Sierra mengernyit merasakan cahaya matahari yang mengintip dari celah gordennya pagi itu. Namun, Sierra masih belum mau bangun karena ia masih begitu menikmati tidurnya, tidur yang benar-benar berkualitas, nyaman, dan tanpa mimpi sama sekali. Bahkan Sierra tersenyum sambil tetap memeluk sesuatu yang ia kira Lalita. Lalita ijin tidak bersekolah beberapa hari karena ia masih syok dan harus menenangkan dirinya dulu jadi Sierra merasa Lalita pasti masih tidur bersamanya. Sierra pun menciumi kepala anak itu beberapa kali dan memeluknya, namun mendadak Sierra merasakan tubuh Lalita terlalu empuk dan dingin. Sontak Sierra membuka matanya kaget. "Astaga, guling? Kupikir Lalita! Ke mana Lalita? Bastian juga tidak ada, bukankah kemarin dia bilang akan tidur di sini juga?"Sierra pun segera bangun dan kembali membelalak melihat jam yang sudah menunjukkan jam sembilan pagi. "Astaga, apa aku melewatkan sarapan? Perutku lapar sekali!" Sierra masuk ke kamar mandi dan membersihkan dirinya, se
"Ah, Aunty! Haha!"Lalita nampak memekik senang saat ia dan Sierra bermain bersama di kolam renang. Lalita memakai baju renang dan pelampungnya sedangkan Sierra memakai kaos dan celana pendeknya.Mereka berendam bersama sambil Sierra mengajari Lalita berenang. Sesekali Sierra akan memercikkan air ke wajah Lalita dan anak itu akan memekik keras lalu mereka pun akan langsung tertawa bersama. "Haha, ayo lepas pelampungnya, Sayang! Aunty akan memegangimu!" "Tapi janji jangan tinggalkan Lalita!""Janji, Sayang!"Sierra membantu Lalita melepas pelampungnya dan Sierra pun mengajari Lalita berenang dengan sabar. Mereka pun bermain dengan gembira sambil menunggu Bastian menyelesaikan pekerjaannya baru mereka akan ke rumah sakit untuk menjenguk Jacob. Sementara Bastian sendiri sedang serius bekerja di lantai atas, namun sungguh bayangan Sierra dan Lalita yang sedang bermain di kolam renang membuyarkan fokusnya. Bastian pun akhirnya menelepon sambil melangkah ke balkon atas yang membuatny
"Ayah, bagaimana kondisimu?" Bastian membawa Sierra, Lalita, dan Bik Mala ke rumah sakit siang itu dan Jacob terlihat begitu segar. "Kalian sudah datang? Haha, Ayah sudah sehat. Dokter sudah ke sini dan katanya Ayah sudah boleh pulang.""Secepat ini?""Tentu saja! Toh Ayah memang sudah baik-baik saja! Hei, Lalita! Kemarilah!"Lalita mengangguk patuh dan segera berlari ke arah ranjang Jacob. "Grandpa, cepat sembuh ya!""Haha, Grandpa sudah sembuh, Lalita. Grandpa ingin segera pulang agar bisa bermain lagi dengan Lalita.""Yeay! Tadi Lalita main sama Aunty Sierra, Grandpa!""Ah, benarkah?" Jacob mendongak menatap Sierra dan tersenyum.Sierra yang masih belum terbiasa dengan situasi ini pun hanya ikut tersenyum. "Terima kasih sudah menemani cucuku bermain, Sierra!""Ah, tidak masalah, Pak.""Eh, mengapa Pak lagi? Haha, panggil aku Om! Om! Haha!"Bastian dan Valdo yang ada di sana pun saling melirik dan tersenyum kecil sedangkan Sierra sendiri mengangguk. "Om Jacob ....""Haha, begit
Stephanie sendiri tidak bisa menahan kesedihannya dan membungkuk di samping ranjang Jacob. Dan untuk sesaat suasana hening, hanya terdengar tangisan lirih Stephanie sampai akhirnya Sierra yang kembali berbicara. "Stephanie, Stephanie! Katakan yang jelas ada apa?"Lagi-lagi Stephanie menggeleng. "Ibuku ... tekanan darahnya terus menurun dan jantungnya juga. Menurut dokter, dia tidak akan bertahan lama lagi. Bahkan dia sudah tidak dapat bernapas walau dengan alat bantu napas yang sudah maksimal."Stephanie berhenti berbicara hanya untuk menyelesaikan tangisannya, sebelum ia kembali berbicara dengan sesenggukan. "Tolong, tolong semuanya saja! Siapa saja yang pernah disakiti olehnya, tolong berikan maaf kalian untuknya, tolong biarkan dia pergi dengan tenang ...."Stephanie kembali memohon dengan begitu lirih sampai semua orang tetap terdiam dengan saling melirik iba. Jacob pun hanya menepuk tangan Stephanie, sebelum akhirnya ia meminta diantar ke kamar Laura. Semua orang pun masuk k
Beberapa hari berlalu sejak meninggalnya Laura dan semua ritual pun sudah selesai mereka lakukan. Jacob dan keluarga Sagala membantu semua prosesnya dan Stephanie pun tidak berhenti berterima kasih pada Jacob karena Jacob tetap mau merepotkan dirinya untuk Laura yang sudah begitu jahat padanya. "Terima kasih sekali lagi, Ayah, dan semuanya! Terima kasih sudah mau melakukan semua ini untuk ibuku!" ucap Stephanie tulus. Beberapa hari ini Stephanie tidak berhenti melow dan terus menangis. Rasanya ia masih tidak percaya ibunya harus meninggalkannya seperti ini. Mungkin akan lebih baik kalau saat ini Laura masih ada di penjara jadi ia masih bisa menjenguknya kapan saja. Tapi kalau meninggal? Ke mana lagi Stephanie bisa melihat ibunya itu?Setiap membayangkan kejadian buruk itupun tubuh Stephanie tidak berhenti gemetar. Namun, Stephanie tetap bersyukur semuanya telah selesai. Stephanie pun harus menerima kenyataan kalau sekarang Laura memang sudah tidak ada. Bahkan Gery yang katanya
"Lalita, ayo makan dulu!" seru Sierra yang sudah menyiapkan makanan untuk Lalita itu di meja makan. "Lalita tidak ada, Sierra," sahut Stephanie. "Eh, sepertinya barusan aku mendengar suaranya," kata Sierra lagi.Stephanie hanya menggeleng dan kembali membantu Sierra menyusun makanan di meja makan. Satu minggu berlalu dengan Stephanie yang sudah kembali tinggal di rumah keluarga Sagala. Dan banyak hal yang terjadi dalam satu minggu ini. Sierra sendiri masih tetap tinggal di rumah itu dan mengambil cuti panjangnya dan banyak perubahan berarti yang dirasakan oleh Sierra, terutama dalam hubungannya dengan Jacob dan juga Stephanie. Banyak hal yang membahagiakan dan begitu menenangkan jiwa, walaupun banyak kegalauan perasaan juga. Salah satu kegalauan adalah setiap kali Sierra harus berinteraksi dengan Jacob dan setiap kali Stephanie harus berinteraksi dengan Lalita. Sierra berusaha untuk bersikap tenang dan nyaman, namun tetap saja hatinya tidak benar-benar tenang setiap ada Jacob
"Hei, apa yang kalian lakukan di sana?" Bastian yang baru saja keluar dari kamarnya langsung melihat Sierra dan Bik Mala yang masih mengintip ke kamar Lalita dan Bastian pun mendekat. Sierra sendiri yang mendengar suara Bastian langsung meletakkan jari telunjuk di depan bibirnya, kali ini ia meminta Bastian untuk diam dan Bastian pun langsung menutup mulutnya, walaupun ia masih belum tahu mengapa ia harus diam. Sampai akhirnya Bastian pun tiba di sana dan berdiri tepat di belakang Sierra. Sambil memeluk pinggang Sierra, Bastian pun mencoba mengintip dan ia malah tersenyum mendengar tangisan Stephanie. Hanya seseorang yang tulus yang bisa menangis sesedih itu dan tinggal bersama Stephanie selama satu minggu ini cukup membuat Bastian mengetahui ketulusan Stephanie dan bahwa Stephanie benar-benar telah berubah. "Ini indah sekali," bisik Bastian di telinga Sierra. "Hmm," gumam Sierra pelan. "Tapi mari kita urus urusan kita sendiri, Sayang!" bisik Bastian lagi yang langsung menarik
"Lalita mau ikut, Aunty! Aunty kan sudah janji ...."Lalita terus cemberut saat Sierra akan meninggalkannya pagi itu. "Sayang, maaf ya, yang kali ini Lalita tidak bisa ikut karena Lalita sudah terlalu lama ijin, Lalita harus bersekolah."Lalita terus cemberut dan memeluk Sierra dengan erat. Stephanie yang melihatnya pun nampak salah tingkah, namun ia berusaha mendekati Lalita. "Lalita, kalau kau merindukan Aunty nanti Mama bisa mengantarmu ke sana, Lalita mau kan?" bisik Stephanie dengan lembut sambil berjongkok di samping Lalita. Seketika mata anak itu pun berbinar-binar mendengarnya. Lalita pun menatap Stephanie dengan tatapan yang senang dan Stephanie pun begitu terharu melihat Lalita menatapnya seperti itu. "Mama janji, Sayang. Tapi Lalita harus sekolah yang pintar dulu ya!" kata Stephanie lagi sambil membelai sayang kepala Lalita. Lalita mengerjapkan mata dan hanya menatap Stephanie cukup lama, seolah mempertimbangkan harus bersikap seperti apa pada ibunya itu. Sampai akh
Kalau di rumah Jacob, kondisinya sangat menyedihkan, di rumah keluarga Adipura, kondisinya tidak lebih baik. Imelda mengurung diri di kamar dengan air mata yang terus meleleh. Imelda sama sekali belum keluar dari kamar sejak Rosella pergi tadi, bahkan Imelda juga belum mandi sampai malam itu. Ia hanya duduk di ranjangnya sambil menangis tanpa mengucapkan sepatah kata pun, seolah ia mengalami kesedihan yang teramat sangat karena kehilangan orang yang ia cintai. Adipura sendiri pun tidak lebih baik. Adipura terus meringis sambil memegangi dadanya, namun ia tidak mau minum obat dan tidak mau siapa pun memperhatikannya. Saat jam makan malam tiba, ia hanya duduk di tempat yang biasanya tapi ia tidak benar-benar makan melainkan hanya mengacak-acak makanannya, sebelum ia memutuskan kembali ke ruang kerjanya. Jessica dan Jordan yang melihatnya pun ikut tidak berniat makan karena suasana hati mereka juga tidak baik. Tidak ada yang bicara lagi dan tidak ada yang membahas masalah Rosella sa
"Semuanya sudah berakhir, Stephanie. Semuanya sudah berakhir." Rosella tidak dapat menahan kesedihannya lagi dan ia menangis sedih di pelukan Stephanie begitu ia tiba di rumahnya. Stephanie yang kebetulan pulang dari kantor untuk melihat Lalita dan Julio pun sampai tidak berniat kembali ke kantor karena ia juga begitu sedih mendengar semua cerita Rosella. Stephanie memeluk Rosella begitu erat dan ikut menangis bersamanya. "Jangan sedih, Rosella! Jangan sedih! Ada aku bersamamu. Ada aku bersamamu." "Aku berusaha untuk tidak sedih, tapi rasanya sakit sekali, Stephanie. Sakit sekali. Bahkan aku yang seharusnya sudah tahu kalau kejadiannya akan seperti ini saja masih terasa sakit, Stephanie. Sakit sekali ...." Rosella terus merintih sakit di pelukan Stephanie, bukan di tubuhnya namun di hatinya. Rasanya begitu sesak seperti ditusuk-tusuk benda tumpul dan Rosella tidak bisa bernapas. "Aku tahu, Rosella. Aku tahu. Aku bersamamu, Rosella. Aku bersamamu," ulang Stephanie tanpa henti.
Jordan kembali masuk ke dalam rumah setelah mengusir lucu dan ia mendapati suasana di ruang keluarga masih mencekam. Adipura masih duduk dengan wajah penuh amarah, dengan Jessica yang duduk di sampingnya sambil memegangi lengan pria itu. Sedangkan Imelda terus menunduk sambil menangis dan Rosella sendiri hanya berdiri di posisinya tadi dengan air mata yang tetap mengalir namun ekspresi wajahnya sudah putus asa. Tidak ada yang bicara di sana, namun Jordan pun menelan salivanya dan mencoba mencairkan suasana. "Dia sudah pergi! Livy itu agak stres jadi kuharap jangan sampai ada yang terpengaruh pada ucapannya! Livy itu ...." Belum sempat Jordan menyelesaikan ucapannya, Rosella sudah menyelanya. "Cukup, Jordan! Cukup! Tidak usah membelaku lagi!" kata Rosella lemas. Imelda yang mendengar suara Rosella pun langsung mendongak dan menatap calon menantu kesayangannya itu dengan tatapan yang begitu sedih. "Aku ... tidak perlu dibela lagi, Jordan. Karena aku memang salah," ucap Rosella l
Jordan baru saja menghentikan mobilnya di depan rumah saat ia melihat mobil Livy di depan rumahnya. "Oh, sial, ini mobil Livy, Jessica!" Jessica pun menggeram kesal melihatnya. "Sial, apa maksudnya wanita itu!" Jessica langsung turun duluan sedangkan Jordan pun menemani Rosella turun. Mereka bersama-sama melangkah cepat ke arah sumber suara di rumah dan mereka langsung mengarah ke ruang keluarga. Mereka pun baru saja masuk ke ruang keluarga saat mereka mendengar ucapan Livy yang membuat semua orang syok bersamaan. "Dan aku tidak bohong kalau Rosella itu gila karena memang dia menjadi gila selama enam tahun karena kasus itu! Dia adalah pasiennya Jonathan! Kau tahu Jonathan adalah seorang psikiater kan? Jonathan mengobati orang gila dan Rosella adalah orang gilanya!" Deg!Untuk sesaat, semuanya terdiam mendengarnya. Suasananya begitu hening sampai semuanya mematung dengan ekspresi yang berbeda-beda. Rosella sendiri sudah menitikkan air matanya lagi tanpa ia bermaksud melakukanny
Cukup lama Rosella menenangkan dirinya bersama Tami, sebelum akhirnya ia mencari Jordan ke ruang kerjanya, tapi Jordan tidak ada. Rosella pun akhirnya memberanikan diri menghampiri ruang kerja Jessica dan ia mematung mendapati Jordan dan Jessica di sana. Jordan dan Jessica sendiri menatap Rosella dengan lega karena Rosella sudah terlihat lebih tenang, tapi raut wajah Rosella nampak begitu serius sampai mereka pun penasaran. "Jordan, Jessica ... aku ... aku minta maaf karena sudah membuat kekacauan seperti ini." "Aku ... aku tidak akan menyalahkan siapa pun, aku yang salah, mungkin memang aku yang tidak teliti, aku yang teledor, dan aku yang harus bertanggung jawab." "Jangan sampai WHA menjadi omongan orang hanya karena aku. Maafkan aku sekali lagi!" "Tapi kalau tidak keberatan, maukah kalian menemaniku menemui Om dan Tante? Jujur aku masih takut menemui mereka sendirian karena itu, aku minta ditemani.""Aku ... aku mau meminta maaf dan mengakui semuanya, mengakui semua kebohonga
"Kita tidak boleh membiarkan Livy sampai buka mulut, Jordan! Dia itu ternyata pengacau yang mempunyai hati yang busuk!" Jessica terus menggeram kesal saat ia sudah ada di ruang kerjanya bersama Jordan. Jordan sendiri membawa Livy keluar dari perusahaan tadi dan setelah memastikan Livy pergi dengan mobilnya, Jordan pun menghampiri Rosella, namun Rosella sudah diurus oleh Tami dan Tami pun meminta Jordan menemui Jessica saja. Jordan sendiri begitu kaget mendengar ucapan Jessica karena ia belum tahu kalau Jessica sudah mengetahui semua kisah hidup Rosella. Walaupun malam itu Jordan mengantarkan Jessica yang mabuk pulang ke rumah, tapi ia sama sekali tidak tahu apa yang Rosella dan Jessica bicarakan sewaktu Jordan mengambil jasnya di bawah. "Kau ...." Jordan nampak ragu. "Kau ...," ulang Jordan yang begitu bingung dengan sikap Jessica. Namun, Jessica yang memahami maksud adiknya hanya memicingkan mata. "Aku apa? Aku sudah tahu apa yang menimpa Rosella. Aku sudah tahu kalau dia per
Para peserta rapat akhirnya mengikuti keluar dengan suara yang masih ribut dan dalam sekejap ruang rapat pun menjadi sepi. Hanya tersisa Tami dan beberapa arsitek yang tergabung dalam tim, Jordan, Rosella, Jessica, dan Livy. Livy nampak tersenyum tipis menatap Rosella dan menatap semua kekacauan ini lalu dengan santai ia melenggang keluar dari ruang rapat. Namun, Jessica tidak membiarkannya pergi begitu saja. "Livy!" teriak Jessica yang mengikutiLivy keluar dari ruangan. Livy pun menoleh menatap Jessica. "Kau juga tidak percaya padaku, hah, Jessica? Dia itu mantan orang gila yang mungkin sampai sekarang masih tetap gila. Untuk apa kau membelanya lagi?" "Bukan dia yang gila, tapi kau yang gila, Livy! Mengapa kau harus mengatakan semua itu di depan banyak orang, hah? Benar saja kata ayahku kalau semua orang di sana tidak berpendidikan, termasuk kau, Livy!" "Terserah kau mau bilang apa, Jessica! Tapi semua yang kukatakan adalah kenyataan!" Jessica yang mendengarnya hanya tertawa
Suara lantang Livy membuat semua orang membelalak kebingungan. Jessica sendiri langsung membelalak dan menoleh tidak percaya ke arah Livy. Memang Jessica sudah mengetahui semuanya, namun Jessica tutup mulut dan ikut menyembunyikan semuanya sampai detik ini. Karena itu, Jessica sama sekali tidak menyangka kalau Livy mengetahui kenyataan itu dan membocorkannya seperti ini di depan semua orang. Jordan dan Rosella sendiri juga membelalak. Jordan yang panik mendengar Livy mengatakannya, sedangkan Rosella yang langsung gemetar karena masa lalunya terungkap. Rosella melirik ke arah Jessica dan Rosella pun pasrah kalau memang Jessica yang membocorkan semuanya, walaupun Rosella masih belum mau menuduh. Tapi selama ini Rosella tahu Jessica sangat dekat dengan Livy. Adipura dan Imelda juga membelalak kaget, namun ia masih belum mengerti apa maksud Livy, begitupun dengan peserta rapat yang juga masih tidak mengerti maksud Livy. "Apa maksudnya, Bu Livy? Siapa yang mantan pasien dengan gang
Rosella berangkat ke kantor pagi itu dan semua arsitek yang akan ikut rapat ternyata sudah menunggunya. Mereka pun saling memberi semangat, sebelum akhirnya mereka dibriefing singkat dan masuk ke ruang rapat yang lebih besar daripada biasanya, seperti ruang sebaguna yang besar dan artistik. Jantung Rosella pun berdebar begitu kencang begitu ia masuk, tapi Jordan terus menyemangatinya. Tidak lama kemudian, satu persatu peserta masuk ke sana yang terdiri dari banyak manager senior. Ada juga perwakilan perusahaan lain yang langsung menempati posisi masing-masing. Dan terakhir Adipura dan Imelda juga masuk ke sana, diikuti oleh Jessica dan Livy. "Aku senang sekali semua berkumpul di sini. Seperti yang kita tahu kali ini kita akan mengerjakan proyek besar dan aku juga sudah menunjuk arsitek utama yang akan bertanggung jawab dalam proyek ini." Adipura membuka rapat. "Arsitek muda yang belum lama bergabung dengan WHA, tapi kemampuannya sudah tidak perlu diragukan lagi." "Mari kita sam