arahku. “Tidak hanya makanan berat yang disajikan, ada juga menu makanan ringan. Ayo, kita ke sana,” ajakku. Retno dan Sari menoleh k