Sierra pulang ke rumahnya malam itu dengan tubuh yang cukup lelah. Seharian ia menyibukkan diri dengan banyak pekerjaan agar hari liburnya besok tidak terganggu. Selain itu, sebenarnya Sierra sendiri juga sedang dalam mode menghindar dari Laura, Stephanie, maupun Bastian di kantor. Sierra tahu Stephanie pasti marah besar padanya dan pasti akan melampiaskan kemarahan itu cepat atau lambat, namun Sierra masih terlalu lelah untuk meladeninya. Untung saja, tadi pagi Sierra bergerak cepat untuk pergi ke kantor, sebelum bertemu mereka, bahkan Sierra juga tidak melihat Noah lagi dan berharap tidak perlu melihat pria itu lagi selamanya. Sierra pun langsung naik ke kamarnya dan mengurung diri di sana sampai jam makan malam selesai. "Apa Sierra belum pulang? Mengapa dia tidak ikut makan dengan kita?" tanya Jacob yang sudah berkumpul di ruang makan bersama seluruh anggota keluarganya. Namun, semua orang diam dan tidak menjawab. Bastian seolah tidak peduli, Laura pun juga tidak peduli, sed
Bastian baru saja keluar dari kamarnya saat ia melihat Sierra masuk ke kamar Lalita. "Apa yang Sierra lakukan? Apa Lalita sudah pulang? Ck, bahkan anak kecil saja mau dihasut olehnya?" geram Bastian. Dengan cepat, Bastian pun melangkah ke kamar itu dan berniat ikut masuk saat tiba-tiba ia mendengar tangisan Lalita dan suara Sierra yang menenangkan Lalita dengan sabar. Alih-alih masuk, Bastian malah perlahan membuka pintunya lebih lebar sehingga ia bisa mengintip. Dan seketika Bastian pun mematung melihat Sierra mendekap dan mencium puncak kepala Lalita. Untuk sesaat, Bastian pun begitu terharu melihat apa yang wanita itu lakukan pada Lalita, tapi rasa harunya tidak bertahan lama saat suara Stephanie mendadak mengagetkannya. "Apa yang kau lakukan di depan kamar anakku, Bastian?" "Stephanie?" Stephanie tidak menanggapi dan malah langsung menghambur masuk ke kamar Lalita karena ia diberitahu oleh pelayan bahwa Sierra ada di sana. Ya, Sierra. Walaupun Stephanie tahu Betty
Sierra mengernyit dalam tidurnya pagi itu. Perlahan Sierra membuka matanya dan saat ia melirik jamnya, ternyata jam sudah menunjukkan jam lima pagi. "Astaga, sudah pagi," gumam Sierra sambil menatap sayang pada Lalita yang masih meringkuk di dalam pelukannya itu. Sierra pun mendaratkan bibirnya ke puncak kepala Lalita dan membelainya sayang, sebelum perlahan Sierra melepaskan diri dari Lalita. Sierra terlalu antusias karena hari ini adalah hari liburnya. Ia pun ingin segera pergi dari rumah, sebelum semua anggota keluarga bangun dan membuat liburnya mungkin terhambat. "Eh, tapi aku tertidur saat Bastian masih di sini kemarin. Ck, pasti dia sudah kembali ke kamarnya sendiri. Perlukah aku berterima kasih padanya karena sudah menyingkirkan Stephanie kemarin?" gumam Sierra yang mendadak teringat kejadian kemarin. "Ah, besok saja dipikir lagi! Hari ini aku benar-benar tidak mau memikirkan apa pun."Sambil mengendap-endap agar tidak mengganggu Lalita, Sierra pun segera keluar dan menu
"Aunty, mengapa kita ke rumah sakit?" tanya Lalita polos sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling dinding putih itu. "Aunty mau mengunjungi seseorang. Sebentar saja, oke? Setelah itu, Aunty akan mengajak Lalita bermain." Mata Lalita pun kembali berbinar-binar dan ia mengangguk cepat. "Lalita mau, Aunty." "Hmm, Anak Pintar! Ayo, Sayang!" Sierra pun menggandeng Lalita menuju ke sebuah ruangan yang bertuliskan ICU. "Lalita, karena anak kecil tidak boleh masuk ke dalam, maukah Lalita menunggu di sini bersama Suster?" "Eh?" Seketika ekspresi Lalita langsung berubah mendengarnya. Tidak ada lagi tatapan berbinar-binar berganti tatapan yang goyah dan berkaca-kaca. Tubuh Lalita pun mendadak gemetar dan ketakutan dengan napas yang mulai putus-putus. Lalita selalu mengalami kecemasan berlebih setiap kali disuruh menunggu di tempat yang asing karena Lalita memang pernah ditinggalkan oleh Stephanie di mall sampai Lalita begitu trauma. Dan Sierra yang menyadari perubahan ekspresi Lal
Sierra terus menenangkan dirinya setelah ia berpamitan dengan ibunya dan akhirnya keluar dari ruangan ibunya. Sierra sempat berbicara dengan suster yang memberitahu bahwa belum ada perkembangan yang berarti dari kondisi ibunya dan Sierra pun hanya bisa mendesah pasrah. "Eh, itu Aunty sudah selesai!" seru Valdo saat melihat Sierra keluar dari ruang ICU. Sierra pun tersenyum menatap Valdo dan Lalita. "Apa permennya sudah habis, Sayang?" "Sudah, Aunty. Sekarang kita mau pergi ke mana?" tanya Lalita yang mendadak antusias. Entah apa yang Valdo lakukan sejak tadi untuk mengambil hati anak itu, yang jelas senyum sumringah terpancar di wajah Lalita. "Aunty senang sekali kalau kau tersenyum seperti ini, Lalita! Cantik sekali! Tapi setelah ini, Aunty akan mengajakmu ke satu tempat dan memperkenalkanmu pada seseorang." "Eh, siapa, Aunty?" "Ikut saja, Sayang!" Sierra dan Valdo pun akhirnya pergi dengan mobil mereka masing-masing dan bertemu di tempat yang sama yaitu sebuah yayasa
"Valdo, aku masih sangat berterima kasih padamu karena Rosella dan Julio bisa tinggal di sini.""Kau tahu kan sejak ibuku kecelakaan, tidak ada yang mengurus mereka dan aku hampir putus asa. Sekali lagi terima kasih, Valdo!"Sierra yang sudah duduk berdua di kursi panjang masih menatap Valdo dengan penuh rasa syukur dan Valdo sendiri masih menatap Sierra dengan penuh cinta. "Sama-sama, Sierra. Aku senang bisa membantumu."Valdo pun terus tersenyum dan baru saja menggerakkan tangannya untuk meraih tangan Sierra, namun mendadak suara Julio yang terdengar mendekat pun membuatnya mengurungkan niatnya dan menyimpan lagi tangannya. "Aunty ... Uncle ...."Sierra langsung menoleh ke arah Julio dan merentangkan tangannya bersiap menyambut Julio. "Hai, ada apa, Sayang? Mana Lalita?""Itu Lalita masih berjalan sangat pelan di belakang sana! Tapi Aunty bilang mau mengajak Julio makan siang di mall? Julio sudah bilang Mama barusan dan Mama diam saja, tapi nanti kita belikan Mama makanan ya, Aun
"Apa kau suka makanannya, Julio?" tanya Valdo saat mereka sudah keluar dari restoran siang itu. "Suka, Uncle! Julio makan banyak sekali!""Haha, coba Uncle rasakan sudah seberapa berat tubuhmu!"Hap!Dengan cepat, Valdo menggendong tubuh Julio dan Julio pun terkekeh. "Aku sudah berat kan, Uncle?""Ah, kau berat sekali! Tapi Uncle masih kuat menggendongmu!""Hehe, Julio tidak suka digendong, tapi karena Mama tidak pernah menggendongku jadi Uncle boleh menggendongku!" Lagi-lagi Julio terkekeh. Julio selalu sangat menyukai Valdo yang begitu sabar dan ramah. "Haha, baiklah, Uncle akan menggendongmu. Jadi kita akan ke mana sekarang?"Valdo nampak berjalan dengan santai sambil menggendong Julio dengan satu tangannya, sementara satu tangan yang lain memeluk Lalita yang berjalan di tengah. Sierra sendiri berjalan di samping Lalita dan mereka pun terus tertawa bersama layaknya keluarga kecil yang sangat bahagia. Lalita pun terlihat sangat senang sampai ia terus tertawa dan Sierra pun iku
Sierra menahan napasnya sejenak mendengar suara yang ia yakin sangat dikenalnya itu. Seketika Sierra berdiri mematung tidak jauh di hadapan Valdo sampai Valdo pun mengernyit bingung. "Ada apa, Sierra? Awas, es krimnya!" seru Valdo yang langsung mengambil es krimnya dari tangan Sierra. "Siapa yang menelepon?" tanya Valdo lagi. Namun, Sierra hanya mengangkat tangannya memberi kode pada Valdo, sebelum Sierra sedikit menjauh dari Valdo. Bastian yang mendengar suara pria pun mengumpat kesal, walaupun ia masih belum menyadari kalau itu adalah suara Valdo. "Brengsek, Sierra! Jadi ini yang membuatmu libur? Berkencan dengan seorang pria bahkan makan es krim bersama, hah? Konyol sekali! Kau pikir kau itu anak remaja, hah?" seloroh Bastian sarkastik. Sierra yang seharian tadi merasa senang pun mendadak merasa kesal lagi mendengar ucapan Bastian. "Bastian, apa masalahmu sampai kau harus meneleponku seperti ini, hah?""Kau menghilang dari kantor tanpa kabar dan meninggalkan pekerjaanmu den
"Bagaimana hari ini, Sayang?" Jonathan melakukan video call dengan Rosella dan Julio, sebelum mereka tidur malam itu. Dan Julio pun begitu senang melihat Jonathan yang begitu ia rindukan. Jonathan sendiri sudah mendengar semua cerita detail tentang Rosella dari Jordan dan Jonathan tidak berhenti berterima kasih pada Rosella. Walaupun Rosella sendiri sebenarnya tidak menceritakan apa pun pada Jonathan karena memang ia tidak mau bersikap berlebihan. "Semuanya baik, Jonathan. Julio sekolahnya juga pintar." "Tadi Julio belajar sama Mama sebelum tidur, Papa," celetuk Julio. "Benarkah? Belajar apa, Sayang?" "Julio belajar menulis." "Haha, apa Julio sudah pintar menulis sekarang?""Sedikit-sedikit bisa, Papa. Di rumah Grandma juga Julio belajar menulis." "Siapa yang mengajarimu, Julio?" "Grandpa. Hehe, tulisan Grandpa bagus." Jonathan yang mendengarnya pun langsung tertawa pelan. Mendadak ingatan masa kecil saat Adipura mengajarinya menulis pun muncul di otaknya. "Ya, Grandpa su
Livy keluar dari ruang kerja Jessica dengan geram dan ia langsung melangkah ke ruang kerjanya sendiri. Livy pun melangkah mondar mandir di ruang kerjanya sambil memekik kesal. "Sial kau, Jessica! Hanya karena diselamatkan seperti itu, mendadak kau ada di pihaknya?" "Kau sudah tidak mendukungku lagi bahkan kau mendukung hal yang tidak masuk akal seperti ini!" "Sebenarnya apa yang Om Adipura dan Tante Imelda inginkan? Membuat Rosella akhirnya mewarisi perusahaan ini? Haruskah mereka memperlakukan Rosella begitu special? Sial!" Livy tidak berhenti menggeram kesal sambil duduk di meja kerjanya. Ia pun memejamkan matanya dan berpikir keras, sebelum akhirnya ia memutuskan sesuatu. "Baiklah, Livy! Kau tidak bisa diam lagi karena ternyata satu persatu orang yang berpihak padamu sekarang pindah dan kau sudah tidak punya teman lagi. Bahkan Tante Imelda dan Jessica juga sudah berpihak pada Rosella." "Aku harus melakukan sesuatu. Ya, aku harus melakukan sesuatu," seru Livy sambil meraih po
Beberapa hari berlalu sejak kejadian pelecehan yang hampir dialami Jessica dan beberapa perubahan pun mulai terasa. Adipura marah besar pada keluarga Cedric dan memutuskan hubungan kerja sama walaupun WHA harus mengalami kerugian yang cukup besar. Adipura pun ngotot memenjarakan Cedric agar ia jera dan Jessica pun merasakan betapa ayahnya sangat menyayanginya. Ketulusan ini jujur belum pernah dirasakan oleh Jessica secara nyata. Jessica memang dekat dengan ayahnya dan selalu menuruti apa pun ucapan ayahnya. Namun, ia merasa itu biasa saja dan memang sudah seharusnya. Jessica tidak pernah terlibat masalah apa pun yang membuatnya merasakan pembelaan yang luar biasa sampai kejadian yang ia alami barusan. Ia baru sadar kalau begitu banyak orang yang peduli padanya. Jordan, Rosella, dan kedua orang tuanya. Bahkan Julio yang kecil itu pun yang diberitahu kalau Jessica sakit keesokan harinya langsung mendatangi Jessica dan menemaninya seharian di ranjang. "Cepat sembuh ya, Aunty! Sini
"Cukup, Jordan! Cukup! Jangan bicara begitu! Jessica masih syok!" seru Rosella. "Aku hanya tidak bisa kasihan padanya, Kak! Aku lega karena dia tidak menjadi korban Cedric, tapi aku juga kesal padanya!" Jordan pun terus mengomel dan Jessica hanya terus diam sampai akhirnya rasa mual membuatnya beranjak dari ranjang. Jessica berlari ke kamar mandi dan memuntahkan semua isi perutnya termasuk sisa wine yang sudah diminumnya tadi. "Huwek! Huwek!" Rosella sendiri terus menemani Jessica sambil menepuk punggung Jessica dan mengambilkan tisue untuknya. Jessica pun menerimanya begitu saja tanpa berkata apa-apa. Bukan hanya itu, Rosella juga begitu sibuk mengambilkan Jessica air minum sampai Jordan hanya bisa menatapnya dengan perasaan hangat melihat ketulusan Rosella pada Jessica. "Apa kau tidak membawa jas, Jordan? Kasihan gaun Jessica robek." "Ada di dalam mobil, Kak." "Sana ambilkan! Kasihan Jessica!" Jordan hanya mengembuskan napas panjang lagi, sebelum akhirnya ia pun pergi dar
"Four Season, Jordan! Kita harus segera ke sana! Kita harus menyelamatkan Jessica!" "Aku bersumpah aku mendengarnya ingin melecehkan Jessica, Jordan! Kita tidak bisa membiarkannya!"Rosella begitu panik sampai ia hampir menangis sekarang. Setiap mengingat kata pelecehan, semua hal buruk mendadak berputar di otaknya dan ia pun akan menjadi emosional, apalagi saat ini adik Jonathan yang akan menjadi korban. Rosella benar-benar tidak bisa membiarkannya. "Ayo kita ke sana, Jordan! Ayo kita ke sana! Menyetirlah lebih cepat, Jordan! Kumohon ...." Tubuh Rosella sudah gemetar sekarang sampai air matanya akhirnya menetes juga. Dan Jordan pun bisa merasakan bagaimana Rosella mengkhawatirkan Jessica padahal selama ini Jessica tidak pernah bersikap baik pada Rosella. "Tenang, Kak! Tenanglah!" sahut Jordan akhirnya sambil melajukan mobilnya makin kencang. Jordan pun sempat menelepon ponsel Jessica beberapa kali, namun ponselnya sudah tidak aktif. "Sial! Jessica! Dia mematikan ponselnya!"
Jessica akhirnya tiba di sebuah restoran mewah bersama Cedric. Jessica memakai gaun merah seksi dengan bagian punggung yang terbuka sampai Cedric tidak berhenti memujinya. "Kau luar biasa cantik malam ini, Jessica!" "Hmm, apa biasanya aku tidak cantik, hah?" "Kau selalu cantik, Sayangku." Cedric yang tadinya sudah duduk di hadapan Jessica pun beranjak dari kursinya dan melangkah mendekati Jessica. Cedric meraih tangan Jessica dan menciumnya, sebelum ia menatap wajah cantik itu lekat-lekat. Betapa cantik dan seksi Jessica malam ini dan Cedric sudah tidak tahan lagi untuk menikmati keindahan di balik gaun merah itu. Namun, dengan cepat Cedric menggeleng untuk menepikan pikirannya karena masih ada step yang harus mereka lewati, makan malam, minum, baru menghabiskan malam bersama. "Baiklah, ayo kita makan, Sayang!"Cedric mengajak Jessica makan dan sepanjang makan malam, Cedric tidak berhenti menatap wajah cantik itu. Jessica memang sangat cantik kalau sudah berdandan. "Makanan
"Sial, berani sekali dia menghina Cedric! Dia pikir siapa dia? Keluarga bukan, teman juga bukan!" "Dia benar-benar sudah melunjak! Aku makin tidak menyukainya sekarang! Sial!" Jessica mondar-mandir di ruang kerjanya dengan perasaan kesal yang luar biasa. Setelah mendengar semua ucapan Rosella, bukannya Jessica tidak gelisah. Namun, Jessica gelisah bukan karena percaya pada Rosella, tapi gelisah karena amarah untuk Rosella. Semakin dipikir, amarahnya malah semakin besar. Bisa-bisanya wanita itu mendadak muncul dengan membawa anak, diterima oleh semua orang dengan begitu mudah, dan sekarang makin melunjak. "Sial!" rutuk Jessica lagi tanpa henti. Jessica pun masih terus mengumpat kesal saat pintu ruang kerjanya kembali diketuk dan dibuka. Jessica yang mengira Rosella kembali lagi pun langsung membentak keras. "Aku tidak mau mendengarmu! Tidak usah datang ke sini lagi!" Namun, ternyata yang datang Livy dan Livy cukup kaget mendengar teriakan Jessica. Jessica sendiri menbelalak m
"Aku sudah selesai, Rosella." "T-Tami ...." "Eh, kau kenapa? Kau pucat, Rosella!" Rosella menggeleng dan berusaha untuk tidak menoleh sama sekali agar Cedric tidak mengenalinya. Namun, beberapa pria di meja Cedric sempat menoleh menatap Tami dan punggung Rosella karena memang Rosella duduk memunggungi meja para pria itu. "Aku tidak apa, Tami. Ayo kita pulang!" "Eh, iya." Tami pun membawa Rosella masuk ke mobil dan ia segera menyetir kembali ke perusahaan. Rosella sendiri hanya bisa duduk di mobil sambil menenangkan dirinya dan memikirkan tentang Jessica. Ia tidak mungkin membiarkan Jessica dilecehkan oleh pria brengsek itu, tapi apa yang harus ia lakukan? Apa?"Kau yakin kau tidak apa, Rosella?" tanya Tami yang menyetir mobilnya. "Tidak apa, Tami. Jangan khawatir! Aku sudah lebih tenang sekarang." "Eh, sudah lebih tenang? Memangnya tadi kau kenapa, Rosella? Kau pucat sekali tadi! Kau mau minum kopi agar lebih segar?" "Tidak. Aku tidak apa, Tami. Hanya mendadak teringat ses
"Aku tahu, aku sudah makan siang. Semuanya baik-baik saja, Jonathan." Rosella menerima telepon dari Jonathan siang itu saat ia baru saja melangkah masuk ke lobby perusahaan. Jonathan yang sudah tiba di Amerika begitu cepat sudah merindukan Rosella lagi. "Baiklah, nanti malam telepon aku. Aku mau melihat Julio, Sayang." "Haha, baiklah. Sana bekerja! Aku juga mau bekerja dulu." "Baiklah, aku mencintaimu, Rosella." "Aku juga mencintaimu, Jonathan." "Dah!" Rosella masih tersenyum dan menutup ponselnya lalu memandangi ponsel itu saat tiba-tiba tubuhnya hampir tertabrak oleh seorang pria sampai refleks ia melangkah mundur dan terhuyung. "Astaga!" pekik Rosella. Namun, pria itu langsung memegangi tangan Rosella sampai akhirnya Rosella tidak jadi jatuh. Jantung Rosella pun berdebar kencang karena gerakan mendadak itu, namun kedua matanya langsung bertaut dengan mata pria yang menyelamatkannya. "Kau tidak apa, Nona?" tanya pria itu dengan lembut dan dengan tatapan kagum. "Aku tida