Sierra merasa pusing. Ia sungguh merasa pusing dan jantungnya berdebar begitu kencang. "Sial! Ini pasti karena alkohol itu!" rutuk Sierra yang sudah berdiri di depan cermin di toilet. Bahkan ia ingin memuntahkan minumannya, namun ia tidak bisa. Ia tidak mual sama sekali. Ia hanya merasa pusing yang tidak biasa. Pusing sampai ia tidak bisa berdiri tegak. "Astaga, bagaimana ini? Aku harus menelepon siapa yang bisa membantuku? Valdo tidak ada di sini dan Pak sopir juga sudah pulang jam segini!""Sial! Bahkan aku tidak mungkin bisa menyetir mobil dalam keadaan seperti ini!"Sierra pun mencoba membuka matanya dan ia melihat toilet yang berputar."Ah, padahal aku hanya minum tiga gelas! Astaga, Sierra! Tiga gelas itu sudah berlebihan!" rutuk Sierra lagi yang sudah bersandar di dinding toilet dan benar-benar tidak tahu harus melakukan apa sekarang. Sedangkan di luar toilet, Bastian sudah menunggu Sierra. Sejak Sierra menghabiskan winenya tadi, Bastian sudah melihat wajah Sierra yang aga
Bastian masih terdiam tanpa menyahut, namun senyumannya sudah makin lebar sekarang. Sierra yang mabuk ternyata jauh lebih menggemaskan. Bahkan wajah itu terlihat sangat seksi. Gerakan tubuh Sierra yang oleng pun membuat Sierra nampak hot dengan gaun seksinya. "Dan kau juga, bisakah kau menghubungi seseorang yang bisa membantuku? Aku tidak bisa menyetir dalam keadaan pusing seperti ini. Sopirku juga sudah pulang. Aku tidak tahu harus menelepon siapa." Sierra terus mengibaskan tangannya ke arah Bastian. "Bastian!" jawab Bastian cepat. "Pria yang ingin kau hindari itu. Pasti kau mengenalnya kan sampai kau ingin menghindarinya?"Sierra pun mengernyit mendengar nama itu. "Bastian? Oh, jangan menyebut nama itu! Nanti kalau dia mendengar aku menyebut namanya, dia akan besar kepala! Tidak, pokoknya tidak!" Sierra terus menggelengkan kepalanya. Senyuman Bastian pun makin mengembang sekarang. "Tapi bukankah sekarang hanya dia pria yang bisa kau mintai bantuan, hah? Valdo tidak ada di kota
"Jadi ke mana aku harus membawamu pulang, Sayang? Bagaimana kalau ke apartemenku saja?" bisik Bastian sambil memasangkan sabuk pengaman untuk Sierra yang sudah duduk lemas di kursinya. "Hmm, apartemen siapa? Mengapa aku harus ke apartemen? Aku punya rumah, aku sudah punya rumah sekarang. Walaupun masih tetap sewa, rumah itu bukan milikku tapi milik Pak Marco. Tapi aku membayarnya dengan uangku sendiri. Dan aku bangga." Sierra menepuk-nepuk dadanya dengan begitu bangga sambil tersenyum. Bastian yang masih mencondongkan tubuhnya ke arah Sierra pun membelai lembut pipi Sierra. "Aku tahu, Sayang. Aku juga bangga padamu." Bastian tersenyum lalu mendaratkan bibirnya ke pipi wanita itu. Cup!Sierra pun mengernyit merasakannya dan sontak ia membuka matanya menatap Bastian. "Berani sekali kau menciumku! Kau kurang ajar sekali! Aku tidak pernah membiarkan sembarang pria menciumku! Siapa kau, hah? Siapa kau? Mengapa wajahmu terlihat tidak asing?"Sierra mendekatkan wajahnya dan mengangkat ke
Sierra masih memejamkan matanya dan ia merasa tenaganya terkuras habis. Terus mengoceh dalam keadaan tidak sadar membuatnya lelah, seolah ia baru saja mengeluarkan energi yang sangat banyak sampai ia lemas. Namun, Bastian yang melihatnya hanya tetap tercengang menatap wajah cantik itu. "Apa yang kau katakan, Sayang? Coba ulangi lagi, Sayang!" "Hmm ...." Tapi Sierra hanya bergumam dan tidak menjawabnya lagi. "Sierra, Sayang ... bolehkah aku minta kau mengulangi ucapanmu lagi, Sayang? Benarkah kau ... masih perawan? Kau tidak pernah melakukan itu dengan siapa pun sama sekali?" "Hmm ...." Lagi-lagi Sierra hanya bergumam dan mengangkat tangannya singkat lalu tangannya kembali lemas. "Sayang, jangan tidur dulu, Sayang! Hei, Sierra, Sayang ...." Bastian menangkup wajah Sierra dan mencoba memanggilnya. Namun, Sierra tidak mau bangun dan hanya terus bergumam. "Bastian brengsek ...," gumam Sierra lemah. Bastian tertawa pelan mendengarnya. "Kau benar, dia brengsek!" "Bastia
"Ah, Bu Sierra mabuk, bolehkah aku membawanya ke kamarnya?" jawab Bastian yang sudah menggendong Sierra ala bridal style. Bik Ita nampak membelalak dan ragu. "Membawanya ke kamar? Tapi kau siapa?""Jangan takut, Bik! Aku temannya Bu Sierra. Aku hanya mengantarnya pulang."Bik Ita yang mendengarnya kembali ragu, namun akhirnya ia mengangguk. "Di mana kamar Sierra?""Di atas, Pak." Bik Ita mengantarkan Bastian ke atas dan menunjukkan kamar Sierra. Namun, terlihat jelas raut wajah yang masih bingung di wajah wanita itu. "Jangan takut, sungguh aku bukan orang jahat! Oh ya, apa ini kamar Julio?" tanya Bastian lagi saat melewati sebuah kamar. "Eh, iya, tapi Julio sudah tidur.""Boleh aku melihatnya? Tadi Julio menelepon Sierra.""Eh, apa?" Bik Ita nampak begitu takut sekarang. Bahkan ia mulai mempertimbangkan untuk membangunkan Lidya. "Tidak apa. Julio meneleponku dan bilang kalau Rosella bangun, bisakah kau memeriksanya untukku?""Oh, itu ...."Bik Ita nampak berpikir keras, sebelum
Bastian dan Sierra begitu menikmati kebersamaan mereka. Saling berpelukan dan menghirup aroma tubuh masing-masing yang membuat mereka begitu nyaman satu sama lain. Sampai mereka tidak menyadari kalau sang surya mulai mengintip manja dari luar jendela. Diam-diam cahaya matahari itu membuat Sierra yang lebih dulu mengernyit, namun ia malah mencari kehangatan lebih ke pelukan Bastian. "Hmm, silau sekali ...," gumam Sierra. Sierra melanjutkan tidurnya sedikit lebih lama, sebelum ia merasakan sedikit hal yang tidak biasa pagi itu. Tempat tidurnya terasa sempit dan lebih hangat. Perlahan Sierra membuka matanya dan hal pertama yang ia lihat adalah seorang pria yang sangat tampan sedang tertidur seperti "sleeping handsome" di sana. Penampakan pria itu dari samping begitu mengesankan dengan hidung yang mancung dan jambang tipisnya yang so manly. Ditambah sedikit cahaya matahari yang menyinari membuat pria itu malah makin glowing. Tanpa sadar Sierra pun menelan salivanya dan menyusuri
Sierra masih duduk mematung mendengar ucapan dari Bastian.Bahkan jantung Sierra yang tadinya sudah berdebar kencang pun sekarang berdebar makin tidak menentu mendengar pengakuan yang tidak pernah disangkanya itu. "Kau ... jangan gila, Bastian!" Sierra yang salah tingkah mendadak menepis tangan Bastian yang tadinya masih menangkup kedua pipinya. "Aku tidak gila, Sierra. Aku waras dan aku sangat sadar. Bahkan aku tidak mabuk sedikit pun semalam, Sierra."Sierra menelan salivanya. Saat ini rasa berdebar karena pernyataan cinta Bastian mendadak mengalahkan rasa kecewa karena Sierra merasa Bastian sudah merenggut kehormatannya semalam. "Aku ... aku tahu kau tidak mabuk tapi kau ... jangan bicara ngawur!" elak Sierra. "Atau jangan-jangan kau hanya mengatakannya karena kau sudah berbuat salah kemarin kan? Kau meniduriku dan takut aku marah karena itu kau berkata seperti ini, benar kan?" tuduh Sierra begitu saja. Bastian pun mengernyit, sebelum ia kembali tertawa. "Sierra, Sayang ... l
Bastian dan Sierra duduk bersama di ruang makan setelah Sierra mandi dan mengganti bajunya. Sementara Bastian pun akhirnya meminta Tory membawakan bajunya dan mandi di rumah Sierra. Bastian memang belum berniat pergi dari rumah itu karena mereka tertangkap basah sedang berciuman tadi dan Bastian merasa harus menjelaskan semuanya. Namun, Lidya yang kaget tadi terlalu sibuk membawa Julio pergi dan hanya menyuruh Bastian serta Sierra segera bersiap dan berkumpul di ruang makan. Dan di sinilah mereka, Sierra duduk dengan canggung sambil sesekali melirik Lidya yang sedang asik makan itu sedangkan Bastian malah bersikap biasa saja. "Mengapa kau tidak makan, Sierra? Ayo makanlah, Bastian juga makan kan!" ajak Lidya. Namun, sungguh Sierra tidak bisa makan karena terlalu tegang. Sementara Bastian hanya melirik Lidya dengan sedikit sungkan, namun ia sama sekali tidak menyesali apa pun, bahkan berniat bertanggung jawab kalau memang Lidya memintanya. Bastian pun tetap makan bersama Tory d