Home / Romansa / Mengukir Impian Baru / Bab 1 - Penentuan Masa Depan

Share

Mengukir Impian Baru
Mengukir Impian Baru
Author: Meina H.

Bab 1 - Penentuan Masa Depan

Author: Meina H.
last update Last Updated: 2021-08-26 16:13:27

~Celeste~

“Mereka adalah keluarga yang baik dan terpandang. Mereka tidak akan menyakiti kamu. Temanku ingin membantu kita, Nak,” bujuk Papa dengan suara mendayu.

“Membantu tidak akan memberi syarat seberat itu, Pa. Ini sama saja dengan Papa menjual aku demi membayar utang. Apa bedanya aku dengan p*lacur di luar sana!?” tangkisku dengan sengit.

“Este! Jaga bicara kamu! P*lacur tidak menikah secara sah! Mereka memberikan tubuh mereka demi uang. Dan pria yang mereka tiduri bukanlah suaminya. Kamu akan bahagia hidup sebagai istri pria itu. Dia adalah ahli waris utama ayahnya, Nak. Apa kamu tidak tahu betapa beruntungnya kamu?

“Ada banyak perempuan di luar sana yang berebut untuk menjadi istrinya, berusaha untuk menarik perhatiannya. Mengapa kamu malah menolak niat baik mereka? Pria mana lagi yang berasal dari keluarga terpandang yang mau menikahi kamu?”

“Tidak, Pa. Aku tidak akan menikah dengan pria asing. Titik! Aku dan Kakak akan berusaha mencari cara untuk membantu Papa mengumpulkan uang.” Aku pergi dari kamar rawat itu. Saatnya untuk pulang dan memeriksa skripsiku.

Aku pikir ada hal yang sangat penting yang ada hubungannya dengan keluarga kami. Ternyata Papa hanya mau membahas hal yang tidak berguna itu. Zaman sudah maju, masih ada saja perjodohan. Memangnya ini masih tahun enam puluhan? Papa dan Mama saja menikah karena cinta, bukan dijodohkan oleh Kakek dan Nenek.

Ponselku bergetar saat aku sedang konsentrasi mengerjakan tugas akhirku. “Halo, Kak,” sapaku begitu tahu dia yang menghubungi aku.

“Segera ke rumah sakit. Papa pingsan.”

Aku mendesah napas pelan lalu membelokkan mobil untuk masuk ke areal parkir luar sebuah gedung perkantoran berlantai empat puluh delapan yang megah itu. Seorang petugas keamanan membantu aku dengan menunjukkan lokasi parkir yang masih kosong.

Kepalaku mendadak sakit ketika aku mematikan mesin. Namun aku tidak bisa mundur sekarang. Aku mengambil tas ransel yang ada di jok sebelahku dan keluar dari mobil. Gedung itu tinggi sekali. Aku pernah datang ke tempat ini saat membantu Papa menyajikan makanan pada acara perayaan hari jadi perusahaan besar ini. Pemiliknya adalah orang yang baik.

“Oke. Ayo, kita lakukan ini.”

Sekretaris Om Jarvis menelepon Papa kemarin sore untuk mengingatkan bahwa pagi ini Papa ada janji temu dengannya. Tentu saja Papa tidak bisa datang. Kak Nevan lebih cocok menjadi wakilnya untuk menggantikannya menghadiri pertemuan itu. Namun Papa memaksa agar aku datang sendiri menemui Om Jarvis. Aku sudah tahu alasannya menyuruh aku datang ke sini.

Seorang petugas keamanan meminta aku untuk memberikan tasku kepadanya agar diperiksa dan mempersilakan aku untuk melewati pintu logam. Setelah memastikan bahwa aku tidak membawa benda yang berbahaya, pria itu mengizinkan aku untuk masuk.

Aku melihat ke sekelilingku. Bagian lobi itu sangat luas dengan jendela besarnya yang membuat ruangan itu terasa semakin lapang. Lantainya terbuat dari marmer yang sangat indah, dindingnya sebagian terbuat dari marmer, sebagian lagi dari kayu yang pasti mahal dan kokoh.

Pilar-pilar yang berjarak teratur terlihat kokoh dan ada bingkai besar yang berisi gambar dan tulisan. Ada beberapa set sofa lengkap dengan meja yang diletakkan di beberapa bagian sebagai ruang tunggu atau duduk. Beberapa tanaman dalam pot besar memberi kesegaran pada ruangan besar itu.

Melihat ada beberapa konter, aku mendekati konter yang bertuliskan informasi yang dicetak dengan huruf kapital. Kurang berhati-hati, aku menyenggol seseorang yang berjalan dari belakangku. Aku segera menjauhkan diri.

“Maaf, aku tidak memperhatikan jalan,” ucapku sambil melihat ke arah orang yang telah aku tabrak. “Oh, tidak.” Dia sedang memegang cup yang dari aromanya adalah kopi. Namun karena ulahku, kopi itu sekarang membasahi setelannya. “Aku mohon, maafkan aku.” Aku mencari-cari tisu di dalam tas dan baru menyadari bahwa aku tidak membawanya.

“Tidak apa-apa. Kamu pasti terburu-buru.” Dia melihat ke arah pakaianku. “Syukurlah, pakaianmu tidak terkena cipratan kopiku.” Dia tersenyum simpul, lalu pergi bersama dua orang pria yang berjalan dengannya. Mereka kembali berbicara dengan serius. Aku hanya bisa mengangakan mulut.

Yang baruan itu benar-benar terjadi atau hanya khayalanku saja? Mengapa dia tidak marah atau membentak aku karena sudah mengotori pakaiannya? Dia malah pergi begitu saja dengan dua orang yang bersamanya seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

Seorang pria muda datang mendekat dan segera menggunakan alat pel yang dibawanya untuk membersihkan kopi yang tertumpah ke lantai. Aku meminta maaf karena sudah membuatnya repot, dia hanya tersenyum sambil menawarkan sekotak tisu kepadaku. Aku menatapnya dengan bingung. Dia melihat ke arah sepatuku.

“Oh. Terima kasih.” Aku mengambil beberapa lembar tisu dan membersihkan kopi yang mengenai sisi luar sepatu dan kakiku. Untung saja hari ini aku memakai sepatu datar dengan bahan yang tidak menyerap air. Kalau aku memakai sepatu kets kesayanganku, habislah sudah.

“Maaf, apakah Anda Nona Celeste Renjana?” tanya seorang wanita dari sebelah kananku. Aku berdiri dan menoleh ke arahnya. Dia sangat cantik dengan riasan pada wajahnya, berambut pendek yang ditatanya dengan rapi, dan dia mengenakan setelan kerja dengan rok sepan pendek.

“Iya, benar,” jawabku dengan bingung.

“Pak Jarvis meminta saya untuk mengantar Anda ke ruangannya,” ucapnya dengan sopan. “Mari, ikut dengan saya.”

Aku mendesah lega mendengarnya. Syukurlah. Aku tidak tahu bagaimana cara ke ruangannya jika harus pergi sendiri. Melihat betapa luasnya lobi ini, aku sudah bisa bayangkan akan ada banyak pintu di lantai di mana ruangan Om Jarvis berada. Aku bisa tersesat.

Wanita itu berjalan menuju sebuah gerbang logam yang bagian kacanya hanya bisa dibuka dengan memindai kartu pada tempat yang disediakan. Dia memindai kartu yang dikalungkan di lehernya, kemudian mempersilakan aku untuk masuk lebih dahulu. Dia memindai kartu kedua, lalu memberi kartu tersebut kepadaku. Aku menirunya dengan mengalungkan kartu itu di leherku.

Kami bergabung bersama pegawai lainnya memasuki sebuah elevator yang pintunya terbuka. Tidak ada seorang pun yang bicara di dalam ruangan sempit itu. Satu per satu orang keluar ketika mereka telah tiba di lantai tujuan hingga akhirnya hanya ada aku dan wanita di sisiku.

“Mari, Nona. Kita sudah sampai.”

Dia mengajak aku keluar saat pintu elevator terbuka di lantai empat puluh delapan. Wow! Aku berada di lantai teratas gedung ini. Tidak jauh dari pintu elevator, aku melihat seorang pria keluar dari sebuah ruangan di sebelah kiri. Dia berjalan tidak jauh di depanku, kemudian dia berbelok ke kiri.

Lalu sebuah pemandangan menarik perhatianku. Melalui jendela besar di hadapanku, aku bisa melihat pemandangan kota dari lantai teratas gedung. Hari ini cerah jadi aku bisa melihat indahnya langit biru dengan pemandangan kota yang dipenuhi gedung pencakar langit. Keren sekali!

Aku tidak bisa menyaksikan keindahan itu terlalu lama karena wanita itu berbelok ke kiri. Dia mengetuk pintu di sebelah kanan. Aku melihat ada meja lengkap dengan kursi, komputer, tumpukan berkas, interkom, juga lemari berkas di bagian belakang di sebelah kiri. Sepertinya itu ruangan untuk seorang sekretaris.

“Nona Celeste Renjana, Pak,” ucap wanita itu ketika membuka pintu. Aku mendengar suara seorang pria memberi respons. Wanita itu menoleh ke arahku. “Silakan masuk, Nona.”

“Terima kasih,” kataku pelan. Aku menelan ludah dan melangkah mendekati celah pintu yang terbuka tersebut. Pemandangan di dalam sama indahnya dengan pemandangan di luar ruangan. Di hadapanku ada jendela besar yang menunjukkan pemandangan kota.

“Masuk, Celeste,” ucap seorang pria yang duduk di sebelah kanan sofa di depanku. “Silakan duduk.” Dia menunjuk ke kursi yang ada di sebelah kirinya, sedangkan di sebelah kanannya ada dua orang pria yang satu menatap aku dengan sopan dan yang lain tampak asyik dengan tablet di tangannya.

“Selamat pagi, Om.” Aku berjalan mendekat lalu duduk di kursi yang ditunjuknya.

“Aku harap kamu tidak kesulitan datang ke sini sepagi ini,” ucapnya ketika pada saat yang sama, wanita tadi meletakkan secangkir teh dan sepiring makanan ringan di atas meja di depanku.

“Tidak, Om. Papa meminjamkan mobilnya agar saya kendarai untuk datang ke sini,” jawabku sambil sedikit menundukkan tubuhku. Pria ini memiliki aura yang membuat aku merasa segan kepadanya.

“Bagaimana keadaan papamu? Aku dengar dia jatuh sakit dua hari yang lalu,” tanyanya khawatir.

“Keadaannya sudah lebih baik, Om. Terima kasih. Tetapi dokter belum mengizinkannya untuk keluar dari rumah sakit,” jawabku pelan.

“Dia membutuhkan istirahat, tidak apa-apa. Sebenarnya pertemuan ini bisa ditunda, tetapi sepertinya dia memang sangat membutuhkan bantuan.” Pak Jarvis menoleh ke arah pria yang duduk di sebelah kanannya. Pria itu mengeluarkan sebuah map dari tasnya lalu meletakkannya di depanku.

“Apa ini, Om?” tanyaku bingung. “Jika ada berkas yang harus ditandatangani, lebih baik Papa saja yang membacanya. Saya tidak terlalu memahami urusan restoran milik Papa.”

“Begitu mengetahui bahwa kamu yang akan datang, aku mengubah isi dari surat perjanjian kami. Aku tidak memerlukan tanda tangan Bisma. Aku membutuhkan tanda tanganmu. Jadi, silakan baca surat itu, jika kamu membutuhkan waktu untuk memikirkannya, silakan,” kata Om Jarvis.

Aku membuka sampul map tersebut dengan enggan. Aku mulai membaca setiap poin dengan hati-hati, aku sudah tahu apa isi dari perjanjian tersebut, tetapi aku perlu memastikan bahwa tidak ada tambahan poin lain di luar dari apa yang Papa sampaikan kepadaku.

Aku memejamkan mata membaca poin yang membuat aku sangat marah tersebut. Surat perjanjian itu tepat seperti yang Papa katakan dan aku tidak menemukan ada kata atau kalimat yang sifatnya ambigu yang bisa digunakan untuk menjebak aku atau Papa suatu hari nanti. Om Jarvis benar-benar orang yang terhormat.

“Di mana saya harus membubuhkan tanda tangan?” tanyaku kepada Om Jarvis.

“Apa kamu yakin tidak ingin memikirkan hal ini lebih dahulu?” tanyanya yang menatap wajahku dengan saksama. Aku mengangguk.

“Papa sudah menceritakan semuanya. Surat perjanjian ini sesuai dengan yang Papa katakan kepada saya,” jawabku tanpa ragu. Pria itu tersenyum.

“Kamu tidak punya pertanyaan apa pun sebelum menandatangani surat ini?” tanyanya lagi. Aku menggelengkan kepala. Dia menatap aku seolah-olah memberi aku waktu andai aku berubah pikiran. Itu tidak akan terjadi. Aku tidak akan datang ke sini jika aku masih memiliki keraguan. “Baiklah.”

Pria yang duduk di depanku itu ternyata seorang pengacara. Dia menolong aku untuk memahami isi surat perjanjian tersebut, yang seharusnya tidak perlu dia lakukan karena aku sudah tahu. Baik aku maupun Om Jarvis tidak punya pertanyaan, maka kami bergantian membubuhkan tanda tangan pada bagian yang ditunjuk oleh pengacara tersebut.

Dia membagi berkas itu menjadi tiga dan memasukkannya pada masing-masing amplop. Dia memberikan satu kepada Om Jarvis, kepadaku, dan satu lagi disimpan di dalam tasnya. Dalam waktu kurang dari satu jam, masa depanku pun telah ditentukan. Aku akan segera menjadi menantu keluarga Jarvis Putra.

Meina H.

Hai, Teman-teman. Terima kasih sudah mampir. ♡ Semoga suka dengan cerita ini, ya. Jika ada komentar, entah itu saran, kritik, atau tanggapan mengenai kisah kedua tokoh, jangan segan. Pasti aku baca. Jika komentar teman-teman aku temukan, pasti aku balas. XD Bila ada gem, sumbangkan untuk buku ini jika suka, ya. ♡ Salam sayang, Meina H.

| 1
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Meina H
Lanjut, Kak. Sudah tamat, lho. (。’▽’。)♡
goodnovel comment avatar
dahliardi abyan
mengukir impian baru lanjut!
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Mengukir Impian Baru   Bab 2 - Pertemuan Pertama

    Restoran milik Papa mengalami masalah karena sebuah kesepakatan bisnis yang ternyata hanyalah tipuan. Seseorang yang dikenalnya dari seorang teman menawarkan kepada Papa untuk membuka cabang restoran dan memberi pinjaman yang cukup besar. Bangunan bertingkat tiga itu ternyata tidak mempunyai izin, dan terpaksa disegel ketika sudah sembilan puluh persen rampung. Papa memercayakan pengurusan izin kepada orang yang diutus oleh kenalannya tersebut dan tidak pernah memeriksa hasil kerjanya. Karena restoran tidak jadi dibangun, Papa dianggap telah melanggar perjanjian kerja sama dan diminta untuk mengembalikan uang yang telah dipinjam beserta penalti yang harus dibayar. Jumlahnya sangat besar. Uang simpanan Papa bahkan belum cukup untuk membayarnya. “Pa, ini uang tabunganku dan Este. Semoga ini bisa membantu,” kata Kakak sambil memberikan setumpuk uang di atas meja kerja Papa. “Tidak.” Dia mendorong uang itu kembali ke arah kami. “Kamu perlu uang untuk membuka praktik, sedangkan adikmu b

    Last Updated : 2021-08-26
  • Mengukir Impian Baru   Bab 3 - Perempuan Biasa

    ~Jonah~ Menyusun rencana, memeriksa lokasi, mengajukan proposal, mengadakan event, mengawasi pelaksanaannya, mengevaluasi pelaksanaan setiap harinya, menulis laporan, menerima masukan, kemudian menyusun rencana baru lagi, begitu terus berputar-putar yang harus aku lakukan sebagai manajer pemasaran. Tidak ada hari untukku duduk diam di ruanganku selama sebulan terakhir ini karena peluncuran apartemen baru yang dibangun oleh perusahaan Ayah mendapat sambutan baik, tetapi belum semua unit terjual. Jika kami tidak bergerak cepat, kami akan segera disibukkan lagi dengan program baru untuk memasarkan unit pada mal yang sebentar lagi akan selesai dibangun. Fabian sedang menunjukkan laporan terbaru promosi yang kami lakukan di sebuah mal ketika seseorang menabrak tubuhku sehingga cup kopi yang aku pegang mengenai pakaianku dan tumpah. Kopi itu sudah tidak panas lagi tetapi isinya masih penuh. Aku tidak sempat meminumnya karena tidak berhenti bicara dengan asistenku. “Aku mohon, maafkan aku

    Last Updated : 2021-08-26
  • Mengukir Impian Baru   Bab 4 - Keputusan yang Tepat

    ~Celeste~ Setelah memarkirkan mobil di halaman kampus, aku setengah berlari menuju kantor jurusanku. Suasana kampus sedang sepi karena perkuliahan sudah dimulai. Aku melihat sahabatku melambai-lambaikan tangannya ke arahku. Aku segera mendekatinya. Melihat wajah bahagianya, aku mengerutkan kening. Kemarin Nola masih terlihat berduka karena khawatir tidak akan bisa membayar biaya kuliahnya untuk semester berikutnya. Jadi, dia mulai mencari-cari pekerjaan paruh waktu yang bisa dilamarnya untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarganya sekaligus biaya kuliahnya. Orang tuanya masih mencicil rumah dan kendaraan mereka, karena itu pendapatan bulanan mereka selalu habis untuk kebutuhan sehari-hari dan tagihan kredit. Yang disimpan juga hanya cukup untuk membayar biaya pendidikan Nola dan adik-adiknya. “Terima kasih banyak, Cel.” Dia memeluk aku, lalu melompat-lompat bahagia. Aku terpaksa ikut melompat karenanya. Aku masih bingung dengan apa yang terjadi. “Papa dan mamaku sudah mendapatkan g

    Last Updated : 2021-08-26
  • Mengukir Impian Baru   Bab 5 - Aku Tidak Khawatir

    Walaupun aku sudah tidak sabar ingin mengerjakan skripsiku, aku tidak bisa segera pulang ke rumah. Papa masih dirawat di rumah sakit. Kakak sedang bekerja, jadi Papa pasti kesepian jika sepanjang hari ini tidak ada yang menemani. Keadaan akan berbeda andai saja Mama masih hidup. Mama sudah meninggal dunia dua tahun yang lalu karena kanker otak yang dideritanya. Kanker itu baru diketahui ketika Mama sudah tidak bisa diselamatkan lagi. Kami berjuang bersama selama hampir enam bulan ketika Mama akhirnya mengembuskan napas yang terakhir. Aku masih sering melihat Papa berwajah sedih saat dia berpikir tidak ada yang sedang melihatnya. Hidup bersama selama dua puluh lima tahun pasti tidak mudah untuk membiasakan diri hidup tanpa pasangan lagi. Karena itu, aku mengerti mengapa Papa sangat berharap bisa mempertahankan restoran miliknya. Restoran itu adalah usahanya dari nol bersama Mama. Mereka memulai dari usaha warung makan kecil yang perlahan menerima katering. Pelanggan semakin banyak da

    Last Updated : 2021-08-26
  • Mengukir Impian Baru   Bab 6 - Mengusir Seorang Pengacau

    ~Jonah~ Semua peserta rapat sudah berada di dalam ruangan ketika aku masuk bersama asistenku. Dia memimpin jalannya rapat dan aku hanya membaca serta mendengarkan laporan dari setiap kegiatan yang kami adakan pada minggu lalu, dan rencana kegiatan yang akan diadakan pada minggu ini. Seharusnya rapat ini kami adakan pada hari Senin, namun karena satu dan lain hal, rapat dibatalkan. Aku segera menolak ketika salah satu dari mereka begitu bersemangat untuk menaikkan target pada minggu ini. Kami mati-matian mengerahkan tenaga dan waktu untuk mencapai target pada minggu lalu. Jika target pada minggu ini dinaikkan, aku tidak bisa membayangkan berapa banyak waktu istirahat yang harus dikorbankan demi satu persen saja. “Pak Jonah benar. Kita bisa stabil memenuhi target pada setiap minggunya sudah sebuah prestasi. Itu saja dahulu yang kita pertahankan. Bila kita semua sudah terbiasa dengan ritmenya dan tidak mengalami kesulitan lagi, kita bisa menaikkan target sebagai percobaan,” kata Fabian

    Last Updated : 2021-09-01
  • Mengukir Impian Baru   Bab 7 - Menjaga Diri Sendiri

    ~Celeste~ Jantungku berdebar-debar saat menyerahkan skripsiku yang sudah utuh tersebut dari bab awal hingga terakhir. Dosen pembimbingku langsung membaca pada bab terakhir yang belum pernah dibacanya sama sekali. Dia mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian tersenyum. Tanganku mulai sakit karena aku meremasnya dengan kuat untuk mengurangi ketegangan yang aku rasakan. Jika aku mendapatkan lampu hijau, maka aku tidak perlu lagi bergelut dengan penelitian yang sudah aku kerjakan selama enam bulan ini. Jujur saja, aku sudah muak membacanya. “Apakah kamu mengubah sesuatu yang sudah aku periksa pada bagian dan bab sebelumnya?” tanya pembimbingku itu. “Tidak, Pak. Semuanya masih sama seperti yang Bapak periksa kemarin,” jawabku yang semakin harap-harap cemas. Dia menganggukkan kepalanya. “Kerja yang bagus,” pujinya dengan senyum di wajahnya. Dia memberikan tanda tangannya pada bagian depan skripsiku tersebut. “Kamu bisa menemui bagian administrasi untuk mengurus jadwal sidang skripsi kam

    Last Updated : 2021-09-01
  • Mengukir Impian Baru   Bab 8 - Aku yang Lebih Muda

    Tepat pada pukul empat sore, aku menuruni tangga menuju pintu depan. Bu Liana membukakan pintu untukku. Aku keluar rumah bertepatan dengan pintu gerbang dibuka dan sebuah mobil masuk ke halaman rumah kami. Mobil tersebut berhenti tepat di depanku. Seorang pria muda keluar dari sisi pengemudi. Dia menundukkan tubuhnya sedikit kepadaku lalu mengeliling mobil untuk membukakan pintunya untukku. Aku melihat Tante Inggrid melambaikan tangannya kepadaku. Aku segera masuk ke mobil. “Selamat sore, Tante,” sapaku dengan ramah. “Selamat sore. Kamu cantik sekali,” pujinya dengan tulus. “Terima kasih, Tante. Tante jauh lebih cantik.” Aku membalas pujiannya. Dia tertawa kecil. “Aku sudah tidak muda lagi, kecantikanku mana bisa dibandingkan dengan kamu,” ucapnya merendah. “Aku mendengar kabar bahwa Bisma sudah pulang dari rumah sakit, apakah papamu sudah baik-baik saja?” “Sudah, Tante. Papa sedang beristirahat di kamarnya,” jawabku. Dia menganggukkan kepalanya. “Aku senang sekali Jason akhirny

    Last Updated : 2021-09-01
  • Mengukir Impian Baru   Bab 9 - Calon Istri yang Tepat

    ~Jonah~ “Jason belum pulang, Raihan?” tanya Bunda kepada kepala pelayan rumah kami. “Belum, Nyonya,” jawab pria itu dengan sopan. Bunda melihat ke arah Ayah. Setahuku, Jason berencana mengurus perjanjian dengan rekan bisnis Ayah untuk satu hari saja. Namun yang ada di ruang makan pada pagi harinya hanya Ayah dan Bunda. Itu artinya dia telah membatalkan kepulangannya semalam. Kali ini dia akan tinggal lebih lama untuk berapa hari? Aku tahu apa yang dia lakukan di luar sana setiap kali menunda kepulangannya saat melakukan perjalanan bisnis. Dia menghabiskan malam bersama seorang perempuan yang telah menarik perhatiannya di kota tersebut. Semakin lama dia tinggal di sana, maka semakin memuaskan wanita itu dalam melayaninya di tempat tidur. Jason sangat pintar menutupi hobi buruknya. Dia akan menggunakan waktunya pada siang dan sore hari dengan bermain golf, makan siang, atau minum kopi bersama dengan rekan bisnis yang ditemuinya sehingga Ayah tidak mencurigai motif utamanya tinggal l

    Last Updated : 2021-09-01

Latest chapter

  • Mengukir Impian Baru   Bab 114 - Memulai Kisah Baru

    Pagi hari adalah waktu yang paling berat bagi kami berdua. Celeste sudah sulit bangun sendiri karena kondisi perutnya yang sangat besar. Aku berusaha untuk menolongnya, tetapi apa pun yang aku lakukan selalu salah di matanya. Dan dia sering sekali menangis. Sebentar lagi dia akan melahirkan, hanya itu yang membuatku bisa bertahan. Keadaan ini tidak permanen dan hanya sementara saja, aku selalu mengingatkan diri sendiri mengenai itu. Aku tidak sabar ingin bisa bertengkar lagi dengan istriku yang suka membantah. Hari ini adalah hari peringatan kematian Jason. Satu tahun sudah dia pergi meninggalkan kami dan hidup di keabadian. Tidak banyak yang berubah dalam kehidupan keluarga kami. Ayah dan Bunda sudah tidak sabar menunggu kelahiran cucu pertama mereka. Papa sibuk dengan dua restorannya. Nevan dan Naura belum juga mengalami perkembangan apa pun dalam hubungan mereka. Sembilan bulan lebih menjadi wakil Ayah, aku sangat menikmati pekerjaanku. Aku bahkan bekerja lebih santai dibandingka

  • Mengukir Impian Baru   Bab 113 - Pilihan Bunda

    Ya, ampun. Ini lebih mendebarkan dari yang aku duga. Dia sudah pernah melakukan lebih dari sekadar mencium leherku, tetapi aku tidak pernah merasakan segugup ini. Saat dia mencium tengkukku tadi, aku refleks menjauh darinya. Tenang, Este. Tenanglah. Ini hanya Jonah. Kekasihmu, cintamu, suamimu … Suamiku. Iya. Dia sudah bukan lagi sekadar tunanganku.Aku sudah terlalu lama berada di kamar mandi, jadi aku menarik napas panjang sebelum memutar kenop pintu. Aku lupa membawa pakaian ganti, maka aku hanya memakai mantel mandi untuk membungkus tubuhku. Jonah tidak bersikap aneh. Dia hanya menoleh ke arahku saat pintu terbuka, lalu dia berjalan melewatiku untuk menggunakan kamar mandi juga.Aku mendesah lega. Koperku sudah diletakkan di sisi tempat tidur. Aku mengambil celana pendek dan sebuah kaus, lalu cepat-cepat mengenakannya. Pemandangan kota pada malam hari dari jendela kamar sangat indah. Aku hanya bisa menatapnya sebentar karena aku merasa haus.

  • Mengukir Impian Baru   Bab 112 - Tidak Menyesal

    Rumah kami ramai dengan orang-orang yang membantu kami berdandan dan berpakaian dengan benar. Juga ada fotografer dan kamerawan yang mengabadikan setiap hal yang kami lakukan. Wanita yang diutus oleh event organizerlangganan keluarga kami juga datang untuk memastikan setiap persiapan akhir sudah beres.Aku sudah rapi dengan tuksedo hitamku, lengkap dengan semua asesoris yang harus aku kenakan. Aku pergi diam-diam menuju tempat pemakaman umum. Sampai di tempat peristirahatan terakhir saudaraku, aku duduk di makamnya. Korsase mawar putih yang aku bawa aku letakkan di atas kuburannya, dekat dengan nisannya.“Aku tidak mau orang lain yang menjadi pendampingku, jadi kamu harus melakukan tugas itu. Aku tidak peduli bagaimana caranya kamu bisa hadir nanti, kamu harus memakai korsase itu,” ucapku pelan. Aku menyentuh nisannya. “Bagaimana kabarmu di sana? Apakah kamu masih melakukan kebiasaan burukmu? Jangan tidur dengan sembarang perempuan lagi

  • Mengukir Impian Baru   Bab 111 - Hari yang Dinanti

    “Celeste?” tanya Retno dan Sari yang terkejut dengan kedatanganku pada pagi itu. Aku hanya tertawa kecil melihat wajah mereka.“Kamu akan menikah besok, mengapa kamu masih datang?” tanya Sari bingung.“Aku ingin menyelesaikan beberapa pekerjaan agar saat kembali nanti, Tyas tidak sengaja memberi laporan yang menggunung kepadaku.” Atasan kami itu hanya tertawa geli dari meja kerjanya.“Wah, wajah kamu terlihat lebih ceria. Beberapa hari ini kamu seperti orang yang akan menghadiri pemakaman, bukan pernikahanmu sendiri,” kata Retno menggodaku.“Hei, ini tempat kerja. Kalau mau mengobrol, nanti saat istirahat makan siang.” Tyas berseru dari mejanya. Kami tertawa cekikikan, lalu memasuki bilik kerja kami masing-masing.Pada saat istirahat makan siang, aku dan Jonah menjenguk Yosef dan Vita di kantor polisi. Aku membiarkan tunanganku bicara dengan sepupunya tanpa ikut campur. Pria itu sangat men

  • Mengukir Impian Baru   Bab 110 - Diciptakan untuk Bersama

    “Ada apa denganmu?” Aku menguatkan diriku untuk tetap bertahan menghadapinya. Tubuhku masih bergetar akibat kekuatan amarahnya. “Ini rumahku, jadi tolong jaga sikapmu.” “Kamu tidak bisa menikah dengan pria lain.” Dia berdiri dari tempat duduknya. “Apa?” Aku menatapnya tidak percaya. “Memangnya kamu siapa melarangku untuk menikah? Aku yakin Papa dan Kakak akan setuju dengan pria pilihanku. Dan hanya restu dari mereka yang aku butuhkan. Kamu dan aku bukan siapa-siapa lagi. Kita sudah putus, ingat?” “Dan kamu tidak akan mencium pria lain.” Dia berjalan mendekatiku. “Yang benar saja. Mana ada pasangan suami istri yang tidak pernah berciuman.” Aku mendengus mengejeknya. Dia berhenti di depanku dan menarik lenganku sehingga aku berdiri begitu dekat dengannya nyaris menyentuh dadanya. Aku meletakkan kedua tanganku di dadanya memberi jarak di antara kami. “Kamu juga tidak akan bercinta dengan pria lain.” Tangannya melingkari pinggangku dan bibirnya me

  • Mengukir Impian Baru   Bab 109 - Bicarakan dengan Baik

    Berani-beraninya dia mengakhiri hubungan begitu saja tanpa memberi penjelasan apa pun kepadaku. Aku bicara, berteriak, memohon, tetapi dia hanya mengabaikan aku. Tanpa perasaan sedikit pun, dia melajukan mobilnya pergi dari hadapanku. Dia boleh saja memasang wajah dingin tanpa ekspresinya itu. Tetapi aku tahu bahwa hatinya masih untukku. Dia bisa membohongi semua orang dengan omongan kasarnya, tidak denganku. Aku hanya perlu berusaha lebih keras untuk meyakinkannya lagi. Kami berdua diciptakan untuk bersama. Telepon dariku tidak diacuhkannya sepanjang malam itu. Aku tidak peduli, aku terus mengganggu dia. Jika aku tidak bisa tidur, maka dia juga tidak. Karena apa yang terjadi kepadaku adalah karena ulahnya. Aku hanya membutuhkan penjelasan. Aku berhak diperlakukan lebih baik dari ini. “Mengapa kalian masih mengikuti aku?” tanyaku kepada kedua pengawal yang langsung berjalan di sisiku saat aku keluar dari mobil Jonah. Dia yang menginginkan hubungan kami berakh

  • Mengukir Impian Baru   Bab 108 - Perjanjian Pranikah

    Celeste terlihat sangat bahagia saat aku menjemputnya dari tempat kerjanya. Dia tidak berhenti bicara mengenai pekerjaannya, rekan-rekannya, dan berita viral yang mereka bicarakan. Iya, itu adalah berita yang paling menggegerkan sepanjang hari ini. Penangkapan Om Gunawan, Jovita, dan Yosef. Hukuman Jovita akan sangat berat karena aku memberikan rekaman CCTV restoran di mana dia berusaha untuk menyakiti tunanganku. Yang sebentar lagi sudah bukan milikku lagi. Merencanakannya ternyata tidak semudah melakukan. Aku terdiam cukup lama di dalam mobil saat kami sudah sampai di pekarangan rumahnya. Mungkin dia berpikir aku tidak berniat membukakan pintu untuknya sehingga dia mengucapkan selamat malam dan memegang kenop pintu. Tetapi aku memintanya untuk menunggu. Aku hanya berniat untuk menyentuh wajahnya dan melihatnya untuk terakhir kalinya. Sayangnya, tubuhku mempunyai rencananya sendiri. Aku menciumnya seolah-olah itu adalah ciuman terakhir kami. Selamanya aku tidak akan

  • Mengukir Impian Baru   Bab 107 - Kenanganmu

    Semuanya terasa tidak berarti lagi untukku. Mengetahui sebuah fakta dibandingkan dengan mendengar langsung pengakuan dari orang jahat yang telah melakukannya adalah dua hal yang berbeda. Yang satu terlihat tidak nyata, ketika yang satu lagi menyerangmu pada titik yang paling menyakitkan. Jantungmu. Aku hanya bisa diam mendengar alasan yang Jovita ucapkan dan Yosef utarakan sehingga mereka melakukan semua ketidakadilan itu. Cinta, nafsu, harta, kedudukan, apa artinya semua itu jika nurani mati? Mereka tidak hanya mengorbankan masa depan seseorang, tetapi juga nyawanya. Pada Minggu pagi, aku berlari hingga kepalaku berhenti berpikir. Aku tidak bisa memejamkan mata sekejap pun semalam dan tubuh serta jiwaku sangat letih. Rasa sakit saat pertama kali mengetahui Jason pergi tidak seperih ini. Setelah tahu apa yang dialaminya menjelang hari kematiannya membuat rasa kehilangan itu semakin menyakitkan. Paru-paruku terasa begitu sesak dan aku mulai kesulitan bernapas,

  • Mengukir Impian Baru   Bab 106 - Sehari Tanpamu

    Acara menonton itu jadi terasa aneh karena teman-temanku sesekali menoleh ke arah Kak Nevan dan Naura. Mereka berdua duduk dengan tegak dan menjaga jarak, sangat berbeda dengan posisi duduk mereka sebelumnya yang sangat dekat. Hanya aku yang mengetahui mengenai hubungan mereka, jadi wajar jika teman-temanku percaya tidak percaya melihat mereka bersama. Begitu film berakhir, kami keluar bersama melalui pintu keluar. Kakak dan Naura berjalan dengan kaku saat mendekati kami yang menunggu mereka di depan elevator. Tidak ada seorang pun yang bicara, maka aku juga tidak mencoba untuk mencairkan suasana. “Kalau kalian tertarik, bagaimana jika kita ke restoran dan ikut menghabiskan sisa bahan makanan untuk minggu ini?” tanya Nola yang sedang membaca pesan yang ada di ponselnya. “Ayahku mengirim pesan. Dia koki di sana.” Nola menoleh ke arahku. “Tidak hanya makanan berat yang disajikan, ada juga menu makanan ringan. Ayo, kita ke sana,” ajakku. Retno dan Sari menoleh k

DMCA.com Protection Status