Mama Enik dan Dessy terlihat sangat sumringah mendapat paket tersebut. Aku cuma bisa melirik pada Mas Ricky. Protes dengan sikap ibu dan adiknya yang sangat tidak menghargai keberadaanku.
Okelah mereka tidak suka padaku, tetapi apa iya harus seperti ini juga? Apa mereka tidak sadar aku tersinggung? Harusnya mereka lebih pro denganku, keluarga baru mereka. Bukan dengan Tanti, yang hanya sekedar mantan.
Aku tidak tahan, aku harus bersuara meski sedikit. Kalau diam saja, nanti aku semakin dianggap tidak ada.
“Oh, jadi Tanti masih suka kirim barang buat Mas Ricky ke alamat sini, ya, Ma?” tanyaku datar. Kupandang mereka dengan mata memicing. Kupastikan mereka tahu aku tersinggung.
“Nggak, kok, Sayang. Tanti nggak pernah kirim apa-apa. Baru kali ini aja. Iya, kan, Ma?” jawab Mas Ricky mengamit tanganku. Ia tahu aku cemburu.
“Buka dulu aja paketnya, Des!” perintah Mama Enik tidak menghiraukan pertanyaan maupun perasaanku. Sungguh, wanit ini tega sekali padaku. Padahal, aku sedang mengandung cucunya, darah dagingnya sendiri.
“OMG! Aku dapat ponsel Samsung terbaru, Ma!” jerit Dessy luar biasa bahagia. Ia mengangkat kotak putih bertuliskan Samsung di depan. “Ini aku lihat kemarin di online, harganya empat juta lebih lho, Ma!” Dessy masih terus berteriak bahagia.
“Sabar, Sayang,” bisik Mas Ricky memeluk pinggangku dari belakang. Ia elus-elus perutku, mengingatkan bahwa aku sedang hamil dan tidak boleh emosi.
“Punya mama apaan, Des?” tanyaku pura-pura santai.
Dessy segera merobek pembungkus sebuah kotak berukuran sekitar dua puluh sentimeter.
“Wiiiih!” pekik Dessy memandang takjub pada benda di depannya.
Mama Enik langsung menghambur menuju putrinya. Matanya ikut takjub melihat apa yang mantan calon mantunya kirimkan.
Lama-lama penasaran juga. Aku berjalan menuju kotak heboh tersebut. Ah, aku pun jadi takjub dibuatnya. Sebuah tas pesta berlogo Michael Korz. Warna merah tua dengan hiasan butir-butir mengkilat seperti berlian.
“Ma, ada nota pembelian! Ditulisin sama Mbak Tanti, supaya tau kalau ini asli! Belinya di Tunjungan Plaza, Ma!” Fitri mengibaskan selembar kertas putih berisi deretan angka.
“Berapa harganya?” Mas Ricky ikut nimbrung.
“Delapan juta lima ratus ribu rupiah!” pekik Mama Enik melompat kegirangan, memeluk Desy.
Keduanya sangat heboh seperti dapat durian runtuh. Mereka dapat duriannya. Aku hanya dapat runtuhannya. Runtuhan hati, sakit sekali.
“Punya kamu apa, Mas?” gumamku semakin lemas.
Pikirku, hadiah Desy empat juta. Hadiah Mama Enik delapan juta, dua kali lipatnya. Apa hadiah untuk Mas Ricky juga dua kali lipat? Mungkinkah seharga enam belas juta?
“Kamu yang buka hadiah untukku. Kalau kamu nggak suka, kasihkan orang aja,” jawab Mas Ricky tersenyum.
Ia mengambil hadiah untuknya dan diserahkan padaku. “Ayo, buka.”
Dengan ragu dan sedikit malas aku buka hadiah untuk Mas Ricky. Kotaknya agak besar. Aku menduga isinya tas kerja. Supaya tiap hari suamiku bisa teringat akan dirinya. Dasar tidak tahu malu!
Benar saja. Sebuah tas kulit berwarna hitam. Ada logo Calvin Klein di depan. Aku cari kertas nota pembelian seperti punya Mama Enik. “Nih, harganya sepuluh juta. Enak banget, ya, punya mantan kayak Sinterklas?”
Aku ingin sekali mengambil gunting dan merobek tas mahal yang begitu indah ini.
"Cha," panggil Mas Ricky melihat raut wajahku berubah semakin mellow.
"Nih, dari mantan terindahmu!"
Kuberikan hadiah itu kepada Mas Ricky dengan kasar, lalu aku melangkah menuju ruang tamu. Terserahlah tiga orang itu mau berbuat apa. Mungkin mereka mau jingkrak-jingkrak kegirangan karena mendapat barang mewah. Aku tentunya tidak mau berada di sana melihat itu semua.
Mama Enik saling senggol siku dengan Dessy ketika aku melangkah ke ruang tamu. Dari sudut mata, bisa kulihat mereka berghibah tanpa suara. Jelas sedang membicarakan aku.
Kuhempaskan diri di sofa, memandang ke luar pintu. Nasib jelek sekali aku terjebak di dalam pernikahan seperti ini, batinku mengeluh. Berkali-kali menghela napas panjang. Mendengar Mama Enik dan Dessy tertawa bahagia di belakang sana.
“Cha? Aku kasihkan tasnya ke Didit,” ucap Mas Ricky kini duduk di sebelahku.
Didit adalah pacarnya Dessy. Memberikan tas itu ke Didit? Apa bukannya menggarami air laut?
“Ngasih tas harga sepuluh juta ke orang yang beli ponsel harga dua puluh juta kayak orang beli kacang goreng? Emang dia mau?” tanyaku sangsi.
Didit anak orang tajir melintir. Ayahnya punya pabrik besi yang cakupannya sampai ke luar negeri. Kuliahnya saja di Australia. Nasibnya Desy memang mujur. Mama Enik selalu membanggakan Didit sebagai calon mantu idaman. Ya sudahlah, suka-suka mereka.
Usia Desy masih tujuh belas tahun, belum boleh nikah. Dengar-dengar juga, Didit playboy kelas kakap. Kita lihat saja apa mereka bertahan sampai pernikahan sekian tahun dari sekarang? Dikira gampang menghadapi banyak wanita yang gatel ingin merebut pasangan kita?
“Nggak tau mau apa nggak. Pokoknya nggak aku ambil hadiahnya.” Mas Ricky merangkul pundakku. “Sabar, ya, Sayang. Nggak usah diambil hati kejadian ini.”
“Enak kamu ngomong gitu, Mas. Bukan kamu yang ada di posisiku. Besok coba deh aku deketan sama mantanku, ya. Si Yudha kan sering like medsos aku, tuh. Dia belum merid pula?” balasku sengaja mencari kerusuhan.
"Siapa tau, Yudha juga mau kasih hadiah buat aku, papa, dan mama?" sindirku tanpa jeda.
“Kok gitu sih, Cha? Kamu sengaja mau selingkuh sama si Yudha gitu?” gusar Mas Ricky menatap marah.
“Loh, kamu deketan sama Tanti nggak masalah. Aku nggak boleh protes. Kenapa kamu marah kalau aku deketan sama Yudha? Kan biar fair?”
“Terusin aja kayak gini. Aku samperin si Yudha lama-lama!”
“Aku samperin juga si Tanti lama-lama!”
Kami saling tatap dengan tajam. Dada kembang kempis menahan emosi masing-masing. Aku sampai menggigit bibir bawahku, menahan diri untuk tidak terus mengucap berbagai hal yang menyakitkan Mas Ricky.
“Heeey, udah nggak usah tengkar! Wanita hamil nggak boleh emosi! Kamu harus sabar, Anissa!” tegur Mama Enik ikut duduk di ruang tamu.
Aku diam saja. Kalau sudah tahu wanita hamil tidak boleh dibuat emosi, kenapa sengaja menerima hadiah dari Tanti di depanku? Sengaja apa sengaja kalau begitu namanya?
“Ayo, Ma! Aku sudah siap. Mama nggak ganti baju?” Dessy sekarang ikut nimbrung juga di ruang tamu. Dia sudah ganti pakaian, siap untuk jalan-jalan ke Malang.
Mama Enik cepat kembali ke kamar, berdandan. Untuk orang berusia enam puluh tahun, wanita itu doyan sekali berdandan. Padahal, apa iya masih mau memikat hati laki-laki di usia itu?
Mas Ricky memberi isyarat kepada Desy untuk meninggalkan kami sendiri. Adiknya paham, ia kemudian pura-pura ada perlu di kamar. Tinggalah kami berdua di ruang tamu.
“Tanti itu dulu memang dekat sekali dengan keluargaku, Cha. Pernah kami kesulitan keuangan, dia yang bantu sampai habis puluhan juta.” Mas Ricky mulai bercerita asal-usul hubungannya dengan sang mantan.
Aku diam dan menyimak meskipun dalam hati tetap tidak terima. Namanya sudah jadi mantan ya harusnya ada di masa lalu.
“Dessy sakit usus buntu parah. Rumah sakit penuh. Cuma ada kamar yang umum. Semua biaya ditanggung Tanti. Kami seperti hutang nyawa sama dia. Makanya Mama dan Dessy sampai sekarang masih berhubungan baik banget sama Tanti.”
“Suaminya tahu kalian masih hubungan baik? Protes kayak aku apa nggak itu si Ardio Hendratmo?” sindirku tidak mau membenarkan apa pun alasan kedekatan mereka.
“Kamu tahu dari mana nama lengkap suaminya Tanti?” tanya Mas Ricky kaget.
Duh, kan! Keceplosan! Aku jawab apa ini sekarang? Ketahuan deh kalau aku stalking media sosialnya perempuan gila itu.
BERSAMBUNG
“Cha? Kamu liat di mana nama Ardio Hendratmo?” desak Mas Ricky terus menerus.Aku melengos, berusaha cuek saja. “Tauk, lupa, Mas!” jawabku ketus. “Jawab dulu, Mas. Suaminya si Tanti bakal marah nggak kalau tahu kalian masih deketan?”“Kamu nggak hubungin Dio, kan?” tanya suamiku dengan wajah khawatir. "Kamu apa liat media sosialnya Tanti? Kamu stalking, ya?"Mas Ricky semakin terlihat khawatir. Aku juga semakin berpikir, kenapa dia takut sekali? Katanya cuma berteman? Bersahabat? Sampai kemarin bilang ke Tanti, "Salam untuk Dio."Aku kira, Mas Ricky kenal dengan Ardio, sampai titip salam begitu. Kenapa sekarang jadi panik begini? Sebenarnya bagaimana kisah mereka di waktu lalu? Aku semakin penasaran.“Dih, ngapain aku hubungan sama suami orang? Emangnya aku Tanti? Sorry, ya!” jawabku sinis. Kupastikan wajahku terlihat sinis supaya dia paham istrinya ini sedang cemburu lua
Lelaki yang bernama Pak Andre itu duduk di depan meja penerima tamu, persis di depanku. Ia memanggil namaku dengan lantang dan jelas.“Duduk,” pintanya. Heran melihatku masih berdiri.Aku melirik ke Mbak Lelly. Ya ampun! Dia sudah duduk juga ternyata. Kenapa aku terpaku, berdiri sendirian seperti orang bodoh? Gerutuku dalam hati.“Sudah jual berapa unit bulan ini?” tanya Pak Andre begitu aku duduk.“Lima, Pak.” Aku menjawab dengan bangga. Lumayan banyak jumlah itu untuk tipe mobil seperti yang kujual.“Saya dengar kamu top seller di sini. Bagus! Pertahankan, ya!” pesannya mengacungkan jempol.“Eh, iya. Makasih, Pak,” jawabku salah tingkah. Kenapa orang ini terlihat charming sekali? Sampai aku masih silau dan salah tingkah.“Ya, sudah. Saya ke atas dulu. Oh, ya. Kalau ada teman mau jadi sekretaris, boleh melamar. Saya cari sekretaris.”“Syaratnya apa,
“Ngapain direbut gitu HP-nya? Ayo, jawab! Siapa Iin?” tanyaku memakai nada tinggi. Beberapa orang di sekitar sampai melirik ke arah kami kemudian berghibah.Mas Ricky langsung mematikan layar ponsel dan berjalan menuju kasir, membayar semua makan malam dan kembali kepadaku. “Ayo, pulang! Malu-maluin aja kamu teriak-teriak!” desisnya menatapku kesal.Aku pun memberinya tatapan kesal dan marah. Apa dia pikir hanya dia yang bisa marah? Enak saja! Aku juga bisa marah! Kuhentakkan kaki menuju mobil. Pintu mobil kututup dengan cara membantingnya sekencang mungkin.“Woy! Copot itu pintu!” tegur Mas Ricky jengah denganku.“Biarin! Emang gue pikirin?” sahutku dengan judes yang semakin menjadi.Sambil menggelengkan kepala, Mas Ricky menyalakan mesin mobil dan segera meninggalkan warung bebek di belakang kami.“Siapa Iin?” tanyaku lagi semakin marah.“Teman kantor dulu, sebelum ak
Temani Pak Andre sarapan? Memangnya dia tidak ada teman lain selain aku? Eh, kenapa jadi GR begini akunya? Detik demi detik berlalu dengan aku masih membeku. Tidak tahu harus menjawab apa. Jadi gosip atau tidak kalau aku pergi dengannya?Sebuah mobil jaguar berwarna silver memasuki pelataran parkir. Pak Andre melihatnya dengan jengah. “Tidak jadi sarapan. Kalau ada yang cari, saya di ruang kerja, ya,” ucapnya datar kemudian kembali menaiki tangga dan menghilang ke lantai dua.Seorang wanita turun setelah supir membukakakan pintu. Wajahnya bagai artis korea. Sangat bening, sangat cantik. Tubuh tinggi semampai dan sangat seksi. Kedatangan memakai hem ketat press body berwarna hijau muda dengan rok span kain berwarna senada, sepanjang lutut. High heels sembilan sentimeter semakin memperjelas betapa elegan wanita ini.Sudah bisa jelas terlihat, dia orang kaya raya. Datang ke sini berarti hendak membeli mobil. Customer untukku! Dengan cepat, kurapikan pak
Sepasang manusia tanpa memakai sehelai kain pun sedang bermesraan di atas ranjang. Keduanya saling membelai tubuh satu sama lain. Sang lelaki sudah memakai cincin pernikahan di jemari manis, sementara sang wanita tidak memakai cincin serupa. Mereka baru saja selesai memadu kasih dua jam yang lalu. Setelah bercinta dengan panas, Ricky memesan makanan melalui room service. Keduanya makan, bahkan saling suap. Ciri khas seorang Ricky. Ia tidak memperbolehkan wanitanya memakai pakaian saat mereka berduaan. Sama seperti saat ia dengan Anissa di rumah. Ricky memangku Iin saat mereka melahap makan malam. Tubuh mereka berhadapan dengan posisi dada Iin tepat berada di depan wajah Ricky. Saat wanita itu menyuapi Ricky, sesekali tangan nakal si lelaki bergerilya ke dada montok kemudian meremasnya. Membuat Iin melenguh nikmat. Ingin membuat malam ini semakin liar, ia menggoda pacar gelapnya itu. Iin diminta untuk terus menyuapi sementara jari tengah Ricky bermain di sebua
“Iya, buka bajumu! Aku kangen banget!” ulangnya memintaku untuk melakukan sesuatu yang sama sekali tidak ada di dalam pikiran. Aku menggelengkan kepala. “Apa-apaan? Malu, ah!” tolakku. “Ngapain malu? Kita kan udah nikah, Beb? Justru kayak begini ini semakin mempererat cinta kita,” rayunya begitu maut. “Ayoooo, please? Aku mau liat buah dada montok istriku!” pintanya terus memasang wajah melas. “Nggak mau! Kalau mau liat ya entar aja waktu pulang! Dah, sana tidur!” Aku tetap menolak. Risih sekali rasanya kalau aku harus melakukan apa yang dia minta. “Yah, kamu itu. Nyenengin suami pahalanya besar, loh!” gerutunya cemberut. “Banyak cara bikin kamu senang. Nih! Yang ada di perut aku emangnya nggak bikin kamu senang?” tukasku membalas omongannya. “He he he, seneng banget kalau itu. Jadi makin kangen! Tunggu, ya, besok lusa aku pulang, Beb.” “Hmm. Udah sana tidur! Besok kan harus pagi?” “Iya, Mama,” Mas Ricky bercanda dengan
Wajah Mas Ricky langsung kaget ketika aku menanyakan asal usul ucapan nakalnya itu. Jelas saja dia kaget karena aku pun kaget. Kita sama-sama kaget! Gila benar, dari mana dia tahu adegan minta ampun seperti itu? Aku butuh jawaban! Dan aku butuh sekarang!“Jawab, Mas!” teriakku parau.“Apaan, sih? Pertanyaanmu selalu menuduh aku berselingkuh!” jawabnya ketus.“Tinggal jawab kenapa repot amat? Tinggal bilang kamu tahu dari mana segala enak sampai minta ampun?” desakku terus.“Iya … dari … ehm … aku kadang nonton film … itulah! Tau kan? Film dewasa!” jelas Mas Ricky malah menyeringai mesum.Keningku mengernyit. Iya, aku sendiri juga pernah melihat film dewasa, tetapi hanya sedikit-sedikit. Apa iya sampai minta ampun? Perasaan cuma mendesah teriak-teriak saja? Ih, yang bener seperti apa? Aku semakin bingung.Mas Ricky menggeser duduknya, semakin mendekatiku. “Udah
“Kamu ada tabungan bonus, Mas?” tanyaku setengah tidak percaya. “Sejak kapan?”“Udah lama, kenapa?” jawab Mas Ricky balik bertanya.“Kok aku nggak pernah tau? Di rekening apa?” desakku makin panik. Kenapa dia memiliki rekening bank yang sama sekali tidak kuketahui? “Berapa jumlah saldonya?”“Lumayan, rasanya cukup untuk nutupi kekurangan opname Papa.”“Lumayan berapa? Puluhan? Ratusan? Berapa, Mas?”“Kamu kenapa, sih? Kok malah marah dengar aku punya tabungan?”“Karena aku sama sekali tidak tau! Apa lagi yang kamu sembunyikan dari aku?” rintihku menangis.“Icha, kamu kenapa? Aku heran, ya, sama kamu! Tabungan itu buat kita. Masa depan kita. Kamu, aku, dan anak-anak! Kenapa jadi masalah?” Mas Ricky mulai kesal, membuatku terhenyak mendengar ucapannya. Masa depan kami?Mama mendekat. Sepertinya dari kejauhan ia
Sepanjang hari aku gelisah. Sejak sore sudah berkali-kali memilih baju yang berbeda untuk dipakai bertemu Ardio dan Tanti di Tunjungan Plaza.Jelas, aku tidak mau terlihat kampungan atau jelek di hadapan wanita yang sudah merasakan tubuh suamiku. Jangan sampai dia mentertawakan aku yang tidak bisa dandan maksimal saat ke mall besar.Memoles make up minimalis dengan warna bibir agak cerah. Menampilkan manisnya wajah khas Jawa Timur. Mas Ricky selesai mandi dan menatapku tak berkedip ketika memasuki kamar. “Cantik banget kamu malam ini,” pujinya terdengar tulus. Dari sorot mata, aku tahu kalau dia merindukan kehangatanku.Salah sendiri membuang semua yang dia miliki bersamaku demi mengincipi aneka wanita di luar sana.“Hmm, iya, dong. Meskipun udah emak-emak, tetap harus cantik, kan?” Sekenanya aku menyahut.Obrolan yang kurasa aneh. Tidak ingin ada kedekatan seperti ini sebelumnya. Akan tetapi, harus berpura-pura supaya terlaksana pertemuan berempat.Mas Ricky mendekat. Berdiri di bel
Masih berdua dengan Ardio di café yang dingin. Ditemani musik sepoi-sepoi. Setiap dia berbicara, ekspresi wajahnya selalu menarik untuk dilihat.Gilalah aku yang terpesona dengan lelaki ini. Usianya mungkin berbeda sepuluh tahun lebih denganku. Dia terlihat begitu dewasa dan matang. “Cha! Ngelamun?” protes Ardio memanggil namaku.Sontak aku terbelalak. Terkejut dengan panggilan darinya. Aduh, apa dia tahu kalau aku baru saja memperhatikan wajahnya tanpa jeda?“Ngelamunin apaan, sih?” selidiknya lagi menundukkan kepala sedikit dan melirik padaku. “Ehm, enggak, kok. Sampai mana tadi?” kilahku tersenyum salah tingkah.“Sampai kita mau makan malam berdua, tapi kamu belum jawab mau apa enggak?” jawab Ardio menatapku lekat.“Hah? Apaan? Makan malam berdua?” pekikku makin terkejut. Apa segitu hilangnya aku tadi sampai tidak tahu kalau dia mengajak makan malam?Namun, Ardio terbahak. Dari nada tawanya aku tahu dia sedang mentertawakan aku. Ternyata,
Sudah hampir tengah malam dan aku masih tidak bisa memejamkan mata. Pikiranku terpaku dengan bagaimana kalau nanti kami berempat bertemu. Apakah akan ada masalah atau justru aku akan menikmati wajah Mas Ricky yang serba salah tingkah? Kalau dia bisa berlagak marah-marah di depan Pak Andre tadi, apa dia juga akan begitu di depan Ardio?Aku ingat, Mas Ricky takut sekali waktu dulu tahu aku buka-buka medsosnya Ardio. Kalau besok kami bertemu, setakut apa dia?Masih tidak bisa tidur dan mendengar suara gerbang dibuka. Mas Ricky memasukkan mobilnya ke dalam garasi. Aku pura-pura meram saja. Akan tetapi, mata ini tidak mau diajak kompromi.Aku tetap tidak bisa memejamkan mata. Membular dan membuka lebar. Sial! Makiku dalam hati. Mau apa terusan kalau sudah begini? Kunyalakan televisi saja. Pura-pura belum tidur karena menonton film.Mas Ricky membuka kamar dan langsung menatapku lirih. “Belum tidur?” sapanya hambar.Aku hanya mengangguk. Terlalu malas untuk
Aku tidak tahu kenapa semua jadi seperti ini. Berkumpul di rumah kemudian saling meneriaki satu sama lain. Kehadiran Mama Enik merubah ketenangan di rumah ini.“Istri kamu itu ajarin sopan santun, Ricky!” sembur Mama Enik mendelik kepadaku.“Jangan tuduh aku selingkuh sama Pak Andre. Mama kan nggak tahu apa-apa! Ngapain nuduh yang bukan-bukan?” Membela diri. Menolak untuk direndahkan begini.“Sudah, diam!” Mas Ricky terus saja membentakku.“Kamu yang diam! Kamu juga bikin malu di restoran tadi! Apa kamu lupa dia bosku? Aku sampai harus minta maaf langsung ke kantornya tadi siang!” “Iiih! Udah, Ric! Ceraikan saja Anissa yang udah berani banget marah-marah dan bentak-bentak kamu kayak gini!”Wanita tua itu terus saja memprovokasi. Namun, aku senang sajalah kalau memang semua harus berakhir malam ini. Paling tidak bukan aku yang membuat keputusannya. “Apa-apaan ini? Kok malah anak-anaknya disuruh cerai? Saya nggak terima!” Papa mulai unjuk suara.
Kenapa bisa ada tanaman diberi nama Lidah Mertua? Apakah mengacu pada mertua sejenis Mama Enik? Begitu tajam lidahnya menyayat hati kami. Wajah Papa langsung merah padam. Menahan malu dan marah. “Mbakyu, bicaranya kok ngawur? Saya sakit! Mau menginap semalam di sini supaya besok bisa ke rumah sakit dengan Anissa!” hardik Papa. Napasnya terlihat berat sampai tersengal.Mama mengelus-elus dada Papa. “Sabar, Pak. Sabar.” “Ma, ini rumah saya dan Mas Ricky. Tolong Mama jangan menghina Papa seperti itu. Tiap bulan Mas Ricky kirim uang ke mama juga saya nggak pernah protes!” sambungku emosi.“Heh! Ricky mau kasih saya itu suka-suka dia. Seorang ibu lebih berhak harta anaknya daripada istri! Ngerti nggak kamu? Saya cuman nggak mau uang Ricky habis karena harus menghidupi kalian para benalu!”“Ya Allah, Mbak! Istighfar! Saya di sini juga bantu Anissa ngejagain Rafi, cucu Mbak! Anaknya Ricky!” tangkis Mama setengah menangis. Dadaku bergemuruh kencang. Aku haru
Sepertinya hari ini akan jadi hari tersial dalam hidupku. Kalau tadi ribut dengan Mas Ricky, maka sekarang aku punya feeling kuat, bahwa aku akan diomeli Beverly.Wanita high class dengan kecantikan sempurna. Menatap tajam padaku. Bukan hanya tajam, tetapi juga merendahkan. Bibirnya berdecak. Meremehkan kehadiranku di ruangan tunangannya.“Saya permisi dul, Pak. Terima kasih untuk bantuannya,” ucapku pamit hendak meninggalkan ruangan.“Heh! Diam di situ. Bantuan apa? Dapat apa kamu dari calon suami aku?” hardik Beverly menghalangi langkahku keluar. Ia berdiri di belakang kursiku, dan mendorong pundak ini agar tidak terus bergerak keluar. “Maaf, saya hanya dibantu urusan pekerjaan dengan Pak Andre.” Aku menjawab dengan senyum miris. Berusaha terlihat natural, padahal jelas tidak mungkin.“Iya apa? Bantuan pekerjaan apa?” desak Beverly makin meninggikan suara.“Bev, what is wrong with you? Let her go!” perintah Pak Andre keberatan aku diperlakukan
Mendengar pertanyaan Mas Ricky, wajahku memanas. Menuduhku tidur dengan laki-laki lain. Ingin kutampar wajahnya. Tangan sudah gatal mau melayang. Namun, aku masih waras! Tidak boleh menyerang fisik. “Kalau iya, aku tidur dengan dia kenapa? Kamu juga tidur dengan Iin?" ejekku tersenyum sinis. Biar dia tahu rasa! “Jadi, beneran kamu balas dendam?” Napas Mas Ricky tersengal. Mata memerah dan melotot. Tangannya mencengkeram lenganku keras sekali. “Lepasin! Sakit!” rintihku meronta. Pak Andre bangkit dari kursi. Aku dan Mas Ricky jadi pusat perhatian di restoran mahal ini. Seseorang dari meja suamiku juga berdiri dan mulai mendekat. “Ada apa, ya? Tolong jangan kasar dengan wanita,” ingat Pak Andre dengan suara tenang. “Anissa itu istrimu. Jangan disakiti.” “Meski kamu bosnya Anissa, jangan ikut campur urusan rumah tanggaku! Ngapain kalian berduaan di sini? Hah?” hardik Mas Ricky melepaskan lenganku. Tubuh gagahnya dihadapkan pada Pak Andre. Wajah sengaja d
Aku masih berduaan dengan Pak Andre di Restoran Royal Canteen. Kadang dia menatapku dengan curi-curi pandang. Aku sendiri selalu menunduk kalau sorot mata kami bertemu.Suasana hening untuk beberapa detik. Membuat kikuk baik diriku maupun lelaki yang duduk di seberang. Melempar senyum, sembari melempar tatap ke arah lain. Apa-apaan ini? Aku tidak mau begini! “Ehm, apa kabar anakmu? Sehat?” Pak Andre memulai untuk meruntuhkan keheningan.“Baik, Pak!” jawabku bersemangat. Akhirnya kita mengobrol lagi dengan santai. Tanpa kikuk, tanpa salah tingkah. Pak Andre sih terlihat lumayan tenang. Akunya yang kebingungan sendiri. Susah memang kalau sudah GR. Lupa posisi! Mana mungkin lelaki macam Pak Andre bisa ada tertarik dengan emak beranak satu macam aku? Dia orang kaya raya. Pemilik belasan showroom mobil di Surabaya. Tunangannya sangat cantik dengan nama yang indah pula, Beverly. Sementara aku? Anissa! Byuh, bagai langit dan bumi! Khayal! Aku berkhayal.
“Ayolah, Cha! Kita bisa puas mempermainkan mereka kalau nanti ketemuan berempat,” rajuk Ardio berusaha meyakinkanku.“Kalau mereka curiga kita merencanakan ini semua gimana? Nanti ketahuan kan berabe?” Aku masih terus ragu.“Mereka curiga dengan kita? Ya, langsung saja kita bongkar semuanya! Bahwa mereka masih berhubungan!” kekeh Ardio santai.“Hmm, aku pikir dulu, boleh?” Belum bisa memastikan iya dan tidaknya.“Aku balik ke Jakarta besok lusa. Aku kasih kamu waktu untuk berpikir sampai besok, ya? Setelah itu kita langsung action kalau memang jawabanmu iya.”Aku mengangguk. Sebenarnya, aku juga mau melihat bagaimana ekspresi Mas Ricky dan Tanti kalau ketemuan berempat. Itu akan jadi balas dendam yang seru pastinya! Namun, aku tetap harus memikirkannya ulang.“Kamu naik apa ke sini?” tanya Ardio. Ia mengeluarkan sebuah kartu kredit. Rupanya pertemuan ini akan berakhir.“Taksi online. Kenapa?”“Aku antar pulang.”“Eh? Nggak usah, Mas. Aku