"Mas, pulang sekarang, ya? Yazeed demam tinggi, temenin aku bawa ke dokter." Suara Livia terdengar panik saat menghubungi Hakam –suaminya."Ck, kenapa harus aku, sih? Kamu sendiri tau kalau aku lagi kerja, kan?" Hakam berdecak, hati Livia teriris mendengar ucapan suaminya."Kalau bukan sama kamu, pada siapa lagi aku minta tolong, Mas? Kamu itu ayahnya Yazeed!" tekan Livia dengan suara bergetar menahan marah."Halah, kamu pergi sendiri aja. Aku lagi banyak kerjaan!" sahut laki-laki itu santai."Tapi, Mas–"Tut! Panggilan diakhiri oleh Hakam tanpa mau menunggu istrinya bicara. Livia menghempaskan napas kasar, untuk kesekian kalinya Hakam lepas tangan terhadap keadaan putra mereka.Yazeed kembali menangis, Livia tersadar dan langsung menghampiri sang anak yang ia tiduri diatas ranjang. Tubuh bayi berumur 9 bulan itu menggeliat, wajahnya memerah dengan suara tangis melengking."Ya Allah, Nak. Tenang, ya, Sayang. Kita berangkat berdua saja, mama siapin keperluan kamu dulu." Livia menggendo
"Terimakasih banyak, Gheza." Livia membungkukkan badan, laki-laki bernama Gheza itu tak menjawab. Dia hanya mengangguk sekilas kemudian segera masuk kedalam mobil.Perlahan, roda empat yang tadi Livia tumpangi meninggalkan pelataran parkir rumah sakit. Livia masih mematung di sana, ia masih tak menyangka jika akan kembali bertemu dengan Gheza dengan keadaan yang terbilang buruk.Rengekan Yazeed menyentak Livia, perempuan itu bergegas membawa anaknya agar segera mendapat penanganan."Sus, tolong anak saya. Badannya panas banget," ujar Livia panik. Dia membawa Yazeed ke IGD puskesmas agar tak perlu menunggu untuk mendapatkan penanganan."Baringkan anaknya di sini, ya, Bu. Biar kami periksa dulu," kata dokter menghampiri Livia. Perempuan itu mengangguk dan segera membaringkan Yazeed diatas ranjang.Tangis bayi itu kembali melengking. Livia semakin cemas dibuatnya, dia takut terjadi sesuatu pada Yazeed yang akan membuatnya menyesal seumur hidup.Selagi Yazeed ditangani, Livia memilih dudu
Hakam tengah duduk dengan Dania dan juga Hana, disudut lain si kembar Hanin dan Hanan tengah sibuk menikmati ayam KFC yang tadi dibelikan Hakam."Kenapa kalian nggak cerita dari awal kalau Livia bicara kasar seperti tadi?" tanya Hakam menatap Dania dan Hana gantian."Awalnya kita juga mau cerita, tapi ... mama takut kamu bakal marah sama Livia." Dania menunduk, berpura-pura baik pada Livia didepan Hakam "Ya, pasti aku bakal marah, Ma! Kalau dia memperlakukan kalian kasar seperti itu masa aku cuma diem?" berang Hakam.Dania dan Hana saling pandang dengan senyum terkulum, rencana mereka berhasil. Livia harus tau, jika dia ditakdirkan untuk hidup menjadi bulan-bulanan mereka."Aku bakal kasih pelajaran padanya. Mama sama mbak tenang aja, aku nggak akan biarin dia berani kurang ajar sama kalian," tekad Hakam penuh dendam.Sementara itu, Livia menatap langit yang sudah mulai gelap, tapi Hakam tak juga datang. Berulang kali sudah ia coba hubungi tak satu pun panggilan Livia ia angkat."Kem
Tak ingin menghabiskan waktu menghadapi mertua serta suaminya, Livia memilih keluar dari sana dan menuju rumahnya yang berada tepat disamping rumah sang mertua.Teriakan Hakam yang memanggilnya tak ia hiraukan. Livia terus berjalan. Yang ia pikirkan hanya ingin segera menyiapkan segala keperluan Yazeed dan kembali ke rumah sakit."Kenapa kamu berubah begini, Livia?" Ternyata Hakam menyusul Livia pulang, dia berjalan menghampiri sang istri yang tengah fokus memasukkan beberapa lembar bajunya dan Yazeed kedalam sebuah tas.Livia tak menjawab bahkan menoleh pun tidak. Perempuan itu tampak cuek, seakan tak menganggap keberadaan Hakam di sana."Livia, jawab aku!" Kesal tak mendapat jawaban dari istrinya, Hakam menarik tangan perempuan itu hingga berhadapan dengannya.Livia menatap Hakam datar, muak dan benci menyatu dalam diri perempuan itu. Kebencian terpancar jelas di matanya, melihat tatapan istrinya yang terlampau datar membuat Hakam menelan ludah. Tak pernah sebelumnya Livia menantang
"Kamu sudah selesai makannya?" Hakam yang menyadari kedatangan Livia mendekat."Eum ... sudah." Livia menyahut singkat. Dia berjalan kearah ranjang Yazeed, Livia tersenyum melihat wajah anaknya yang tampak lebih segar dibanding tadi siang."Anak mama nggak rewel, kan?" Demi menghindari Hakam, Livia mengajak bayinya bicara. Perempuan itu mengusap lembut pipi Yazeed sembari tersenyum."Mas akan temani kalian malam ini." Hakam mendekati Livia dan bicara tepat disamping telinga perempuan itu hingga membuat Livia bergidik terkena hembusan napasnya."Nggak usah. Kamu temani saja Hanan dan Hanin, bukannya mereka lebih butuh kamu?" Livia mengelak menjauh. Selain sungkan dengan posisi mereka karena banyak orang di sana, Livia juga masih enggan memaafkan Hakam."Ck, kamu masih merajuk ternyata?" decak Hakam. Lelaki itu mengecup kepala istrinya hingga membuat Livia kesal."Kamu apaan, sih, Mas? Nggak liat banyak orang di sini?" kesal Livia, meski begitu tak bisa dipungkiri wajahnya ikut bersemu.
Sudah hampir setengah jam Hakam menunggu di rumah, tapi tak ada tanda-tanda kepulangan anak dan istrinya.Laki-laki itu berjalan mondar-mandir menunggu di teras. Ia gelisah memikirkan kenapa istrinya tak kunjung pulang."Nggak usah dijemput, istrimu itu jangan terlalu dimanja. Nanti jadi besar kepala, kamu juga yang repot." Ucapan sang mama kembali terngiang saat Hakam berniat akan menjemput Livia.Ia menyugar rambut dengan kasar. Dia kasihan pada anak istrinya, tapi dia lebih memilih mendengar ucapan mamanya. Karena baginya, apa pun yang dikatakan wanita itu pasti benar adanya.Sementara itu Livia baru saja turun dari angkot, dia berjalan sedikit kepayahan karena harus menggendong Yazeed dan menenteng tas. Diperjalanan menuju rumahnya, perempuan itu bertemu dengan tetangga dekat rumahnya."Livia, kamu dari mana bawa-bawa tas gitu?" sapa wanita yang akrab disapa Bu Dewi itu."Eh, Bu Dewi. Saya baru saja pulang dari rumah sakit, Bu. Beberapa hari ini Yazeed dirawat karena demam tinggi.
Dengan emosi yang menggunung, Livia meninggalkan Hakam di teras. Perempuan itu memilih masuk ke rumah dan membersihkan tubuhnya serta sang bayi agar bisa segera beristirahat.Sementara itu Hakam menghempaskan tubuhnya diatas kursi teras, ia jadi kewalahan sendiri dengan perubahan sikap Livia. Perempuan itu jauh lebih keras kepala sekarang. Dia juga mulai banyak menuntut, tak seperti biasa yang selalu pasrah meski diperlakukan seperti apa pun.Selesai membersihkan badannya dan Yazeed, Livia keluar menuju dapur. Perutnya sudah keroncongan sejak di rumah sakit tadi, sekarang sudah hampir jam 3 dan dia belum makan siang.Namun, dadanya berdenyut saat melihat penanak nasi kosong melompong. Perempuan itu menghempaskan napas pelan, kemudian membuka tempat beras dan mulai memasak nasi."Kamu belum makan?" Hakam mendekati Livia yang tengah mencuci beras dengan satu tangannya menggendong Yazeed.Livia tak menjawab, dia tetap melanjutkan pekerjaannya hingga Hakam mengambil alih Yazeed. Livia tak
"Di rumah mama juga nggak ada stok sayur sama ikan. Kamu makan ini dulu, ya?" Hakam menghampiri Livia yang tengah duduk di kursi dapur.Perempuan itu menoleh kearah piring yang suaminya bawa. Kening Livia berkerut, tumben mereka mau membagi lauk padanya? Apalagi dengan menu ayam, meski hanya sepotong.Tanpa curiga, Livia menerima piring yang diulurkan Hakam. Dia bermaksud menyimpannya dulu dan akan memakannya nanti, sambil menunggu nasi yang baru ia masak matang.Tapi Livia merasa sedikit aneh dengan bentuk paha ayam itu, seperti ... ada bekas gigitan. Saat ia mencoba membaliknya, mata perempuan itu membelalak sempurna. Napasnya memburu dengan mata yang sudah memanas, ia tak menyangka jika suaminya tega memberikan makanan sisa untuknya."Bekas siapa yang kamu kasih ke aku ini, Mas?!" hardik Livia.Melihat reaksi istrinya, Hakam sedikit terkejut dan salah tingkah. Namun, bukan Hakam namanya kalau langsung merasa bersalah."Itu bekas Hanin. Kenapa? Kamu jijik?" tanya Hakam santai. Padah
Taksi online yang membawa Hanum berhenti didepan rumah mertuanya. Sebelum benar-benar turun, perempuan itu menghirup udara sepanjang mungkin. Dia berusaha menguatkan hati saat kembali bertemu dengan 2 pengkhianat yang sudah menghancurkan mental serta hatinya.Selesai membayar ongkosnya, Hanum turun dari sana. Ia melangkah berat menuju rumah yang selama 3 tahun lebih ini ditinggalinya. Ia pikir selamanya akan menjadi tempat pulang ternyamannya selain rumah orang tuanya, nyatanya ia salah. Rumah tangga yang selama ini ia pikir harmonis diuji lewat adiknya sendiri."Assalamu'alaikum ...." Hanum mengucap salam, tak ada sahutan seperti biasa.Perempuan itu menghembuskan napas, kemudian membuka pintu yang tak dikunci. Saat ia berjalan masuk, keadaan rumah tampak sepi. Perempuan itu mengerutkan kening, kemana orang-orang?Karena tak ada satu orang pun yang ia jumpai, Hanum memilih mengetuk pintu kamar yang Keysha tempati. Tak lama gadis yang sudah tak lagi gadis itu keluar, melihat penampila
"Yuk, Neng kita sarapan dulu," ajak Masitah– istri pengemudi ojek online yang membantu Livia semalam.Pria itu benar-benar membawa Livia ke rumahnya, saat ia datang Masitah dan Alia– cucunya menatap heran. Namun, saat pria bernama Muis itu menceritakan kronologi awalnya, Masitah dan Alia menerimanya dengan senang hati.Di sana, Livia diterima dengan sangat baik. Ia diperlakukan bak keluarga sendiri, perlakuan yang belum pernah ia dapat dari keluarganya sendiri maupun dari keluarga suaminya. Livia merasa terharu, ia bersyukur malam itu dipertemukan dengan Muis yang berhati malaikat.Di dapur rumah sederhana milik Muis, mereka sarapan dengan suasana penuh kehangatan. Meja makan yang biasa hanya diisi 3 orang itu semakin terasa penuh dengan kedatangan Livia. Ternyata kedatangan Livia dan Yazeed menambah keceriaan di rumah itu. Alia sendiri langsung merasa suka pada bayi kecil yang Livia gendong malam itu."Bapak langsung berangkat, ya, Buk." Setelah menghabiskan sarapan dan kopi yang dih
Jantung perempuan itu bertalu-talu, keringat dingin mengucur di pelipisnya. Apalagi dia melihat sendiri kakak iparnya mengayunkan langkah menuju tempat persembunyiannya sembari menatap awas sekelilingnya. Livia menahan napas begitu langkah Hana makin mendekat, tanpa ia sangka ... seekor kucing melompat hingga membuat Hana berteriak karena kaget."Dasar kucing sialan! Kirain ada siapa di sana." Terdengar Hana mengumpat. Karena hanya seekor kucing, Hana memutuskan segera masuk kedalam rumah. Dia membuka pintu dengan kunci cadangan yang ia simpan, perempuan itu pergi dengan kekasihnya secara diam-diam tanpa sepengetahuan anak-anak dan Dania.Setelah yakin Hana masuk dan sudah mengunci pintu, barulah Livia bisa menghembuskan napas lega. Dia kembali bangkit dan berjalan perlahan untuk membuka pintu pagar. Beruntung ia sudah mengantongi kunci cadangan untuk membuka pintu pagar.Krieeett ... Livia kembali menahan napas begitu pintu pagar ia dorong. Pasalnya, pagar itu meninggalkan derit yan
Dengan perasaan yang campur aduk, Livia keluar dari kamar dengan tangan menggenggam slip bukti transfer yang ia dapat dari saku celana Hakam.Sesampainya diluar, ternyata suaminya tengah bermain bersama sang anak di ruang tengah. Yazeed terlihat tertawa kecil saat Hakam mengajaknya bercanda. Pemandangan yang baru saja ia temui, belum sebulan ia dan Yazeed menikmati momen kebersamaan yang benar-benar dengan Hakam, laki-laki itu kembali berulah."Ini apa, Mas?" Livia menyodorkan slip bukti transfer tadi pada Hakam.Laki-laki yang tengah bermain dengan anaknya itu menoleh, detik kemudian Hakam tampak terkejut. Livia tersenyum sinis melihatnya, kelihatan sekali jika Hakam berniat menyembunyikan itu darinya."I–itu ... kamu dapat dari mana, Livia?" Hakam terkejut."Jawab saja pertanyaanku. Apa maksudnya ini?" ulang Livia tegas.Beberapa detik menunggu, Livia tak kunjung mendapat jawaban. Laki-laki itu sibuk menyusun kata yang pas untuk diberikan pada sang istri. Hakam merutuki dirinya send
Keysha yang ditinggal Hanum pulang kampung terpaksa mengurung diri di kamar. Ia hanya akan keluar jika ada hal mendesak. Seperti kali ini, Keysha tiba-tiba merasa haus jadi dia memutuskan ke dapur untuk mengisi botol minumnya."Kamu itu harus mikir, Karim! Memangnya kamu nggak mau punya anak?" Samar-samar Keysha mendengar perbincangan dari arah dapur yang sepertinya adalah Marni dan Karim.Saat Keysha mencoba bersembunyi dan mengintip ke dapur, ternyata dugaannya benar. Di sana, di meja makan Karim dan Marni tengah berbincang dengan mimik wajah yang serius. Entah apa yang tengah ibu dan anak itu bahas, karena penasaran Keysha memutuskan menguping dari balik tembok pembatas dapur dan ruang tengah."Siapa, sih, yang nggak mau punya anak, Bu? Tapi aku maunya dari Hanum, bukan Keysha!" Keysha meremas dadanya yang terasa nyeri akibat mendengar ucapan Karim."Terus dari Hanum dapat? Enggak, kan?" tampik Marni, Karim tak menjawab."Pernikahan kalian sudah mau jalan 4 tahun, loh, Karim. Dan s
Beberapa hari sudah berlalu. Sejak malam dimana Hanum dan keluarga Karim berunding, ia masih belum memberi jawaban pasti atas permintaan Marni yang ingin menutupi hubungan Keysha dan Karim dari orang tuanya.Hanum masih abu-abu, dia memikirkan banyak hal. Jika ia memberitahu ibu dan bapaknya, apa mereka tak akan berpikiran? Tapi bagaimana pula jika dia tak memberitahu? Ia yakin, serapat apa pun ia menyembunyikan rahasia itu, pasti akan terbongkar juga lambat laun."Nak, kamu kenapa? Baru datang malah ngelamun." Suara lembut sang ibu membuyarkan lamunan Hanum yang tengah duduk disamping rumahnya.Perempuan itu langsung menoleh dan menyunggingkan senyum semanis mungkin. Ia memang baru saja sampai di kampung, perempuan itu berangkat sendiri dari rumah."Gimana adikmu di sana? Nggak ngerepotin Karim dan keluarganya, kan?" Wanita bernama Atun itu duduk disamping sang putri.Hanum menghela napas pelan, kemudian meneguk sedikit susu hangat buatan ibunya. Dadanya sesak jika harus mengingat ma
"Benar-benar gila kau, Mas!" sentak Livia. Hakam malah tertawa keras melihat wajah panik sang istri."Aku memang gila, Livia. Sudahlah, jangan buat aku tambah gila kemudian nekat melakukan sesuatu padamu." Livia melihat ada yang berbeda dari Hakam, dan itu membuatnya sedikit takut. Bagaimana kalau laki-laki itu mencelakainya dan Yazeed?"Tetaplah di sini, jadi istri penurutku seperti dulu. Kamu bisa, kan?" pinta Hakam sembari membelai lembut pipi Livia."Nggak! Jangan mimpi aku akan kembali seperti dulu, Mas. Aku nggak sudi menjadi penurut jika kemudian malah semakin diinjak-injak," tolak Livia tegas."Terserah kamu Livia. Tapi satu yang harus kamu tau, sampai kapan pun aku tak akan melepas kamu dan juga Yazeed. Kamu akan tetap menjadi istriku apa pun yang terjadi," tandas Hakam.Dia menutup laptopnya dan beranjak dari sana, meninggalkan Livia dengan keresahan hatinya. Perempuan itu berpikir keras, bagaimana caranya agar bisa lepas dari Hakam?*Di rumah orang tua Livia, ketegangan te
Hanum yang tak sengaja mendengar percakapan Karim dan Keysha di dapur merasa tubuhnya lemas seketika. Bagai dihantam godam besar, dada Hanum tiba-tiba terasa sesak. Dia berulang kali memukul pipinya sendiri, berharap semua itu hanya bunga tidurnya."Kamu gila, Mas? Dimana hatimu? Ini anakmu, darah dagingmu, Mas!" teriakan Keysha menyadari Hanum jika apa yang dia dengan nyata adanya."Pelankan suaramu, Key! Jangan sampai Hanum mendengar semua ini." Karim membekap mulut Keysha hingga iparnya itu melawan dengan cara menepis tangannya."Biar saja, kalau perlu aku akan mendatangi mbak Hanum sekarang dan menceritakan semuanya!" gertak Keysha hendak berbalik, tapi lekas Hakam meraih pergelangan tangannya."Jangan macam-macam, Key! Bisa-bisa Hanum mengamuk jika tau." "Bagus kalau dia tau, bukankah kamu dan dia sampai sekarang belum dikaruniai anak, Mas? Kamu mau bertahan dengan wanita mandul itu dan melepas aku dan calon anakmu?" Mendengar kalimat menyakitkan dari Keysha membuat Hanum merad
Baru saja Keysha hendak membuka mulut, Karim sudah lebih dulu menyambar."Hanum, jangan dipaksa. Keysha masih syok itu, nanti kalo udah tenang dia juga bakal cerita, kok!" Hanum menoleh pada suaminya. Malu rasanya, gara-gara kelakuan sang adik ia tak tau harus taruh dimana mukanya dihadapan Karim dan keluarganya."Kita harus segera tau, Mas! Dia yang berbuat dan aku yang menanggung malu! Harus gimana aku jelasin ke ibu dan bapak nanti?" Tangis Hanum kembali pecah.Perempuan itu menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Bahunya bergetar, suara isakannya terdengar memilukan. Keysha merasa sangat bersalah, begitu juga dengan Karim. Dua pengkhianat yang notabenenya adalah keluarga sendiri."Mas tau apa yang tengah kamu rasakan, Yank. Tapi mas minta kamu untuk tenang dulu, ya? Nanti setelah Keysha tenang mas yakin dia bakal cerita." Karim meraih tangan istrinya dan menggenggamnya. Melihat itu membuat Keysha membuang muka. Ada cemburu yang dia rasakan saat melihat Karim bermesraan den