Kandungan Mazaya sudah memasuki usia delapan bulan, sang bayi mulai bergerak aktif. Satu yang di syukuri Mazaya, dia tidak seperti ibu hamil lainnya, tubuhnya tetap indah walaupun dengan perut yang semakin besar.Rian selalu menjenguknya sekali seminggu sambil membawa kebutuhan harian untuk Mazaya. Mazaya merasa memiliki saudara, hanya ucapan terimakasih yang bisa di ucapkannya saat sekarang ini.Riki, kerinduannya pada pria itu semakin menjadi, siang malam selalu memikirkannya. Apa yang dilakukan suaminya itu sekarang, apakah ada terbesit rindu sedikit saja untuknya, di satu sisi dia ingin melupakannya, tapi di sisi lain dia ingin menemuinya." Mazaya, apa kau tak berniat memeriksakan kandunganmu?""Seharusnya aku sudah menemui dokter kandungan... tapi, aku belum punya keberanian untuk keluar dari desa ini.""Aku mengerti, aku takkan memaksamu menceritakan apa yang sebenarnya terjadi, tapi kalau aku boleh memberi saran sebagai sahabatmu, jangan egois terhadap bayimu, dia butuh perhat
Beberapa menit mereka saling diam. Tak ada pembicaraan sepatah katapun. Mazaya dari tadi hanya membuang muka, menahan hatinya, meredam detak jantungnya. Dia harus kuat, menguasai dirinya supaya tidak berlari kepelukan laki-laki itu, menciumnya sampai kehabisan nafas.Riki tak bisa mendeskripsikan suasana hatinya, senang melihat Mazaya kembali dengan sehat, dan marah mendapati ada laki-laki lain di hidup istrinya itu. "Di mana dirimu selama ini?"Akhirnya Riki mengutarakan rasa penasarannya."Di suatu tempat yang tidak akan terjangkau oleh siapapun."Mazaya berkata dingin sambil membuang mukanya."Kenapa kamu pergi?""Apa aku harus menjawab pertanyaanmu?" Mazaya terpaksa memandang wajah Riki, dia bersumpah pria itu semakin tampan."Setidaknya kamu memberi alasan.""Untuk apa?""Aku masih suamimu," jawab Riki merendahkan suaranya."Suami yang berselingkuh?" Mazaya tersenyum sinis, melipat tangannya di atas perut besarnya."Ya Allah, kau salah paham, Mazaya, aku tidak berselingkuh." Rik
Riki masih kesusahan menata nafasnya, dia tersengal, sensasi kali ini sangat luar biasa. Wanita itu melambungkannya ke atas awan kemudian menjatuhkannya kembali ke dasar jurang.Riki memejamkan matanya, bahkan bibirnya masih kebas, ciuman kasar itu sangat memabukka.Riki berperang dengan dirinya sendiri, ingin rasanya mendobrak pintu itu, menarik Mazaya keluar dan melanjutkan ketahap berikutnya di sofa ini. Tapi dia sudah berusaha menahan diri selama ini, tidak mungkin dia menjilat ludahnya sendiri. Hubungan tempat tidur harus dilakukan dengan cinta... sekarang dia menyesal... dia tak lagi butuh cinta sekarang, dia butuh Mazaya.Mazaya mengamati wajah frustasi dan menegang milik Riki, dia tersenyum menang. Dia yang akan mengendalikan laki-laki itu mulai sekarang, dia yang akan membuat Riki mengemis kepadanya.Mazaya tersenyum licik, tidak sabar menunggu saat itu.Mazaya melihat Riki bangkit dari duduknya, menuju kamar mandi, dia yakin suaminya itu butuh air dingin.
Rian dan Mazaya sudah sampai di tempat yang dituju. Sebenarnya mereka bukan pergi untuk berkencan, Mazaya hanya pergi menolong Rian untuk memilihkan mobil baru yang akan dihadiahkan untuk ibunya sebagai hadiah ulang tahun."Jadi aku ini dijadikan alat?" Rian melirik Mazaya, tapi tak ada kesan marah di wajahnya, dia malah tersenyum hangat. Rian bisa mengelola emosinya dengan sangat baik."Maafkan aku, aku tak bermaksud begitu, hanya saja, laki-laki keras kepala itu perlu dikasih pelajaran," jawab Mazaya."Kau benar, seseorang akan menyadari perasaannya sendiri saat mereka kehilangan." Terdengar rasa sedih dari ucapan Rian.Mazaya menyipitkan matanya."Jadi cintamu tak berhasil?"Mazaya sungguh tidak peka."Sepertinya tidak, wanita bodoh itu tetap memilih suaminya." Rian melirik Mazaya sekilas ketika asik mengamati interior mobil di showroom tersebut."Aku sudah bilang padamu, jangan mencintai sesuatu yang tak bisa kau raih, kau akan sangat kesakitan.""Kau benar." Rian mengempaskan naf
Mazaya menyandarkan tubuhnya ke sisi tempat tidur. Sebenarnya dia lelah dengan permainan ini, bagaimana jika bayi ini sudah lahir dan Riki belum juga jatuh cinta padanya, pasti akan sangat sakit melepas suaminya itu.Dia sangat mencintai Riki, itu sudah pasti, dia ingin pernikahan yang sebenarnya, saling mencintai dan memiliki banyak anak, tua bersama sampai memiliki anak cucu.Mazaya bangkit dari duduknya menuju ruang tamu, Riki berada disitu, pandangan mereka bertemu sekilas, menghadirkan debaran indah di jantung Mazaya, Riki memalingkan wajah lebih dulu, dia kembali fokus dengan televisi yang sedang menayangkan pertandingan sepak bola.Mazaya duduk di samping Riki, menyandarkan tubuhnya ke sisi sofa, dia mengelus perutnya ketika merasakan tendangan bayinya cukup kuat. Mereka saling diam hanyut dengan pikiran masing masing.Andaikan ini adalah pernikahan normal, dengan manja dia akan bersandar ke bahu lebar itu, menceritakan padanya betapa perut ini semakin berat, belum lagi pegal
Riki melarikan diri dari Mazaya karena tak ingin wanita itu mengorek lebih dalam tentang dirinya, apakah dia pernah menyentuhnya dulu? Tentu saja, cuma sentuhan penasaran seorang remaja laki-laki yang sedang dilanda masa puber.Dulu awalnya dia dipekerjakan untuk bantu-bantu membersihkan perkarangan, ketika usianya cukup, Pak Amin menjadikannya supir pribadi gadis itu, mengekor ke mana dia pergi, di samping kenangan yang menyakitkan, juga ada kenangan konyol yang dialami Riki remaja.Mazaya dulu suka ke club, Riki hapal kebiasaannya, jika dia sudah bertengkar dengan ayahnya, maka pelariannya adalah minuman keras. Kebiasaan lainnya adalah setelah minum sepuasnya dia akan muntah sangat banyak, mengotori bajunya dan baju Riki, terkadang Riki merasa dia merangkap menjadi baby sitter.Pak Amin sering pergi, dia memiliki banyak perkebunan di berbagai daerah. Siapa lagi yang akan mengurus gadis nakal itu kalau bukan Riki, Riki pernah melongo melihat pemandangan yang baru baginya saat pertama
Riki berpacu dengan waktu, saat ini gilirannya yang berjuang, dengan bantuan Celin, Riki berhasil mendapatkan dua pendonor, darah golongan A+ cukup sulit. Riki tak berhenti berdoa, andai saja dari awal dia lebih peduli dengan Mazaya dan bayi mereka, tentu jadinya tidak seperti ini.Sekarang Riki menghadapi dokter yang menangani Mazaya dengan gusar, dari awal dokter wanita itu sudah menampakkan kekesalan dan tatapan sinis kepadanya. Dia memaklumi, suami mana yang sampai tidak tau apa apa berkaitan dengan istrinya.Namanya dr. Laila, begitu yang tertulis dipintu ruangannya."Bagaimana keadaan istri dan bayi saya dokter?"Riki harap cemas, sebab setelah Mazaya dioperasi belum sedikit pun dia diperbolehkan untuk melihat."Kami berhasil mengangkat kista di rahimnya, dia kehilangan banyak darah, untung saja semangat hidup dan doa kita bersama menyelamatkan hidupnya."Riki mengusap wajah lelahnya, keringat sudah membasahai wajah dan bajunya, dua jam dia bertarung dengan waktu untuk dua nyawa
Suster langsung menangani Mazaya, melepaskan alat bantu oksigen dari mulutnya, juga melakukan beberapa tindakan medis pasca operasi. Riki hanya mengamati, mereka belum sempat bicara banyak, setelah Mazaya sadar, suster dan dokter langsung masuk ke dalam ruangan."Apa yang Anda rasakan sekarang, Nyonya?" Suara suster sangat ramah."Saya masih pusing, penglihatan saya kabur.""Itu biasa, beberapa saat lagi kamu akan membaik," jawab dokter begitu serius."O ya, Pak, kabari saya jika Nyonya sudah buang angin, supaya dia bisa makan dan minum obat."Riki hanya mengangguk, suster dan dokter berlalu menutup pintu dengan pelan. Mazaya memalingkan wajahnya yang memerah, sebanyak ini yang mau dibicarakan, kenapa dia harus melapor jika dia sudah kentut kepada Riki, ini sangat memalukan.Riki faham dengan ekspresi itu, dia meraih tangan Mazaya, menggenggam pergelangan yang masih memakai infus."Apakah... hmmm... kau sudah kentut?"Riki bertanya ragu dan sangat malu, rasanya pertanyaan ini sangat k