Beberapa hari berlalu sejak meninggalnya Laura dan semua ritual pun sudah selesai mereka lakukan. Jacob dan keluarga Sagala membantu semua prosesnya dan Stephanie pun tidak berhenti berterima kasih pada Jacob karena Jacob tetap mau merepotkan dirinya untuk Laura yang sudah begitu jahat padanya. "Terima kasih sekali lagi, Ayah, dan semuanya! Terima kasih sudah mau melakukan semua ini untuk ibuku!" ucap Stephanie tulus. Beberapa hari ini Stephanie tidak berhenti melow dan terus menangis. Rasanya ia masih tidak percaya ibunya harus meninggalkannya seperti ini. Mungkin akan lebih baik kalau saat ini Laura masih ada di penjara jadi ia masih bisa menjenguknya kapan saja. Tapi kalau meninggal? Ke mana lagi Stephanie bisa melihat ibunya itu?Setiap membayangkan kejadian buruk itupun tubuh Stephanie tidak berhenti gemetar. Namun, Stephanie tetap bersyukur semuanya telah selesai. Stephanie pun harus menerima kenyataan kalau sekarang Laura memang sudah tidak ada. Bahkan Gery yang katanya
"Lalita, ayo makan dulu!" seru Sierra yang sudah menyiapkan makanan untuk Lalita itu di meja makan. "Lalita tidak ada, Sierra," sahut Stephanie. "Eh, sepertinya barusan aku mendengar suaranya," kata Sierra lagi.Stephanie hanya menggeleng dan kembali membantu Sierra menyusun makanan di meja makan. Satu minggu berlalu dengan Stephanie yang sudah kembali tinggal di rumah keluarga Sagala. Dan banyak hal yang terjadi dalam satu minggu ini. Sierra sendiri masih tetap tinggal di rumah itu dan mengambil cuti panjangnya dan banyak perubahan berarti yang dirasakan oleh Sierra, terutama dalam hubungannya dengan Jacob dan juga Stephanie. Banyak hal yang membahagiakan dan begitu menenangkan jiwa, walaupun banyak kegalauan perasaan juga. Salah satu kegalauan adalah setiap kali Sierra harus berinteraksi dengan Jacob dan setiap kali Stephanie harus berinteraksi dengan Lalita. Sierra berusaha untuk bersikap tenang dan nyaman, namun tetap saja hatinya tidak benar-benar tenang setiap ada Jacob
"Hei, apa yang kalian lakukan di sana?" Bastian yang baru saja keluar dari kamarnya langsung melihat Sierra dan Bik Mala yang masih mengintip ke kamar Lalita dan Bastian pun mendekat. Sierra sendiri yang mendengar suara Bastian langsung meletakkan jari telunjuk di depan bibirnya, kali ini ia meminta Bastian untuk diam dan Bastian pun langsung menutup mulutnya, walaupun ia masih belum tahu mengapa ia harus diam. Sampai akhirnya Bastian pun tiba di sana dan berdiri tepat di belakang Sierra. Sambil memeluk pinggang Sierra, Bastian pun mencoba mengintip dan ia malah tersenyum mendengar tangisan Stephanie. Hanya seseorang yang tulus yang bisa menangis sesedih itu dan tinggal bersama Stephanie selama satu minggu ini cukup membuat Bastian mengetahui ketulusan Stephanie dan bahwa Stephanie benar-benar telah berubah. "Ini indah sekali," bisik Bastian di telinga Sierra. "Hmm," gumam Sierra pelan. "Tapi mari kita urus urusan kita sendiri, Sayang!" bisik Bastian lagi yang langsung menarik
"Lalita mau ikut, Aunty! Aunty kan sudah janji ...."Lalita terus cemberut saat Sierra akan meninggalkannya pagi itu. "Sayang, maaf ya, yang kali ini Lalita tidak bisa ikut karena Lalita sudah terlalu lama ijin, Lalita harus bersekolah."Lalita terus cemberut dan memeluk Sierra dengan erat. Stephanie yang melihatnya pun nampak salah tingkah, namun ia berusaha mendekati Lalita. "Lalita, kalau kau merindukan Aunty nanti Mama bisa mengantarmu ke sana, Lalita mau kan?" bisik Stephanie dengan lembut sambil berjongkok di samping Lalita. Seketika mata anak itu pun berbinar-binar mendengarnya. Lalita pun menatap Stephanie dengan tatapan yang senang dan Stephanie pun begitu terharu melihat Lalita menatapnya seperti itu. "Mama janji, Sayang. Tapi Lalita harus sekolah yang pintar dulu ya!" kata Stephanie lagi sambil membelai sayang kepala Lalita. Lalita mengerjapkan mata dan hanya menatap Stephanie cukup lama, seolah mempertimbangkan harus bersikap seperti apa pada ibunya itu. Sampai akh
Bastian duduk di ruang kerjanya sambil menatap sebuah benda berkilauan di tangannya. Dan benda itu adalah sebuah cincin bertahtakan berlian yang sudah ia pesan secara khusus untuk melamar Sierra. Bastian pun tidak berhenti menatap cincinnya dan sudah membayangkan betapa indahnya cincin itu melingkar di jari Sierra. "Apa kau akan menyukai kejutanku nanti, Sayang?" "Ck, Sierra, kau benar-benar sudah membuatku gila, bahkan setelah berhasil menjadikanmu kekasih saja rasanya masih belum cukup, sama sekali belum cukup, Sayang.""Aku membutuhkanmu di setiap detik hidupku. Aku mencintaimu, Sierra," ucap Bastian dengan penuh perasaan sambil menatap cincin itu, seolah cincin itu adalah Sierra, kekasihnya. Bastian masih tersenyum dengan pikirannya sendiri saat tiba-tiba pintu ruang kerjanya diketuk dan Jonathan pun masuk ke dalam. "Apa aku mengganggu, Pak Bos? Tidak biasanya kau mengajakku bertemu di kantormu, biasanya kita bertemu di cafe atau restoran.""Jonathan, duduklah! Akan lebih ny
Sungguh, awalnya Jonathan tidak pernah berpikir untuk melakukan hal yang lebih pada Rosella karena Jonathan sangat menghormati Rosella, tidak hanya sebagai pasien tapi sebagai wanita. Berulang kali Jonathan menegaskan itu dalam hatinya saat rasa sayang yang berlebih tiba-tiba muncul. Dan sejauh ini sugesti yang ia tanamkan pada dirinya sendiri berjalan sangat baik. Namun, mendadak semua keteguhan hatinya luntur hanya karena beberapa kalimat dari Bastian dan Jonathan pun mulai menatap Rosella dengan tatapan yang berbeda. Seperti saat ini, saat Jonathan sudah berdua saja dengan Rosella di tempat prakteknya. Seperti biasa, Jonathan duduk berjongkok di hadapan Rosella dan mendongak menatap wanita yang sedang duduk di kursinya itu. Begitupun dengan Rosella yang juga menunduk menatap Jonathan, seolah mengenali Jonathan namun sungguh Jonathan tidak bisa menebak dengan pasti apa yang ada di pikiran Rosella saat ini. "Kau merindukan aku, Rosella? Kau tahu kalau aku sangat merindukanmu .
Jantung Jonathan masih berdebar tidak karuan saat akhirnya ia mendaratkan bibirnya ke bibir Rosella yang terasa dingin itu. Namun, baru saja bibir itu bersentuhan mendadak Jonathan bisa merasakan perubahan dalam diri Rosella. Debar jantung Rosella mendadak memacu begitu kencang sampai tubuh itu gemetar. Sontak Jonathan langsung menarik dirinya lagi. Bahkan Jonathan belum sempat berkenalan lebih dengan bibir manis itu, namun pupil mata Rosella sudah membesar sekarang. "Oh, sial! Apa yang sudah kulakukan!" rutuk Jonathan yang menyadari kalau Rosella mulai ketakutan. Jonathan pun segera melepaskan pelukannya dan membawa Rosella kembali duduk di kursinya. "Rosella, tenang! Tarik napasmu! Buang lagi. Tarik lagi. Maafkan aku, Rosella! Maafkan aku! Maafkan aku yang brengsek! Aku tidak akan mengulanginya lagi, Rosella. Sungguh, maafkan aku!" Jonathan merasa sangat bersalah apalagi melihat napas Rosella yang mendadak tersengal dan tatapan matanya yang begitu goyah, seolah Rosella sudah
"Selamat pagi, Tante!" sapa Bastian dan Jonathan pagi itu. Bastian dan Jonathan tiba di rumah keluarga Sierra dalam waktu yang hampir bersamaan dan mereka masuk bersama. Tentu saja penampilan kedua pria gagah itu sempat membuat Lidya tersenyum bahagia menyambutnya. Dua pria yang mungkin akan bersama dua anak perempuannya. Oh, ini indah sekali. Bahkan Lidya bermimpi saja tidak berani kalau kedua anaknya yang biasa saja bisa bertemu para pria luar biasa ini, yang satu pengusaha sukses dan yang satu dokter terkenal. Rasanya Lidya tidak bisa meminta lebih lagi. "Selamat pagi, Bastian! Selamat pagi, Jonathan! Masuklah!" Lidya mempersilakan kedua pria itu masuk dan duduk di ruang tamu. Mereka pun menunggu di sana, sebelum Lidya membawa Rosella keluar duluan dan Jonathan langsung menyambutnya dengan sumringah. "Hai, Rosella! Kau cantik sekali pagi ini!" puji Jonathan tanpa pernah bosan. Hampir setiap bertemu, Jonathan tidak pernah absen memuji Rosella dan Bastian yang melihatnya pun