"Jadi ke mana aku harus membawamu pulang, Sayang? Bagaimana kalau ke apartemenku saja?" bisik Bastian sambil memasangkan sabuk pengaman untuk Sierra yang sudah duduk lemas di kursinya. "Hmm, apartemen siapa? Mengapa aku harus ke apartemen? Aku punya rumah, aku sudah punya rumah sekarang. Walaupun masih tetap sewa, rumah itu bukan milikku tapi milik Pak Marco. Tapi aku membayarnya dengan uangku sendiri. Dan aku bangga." Sierra menepuk-nepuk dadanya dengan begitu bangga sambil tersenyum. Bastian yang masih mencondongkan tubuhnya ke arah Sierra pun membelai lembut pipi Sierra. "Aku tahu, Sayang. Aku juga bangga padamu." Bastian tersenyum lalu mendaratkan bibirnya ke pipi wanita itu. Cup!Sierra pun mengernyit merasakannya dan sontak ia membuka matanya menatap Bastian. "Berani sekali kau menciumku! Kau kurang ajar sekali! Aku tidak pernah membiarkan sembarang pria menciumku! Siapa kau, hah? Siapa kau? Mengapa wajahmu terlihat tidak asing?"Sierra mendekatkan wajahnya dan mengangkat ke
Sierra masih memejamkan matanya dan ia merasa tenaganya terkuras habis. Terus mengoceh dalam keadaan tidak sadar membuatnya lelah, seolah ia baru saja mengeluarkan energi yang sangat banyak sampai ia lemas. Namun, Bastian yang melihatnya hanya tetap tercengang menatap wajah cantik itu. "Apa yang kau katakan, Sayang? Coba ulangi lagi, Sayang!" "Hmm ...." Tapi Sierra hanya bergumam dan tidak menjawabnya lagi. "Sierra, Sayang ... bolehkah aku minta kau mengulangi ucapanmu lagi, Sayang? Benarkah kau ... masih perawan? Kau tidak pernah melakukan itu dengan siapa pun sama sekali?" "Hmm ...." Lagi-lagi Sierra hanya bergumam dan mengangkat tangannya singkat lalu tangannya kembali lemas. "Sayang, jangan tidur dulu, Sayang! Hei, Sierra, Sayang ...." Bastian menangkup wajah Sierra dan mencoba memanggilnya. Namun, Sierra tidak mau bangun dan hanya terus bergumam. "Bastian brengsek ...," gumam Sierra lemah. Bastian tertawa pelan mendengarnya. "Kau benar, dia brengsek!" "Bastia
"Ah, Bu Sierra mabuk, bolehkah aku membawanya ke kamarnya?" jawab Bastian yang sudah menggendong Sierra ala bridal style. Bik Ita nampak membelalak dan ragu. "Membawanya ke kamar? Tapi kau siapa?""Jangan takut, Bik! Aku temannya Bu Sierra. Aku hanya mengantarnya pulang."Bik Ita yang mendengarnya kembali ragu, namun akhirnya ia mengangguk. "Di mana kamar Sierra?""Di atas, Pak." Bik Ita mengantarkan Bastian ke atas dan menunjukkan kamar Sierra. Namun, terlihat jelas raut wajah yang masih bingung di wajah wanita itu. "Jangan takut, sungguh aku bukan orang jahat! Oh ya, apa ini kamar Julio?" tanya Bastian lagi saat melewati sebuah kamar. "Eh, iya, tapi Julio sudah tidur.""Boleh aku melihatnya? Tadi Julio menelepon Sierra.""Eh, apa?" Bik Ita nampak begitu takut sekarang. Bahkan ia mulai mempertimbangkan untuk membangunkan Lidya. "Tidak apa. Julio meneleponku dan bilang kalau Rosella bangun, bisakah kau memeriksanya untukku?""Oh, itu ...."Bik Ita nampak berpikir keras, sebelum
Bastian dan Sierra begitu menikmati kebersamaan mereka. Saling berpelukan dan menghirup aroma tubuh masing-masing yang membuat mereka begitu nyaman satu sama lain. Sampai mereka tidak menyadari kalau sang surya mulai mengintip manja dari luar jendela. Diam-diam cahaya matahari itu membuat Sierra yang lebih dulu mengernyit, namun ia malah mencari kehangatan lebih ke pelukan Bastian. "Hmm, silau sekali ...," gumam Sierra. Sierra melanjutkan tidurnya sedikit lebih lama, sebelum ia merasakan sedikit hal yang tidak biasa pagi itu. Tempat tidurnya terasa sempit dan lebih hangat. Perlahan Sierra membuka matanya dan hal pertama yang ia lihat adalah seorang pria yang sangat tampan sedang tertidur seperti "sleeping handsome" di sana. Penampakan pria itu dari samping begitu mengesankan dengan hidung yang mancung dan jambang tipisnya yang so manly. Ditambah sedikit cahaya matahari yang menyinari membuat pria itu malah makin glowing. Tanpa sadar Sierra pun menelan salivanya dan menyusuri
Sierra masih duduk mematung mendengar ucapan dari Bastian.Bahkan jantung Sierra yang tadinya sudah berdebar kencang pun sekarang berdebar makin tidak menentu mendengar pengakuan yang tidak pernah disangkanya itu. "Kau ... jangan gila, Bastian!" Sierra yang salah tingkah mendadak menepis tangan Bastian yang tadinya masih menangkup kedua pipinya. "Aku tidak gila, Sierra. Aku waras dan aku sangat sadar. Bahkan aku tidak mabuk sedikit pun semalam, Sierra."Sierra menelan salivanya. Saat ini rasa berdebar karena pernyataan cinta Bastian mendadak mengalahkan rasa kecewa karena Sierra merasa Bastian sudah merenggut kehormatannya semalam. "Aku ... aku tahu kau tidak mabuk tapi kau ... jangan bicara ngawur!" elak Sierra. "Atau jangan-jangan kau hanya mengatakannya karena kau sudah berbuat salah kemarin kan? Kau meniduriku dan takut aku marah karena itu kau berkata seperti ini, benar kan?" tuduh Sierra begitu saja. Bastian pun mengernyit, sebelum ia kembali tertawa. "Sierra, Sayang ... l
Bastian dan Sierra duduk bersama di ruang makan setelah Sierra mandi dan mengganti bajunya. Sementara Bastian pun akhirnya meminta Tory membawakan bajunya dan mandi di rumah Sierra. Bastian memang belum berniat pergi dari rumah itu karena mereka tertangkap basah sedang berciuman tadi dan Bastian merasa harus menjelaskan semuanya. Namun, Lidya yang kaget tadi terlalu sibuk membawa Julio pergi dan hanya menyuruh Bastian serta Sierra segera bersiap dan berkumpul di ruang makan. Dan di sinilah mereka, Sierra duduk dengan canggung sambil sesekali melirik Lidya yang sedang asik makan itu sedangkan Bastian malah bersikap biasa saja. "Mengapa kau tidak makan, Sierra? Ayo makanlah, Bastian juga makan kan!" ajak Lidya. Namun, sungguh Sierra tidak bisa makan karena terlalu tegang. Sementara Bastian hanya melirik Lidya dengan sedikit sungkan, namun ia sama sekali tidak menyesali apa pun, bahkan berniat bertanggung jawab kalau memang Lidya memintanya. Bastian pun tetap makan bersama Tory d
"Kau benar-benar sinting, Bastian! Bisa-bisanya kau bilang pada Ibu kalau kita sudah berciuman dan tidur bersama!" Sierra terus mengomel tanpa henti saat mereka sudah berjalan bersama menuju ke ruang kerja Sierra di perusahaan wanita itu. "Aku hanya mengatakan yang sebenarnya, Sierra.""Aku tahu! Tapi kau tidak harus sevulgar itu kan?" Sierra mendesis kesal. "Hei, ibumu harus tahu apa yang terjadi pada anaknya, Sayang. Apalagi dengan masa laluku yang bertabur wanita. Apa kau pikir seorang ibu akan menyerahkan anaknya begitu saja padaku kalau aku tidak menunjukkan ketulusanku? Ketulusan itu termasuk kejujuran, Sierra.""Ck, yang benar saja, Bastian! Kau mau bersikap seolah kau adalah pria baik-baik sekarang, hmm?" Bastian terdiam mendengarnya dan ia pun hanya mengikuti Sierra yang sudah berjalan cepat kembali ke ruang kerjanya sendiri. "Sayang ...," panggil Bastian saat Bastian sudah menyusul Sierra ke dalam ruangannya. "Tidakkah kau merasa aku berubah?" tanya Bastian serius. Sie
Sierra kembali mengacak-acak lemarinya malam itu hanya untuk mencari gaun santai untuk malam malam dengan Bastian. "Astaga, aku harus memakai gaun apa? Bastian memintaku berdandan, aku harus tampil cantik. Bukankah di restoran biasanya akan banyak wanita cantik? Aku tidak mau Bastian melirik wanita lain karena aku kalah cantik," gumam Sierra begitu saja. Namun, sedetik setelah ia mengatakannya, mendadak Sierra pun terdiam. Sungguh, dulu ia tidak seperti ini. Ia tidak pernah terlalu konsen memilih gaun seperti saat ini. "Ya ampun, Sierra! Kau mulai berlebihan! Ini bukan pertama kalinya kau makan malam dengan Bastian kan? Dan biasanya kau juga tidak seheboh ini!" Sierra pun terdiam sejenak sambil mengembuskan napas panjangnya. Untuk sesaat, ia tersenyum dengan perasaan yang bahagia. Bahkan sampai detik ini, ia masih tidak menyangka hubungannya dengan Bastian akan sampai pada tahap ini. Baiklah, memang hubungannya dengan Bastian tidak pernah jelas. Tidak pernah ada kata-kata forma