Mazaya menghabiskan harinya dengan menyendiri di sebuah desa yang cukup terpencil, rumah sederhana dengan satu kamar, di kelilingi kebun bunga bewarna warni. Jauh dari hiruk pikuk kota, tak ada kendaraan berlalu lalang, sebuah tempat yang cocok untuk mengasingkan diri.Dia diberi izin untuk bercocok tanam sepuasnya di sana, menikmati kesendiriannya tanpa gangguan siapapun, ini lebih baik, kembali pulang hanya akan membuat hatinya sakit, Riki masih sama... tak kan berbalik mencintainya.Dalam hatinya, dia sangat merindukan Riki, merindukan sesuatu yang takkan pernah dia raih. Dia berjuang sendiri tanpa hasil yang pasti.Istana cinta yang dibangun susah payah diporak-porandakan Riki, menyisakan kepedihan mendalam.Dia sudah memutuskan untuk berhenti berjuang mendapatkan laki- laki itu. Dia seperti berjalan di lingkaran setan, akan kembali ke titik awal dia memulai. Mungkin ini adalah hukuman baginya atas semua kejahatan di masa lalu yang pernah di lakukannya, membenci Riki sebenci benci
Dua bulan sudah tak ada kabar dari Mazaya, Riki sudah mengerahkan seluruh tenaga dan fikirannya untuk mencarinya, tapi tetap saja tidak membuahkan hasil.Riki sering termenung sendiri, walaupun dia tidak mencintai wanita itu, dalam hatinya dia merasa sangat kehilangan, apa lagi tinggal beberapa bulan lagi anak mereka akan lahir ke dunia. Anak yang sangat di harapkan Riki.Sampai sekarang pun dia masih mengerahkan orang yang ahli untuk mencari, dan sampai detik ini belum ada kabar berita.Dimanakah wanita itu berada sekarang? Hati Riki mengatakan dia masih hidup dan bersembunyi di suatu tempat, tapi sampai kapan dia bersembunyi, seharusnya mereka bertemu menyelesaikan permasalahan dan kesalahpahaman di antara mereka.Riki tak bisa membayangkan, seandainya Mazaya bersembunyi selama bertahun tahun, sama seperti dulu.Sudah dua minggu Riki berada di Singapura, menjalani pengobatan sekaligus terapi. Dia mengikuti saran Celin untuk memastikan secara langsung penyakitnya ke dokter spesialis.
Kandungan Mazaya sudah memasuki usia delapan bulan, sang bayi mulai bergerak aktif. Satu yang di syukuri Mazaya, dia tidak seperti ibu hamil lainnya, tubuhnya tetap indah walaupun dengan perut yang semakin besar.Rian selalu menjenguknya sekali seminggu sambil membawa kebutuhan harian untuk Mazaya. Mazaya merasa memiliki saudara, hanya ucapan terimakasih yang bisa di ucapkannya saat sekarang ini.Riki, kerinduannya pada pria itu semakin menjadi, siang malam selalu memikirkannya. Apa yang dilakukan suaminya itu sekarang, apakah ada terbesit rindu sedikit saja untuknya, di satu sisi dia ingin melupakannya, tapi di sisi lain dia ingin menemuinya." Mazaya, apa kau tak berniat memeriksakan kandunganmu?""Seharusnya aku sudah menemui dokter kandungan... tapi, aku belum punya keberanian untuk keluar dari desa ini.""Aku mengerti, aku takkan memaksamu menceritakan apa yang sebenarnya terjadi, tapi kalau aku boleh memberi saran sebagai sahabatmu, jangan egois terhadap bayimu, dia butuh perhat
Beberapa menit mereka saling diam. Tak ada pembicaraan sepatah katapun. Mazaya dari tadi hanya membuang muka, menahan hatinya, meredam detak jantungnya. Dia harus kuat, menguasai dirinya supaya tidak berlari kepelukan laki-laki itu, menciumnya sampai kehabisan nafas.Riki tak bisa mendeskripsikan suasana hatinya, senang melihat Mazaya kembali dengan sehat, dan marah mendapati ada laki-laki lain di hidup istrinya itu. "Di mana dirimu selama ini?"Akhirnya Riki mengutarakan rasa penasarannya."Di suatu tempat yang tidak akan terjangkau oleh siapapun."Mazaya berkata dingin sambil membuang mukanya."Kenapa kamu pergi?""Apa aku harus menjawab pertanyaanmu?" Mazaya terpaksa memandang wajah Riki, dia bersumpah pria itu semakin tampan."Setidaknya kamu memberi alasan.""Untuk apa?""Aku masih suamimu," jawab Riki merendahkan suaranya."Suami yang berselingkuh?" Mazaya tersenyum sinis, melipat tangannya di atas perut besarnya."Ya Allah, kau salah paham, Mazaya, aku tidak berselingkuh." Rik
Riki masih kesusahan menata nafasnya, dia tersengal, sensasi kali ini sangat luar biasa. Wanita itu melambungkannya ke atas awan kemudian menjatuhkannya kembali ke dasar jurang.Riki memejamkan matanya, bahkan bibirnya masih kebas, ciuman kasar itu sangat memabukka.Riki berperang dengan dirinya sendiri, ingin rasanya mendobrak pintu itu, menarik Mazaya keluar dan melanjutkan ketahap berikutnya di sofa ini. Tapi dia sudah berusaha menahan diri selama ini, tidak mungkin dia menjilat ludahnya sendiri. Hubungan tempat tidur harus dilakukan dengan cinta... sekarang dia menyesal... dia tak lagi butuh cinta sekarang, dia butuh Mazaya.Mazaya mengamati wajah frustasi dan menegang milik Riki, dia tersenyum menang. Dia yang akan mengendalikan laki-laki itu mulai sekarang, dia yang akan membuat Riki mengemis kepadanya.Mazaya tersenyum licik, tidak sabar menunggu saat itu.Mazaya melihat Riki bangkit dari duduknya, menuju kamar mandi, dia yakin suaminya itu butuh air dingin.
Rian dan Mazaya sudah sampai di tempat yang dituju. Sebenarnya mereka bukan pergi untuk berkencan, Mazaya hanya pergi menolong Rian untuk memilihkan mobil baru yang akan dihadiahkan untuk ibunya sebagai hadiah ulang tahun."Jadi aku ini dijadikan alat?" Rian melirik Mazaya, tapi tak ada kesan marah di wajahnya, dia malah tersenyum hangat. Rian bisa mengelola emosinya dengan sangat baik."Maafkan aku, aku tak bermaksud begitu, hanya saja, laki-laki keras kepala itu perlu dikasih pelajaran," jawab Mazaya."Kau benar, seseorang akan menyadari perasaannya sendiri saat mereka kehilangan." Terdengar rasa sedih dari ucapan Rian.Mazaya menyipitkan matanya."Jadi cintamu tak berhasil?"Mazaya sungguh tidak peka."Sepertinya tidak, wanita bodoh itu tetap memilih suaminya." Rian melirik Mazaya sekilas ketika asik mengamati interior mobil di showroom tersebut."Aku sudah bilang padamu, jangan mencintai sesuatu yang tak bisa kau raih, kau akan sangat kesakitan.""Kau benar." Rian mengempaskan naf
Mazaya menyandarkan tubuhnya ke sisi tempat tidur. Sebenarnya dia lelah dengan permainan ini, bagaimana jika bayi ini sudah lahir dan Riki belum juga jatuh cinta padanya, pasti akan sangat sakit melepas suaminya itu.Dia sangat mencintai Riki, itu sudah pasti, dia ingin pernikahan yang sebenarnya, saling mencintai dan memiliki banyak anak, tua bersama sampai memiliki anak cucu.Mazaya bangkit dari duduknya menuju ruang tamu, Riki berada disitu, pandangan mereka bertemu sekilas, menghadirkan debaran indah di jantung Mazaya, Riki memalingkan wajah lebih dulu, dia kembali fokus dengan televisi yang sedang menayangkan pertandingan sepak bola.Mazaya duduk di samping Riki, menyandarkan tubuhnya ke sisi sofa, dia mengelus perutnya ketika merasakan tendangan bayinya cukup kuat. Mereka saling diam hanyut dengan pikiran masing masing.Andaikan ini adalah pernikahan normal, dengan manja dia akan bersandar ke bahu lebar itu, menceritakan padanya betapa perut ini semakin berat, belum lagi pegal
Riki melarikan diri dari Mazaya karena tak ingin wanita itu mengorek lebih dalam tentang dirinya, apakah dia pernah menyentuhnya dulu? Tentu saja, cuma sentuhan penasaran seorang remaja laki-laki yang sedang dilanda masa puber.Dulu awalnya dia dipekerjakan untuk bantu-bantu membersihkan perkarangan, ketika usianya cukup, Pak Amin menjadikannya supir pribadi gadis itu, mengekor ke mana dia pergi, di samping kenangan yang menyakitkan, juga ada kenangan konyol yang dialami Riki remaja.Mazaya dulu suka ke club, Riki hapal kebiasaannya, jika dia sudah bertengkar dengan ayahnya, maka pelariannya adalah minuman keras. Kebiasaan lainnya adalah setelah minum sepuasnya dia akan muntah sangat banyak, mengotori bajunya dan baju Riki, terkadang Riki merasa dia merangkap menjadi baby sitter.Pak Amin sering pergi, dia memiliki banyak perkebunan di berbagai daerah. Siapa lagi yang akan mengurus gadis nakal itu kalau bukan Riki, Riki pernah melongo melihat pemandangan yang baru baginya saat pertama