“Ngapain direbut gitu HP-nya? Ayo, jawab! Siapa Iin?” tanyaku memakai nada tinggi. Beberapa orang di sekitar sampai melirik ke arah kami kemudian berghibah.
Mas Ricky langsung mematikan layar ponsel dan berjalan menuju kasir, membayar semua makan malam dan kembali kepadaku. “Ayo, pulang! Malu-maluin aja kamu teriak-teriak!” desisnya menatapku kesal.
Aku pun memberinya tatapan kesal dan marah. Apa dia pikir hanya dia yang bisa marah? Enak saja! Aku juga bisa marah! Kuhentakkan kaki menuju mobil. Pintu mobil kututup dengan cara membantingnya sekencang mungkin.
“Woy! Copot itu pintu!” tegur Mas Ricky jengah denganku.
“Biarin! Emang gue pikirin?” sahutku dengan judes yang semakin menjadi.
Sambil menggelengkan kepala, Mas Ricky menyalakan mesin mobil dan segera meninggalkan warung bebek di belakang kami.
“Siapa Iin?” tanyaku lagi semakin marah.
“Teman kantor dulu, sebelum aku pindah ke Bank Dana yang sekarang,” jawabnya sok santai. Padahal, aku bisa melihat wajahnya tegang.
“Kenapa chat sebelumnya nggak ada? Ngaku! Kamu hapus ‘kan?” tuduhku langsung to the point.
“Sok tau! Kamu tuh asal aja kalau ngomong!”
“Terus mana chatnya?”
“Emang nggak ada, kok! Itu dia paling salah chat aja ke aku!”
“Mana mungkin? Dia panggil kamu Say gitu, kok! Salah sambung apanya?”
“Terserah mau percaya apa nggak! Kamu itu selalu tuduh aku selingkuh! Sekali-sekali percaya sama aku kenapa, sih?” bentaknya mulai emosi.
Aku mendelik. Percaya sama dia? Gimana mau percaya kalau isi ponselnya aja seperti itu! Perempuan cantik mulai dari yang pakai baju sampai telanjang bulat. Gila apa?
Kuatur napas sebelum menumpahkan rasa jengkel. “Mas! Aku ini disuruh percaya gimana? Kamu baik banget sama Tanti, mantanmu! Terus sekarang, kamu di w* si Iin, dibilang Say? Aku harus mikir apa?”
“Ya, mikir positif apaan, kek? Aku ini suamimu! Jangan dituduh terus!”
“Hey, aku ini sudah positif! Saking positifnya sampai udah sebulan usia anak kita! Kurang positif apa coba?” amukku malah semakin tidak karuan bicaranya.
“Aku capek banget tau nggak sama kamu! Sejak nikah, malam pertama isinya marah dan cemburu terus! Maumu apa, sih, Cha?” Suara Mas Ricky semakin meninggi, berbarengan dengan matanya yang menatapku kesal.
“Mauku kamu berhenti terima cewek-cewek yang gatel pengen ambil kamu dariku! Aku juga capek, tau nggak? Sejak nikah, malam pertama udah dapat gangguan dari dayang-dayangmu!” balasku mengamuk tak kalah sengit.
Mas Ricky terdiam. Hanya napasnya saja terdengar memburu. Pundaknya kembang kempis menahan luapan emosi dalam dirinya. Apa-apaan coba? Dia yang simpan foto Tanti, dia yang dipanggil “Say” oleh perempuan lain, dia juga yang marah-marah?
Aku membuang pandang ke luar jendela. Sepasang kekasih menaiki sepeda motor melintas di sebelah mobil. Lagi-lagi aku iri melihat mereka sangat bahagia. Perempuannya memeluk dari belakang, semntara si lelaki menggenggam erat tangan kekasihnya di pinggang.
“Terus kita harus gimana kalau begini, Cha? Kamu cemburu terus pa—”
“Padahal kamu nggak berbuat apa-apa? Huh, yang benar aja?” potongku malas mendengar sisa omongannya.
“Mana buktinya kalau aku selingkuh?”
“Ya, kamu udah hapusin semua. Mana bisa aku buktiin?” ocehku asal bicara.
“Apa yang aku hapus?”
“Chat, gambar, call log, entah apa lagi, Mas. Males mikir aku!” desisku sudah sangat lelah.
"Gambar apaan?" Mas Ricky mendelik.
Aduh! Hampir saja keceplosan lagi. Aku diam saja. Kalau diteruskan, nanti bisa-bisa aku jujur mengatakan kalau aku obrak-abrik ponselnya tiap malam.
Mas Ricky kembali menatap jalanan. Ia terlihat sangat emosi sampai beberapa kali memukuli setir mobil. Meski pukulannya pelan, aku tetap saja kaget. Baru kali ini kulihat dia semarah itu.
Akhirnya sepanjang jalan sampai ke rumah kami tidak saling tegur sapa. Semua karena seorang wanita bernama Iin yang katanya salah kirim chat. Memangnya aku anak TK yang bisa percaya begitu saja?
***
“Minggir!” omelku masih terus berlanjut mendorong tubuh Mas Ricky dari sisi ranjang sebelah kiri, tempatku tidur.
Suamiku hanya berdehem panjang dan kembali menggelengkan kepala. Seolah dia benar-benar tak percaya aku bersikap seperti ini.
Padahal, aku juga tidak percaya dia bersikap seperti itu. Jelas-jelas ada yang panggil mesra dengan chat terhapus, masih saja tidak mau mengakui.
“Cha, aku besok ke luar kota tiga hari. Mau ke Malang, Madiun, Magetan,” ucapnya di antara helaan napas panjang.
Ya Allah, dia mau ke luar kota? Pasti dia akan bebas dariku! Mas Ricky akan merdeka berhubungan dengan para dayang-dayang pemujanya. Lalu, bagaimana denganku?
Seketika, aku merasa seperti seonggok kardus bekas yang ditaruh di pojok rumah. Berdebu dan usang. Hanyalah seorang wanita hamil yang pencemburu.
“Sama siapa aja?” tanyaku pura-pura tenang.
“Ya sama orang kantor, lah. Masak sama selingkuhanku?” sindirnya ketus.
Aku lempar bantal persis kena wajahnya. Sukurin, dia kaget sekali.
“Apa-apaan, Cha?” teriaknya melempar bantal itu kembali padaku dan mengenai wajahku. “Sukurin!” celetuknya terkekeh.
Ih, kenapa bisa sama kalimatnya dengan suara batinku?
Aku diam saja. Malas menanggapi. Badanku terasa lemas sekali dengan kaki yang nyeri. Perubahan mood dan fisik ini kata dokter Ratna wajar karena aku sedang hamil. Ah, dokter itu tidak tahu aku bad mood karena suamiku tidak jelas kesetiannya.
“Cha, Sayangku. Sini, dong,” rayu Mas Ricky merayap, mendekatiku.
“Males! Sana deket-deket sama Tanti apa sama si Iin aja!” tolakku cemberut.
“Nggak mau, ah. Nggak halal. Sama kamu aja yang udah pasti halal dan bawa rejeki,” bisiknya menangkup tubuhku ke dalam pelukan hangat tangannya.
“Udah tau aku halal, ngapain masih nanggepin yang nggak halal? Mbok ya uwes, anteng sama aku, gitu loh!” sahutku dengan logat khas Suroboyoan.
“I love you, Cha,” desahnya langsung melahap bibirku.
Ia menaiki tubuhku perlahan. Tangannya bergerilya ke balik daster batik, menyentuh titik-titik sensitif. “Mmmh … sssh ….” Aku mulai meracau tidak karuan karena area sensitif kewanitaan disentuh oleh jari-jari tebalnya.
“Nanti aku pergi tiga hari, jaga diri, ya. Jangan naik gojek, naik go car aja,” pesan Mas Ricky masih menciumi wajah dan leherku.
“Aku minta anter Dadang aja!” Kusebut nama rekan kerja yang sepertinya ada hati denganku karena sering membawakan jajan makanan. “Paling nanti diajak makan ke Solaria,” lanjutku sengaja membuat ia cemburu.
“Terusin!”sahutnya kesal. Namun, semakin ia kesal, semakin ia bernafsu. “Buka dastermu, Sayang,” pinta Mas Ricky menatap sayu.
“Bukain,” rajukku manja.
“Siap!” sambutnya langsung melucuti.
Mata tertutup dan membiarkan ia bermain di antara wahana tubuh lelahku. Bisa kurasakan ada sesuatu yang mengeras di bawah sana. Disentuhkan kepada bagian terintim. Membuatku menggelinjang dan berharap lebih.
“Sssh, Mas … aduuuuuuh!” Lenguhan panjang dari mulutku membahana.
“Enak, kan?” godanya berhenti melakukan apa pun itu yang sedang ia lakukan.
Aku membuka mata, menatapnya protes. Berhenti di saat birahiku sedang naik adalah menyebalkan.
“Enak, nggak?” tanyanya lagi dengan wajah mesum dan nakal. “Jawab dulu, baru aku lanjutin,” syaratnya menyentuhkan telunjuk di bibirku.
“Ya, enak, Mas. Lanjutin, dong!” Aku memelas.
Mas Ricky terkekeh bangga. Ia langsung menerkamku, menindih, dan memeluk erat. “Love you, Mamanya anak-anak!” bisiknya membuat jantungku berdetak kencang.
Mamanya anak-anak? Kenapa terdengar indah sekali di telingaku. Aku dan dia, menjadi orang tua.
Aaaarrggghhh! Aku kalah lagi dengan perasaanku sendiri. Merasakan sentuhan Mas Ricky selalu membuatku enak dan nyaman, entah kenapa. Sedemikian dalamkah aku mencintainya?
***
Mesin pendingin udara di belakangku terasa sangat dingin pagi ini. Sepertinya kehamilan membuatku semakin ringkih. Aku sampai menggigil padahal sudah kubuat 27°. Suhu yang paling tinggi.
Seandainya Mbak Lelly ada di sini mungkin aku sudah meminjam jaket yang biasa ia sampirkan di kursi kerjanya. Namun, sahabatku itu sedang sakit flu berat sehingga ia ijin tidak masuk kantor.
Pikiran masih melayang kepada dua nama. Tanti dan Iin. Jujur saja, aku mulai galau. Termakan ucapan Mas Ricky bahwa aku selalu mencurigai dia. Terpengaruh ucapan Mbak Lelly bahwa mungkin saja suamiku sudah tobat sehingga foto dan video itu dia hapus selamanya.
Pikiran cerai masih sesekali melintas, meski durasinya semakin jarang. Kini, setiap ingatan pose syur Tanti kembali, dan keinginan cerai menguat, aku mengelus perutku. Ada anak Mas Ricky di dalam situ. Benarkah cerai menjadi solusi?
Kalau memang itu yang terjadi, bahwa semua baik-baik saja, berarti benarlah aku hanya seorang istri pencemburu, bukan? Kupandangi nanar ponsel di genggaman. Melihat posisi suamiku sedang online saja telah membuatku tidak tenang. Apakah ia sedang berhubungan dengan dua nama tadi, atau dia sedang kerja betulan?
Suara bariton berat tiba-tiba menyapaku. “Kamu sendirian, Anissa?”
Aku menoleh. Buset! Pak Andre sudah duduk di sebelahku, di kursinya Mbak Lelly.
“I-iya, Pak,” jawabku tergagap. Jaraknya denganku hanya sekitar setengah meter. Bau parfum mahalnya saja sudah masuk ke dalam hidungku. So maskulin!
“Where’s Lelly?” tanya Pak Andre.
“She is sick, Sir,” jawabku menerangkan bahwa Mbak Lelly sedang sakit.
“Ooo,” gumamnya menganggukkan kepala.
Kami terdiam. Aduh, Mak! Kenapa jadi canggung begini sih perasaanku? Buat apa juga lelaki ngganteng ini tiba-tiba turun dan duduk di sampingku? Kalau aku GR, bagaimana?
Pak Andre menoleh padaku, kemudian tersenyum. “Sudah sarapan?”
Aku melongo. Pertanyaan yang … entah yang apa. Ada, ya? Bos menanyakan apakah bawahannya sudah sarapan atau belum?
Anggukan dan senyuman kuberikan sebagai jawaban. “Bapak sendiri?”
“Nope! Tidak sempat.”
Kasihan amat, dia tidak sempat sarapan. Belum punya istri apa ya? Sehingga tidak ada yang menyiapkan segala kebutuhan. Kalau aku, semua kebutuhan Mas Ricky sudah selalu ready setiap pagi.
“Makanan apa yang enak buat sarapan?” tanya Pak Andre menghadapkan tubuhnya padaku.
Dear God, tolong jangan buat wajahku terlihat salah tingkah. Please? Dia menatap dan membuat mataku silau dengan ketampanannya.
“Pecel, soto, rawon, bubur ayam, banyak sih, Pak,” jawabku menahan perasaan kikuk.
“Saya dulu suka soto. Waktu masih SMP, sebelum ikut nenek ke Amerika,” kenangnya tersenyum.
Duh, lah! Kenapa jadi seperti slow motion begitu senyumannya? Aku sudah gila atau bagaimana ini?
“Eh, i-iya, P-Pak,” sahutku makin gugup.
“Temani saya sarapan, mau?”
Apa??????
BERSAMBUNG
Temani Pak Andre sarapan? Memangnya dia tidak ada teman lain selain aku? Eh, kenapa jadi GR begini akunya? Detik demi detik berlalu dengan aku masih membeku. Tidak tahu harus menjawab apa. Jadi gosip atau tidak kalau aku pergi dengannya?Sebuah mobil jaguar berwarna silver memasuki pelataran parkir. Pak Andre melihatnya dengan jengah. “Tidak jadi sarapan. Kalau ada yang cari, saya di ruang kerja, ya,” ucapnya datar kemudian kembali menaiki tangga dan menghilang ke lantai dua.Seorang wanita turun setelah supir membukakakan pintu. Wajahnya bagai artis korea. Sangat bening, sangat cantik. Tubuh tinggi semampai dan sangat seksi. Kedatangan memakai hem ketat press body berwarna hijau muda dengan rok span kain berwarna senada, sepanjang lutut. High heels sembilan sentimeter semakin memperjelas betapa elegan wanita ini.Sudah bisa jelas terlihat, dia orang kaya raya. Datang ke sini berarti hendak membeli mobil. Customer untukku! Dengan cepat, kurapikan pak
Sepasang manusia tanpa memakai sehelai kain pun sedang bermesraan di atas ranjang. Keduanya saling membelai tubuh satu sama lain. Sang lelaki sudah memakai cincin pernikahan di jemari manis, sementara sang wanita tidak memakai cincin serupa. Mereka baru saja selesai memadu kasih dua jam yang lalu. Setelah bercinta dengan panas, Ricky memesan makanan melalui room service. Keduanya makan, bahkan saling suap. Ciri khas seorang Ricky. Ia tidak memperbolehkan wanitanya memakai pakaian saat mereka berduaan. Sama seperti saat ia dengan Anissa di rumah. Ricky memangku Iin saat mereka melahap makan malam. Tubuh mereka berhadapan dengan posisi dada Iin tepat berada di depan wajah Ricky. Saat wanita itu menyuapi Ricky, sesekali tangan nakal si lelaki bergerilya ke dada montok kemudian meremasnya. Membuat Iin melenguh nikmat. Ingin membuat malam ini semakin liar, ia menggoda pacar gelapnya itu. Iin diminta untuk terus menyuapi sementara jari tengah Ricky bermain di sebua
“Iya, buka bajumu! Aku kangen banget!” ulangnya memintaku untuk melakukan sesuatu yang sama sekali tidak ada di dalam pikiran. Aku menggelengkan kepala. “Apa-apaan? Malu, ah!” tolakku. “Ngapain malu? Kita kan udah nikah, Beb? Justru kayak begini ini semakin mempererat cinta kita,” rayunya begitu maut. “Ayoooo, please? Aku mau liat buah dada montok istriku!” pintanya terus memasang wajah melas. “Nggak mau! Kalau mau liat ya entar aja waktu pulang! Dah, sana tidur!” Aku tetap menolak. Risih sekali rasanya kalau aku harus melakukan apa yang dia minta. “Yah, kamu itu. Nyenengin suami pahalanya besar, loh!” gerutunya cemberut. “Banyak cara bikin kamu senang. Nih! Yang ada di perut aku emangnya nggak bikin kamu senang?” tukasku membalas omongannya. “He he he, seneng banget kalau itu. Jadi makin kangen! Tunggu, ya, besok lusa aku pulang, Beb.” “Hmm. Udah sana tidur! Besok kan harus pagi?” “Iya, Mama,” Mas Ricky bercanda dengan
Wajah Mas Ricky langsung kaget ketika aku menanyakan asal usul ucapan nakalnya itu. Jelas saja dia kaget karena aku pun kaget. Kita sama-sama kaget! Gila benar, dari mana dia tahu adegan minta ampun seperti itu? Aku butuh jawaban! Dan aku butuh sekarang!“Jawab, Mas!” teriakku parau.“Apaan, sih? Pertanyaanmu selalu menuduh aku berselingkuh!” jawabnya ketus.“Tinggal jawab kenapa repot amat? Tinggal bilang kamu tahu dari mana segala enak sampai minta ampun?” desakku terus.“Iya … dari … ehm … aku kadang nonton film … itulah! Tau kan? Film dewasa!” jelas Mas Ricky malah menyeringai mesum.Keningku mengernyit. Iya, aku sendiri juga pernah melihat film dewasa, tetapi hanya sedikit-sedikit. Apa iya sampai minta ampun? Perasaan cuma mendesah teriak-teriak saja? Ih, yang bener seperti apa? Aku semakin bingung.Mas Ricky menggeser duduknya, semakin mendekatiku. “Udah
“Kamu ada tabungan bonus, Mas?” tanyaku setengah tidak percaya. “Sejak kapan?”“Udah lama, kenapa?” jawab Mas Ricky balik bertanya.“Kok aku nggak pernah tau? Di rekening apa?” desakku makin panik. Kenapa dia memiliki rekening bank yang sama sekali tidak kuketahui? “Berapa jumlah saldonya?”“Lumayan, rasanya cukup untuk nutupi kekurangan opname Papa.”“Lumayan berapa? Puluhan? Ratusan? Berapa, Mas?”“Kamu kenapa, sih? Kok malah marah dengar aku punya tabungan?”“Karena aku sama sekali tidak tau! Apa lagi yang kamu sembunyikan dari aku?” rintihku menangis.“Icha, kamu kenapa? Aku heran, ya, sama kamu! Tabungan itu buat kita. Masa depan kita. Kamu, aku, dan anak-anak! Kenapa jadi masalah?” Mas Ricky mulai kesal, membuatku terhenyak mendengar ucapannya. Masa depan kami?Mama mendekat. Sepertinya dari kejauhan ia
Diskusi siang ini dengan Mbak Lelly tergolong keras dan membuat patah hatiku. Jujur, aku berharap sahabatku itu mendukung keputusan untuk mengkonfrontasi semua temuanku tadi malam di ponsel Mas Ricky. Aku kira dia akan menyarankan supaya aku cepat pergi meninggalkan suamiku.Ternyata tidak, justru sahabatku ini mengajak agar aku menggunakan logika ketimbang perasaan. Berkali-kali dia mengatakan ini bukan sinteron. Ini kenyataan dan ada konsekuensi dari setiap pilihan yang kita ambil.“A-aku ng-nggak siap, Mbak,” jawabku lirih, menyerah.“Kamu hamil, papamu sakit. Satu-satunya yang bisa membiayai papamu Cuma Ricky. Masak iya kamu mau ribut sama dia sekarang? Kalau dia terus pergi dari kamu dan lari ke Iin gimana? Siap jadi wanita hamil tanpa suami? Kemana-mana sendiri?”“Mbak! Udah, stop! Aku nggak kuat!” protesku semakin miris mendengar andai-andai dari Mbak Lelly.“Orang sabar bukan berarti kalah, loh, Cha
Pertanyaan Mama Enik seperti suata guntur di siang bolong. Kenapa sih aku harus punya mertua seperti ini? Sesalku membatin. Papaku belum sadar, sudah meributkan urusan kamar VIP ini.“Ehm, duit aku dan Anissa, Ma,” jawab Mas Ricky ragu-ragu. Dia sendiri sungkan dengan gaya ceplas-ceplos ibunya.“Emangnya Anissa ada duit? Gaji sales mobil besar, ya?” Mama Enik jelas sedang bersarkasme ria.Kupandang wajah ibuku yang makin menunduk lesu. Sifatnya yang pendiam dan mengalah membuat dirinya sering memendam kesedihan.“Semua dibayar sama Mas Ricky, Ma. Nanti kalau aku ada rejeki, akan aku ganti semua biaya pengobatan Papa,” tukasku menghentikan semua omongan pedas mertua.Aku berjalan menuju mamaku dan memberi isyarat agar mengikutiku keluar ruangan. Suasana sudah terlalu pengap akibat kedatangan mertua dan adik ipar yang tidak bisa bicara baik-baik.“Sabar, Anissa. Mertuamu mungkin hanya takut uang Ricky
Tanganku masih terus bergetar. Aku semakin panik! Ponsel terkutuk! Dia hang! Mati aku! Harus apa?“Mas! Tolong ambilkan air minum, ya!” teriakku dari dalam kamar, agar Mas Ricky kembali ke dapur yang terletak di depan kamar mandi. Supaya aku ada waktu untuk me-restart ponselnya.“Dingin apa biasa?” sahut Mas Ricky berbalik arah. Tidak jadi ke kamar.“Buatin teh mau, nggak? Yang panas. Aku agak masuk angin, nih!” seruku sambil memencet tombol power. Kalau teh panas, dia harus memasak air dulu karena kami tidak punya water dispenser. Boros listrik!“Buat kamu, apa yang enggak, Beb?” gombalnya dari dapur.Halah! Gayamu, Mas! Makiku dalam hati. Apa yang enggak? Banyak! Salah satunya setia!Ponsel sudah kembali menyala dengan normal setelah aku restart. Semua aplikasi yang tadi kubuka tertutup secara otomatis. Syukurlah! Sekarang, tinggal kutaruh lagi di atas meja rias dalam posisi layar terkunci.
Sepanjang hari aku gelisah. Sejak sore sudah berkali-kali memilih baju yang berbeda untuk dipakai bertemu Ardio dan Tanti di Tunjungan Plaza.Jelas, aku tidak mau terlihat kampungan atau jelek di hadapan wanita yang sudah merasakan tubuh suamiku. Jangan sampai dia mentertawakan aku yang tidak bisa dandan maksimal saat ke mall besar.Memoles make up minimalis dengan warna bibir agak cerah. Menampilkan manisnya wajah khas Jawa Timur. Mas Ricky selesai mandi dan menatapku tak berkedip ketika memasuki kamar. “Cantik banget kamu malam ini,” pujinya terdengar tulus. Dari sorot mata, aku tahu kalau dia merindukan kehangatanku.Salah sendiri membuang semua yang dia miliki bersamaku demi mengincipi aneka wanita di luar sana.“Hmm, iya, dong. Meskipun udah emak-emak, tetap harus cantik, kan?” Sekenanya aku menyahut.Obrolan yang kurasa aneh. Tidak ingin ada kedekatan seperti ini sebelumnya. Akan tetapi, harus berpura-pura supaya terlaksana pertemuan berempat.Mas Ricky mendekat. Berdiri di bel
Masih berdua dengan Ardio di café yang dingin. Ditemani musik sepoi-sepoi. Setiap dia berbicara, ekspresi wajahnya selalu menarik untuk dilihat.Gilalah aku yang terpesona dengan lelaki ini. Usianya mungkin berbeda sepuluh tahun lebih denganku. Dia terlihat begitu dewasa dan matang. “Cha! Ngelamun?” protes Ardio memanggil namaku.Sontak aku terbelalak. Terkejut dengan panggilan darinya. Aduh, apa dia tahu kalau aku baru saja memperhatikan wajahnya tanpa jeda?“Ngelamunin apaan, sih?” selidiknya lagi menundukkan kepala sedikit dan melirik padaku. “Ehm, enggak, kok. Sampai mana tadi?” kilahku tersenyum salah tingkah.“Sampai kita mau makan malam berdua, tapi kamu belum jawab mau apa enggak?” jawab Ardio menatapku lekat.“Hah? Apaan? Makan malam berdua?” pekikku makin terkejut. Apa segitu hilangnya aku tadi sampai tidak tahu kalau dia mengajak makan malam?Namun, Ardio terbahak. Dari nada tawanya aku tahu dia sedang mentertawakan aku. Ternyata,
Sudah hampir tengah malam dan aku masih tidak bisa memejamkan mata. Pikiranku terpaku dengan bagaimana kalau nanti kami berempat bertemu. Apakah akan ada masalah atau justru aku akan menikmati wajah Mas Ricky yang serba salah tingkah? Kalau dia bisa berlagak marah-marah di depan Pak Andre tadi, apa dia juga akan begitu di depan Ardio?Aku ingat, Mas Ricky takut sekali waktu dulu tahu aku buka-buka medsosnya Ardio. Kalau besok kami bertemu, setakut apa dia?Masih tidak bisa tidur dan mendengar suara gerbang dibuka. Mas Ricky memasukkan mobilnya ke dalam garasi. Aku pura-pura meram saja. Akan tetapi, mata ini tidak mau diajak kompromi.Aku tetap tidak bisa memejamkan mata. Membular dan membuka lebar. Sial! Makiku dalam hati. Mau apa terusan kalau sudah begini? Kunyalakan televisi saja. Pura-pura belum tidur karena menonton film.Mas Ricky membuka kamar dan langsung menatapku lirih. “Belum tidur?” sapanya hambar.Aku hanya mengangguk. Terlalu malas untuk
Aku tidak tahu kenapa semua jadi seperti ini. Berkumpul di rumah kemudian saling meneriaki satu sama lain. Kehadiran Mama Enik merubah ketenangan di rumah ini.“Istri kamu itu ajarin sopan santun, Ricky!” sembur Mama Enik mendelik kepadaku.“Jangan tuduh aku selingkuh sama Pak Andre. Mama kan nggak tahu apa-apa! Ngapain nuduh yang bukan-bukan?” Membela diri. Menolak untuk direndahkan begini.“Sudah, diam!” Mas Ricky terus saja membentakku.“Kamu yang diam! Kamu juga bikin malu di restoran tadi! Apa kamu lupa dia bosku? Aku sampai harus minta maaf langsung ke kantornya tadi siang!” “Iiih! Udah, Ric! Ceraikan saja Anissa yang udah berani banget marah-marah dan bentak-bentak kamu kayak gini!”Wanita tua itu terus saja memprovokasi. Namun, aku senang sajalah kalau memang semua harus berakhir malam ini. Paling tidak bukan aku yang membuat keputusannya. “Apa-apaan ini? Kok malah anak-anaknya disuruh cerai? Saya nggak terima!” Papa mulai unjuk suara.
Kenapa bisa ada tanaman diberi nama Lidah Mertua? Apakah mengacu pada mertua sejenis Mama Enik? Begitu tajam lidahnya menyayat hati kami. Wajah Papa langsung merah padam. Menahan malu dan marah. “Mbakyu, bicaranya kok ngawur? Saya sakit! Mau menginap semalam di sini supaya besok bisa ke rumah sakit dengan Anissa!” hardik Papa. Napasnya terlihat berat sampai tersengal.Mama mengelus-elus dada Papa. “Sabar, Pak. Sabar.” “Ma, ini rumah saya dan Mas Ricky. Tolong Mama jangan menghina Papa seperti itu. Tiap bulan Mas Ricky kirim uang ke mama juga saya nggak pernah protes!” sambungku emosi.“Heh! Ricky mau kasih saya itu suka-suka dia. Seorang ibu lebih berhak harta anaknya daripada istri! Ngerti nggak kamu? Saya cuman nggak mau uang Ricky habis karena harus menghidupi kalian para benalu!”“Ya Allah, Mbak! Istighfar! Saya di sini juga bantu Anissa ngejagain Rafi, cucu Mbak! Anaknya Ricky!” tangkis Mama setengah menangis. Dadaku bergemuruh kencang. Aku haru
Sepertinya hari ini akan jadi hari tersial dalam hidupku. Kalau tadi ribut dengan Mas Ricky, maka sekarang aku punya feeling kuat, bahwa aku akan diomeli Beverly.Wanita high class dengan kecantikan sempurna. Menatap tajam padaku. Bukan hanya tajam, tetapi juga merendahkan. Bibirnya berdecak. Meremehkan kehadiranku di ruangan tunangannya.“Saya permisi dul, Pak. Terima kasih untuk bantuannya,” ucapku pamit hendak meninggalkan ruangan.“Heh! Diam di situ. Bantuan apa? Dapat apa kamu dari calon suami aku?” hardik Beverly menghalangi langkahku keluar. Ia berdiri di belakang kursiku, dan mendorong pundak ini agar tidak terus bergerak keluar. “Maaf, saya hanya dibantu urusan pekerjaan dengan Pak Andre.” Aku menjawab dengan senyum miris. Berusaha terlihat natural, padahal jelas tidak mungkin.“Iya apa? Bantuan pekerjaan apa?” desak Beverly makin meninggikan suara.“Bev, what is wrong with you? Let her go!” perintah Pak Andre keberatan aku diperlakukan
Mendengar pertanyaan Mas Ricky, wajahku memanas. Menuduhku tidur dengan laki-laki lain. Ingin kutampar wajahnya. Tangan sudah gatal mau melayang. Namun, aku masih waras! Tidak boleh menyerang fisik. “Kalau iya, aku tidur dengan dia kenapa? Kamu juga tidur dengan Iin?" ejekku tersenyum sinis. Biar dia tahu rasa! “Jadi, beneran kamu balas dendam?” Napas Mas Ricky tersengal. Mata memerah dan melotot. Tangannya mencengkeram lenganku keras sekali. “Lepasin! Sakit!” rintihku meronta. Pak Andre bangkit dari kursi. Aku dan Mas Ricky jadi pusat perhatian di restoran mahal ini. Seseorang dari meja suamiku juga berdiri dan mulai mendekat. “Ada apa, ya? Tolong jangan kasar dengan wanita,” ingat Pak Andre dengan suara tenang. “Anissa itu istrimu. Jangan disakiti.” “Meski kamu bosnya Anissa, jangan ikut campur urusan rumah tanggaku! Ngapain kalian berduaan di sini? Hah?” hardik Mas Ricky melepaskan lenganku. Tubuh gagahnya dihadapkan pada Pak Andre. Wajah sengaja d
Aku masih berduaan dengan Pak Andre di Restoran Royal Canteen. Kadang dia menatapku dengan curi-curi pandang. Aku sendiri selalu menunduk kalau sorot mata kami bertemu.Suasana hening untuk beberapa detik. Membuat kikuk baik diriku maupun lelaki yang duduk di seberang. Melempar senyum, sembari melempar tatap ke arah lain. Apa-apaan ini? Aku tidak mau begini! “Ehm, apa kabar anakmu? Sehat?” Pak Andre memulai untuk meruntuhkan keheningan.“Baik, Pak!” jawabku bersemangat. Akhirnya kita mengobrol lagi dengan santai. Tanpa kikuk, tanpa salah tingkah. Pak Andre sih terlihat lumayan tenang. Akunya yang kebingungan sendiri. Susah memang kalau sudah GR. Lupa posisi! Mana mungkin lelaki macam Pak Andre bisa ada tertarik dengan emak beranak satu macam aku? Dia orang kaya raya. Pemilik belasan showroom mobil di Surabaya. Tunangannya sangat cantik dengan nama yang indah pula, Beverly. Sementara aku? Anissa! Byuh, bagai langit dan bumi! Khayal! Aku berkhayal.
“Ayolah, Cha! Kita bisa puas mempermainkan mereka kalau nanti ketemuan berempat,” rajuk Ardio berusaha meyakinkanku.“Kalau mereka curiga kita merencanakan ini semua gimana? Nanti ketahuan kan berabe?” Aku masih terus ragu.“Mereka curiga dengan kita? Ya, langsung saja kita bongkar semuanya! Bahwa mereka masih berhubungan!” kekeh Ardio santai.“Hmm, aku pikir dulu, boleh?” Belum bisa memastikan iya dan tidaknya.“Aku balik ke Jakarta besok lusa. Aku kasih kamu waktu untuk berpikir sampai besok, ya? Setelah itu kita langsung action kalau memang jawabanmu iya.”Aku mengangguk. Sebenarnya, aku juga mau melihat bagaimana ekspresi Mas Ricky dan Tanti kalau ketemuan berempat. Itu akan jadi balas dendam yang seru pastinya! Namun, aku tetap harus memikirkannya ulang.“Kamu naik apa ke sini?” tanya Ardio. Ia mengeluarkan sebuah kartu kredit. Rupanya pertemuan ini akan berakhir.“Taksi online. Kenapa?”“Aku antar pulang.”“Eh? Nggak usah, Mas. Aku