"Apa kau senang hari ini, Lalita?""Senang, Aunty," jawab Lalita sambil tersenyum begitu manis. "Ah, Aunty ikut senang mendengarnya. Tapi hari ini sama sekali belum berakhir, Lalita. Kita akan bermain bersama anak-anak lain di yayasan sampai malam lalu kita juga akan menginap di sana malam ini.""Benarkah, Aunty? Kita akan menginap di taman besar itu?""Tentu saja, tapi kamarnya tidak akan sebagus di rumah. Kamar di sana sempit dan ranjangnya pun tidak besar, tapi kita bisa meminta ranjang lipat nanti. Aunty dan Julio bisa tidur di bawah. Benarkan, Julio?"Julio yang mendengarnya hanya mengangguk saat sisi dewasanya mendadak muncul. "Julio bisa tidur di lantai," sahut Julio cepat. "Astaga, tentu saja Aunty tidak akan membiarkanmu tidur di lantai, Julio." Sierra pun mengacak singkat rambut Julio. Mereka pun tertawa bersama, sebelum melanjutkan jalan-jalan dan berbelanja banyak cemilan untuk teman-teman Julio di yayasan. Sementara itu, Bastian yang sejak tadi mengikuti mereka pun m
Jantung Sierra berdebar begitu kencang mendengar pertanyaan Valdo. Ini bukan pertama kalinya Valdo bersikap seperti ini padanya. Terkadang Sierra merasa Valdo seperti seorang kakak yang selalu setia menjaga adiknya, tapi terkadang Sierra merasa Valdo seolah memendam perasaan padanya melebihi seorang teman, sahabat, maupun kakak adik. Tentu saja Sierra sangat bahagia dan bersyukur atas apa yang diberikan Valdo padanya, tapi untuk saat ini, cinta bukanlah prioritas bagi Sierra karena Sierra sendiri sudah mempunyai banyak hal penting yang menyita semua pikirannya. "Hmm, apa maksudmu, Valdo? Tentu saja aku berharap aku bisa selamanya berteman denganmu. Terlepas dari kenyataan bahwa kita menjadi dekat karena Pak Tua itu, tapi tetap saja pada akhirnya kita menjadi teman baik dan sungguh aku tidak mau kehilangan teman sepertimu, Valdo ...," ucap Sierra tulus. Valdo yang mendengarnya pun terdiam sejenak, sebelum ia mengangguk dan memaksakan senyumnya. "Hmm, tentu saja, Sierra. Aku ju
Julio bangun terlambat pagi itu. Rasa senangnya setelah berkeliling dengan Valdo, Sierra, dan Lalita membuatnya tidur dengan begitu nyenyak. Namun, saat Julio membuka matanya, ia melihat Sierra dan Lalita sudah tidak ada di sana. Seperti yang ia lakukan biasanya di pagi hari, Julio pun menyapa Rosella dulu dan menyiapkan apa yang ibunya itu butuhkan, sebelum akhirnya Julio berlari keluar kamar. "Aunty! Mana Aunty? Apa Aunty sudah pergi?" lirih Julio yang berlari sampai ke taman luas itu mencari mobil Sierra. Entah mengapa, hati Julio begitu sedih sampai ia pun terus melangkah ke depan pintu gerbang yayasan untuk mencari Aunty-nya. "Mengapa Aunty pergi tanpa berpamitan denganku? Lalita juga pergi begitu saja. Kapan aku bisa bertemu dengan mereka lagi? Mengapa Aunty tidak bisa sering-sering datang?" "Padahal dulu waktu awal-awal Aunty bekerja, dia juga bisa sering pulang ke rumah, tapi sejak aku dan Mama tinggal di sini, Aunty jadi jarang menjenguk kami ...," lirih Julio sedih
"Kau tidak ke kantor, Bos? Aku sudah menunggumu untuk rapat," kata Tory di teleponnya. "Bukankah Sierra sudah masuk hari ini? Biarkan saja dia yang memimpin rapat!""Eh, haha, lama-lama kalian jadi kompak ya, saat salah satu tidak ada maka yang lain akan menggantikannya. Kalau kau benar-benar menyingkirkannya nanti, kau tidak akan bisa sesantai ini, Bos!""Sial, Tory! Kau pikir aku membutuhkannya untuk menggantikanku, hah? Aku hanya memanfaatkan keberadaannya sekarang!""Ah, begitu ya! Hehe, baiklah! Tapi di mana kau sekarang, Bos?""Aku sedang pergi ke suatu tempat, nanti saja kuceritakan, kututup teleponnya sekarang!"Blep!Tanpa menunggu jawaban Tory lagi, Bastian pun langsung menutup teleponnya. "Eh, Bos! Bos! Ah, dia selalu seperti itu, menutup telepon sebelum aku selesai bicara!" Saat Tory masih berdiri dan menggerutu kesal di ruang kerja Bastian, Sierra pun masuk ke sana tanpa mengetuk pintunya. "Mana Bastian, Tory? Ada berkas yang harus dia pelajari.""Eh, selamat pagi, Bu
"Kau tidak apa, Jagoan?" tanya Bastian saat mendekati Julio. Bastian sempat mengacak singkat rambut Julio, sebelum ia berjongkok di depan Julio dan melihat lengan dan lututnya. "Astaga, lukamu cukup lumayan ya! Apa kau tidak merasa kesakitan?" Bastian menatap anak kecil yang terlihat begitu tangguh itu. Bahkan sejak tadi anak itu sama sekali tidak terlihat menangis padahal lengan dan lututnya tergores hingga berdarah. Julio yang ditanya pun menggeleng. "Tidak sakit, Uncle! Hmm, sebenarnya sakit tapi anak laki-laki tidak boleh menangis. Aku masih bisa menahan rasa sakitnya, hanya sedikit." Julio mengangkat tangannya dan menunjukkan ibu jari dan telunjuknya pada Bastian, memberi kode kalau sakitnya hanya sedikit. Bastian yang mendengarnya pun memicingkan matanya. Anak ini benar-benar setangguh Sierra, ibu dan anak yang mirip, bahkan wajah anak ini juga sedikit mirip dengan Sierra. Mendadak Bastian pun merasa sedikit kesal karena sudah hampir bisa dipastikan bahwa anak ini ad
Sierra masih berada di dalam rapatnya saat ponselnya berbunyi dan pengurus yayasan meneleponnya. Sierra pun langsung berpamitan keluar dan mengangkat teleponnya dengan jantung yang berdebar kencang. Pengurus yayasan hampir tidak pernah meneleponnya kalau semuanya baik-baik saja, wanita itu baru akan menelepon kalau tiba-tiba Rosella atau Julio sakit. "Halo, Bu, ada apa?" tanya Sierra begitu ia mengangkat teleponnya. "Bu Sierra, maaf mengganggu, tapi Julio sedikit terluka." "Apa maksudnya dengan terluka? Dia baik-baik saja kan?" Sierra sudah mulai cemas. Pengurus yayasan pun menceritakan bahwa Julio sempat keluar dan bertemu penjahat, sebelum akhirnya diselamatkan oleh seorang pria baik hati dan jantung Sierra tidak berhenti berdebar kencang mendengarnya. "Astaga, syukurlah ada pria itu! Terima kasih sudah mengabariku, Bu! Sekarang Julio baik-baik saja kan?" "Dia baik-baik saja. Dia bahkan sama sekali tidak menangis. Aku hanya tidak tenang kalau kau tidak mengetahui tentang
"B-Bastian? Nama pria itu Bastian?" ulang Sierra dengan jantung yang mendadak berdebar kencang. "Iya, Aunty! Namanya keren. Uncle-nya juga baik!" Sierra menahan napasnya sejenak mendengar nama itu. Sungguh kebetulan sekali, tapi bukankah nama Bastian tidak hanya satu di dunia ini. Sierra pun mengembuskan napas panjangnya dan mengangguk kaku. "Ah, ya, nama yang keren, Sayang! Tapi sekarang tidurlah dulu! Nanti telepon Aunty saat Julio sudah membuat janji dengan Uncle Superhero ya!" Julio pun mengangguk bersemangat lalu ia pun memejamkan matanya dan terlelap. Sierra sempat melihat keadaan Rosella, sebelum Sierra pun kembali ke kantor karena ia tidak bisa pergi terlalu lama. Semua orang sudah berkumpul di ruang makan saat Sierra pulang malam itu dan Sierra pun langsung bergabung di sana. "Selamat malam semuanya!" sapa Sierra. Sierra sempat melirik Bastian yang sudah duduk di sampingnya dengan perasaan yang galau memikirkan nama Uncle superhero tadi. Dan Bastian sendiri ju
Bastian tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya. Mungkin ada setan yang merasukinya sampai ia melihat wanita di hadapannya sekarang ini sebagai seorang wanita, bukan istri dari ayahnya. Berada di dekat Sierra selalu menaikkan tegangan dalam diri Bastian, entah itu emosi maupun hasrat yang mendadak meroket tak terkendali. Wajah cantik yang begitu tegas, sorot mata yang tanpa kenal takut, bibir indah yang selalu mengaum, dan aroma tubuh yang begitu memabukkan. Sierra tidak pernah seiya sekata dengan Bastian. Wanita itu selalu membantahnya dan melawannya hingga sebuah desakan kuat muncul dalam diri Bastian untuk menaklukan wanita itu. Ya, kalau dulu hasrat Bastian begitu menggebu untuk menyingkirkan Sierra, namun hasrat itu mulai terbelah saat ini, ada sebagian hasrat yang sangat kuat untuk menaklukan Sierra dan membuat wanita itu patuh kepadanya. Mungkin, itu juga yang membuat Bastian mencari alasan untuk membungkam wanita itu dan membuat bibir yang selalu membantah itu takluk pad
"Bagaimana hari ini, Sayang?" Jonathan melakukan video call dengan Rosella dan Julio, sebelum mereka tidur malam itu. Dan Julio pun begitu senang melihat Jonathan yang begitu ia rindukan. Jonathan sendiri sudah mendengar semua cerita detail tentang Rosella dari Jordan dan Jonathan tidak berhenti berterima kasih pada Rosella. Walaupun Rosella sendiri sebenarnya tidak menceritakan apa pun pada Jonathan karena memang ia tidak mau bersikap berlebihan. "Semuanya baik, Jonathan. Julio sekolahnya juga pintar." "Tadi Julio belajar sama Mama sebelum tidur, Papa," celetuk Julio. "Benarkah? Belajar apa, Sayang?" "Julio belajar menulis." "Haha, apa Julio sudah pintar menulis sekarang?""Sedikit-sedikit bisa, Papa. Di rumah Grandma juga Julio belajar menulis." "Siapa yang mengajarimu, Julio?" "Grandpa. Hehe, tulisan Grandpa bagus." Jonathan yang mendengarnya pun langsung tertawa pelan. Mendadak ingatan masa kecil saat Adipura mengajarinya menulis pun muncul di otaknya. "Ya, Grandpa su
Livy keluar dari ruang kerja Jessica dengan geram dan ia langsung melangkah ke ruang kerjanya sendiri. Livy pun melangkah mondar mandir di ruang kerjanya sambil memekik kesal. "Sial kau, Jessica! Hanya karena diselamatkan seperti itu, mendadak kau ada di pihaknya?" "Kau sudah tidak mendukungku lagi bahkan kau mendukung hal yang tidak masuk akal seperti ini!" "Sebenarnya apa yang Om Adipura dan Tante Imelda inginkan? Membuat Rosella akhirnya mewarisi perusahaan ini? Haruskah mereka memperlakukan Rosella begitu special? Sial!" Livy tidak berhenti menggeram kesal sambil duduk di meja kerjanya. Ia pun memejamkan matanya dan berpikir keras, sebelum akhirnya ia memutuskan sesuatu. "Baiklah, Livy! Kau tidak bisa diam lagi karena ternyata satu persatu orang yang berpihak padamu sekarang pindah dan kau sudah tidak punya teman lagi. Bahkan Tante Imelda dan Jessica juga sudah berpihak pada Rosella." "Aku harus melakukan sesuatu. Ya, aku harus melakukan sesuatu," seru Livy sambil meraih po
Beberapa hari berlalu sejak kejadian pelecehan yang hampir dialami Jessica dan beberapa perubahan pun mulai terasa. Adipura marah besar pada keluarga Cedric dan memutuskan hubungan kerja sama walaupun WHA harus mengalami kerugian yang cukup besar. Adipura pun ngotot memenjarakan Cedric agar ia jera dan Jessica pun merasakan betapa ayahnya sangat menyayanginya. Ketulusan ini jujur belum pernah dirasakan oleh Jessica secara nyata. Jessica memang dekat dengan ayahnya dan selalu menuruti apa pun ucapan ayahnya. Namun, ia merasa itu biasa saja dan memang sudah seharusnya. Jessica tidak pernah terlibat masalah apa pun yang membuatnya merasakan pembelaan yang luar biasa sampai kejadian yang ia alami barusan. Ia baru sadar kalau begitu banyak orang yang peduli padanya. Jordan, Rosella, dan kedua orang tuanya. Bahkan Julio yang kecil itu pun yang diberitahu kalau Jessica sakit keesokan harinya langsung mendatangi Jessica dan menemaninya seharian di ranjang. "Cepat sembuh ya, Aunty! Sini
"Cukup, Jordan! Cukup! Jangan bicara begitu! Jessica masih syok!" seru Rosella. "Aku hanya tidak bisa kasihan padanya, Kak! Aku lega karena dia tidak menjadi korban Cedric, tapi aku juga kesal padanya!" Jordan pun terus mengomel dan Jessica hanya terus diam sampai akhirnya rasa mual membuatnya beranjak dari ranjang. Jessica berlari ke kamar mandi dan memuntahkan semua isi perutnya termasuk sisa wine yang sudah diminumnya tadi. "Huwek! Huwek!" Rosella sendiri terus menemani Jessica sambil menepuk punggung Jessica dan mengambilkan tisue untuknya. Jessica pun menerimanya begitu saja tanpa berkata apa-apa. Bukan hanya itu, Rosella juga begitu sibuk mengambilkan Jessica air minum sampai Jordan hanya bisa menatapnya dengan perasaan hangat melihat ketulusan Rosella pada Jessica. "Apa kau tidak membawa jas, Jordan? Kasihan gaun Jessica robek." "Ada di dalam mobil, Kak." "Sana ambilkan! Kasihan Jessica!" Jordan hanya mengembuskan napas panjang lagi, sebelum akhirnya ia pun pergi dar
"Four Season, Jordan! Kita harus segera ke sana! Kita harus menyelamatkan Jessica!" "Aku bersumpah aku mendengarnya ingin melecehkan Jessica, Jordan! Kita tidak bisa membiarkannya!"Rosella begitu panik sampai ia hampir menangis sekarang. Setiap mengingat kata pelecehan, semua hal buruk mendadak berputar di otaknya dan ia pun akan menjadi emosional, apalagi saat ini adik Jonathan yang akan menjadi korban. Rosella benar-benar tidak bisa membiarkannya. "Ayo kita ke sana, Jordan! Ayo kita ke sana! Menyetirlah lebih cepat, Jordan! Kumohon ...." Tubuh Rosella sudah gemetar sekarang sampai air matanya akhirnya menetes juga. Dan Jordan pun bisa merasakan bagaimana Rosella mengkhawatirkan Jessica padahal selama ini Jessica tidak pernah bersikap baik pada Rosella. "Tenang, Kak! Tenanglah!" sahut Jordan akhirnya sambil melajukan mobilnya makin kencang. Jordan pun sempat menelepon ponsel Jessica beberapa kali, namun ponselnya sudah tidak aktif. "Sial! Jessica! Dia mematikan ponselnya!"
Jessica akhirnya tiba di sebuah restoran mewah bersama Cedric. Jessica memakai gaun merah seksi dengan bagian punggung yang terbuka sampai Cedric tidak berhenti memujinya. "Kau luar biasa cantik malam ini, Jessica!" "Hmm, apa biasanya aku tidak cantik, hah?" "Kau selalu cantik, Sayangku." Cedric yang tadinya sudah duduk di hadapan Jessica pun beranjak dari kursinya dan melangkah mendekati Jessica. Cedric meraih tangan Jessica dan menciumnya, sebelum ia menatap wajah cantik itu lekat-lekat. Betapa cantik dan seksi Jessica malam ini dan Cedric sudah tidak tahan lagi untuk menikmati keindahan di balik gaun merah itu. Namun, dengan cepat Cedric menggeleng untuk menepikan pikirannya karena masih ada step yang harus mereka lewati, makan malam, minum, baru menghabiskan malam bersama. "Baiklah, ayo kita makan, Sayang!"Cedric mengajak Jessica makan dan sepanjang makan malam, Cedric tidak berhenti menatap wajah cantik itu. Jessica memang sangat cantik kalau sudah berdandan. "Makanan
"Sial, berani sekali dia menghina Cedric! Dia pikir siapa dia? Keluarga bukan, teman juga bukan!" "Dia benar-benar sudah melunjak! Aku makin tidak menyukainya sekarang! Sial!" Jessica mondar-mandir di ruang kerjanya dengan perasaan kesal yang luar biasa. Setelah mendengar semua ucapan Rosella, bukannya Jessica tidak gelisah. Namun, Jessica gelisah bukan karena percaya pada Rosella, tapi gelisah karena amarah untuk Rosella. Semakin dipikir, amarahnya malah semakin besar. Bisa-bisanya wanita itu mendadak muncul dengan membawa anak, diterima oleh semua orang dengan begitu mudah, dan sekarang makin melunjak. "Sial!" rutuk Jessica lagi tanpa henti. Jessica pun masih terus mengumpat kesal saat pintu ruang kerjanya kembali diketuk dan dibuka. Jessica yang mengira Rosella kembali lagi pun langsung membentak keras. "Aku tidak mau mendengarmu! Tidak usah datang ke sini lagi!" Namun, ternyata yang datang Livy dan Livy cukup kaget mendengar teriakan Jessica. Jessica sendiri menbelalak m
"Aku sudah selesai, Rosella." "T-Tami ...." "Eh, kau kenapa? Kau pucat, Rosella!" Rosella menggeleng dan berusaha untuk tidak menoleh sama sekali agar Cedric tidak mengenalinya. Namun, beberapa pria di meja Cedric sempat menoleh menatap Tami dan punggung Rosella karena memang Rosella duduk memunggungi meja para pria itu. "Aku tidak apa, Tami. Ayo kita pulang!" "Eh, iya." Tami pun membawa Rosella masuk ke mobil dan ia segera menyetir kembali ke perusahaan. Rosella sendiri hanya bisa duduk di mobil sambil menenangkan dirinya dan memikirkan tentang Jessica. Ia tidak mungkin membiarkan Jessica dilecehkan oleh pria brengsek itu, tapi apa yang harus ia lakukan? Apa?"Kau yakin kau tidak apa, Rosella?" tanya Tami yang menyetir mobilnya. "Tidak apa, Tami. Jangan khawatir! Aku sudah lebih tenang sekarang." "Eh, sudah lebih tenang? Memangnya tadi kau kenapa, Rosella? Kau pucat sekali tadi! Kau mau minum kopi agar lebih segar?" "Tidak. Aku tidak apa, Tami. Hanya mendadak teringat ses
"Aku tahu, aku sudah makan siang. Semuanya baik-baik saja, Jonathan." Rosella menerima telepon dari Jonathan siang itu saat ia baru saja melangkah masuk ke lobby perusahaan. Jonathan yang sudah tiba di Amerika begitu cepat sudah merindukan Rosella lagi. "Baiklah, nanti malam telepon aku. Aku mau melihat Julio, Sayang." "Haha, baiklah. Sana bekerja! Aku juga mau bekerja dulu." "Baiklah, aku mencintaimu, Rosella." "Aku juga mencintaimu, Jonathan." "Dah!" Rosella masih tersenyum dan menutup ponselnya lalu memandangi ponsel itu saat tiba-tiba tubuhnya hampir tertabrak oleh seorang pria sampai refleks ia melangkah mundur dan terhuyung. "Astaga!" pekik Rosella. Namun, pria itu langsung memegangi tangan Rosella sampai akhirnya Rosella tidak jadi jatuh. Jantung Rosella pun berdebar kencang karena gerakan mendadak itu, namun kedua matanya langsung bertaut dengan mata pria yang menyelamatkannya. "Kau tidak apa, Nona?" tanya pria itu dengan lembut dan dengan tatapan kagum. "Aku tida