Mataku terbelalak. Tidak hanya berkunang-kunang tapi juga berkaca-kaca. Apa-apaan ini? Aku menjerit sekencang mungkin di dalam hati. Tanganku sampai bergetar hebat dan hampir saja ponsel Mas Ricky terjatuh.
Gambar seronok dan juga … vulgar, bahkan porno! Ada foto Tanti sedang … telanjang. Bahkan dalam bentuk close up! Aku tak mampu bernapas lagi. Sesak! Semua terlalu menyesakkan! Dadaku berat, seperti ada batu karang yang menahan untuk bernapas.
Ya, Tuhan! Tolong aku! Inikah yang dinamakan kondisi shock? Rasa mual perlahan merayap di dalam perut. Mengacak-acak dan mengaduk-aduk seisi lambung, membuatku ingin muntah!
Aku ingin menangis, tetapi air mata tidak mau keluar sama sekali! Mataku tetap saja kering tanpa setetes air mata pun. Kenapa aku tidak bisa menangis?
Tangan masih saja bergetar, dengan telapak tangan yang makin dingin. Mata mendelik, tak berkedip, menatap layar. Menatap wanita seksi dengan buah dada besar dan montok, sedang berpose menantang.
Bajingan! Brengsek! Pelacur! Makiku dalam hati. Mengutuk setiap napas Tanti agar menjadi balasan terberat untuk ini semua. Siapa yang mengambil foto ini? Kapan diambilnya?
Dengan cepat aku pencet tulisan detail di pojok kanan bawah. Meski jijik karena di bagian kanan bawah terpampang selangkangan Tanti, aku terpaksa menekannya.
Terlihat angka keterangan bahwa foto ini diambil tiga tahun lalu, dan tersimpan dengan rapi di memory card Mas Ricky. Berapa kali pun ganti ponsel, gambar-gambar ini akan selalu terbawa.
Foto yang diambil tiga tahun lalu, sedikit melegakan. Aku belum mengenal Mas Ricky pada waktu itu. Paling tidak, ini tidak termasuk perselingkuhan, bukan? Meski tetap saja aku tidak terima dia masih menyimpan foto jorok mantannya.
Kulirik Mas Ricky. Ia masih tertidur lelap dan mengorok.
Huh! Enak sekali kamu tidur nyenyak begitu sementara aku mau pingsan begini, Mas! Umpatku dalam hati.
Masih terus menggerutu dan mengumpat, jariku semakin lincah scrolling. Ada puluhan gambar di sana. Aku selalu menekan ikon detail, untuk melihat tanggal pengambilan foto.
Hah? Tidak hanya foto, ternyata ada juga folder berisi video! Gustiiii! Aku menangis hanya di dalam hati. Bagaimana ini? Aku buka atau tidak? Kalau kubuka, siapkah aku melihat segalanya?
Serba salah, demikian perasaanku. Dibuka, takut aku trauma. Tidak dibuka, tentu penasaran! Aku harus bagaimana? Aduh, aku bingung!
Tiba-tiba Mas Ricky berhenti mengorok dan badannya bergerak-gerak. Aku terkesiap. Secepat kilat jempol beratraksi, mengembalikan ponsel pada posisi layar semula dan menutup aplikasi media.
Aku taruh ponsel di tempat semula dan kembali ke dalam selimut. Cepat-cepat kututup mata dan pura-pura terlelap.
“Cha, Cha?” panggil Mas Ricky perlahan. Bibirnya menyentuh pundakku.
Aku diam saja, kan sedang pura-pura tidur.
“Anissa, Sayang,” ulang Mas Ricky kembali memanggil. Kini tangannya memeluk dari belakang, langsung menangkup buah dadaku.
Ya, kami masih tidur tanpa busana sampai saat ini. Aku mau teriak karena merasakan tangannya di dadaku. Belum siap batinku menerima sentuhan ini. Tidak setelah apa yang aku lihat barusan di ponselnya.
“Cha, Cha, Cha, Cha, Cha!” Mas Ricky terus memanggil dengan nama panggilanku. Ia suka menggoda dengan melakukan ini kalau aku sedang pura-pura cuek dan merajuk.
Aku membuka mata perlahan. Berakting gaya bangun tidur. Mulut pun kubuat menguap dua kali sambil meregangkan badan.
“Iya, Mas? Kenapa?” tanyaku pura-pura polos. Padahal, aku tahu ia ingin bercinta. Mungkin habis mimpi dikelilingi tujuh bidadari pakai rok mini, sehingga waktu bangun Mas Ricky langsung ingin bercinta.
“Kangen, Sayang. ML, yuk?” ajaknya sesuai perkiraanku. Tangannya langsung melakukan serangan fajar di antara dua pahaku.
“Hmm, aku lagi nggak enak badan, Mas,” tolakku menampilkan wajah memelas. Kurapatkan kakiku, menjepit jemarinya agar tidak bisa bergerak lagi menekan-nekan titik sensitif pembangkit gairahku.
Mas Ricky terkejut. Ini pertama kalinya aku menolak berhubungan badan setelah menikah. Biasanya, meski sedang flu berat sekalipun, aku akan setia meladeni kebutuhan batinnya.
“Eh, kok? Tumben? Kamu kenapa?” tanya suamiku dengan mata menyelidik.
“Nggak tau juga. Rasanya mual aja ini sekarang,” jawabku menyindir. Meski aku yakin dia tidak tahu aku sedang menyindir.
“Hmm, masuk angin mungkin, ya?”
Aku mengangkat pundak. Terserah Mas Ricky saja mau menganggap aku sakit apa.
“Ya, sudah. Tunggu di sini,” pesannya tiba-tiba turun dari ranjang lalu memakai celana pendek dan kaos.
“Mau kemana, Mas?” tanyaku heran.
“Dapur. Bikinin kamu teh panas. Tunggu, ya. Jangan tidur dulu. Aku nggak mau kamu sakit. Besok Sabtu kan kita mau jalan-jalan ke gunung.”
Ambyar hatiku! Sesaat tadi aku membencinya setengah mati. Kini aku merasa terharu dengan perhatiannya. Bisa-bisanya dia rela turun kasur jam dua pagi seperti ini hanya untuk membuatkan aku teh panas.
Mas Ricky kemudian berjalan menuju lemari. Ia mengambilkan celana dalam dan baby doll lalu kembali mendekat.
“Pake baju aja, ya. Kamu lagi masuk angin. Nanti tambah masuk angin kalau nggak pake baju,” perintahnya lembut.
Aku menatap nanar. Perhatian ini sungguh … apa namanya? Aku tidak tahu! Langka? Iya, langka!
“Ayo, angkat tangan,” ucapnya lagi.
Aku menurut saja. Aku angkat tanganku, lalu dia memasangkan baby doll di bagian atas tubuh.
“Aku pakein juga, ya?” tanya Mas Ricky meminta ijin untuk memakaikan aku celana dalam.
Aku hanya diam dan mengangguk. Ia tarik tubuhku sampai berdiri. Mas Ricky berjongkok di depan kakiku.
“Angkat kaki kananmu, Cha,” perintahnya lagi sambil tersenyum menatapku. “Sekarang kaki kiri.”
Tepat sebelum ia menarik celana dalam untuk menutupi sempurna kewanitaanku, ia mengecupnya lembut. Iya, dia kecup area di bawah pusarku.
“Sudah, Mas. Celana pendeknya aku pakai sendiri aja!” sergahku merasa risih, mengambil celana baby doll dari tangannya.
“Eits, tidak boleh! Kemarin aku sakit, kamu merawat aku. Sekarang kamu sakit, aku yang merawatmu. Ayo, angkat lagi kakimu!” tolaknya melempar senyum hangat.
Apa-apaan ini? Makhluk macam apa sebenarnya Mas Ricky? Kenapa dia bisa begitu perhatian padaku, tetapi juga menyebar perhatian pada yang lain?
“Udah, kamu tiduran dulu. Bentar ya, aku buatin teh panasnya.” Mas Ricky langsung keluar kamar menuju dapur.
Kami tinggal di rumah yang kecil. Hanya tipe 36 saja. Aku bisa mendengar suaranya sedang membuat teh di dapur.
Mataku berkaca-kaca. Ada perasaan bersalah karena sudah mengumpatnya di dalam hati, sementara dia begitu perhatian seperti ini.
Namun, ada juga sebagian hatiku yang masih tidak terima ia menyimpan foto-foto tersebut. Akan tetapi, tidak mungkin juga aku tanyakan perihal foto itu sekarang, bukan? Di saat ia sedang sangat perhatian seperti ini.
Aku semakin bingung! Tolong aku! Apa yang harus aku lakukan?
***
“Terus gimana akhirnya?” Mata Mbak Lelly memicing, penasaran dengan akhir cerita semalam.
Dia adalah teman satu kantorku. Kami bekerja di sebuah dealer mobil buatan Korea sebagai sales counter. Mbak Lelly sudah menikah lima tahun lebih dulu daripada aku. Nasehat-nasehatnya sering membantuku melewati banyak masalah.
“Aku diam aja, Mbak. Bingung aku, tuh. Cuman, gila banget! Duh, foto-foto si Tanti itu menjijikkan banget!” ratapku menggosok mata dengan kedua jari tangan.
“Jijik gimana?” Mbak Lelly semakin penasaran.
“Ya gitu itu! Tau nggak, sih, Mbak? Ada, loh, foto dia di atas kasur, nggak pake baju, terus kakinya dibuka gitu! Amit-amit! Mual aku, Mbak!”
“Hah? Jadi kayak pameran gitu? Pameran itunya?” pekik Mbak Lelly menolak untuk percaya.
“Iya! Makanya itu! Bayangin gimana aku nggak mau jerit-jerit semalam!” sahutku memijit kening yang mendadak terasa pening.
“Dih, Cha! Kamu liat itunya si Tanti berarti?” Mbak Lelly mendelik lalu menutup mulut dengan tangannya sendiri.
Mendadak, perutku kembali terasa diaduk-aduk. Mual mendera, tidak bisa tertahankan.
“Aku mau muntah!” jeritku berlari ke kamar mandi.
Apa aku ini kualat kepada Mas Ricky karena semalam pura-pura mual saat diajak bercinta? Sejak tadi pagi sampai sekarang menjelang siang, sudah tiga kali aku mau muntah sungguhan.
Anehnya, tidak ada yang bisa aku keluarkan. Sarapan tadi pagi masih bersarang di lambung. Hanya rasa mual saja yang terus mendera.
Selesai mencoba untuk muntah, aku berkaca di wastafel. Wajahku terlihat sangat pucat. Padahal, make up yang aku pakai cukup tebal.
“Cha, kapan kamu terakhir datang bulan?” tanya Mbak Lelly begitu aku kembali duduk di meja counter.
Aku terdiam, berusaha mengingat terakhir kali aku kedatangan tamu. Duh, kenapa aku jadi lupa?
“Aku nggak inget, Mbak. Kayaknya udah dua bulan ini, sih. Kenapa?”
Mbak Lelly tersenyum geli. “Udah, sana ke apotek seberang kantor. Beli test pack. Kayaknya aku mau punya keponakan, nih!”
Apa????
BERSAMBUNG
“Jangan becanda, Mbak! Aku lagi bad mood, loh!” tukasku cemberut.“Siapa juga yang becanda? Serius ini! Kamu udah dua bulan nggak haid, 'kan? Nggak KB juga, 'kan?” Mbak Lelly malah semakin tersenyum dengan mata berbinar.Aku terdiam. Jantungku seperti dipompa. Berdegup kencang sekali. Apa iya aku hamil secepat ini?“Tapi, aku masih nggak mau hamil dulu, Mbak,” jujurku menundukkan kepala.“Hah? Kenapa?” Mbak Lelly terkejut sampai tidak jadi menyesap white coffee kesukaannya.Aku diam sejenak. Masih ragu untuk mengatakannya. Apakah aku akan jadi orang yang bejat kalau kukatakan aku masih belum mau punya anak?“Kenapa, Cha? Ayo, cerita!” desak Mbak Lelly mencolek lenganku.Kuhela napas panjang. Sebenarnya masih enggak untuk bercerita. Akan tetapi, ah, sudahlah!“Aku … sempat punya pikiran mau cerai dari Mas Ricky. Kalau punya anak, nanti semakin susah cerainy
Mati aku! Benar kata Mbak Lelly! Aku hamil! Dua garis biru terlihat nyata di alat test pack. Pantas saja aku mual terus menerus. Lemas sudah tubuh ini. Kepala tertunduk lesu. Meratapi kenyataan.Hamil? Punya anak? Dengan kondisi Mas Ricky masih menebar pesona ke segala penjuru mata angin? Mampukah aku melewatinya?“Cha? Lama amat di kamar mandi? Ngapain?” Suara Mas Ricky berteriak dari luar. Ia menggedor-gedor kanar mandi.“Sakit perut! Sabar dikit, lah!” omelku masih mengusap-usap wajah dengan kedua telapak tangan.“Iya, aku sabar! Masalahnya aku juga kebelet pipis!” protesnya kembali.“Huuuh! Ngeganggu aja!”Kutekan tombol siram di kloset. Selesai membersihkan diri, kupakai kembali daster seksi berwarna merah muda pemberian Mas Ricky. Oleh-oleh dari Bali tiga minggu lalu saat ia rekreasi dengan teman kantornya.“Cha! Buruan!” teriak suamiku lagi.“Masih cuci mu
Mama Enik dan Dessy terlihat sangat sumringah mendapat paket tersebut. Aku cuma bisa melirik pada Mas Ricky. Protes dengan sikap ibu dan adiknya yang sangat tidak menghargai keberadaanku.Okelah mereka tidak suka padaku, tetapi apa iya harus seperti ini juga? Apa mereka tidak sadar aku tersinggung? Harusnya mereka lebih pro denganku, keluarga baru mereka. Bukan dengan Tanti, yang hanya sekedar mantan.Aku tidak tahan, aku harus bersuara meski sedikit. Kalau diam saja, nanti aku semakin dianggap tidak ada.“Oh, jadi Tanti masih suka kirim barang buat Mas Ricky ke alamat sini, ya, Ma?” tanyaku datar. Kupandang mereka dengan mata memicing. Kupastikan mereka tahu aku tersinggung.“Nggak, kok, Sayang. Tanti nggak pernah kirim apa-apa. Baru kali ini aja. Iya, kan, Ma?” jawab Mas Ricky mengamit tanganku. Ia tahu aku cemburu.“Buka dulu aja paketnya, Des!” perintah Mama Enik tidak menghiraukan pertanyaan maupun perasaank
“Cha? Kamu liat di mana nama Ardio Hendratmo?” desak Mas Ricky terus menerus.Aku melengos, berusaha cuek saja. “Tauk, lupa, Mas!” jawabku ketus. “Jawab dulu, Mas. Suaminya si Tanti bakal marah nggak kalau tahu kalian masih deketan?”“Kamu nggak hubungin Dio, kan?” tanya suamiku dengan wajah khawatir. "Kamu apa liat media sosialnya Tanti? Kamu stalking, ya?"Mas Ricky semakin terlihat khawatir. Aku juga semakin berpikir, kenapa dia takut sekali? Katanya cuma berteman? Bersahabat? Sampai kemarin bilang ke Tanti, "Salam untuk Dio."Aku kira, Mas Ricky kenal dengan Ardio, sampai titip salam begitu. Kenapa sekarang jadi panik begini? Sebenarnya bagaimana kisah mereka di waktu lalu? Aku semakin penasaran.“Dih, ngapain aku hubungan sama suami orang? Emangnya aku Tanti? Sorry, ya!” jawabku sinis. Kupastikan wajahku terlihat sinis supaya dia paham istrinya ini sedang cemburu lua
Lelaki yang bernama Pak Andre itu duduk di depan meja penerima tamu, persis di depanku. Ia memanggil namaku dengan lantang dan jelas.“Duduk,” pintanya. Heran melihatku masih berdiri.Aku melirik ke Mbak Lelly. Ya ampun! Dia sudah duduk juga ternyata. Kenapa aku terpaku, berdiri sendirian seperti orang bodoh? Gerutuku dalam hati.“Sudah jual berapa unit bulan ini?” tanya Pak Andre begitu aku duduk.“Lima, Pak.” Aku menjawab dengan bangga. Lumayan banyak jumlah itu untuk tipe mobil seperti yang kujual.“Saya dengar kamu top seller di sini. Bagus! Pertahankan, ya!” pesannya mengacungkan jempol.“Eh, iya. Makasih, Pak,” jawabku salah tingkah. Kenapa orang ini terlihat charming sekali? Sampai aku masih silau dan salah tingkah.“Ya, sudah. Saya ke atas dulu. Oh, ya. Kalau ada teman mau jadi sekretaris, boleh melamar. Saya cari sekretaris.”“Syaratnya apa,
“Ngapain direbut gitu HP-nya? Ayo, jawab! Siapa Iin?” tanyaku memakai nada tinggi. Beberapa orang di sekitar sampai melirik ke arah kami kemudian berghibah.Mas Ricky langsung mematikan layar ponsel dan berjalan menuju kasir, membayar semua makan malam dan kembali kepadaku. “Ayo, pulang! Malu-maluin aja kamu teriak-teriak!” desisnya menatapku kesal.Aku pun memberinya tatapan kesal dan marah. Apa dia pikir hanya dia yang bisa marah? Enak saja! Aku juga bisa marah! Kuhentakkan kaki menuju mobil. Pintu mobil kututup dengan cara membantingnya sekencang mungkin.“Woy! Copot itu pintu!” tegur Mas Ricky jengah denganku.“Biarin! Emang gue pikirin?” sahutku dengan judes yang semakin menjadi.Sambil menggelengkan kepala, Mas Ricky menyalakan mesin mobil dan segera meninggalkan warung bebek di belakang kami.“Siapa Iin?” tanyaku lagi semakin marah.“Teman kantor dulu, sebelum ak
Temani Pak Andre sarapan? Memangnya dia tidak ada teman lain selain aku? Eh, kenapa jadi GR begini akunya? Detik demi detik berlalu dengan aku masih membeku. Tidak tahu harus menjawab apa. Jadi gosip atau tidak kalau aku pergi dengannya?Sebuah mobil jaguar berwarna silver memasuki pelataran parkir. Pak Andre melihatnya dengan jengah. “Tidak jadi sarapan. Kalau ada yang cari, saya di ruang kerja, ya,” ucapnya datar kemudian kembali menaiki tangga dan menghilang ke lantai dua.Seorang wanita turun setelah supir membukakakan pintu. Wajahnya bagai artis korea. Sangat bening, sangat cantik. Tubuh tinggi semampai dan sangat seksi. Kedatangan memakai hem ketat press body berwarna hijau muda dengan rok span kain berwarna senada, sepanjang lutut. High heels sembilan sentimeter semakin memperjelas betapa elegan wanita ini.Sudah bisa jelas terlihat, dia orang kaya raya. Datang ke sini berarti hendak membeli mobil. Customer untukku! Dengan cepat, kurapikan pak
Sepasang manusia tanpa memakai sehelai kain pun sedang bermesraan di atas ranjang. Keduanya saling membelai tubuh satu sama lain. Sang lelaki sudah memakai cincin pernikahan di jemari manis, sementara sang wanita tidak memakai cincin serupa. Mereka baru saja selesai memadu kasih dua jam yang lalu. Setelah bercinta dengan panas, Ricky memesan makanan melalui room service. Keduanya makan, bahkan saling suap. Ciri khas seorang Ricky. Ia tidak memperbolehkan wanitanya memakai pakaian saat mereka berduaan. Sama seperti saat ia dengan Anissa di rumah. Ricky memangku Iin saat mereka melahap makan malam. Tubuh mereka berhadapan dengan posisi dada Iin tepat berada di depan wajah Ricky. Saat wanita itu menyuapi Ricky, sesekali tangan nakal si lelaki bergerilya ke dada montok kemudian meremasnya. Membuat Iin melenguh nikmat. Ingin membuat malam ini semakin liar, ia menggoda pacar gelapnya itu. Iin diminta untuk terus menyuapi sementara jari tengah Ricky bermain di sebua
Sepanjang hari aku gelisah. Sejak sore sudah berkali-kali memilih baju yang berbeda untuk dipakai bertemu Ardio dan Tanti di Tunjungan Plaza.Jelas, aku tidak mau terlihat kampungan atau jelek di hadapan wanita yang sudah merasakan tubuh suamiku. Jangan sampai dia mentertawakan aku yang tidak bisa dandan maksimal saat ke mall besar.Memoles make up minimalis dengan warna bibir agak cerah. Menampilkan manisnya wajah khas Jawa Timur. Mas Ricky selesai mandi dan menatapku tak berkedip ketika memasuki kamar. “Cantik banget kamu malam ini,” pujinya terdengar tulus. Dari sorot mata, aku tahu kalau dia merindukan kehangatanku.Salah sendiri membuang semua yang dia miliki bersamaku demi mengincipi aneka wanita di luar sana.“Hmm, iya, dong. Meskipun udah emak-emak, tetap harus cantik, kan?” Sekenanya aku menyahut.Obrolan yang kurasa aneh. Tidak ingin ada kedekatan seperti ini sebelumnya. Akan tetapi, harus berpura-pura supaya terlaksana pertemuan berempat.Mas Ricky mendekat. Berdiri di bel
Masih berdua dengan Ardio di café yang dingin. Ditemani musik sepoi-sepoi. Setiap dia berbicara, ekspresi wajahnya selalu menarik untuk dilihat.Gilalah aku yang terpesona dengan lelaki ini. Usianya mungkin berbeda sepuluh tahun lebih denganku. Dia terlihat begitu dewasa dan matang. “Cha! Ngelamun?” protes Ardio memanggil namaku.Sontak aku terbelalak. Terkejut dengan panggilan darinya. Aduh, apa dia tahu kalau aku baru saja memperhatikan wajahnya tanpa jeda?“Ngelamunin apaan, sih?” selidiknya lagi menundukkan kepala sedikit dan melirik padaku. “Ehm, enggak, kok. Sampai mana tadi?” kilahku tersenyum salah tingkah.“Sampai kita mau makan malam berdua, tapi kamu belum jawab mau apa enggak?” jawab Ardio menatapku lekat.“Hah? Apaan? Makan malam berdua?” pekikku makin terkejut. Apa segitu hilangnya aku tadi sampai tidak tahu kalau dia mengajak makan malam?Namun, Ardio terbahak. Dari nada tawanya aku tahu dia sedang mentertawakan aku. Ternyata,
Sudah hampir tengah malam dan aku masih tidak bisa memejamkan mata. Pikiranku terpaku dengan bagaimana kalau nanti kami berempat bertemu. Apakah akan ada masalah atau justru aku akan menikmati wajah Mas Ricky yang serba salah tingkah? Kalau dia bisa berlagak marah-marah di depan Pak Andre tadi, apa dia juga akan begitu di depan Ardio?Aku ingat, Mas Ricky takut sekali waktu dulu tahu aku buka-buka medsosnya Ardio. Kalau besok kami bertemu, setakut apa dia?Masih tidak bisa tidur dan mendengar suara gerbang dibuka. Mas Ricky memasukkan mobilnya ke dalam garasi. Aku pura-pura meram saja. Akan tetapi, mata ini tidak mau diajak kompromi.Aku tetap tidak bisa memejamkan mata. Membular dan membuka lebar. Sial! Makiku dalam hati. Mau apa terusan kalau sudah begini? Kunyalakan televisi saja. Pura-pura belum tidur karena menonton film.Mas Ricky membuka kamar dan langsung menatapku lirih. “Belum tidur?” sapanya hambar.Aku hanya mengangguk. Terlalu malas untuk
Aku tidak tahu kenapa semua jadi seperti ini. Berkumpul di rumah kemudian saling meneriaki satu sama lain. Kehadiran Mama Enik merubah ketenangan di rumah ini.“Istri kamu itu ajarin sopan santun, Ricky!” sembur Mama Enik mendelik kepadaku.“Jangan tuduh aku selingkuh sama Pak Andre. Mama kan nggak tahu apa-apa! Ngapain nuduh yang bukan-bukan?” Membela diri. Menolak untuk direndahkan begini.“Sudah, diam!” Mas Ricky terus saja membentakku.“Kamu yang diam! Kamu juga bikin malu di restoran tadi! Apa kamu lupa dia bosku? Aku sampai harus minta maaf langsung ke kantornya tadi siang!” “Iiih! Udah, Ric! Ceraikan saja Anissa yang udah berani banget marah-marah dan bentak-bentak kamu kayak gini!”Wanita tua itu terus saja memprovokasi. Namun, aku senang sajalah kalau memang semua harus berakhir malam ini. Paling tidak bukan aku yang membuat keputusannya. “Apa-apaan ini? Kok malah anak-anaknya disuruh cerai? Saya nggak terima!” Papa mulai unjuk suara.
Kenapa bisa ada tanaman diberi nama Lidah Mertua? Apakah mengacu pada mertua sejenis Mama Enik? Begitu tajam lidahnya menyayat hati kami. Wajah Papa langsung merah padam. Menahan malu dan marah. “Mbakyu, bicaranya kok ngawur? Saya sakit! Mau menginap semalam di sini supaya besok bisa ke rumah sakit dengan Anissa!” hardik Papa. Napasnya terlihat berat sampai tersengal.Mama mengelus-elus dada Papa. “Sabar, Pak. Sabar.” “Ma, ini rumah saya dan Mas Ricky. Tolong Mama jangan menghina Papa seperti itu. Tiap bulan Mas Ricky kirim uang ke mama juga saya nggak pernah protes!” sambungku emosi.“Heh! Ricky mau kasih saya itu suka-suka dia. Seorang ibu lebih berhak harta anaknya daripada istri! Ngerti nggak kamu? Saya cuman nggak mau uang Ricky habis karena harus menghidupi kalian para benalu!”“Ya Allah, Mbak! Istighfar! Saya di sini juga bantu Anissa ngejagain Rafi, cucu Mbak! Anaknya Ricky!” tangkis Mama setengah menangis. Dadaku bergemuruh kencang. Aku haru
Sepertinya hari ini akan jadi hari tersial dalam hidupku. Kalau tadi ribut dengan Mas Ricky, maka sekarang aku punya feeling kuat, bahwa aku akan diomeli Beverly.Wanita high class dengan kecantikan sempurna. Menatap tajam padaku. Bukan hanya tajam, tetapi juga merendahkan. Bibirnya berdecak. Meremehkan kehadiranku di ruangan tunangannya.“Saya permisi dul, Pak. Terima kasih untuk bantuannya,” ucapku pamit hendak meninggalkan ruangan.“Heh! Diam di situ. Bantuan apa? Dapat apa kamu dari calon suami aku?” hardik Beverly menghalangi langkahku keluar. Ia berdiri di belakang kursiku, dan mendorong pundak ini agar tidak terus bergerak keluar. “Maaf, saya hanya dibantu urusan pekerjaan dengan Pak Andre.” Aku menjawab dengan senyum miris. Berusaha terlihat natural, padahal jelas tidak mungkin.“Iya apa? Bantuan pekerjaan apa?” desak Beverly makin meninggikan suara.“Bev, what is wrong with you? Let her go!” perintah Pak Andre keberatan aku diperlakukan
Mendengar pertanyaan Mas Ricky, wajahku memanas. Menuduhku tidur dengan laki-laki lain. Ingin kutampar wajahnya. Tangan sudah gatal mau melayang. Namun, aku masih waras! Tidak boleh menyerang fisik. “Kalau iya, aku tidur dengan dia kenapa? Kamu juga tidur dengan Iin?" ejekku tersenyum sinis. Biar dia tahu rasa! “Jadi, beneran kamu balas dendam?” Napas Mas Ricky tersengal. Mata memerah dan melotot. Tangannya mencengkeram lenganku keras sekali. “Lepasin! Sakit!” rintihku meronta. Pak Andre bangkit dari kursi. Aku dan Mas Ricky jadi pusat perhatian di restoran mahal ini. Seseorang dari meja suamiku juga berdiri dan mulai mendekat. “Ada apa, ya? Tolong jangan kasar dengan wanita,” ingat Pak Andre dengan suara tenang. “Anissa itu istrimu. Jangan disakiti.” “Meski kamu bosnya Anissa, jangan ikut campur urusan rumah tanggaku! Ngapain kalian berduaan di sini? Hah?” hardik Mas Ricky melepaskan lenganku. Tubuh gagahnya dihadapkan pada Pak Andre. Wajah sengaja d
Aku masih berduaan dengan Pak Andre di Restoran Royal Canteen. Kadang dia menatapku dengan curi-curi pandang. Aku sendiri selalu menunduk kalau sorot mata kami bertemu.Suasana hening untuk beberapa detik. Membuat kikuk baik diriku maupun lelaki yang duduk di seberang. Melempar senyum, sembari melempar tatap ke arah lain. Apa-apaan ini? Aku tidak mau begini! “Ehm, apa kabar anakmu? Sehat?” Pak Andre memulai untuk meruntuhkan keheningan.“Baik, Pak!” jawabku bersemangat. Akhirnya kita mengobrol lagi dengan santai. Tanpa kikuk, tanpa salah tingkah. Pak Andre sih terlihat lumayan tenang. Akunya yang kebingungan sendiri. Susah memang kalau sudah GR. Lupa posisi! Mana mungkin lelaki macam Pak Andre bisa ada tertarik dengan emak beranak satu macam aku? Dia orang kaya raya. Pemilik belasan showroom mobil di Surabaya. Tunangannya sangat cantik dengan nama yang indah pula, Beverly. Sementara aku? Anissa! Byuh, bagai langit dan bumi! Khayal! Aku berkhayal.
“Ayolah, Cha! Kita bisa puas mempermainkan mereka kalau nanti ketemuan berempat,” rajuk Ardio berusaha meyakinkanku.“Kalau mereka curiga kita merencanakan ini semua gimana? Nanti ketahuan kan berabe?” Aku masih terus ragu.“Mereka curiga dengan kita? Ya, langsung saja kita bongkar semuanya! Bahwa mereka masih berhubungan!” kekeh Ardio santai.“Hmm, aku pikir dulu, boleh?” Belum bisa memastikan iya dan tidaknya.“Aku balik ke Jakarta besok lusa. Aku kasih kamu waktu untuk berpikir sampai besok, ya? Setelah itu kita langsung action kalau memang jawabanmu iya.”Aku mengangguk. Sebenarnya, aku juga mau melihat bagaimana ekspresi Mas Ricky dan Tanti kalau ketemuan berempat. Itu akan jadi balas dendam yang seru pastinya! Namun, aku tetap harus memikirkannya ulang.“Kamu naik apa ke sini?” tanya Ardio. Ia mengeluarkan sebuah kartu kredit. Rupanya pertemuan ini akan berakhir.“Taksi online. Kenapa?”“Aku antar pulang.”“Eh? Nggak usah, Mas. Aku