"Kamu sudah selesai makannya?" Hakam yang menyadari kedatangan Livia mendekat.
"Eum ... sudah." Livia menyahut singkat. Dia berjalan kearah ranjang Yazeed, Livia tersenyum melihat wajah anaknya yang tampak lebih segar dibanding tadi siang. "Anak mama nggak rewel, kan?" Demi menghindari Hakam, Livia mengajak bayinya bicara. Perempuan itu mengusap lembut pipi Yazeed sembari tersenyum. "Mas akan temani kalian malam ini." Hakam mendekati Livia dan bicara tepat disamping telinga perempuan itu hingga membuat Livia bergidik terkena hembusan napasnya. "Nggak usah. Kamu temani saja Hanan dan Hanin, bukannya mereka lebih butuh kamu?" Livia mengelak menjauh. Selain sungkan dengan posisi mereka karena banyak orang di sana, Livia juga masih enggan memaafkan Hakam. "Ck, kamu masih merajuk ternyata?" decak Hakam. Lelaki itu mengecup kepala istrinya hingga membuat Livia kesal. "Kamu apaan, sih, Mas? Nggak liat banyak orang di sini?" kesal Livia, meski begitu tak bisa dipungkiri wajahnya ikut bersemu. Dadanya juga terasa berdebar, sebab sudah lama ia tak mendapat perlakuan manis seperti itu dari suaminya. Hakam terkekeh geli, kemudian mengusap lembut kepala Livia dan berkata, "kamu istirahat aja, ini sudah malam. Yazeed sepertinya juga sudah mengantuk." Livia tak menjawab, dia memilih naik keatas ranjang dan mulai membaringkan tubuhnya disamping Yazeed. Karena terlalu lelah, tanpa sadar Livia langsung terpejam dengan posisi tangannya memeluk tubuh Yazeed. * Menjelang tengah malam, Livia terbangun karena ingin ke kamar mandi. Namun, pandangannya terhenti begitu melihat Hakam yang tertidur dengan posisi duduk disamping ranjang Yazeed. Jika melihat suaminya begitu, ada rasa bersalah yang kadang ia rasakan. Ada harapan besar juga, berharap suaminya selalu bisa peduli dan manis padanya dan Yazeed. Kalau boleh jujur, Livia pun masih sangat mencintai Hakam. Hanya saja sikap tak adil laki-laki itu yang membuat Livia membencinya. Disaat Livia tengah fokus memandang Hakam yang tertidur, tiba-tiba saja ponsel laki-laki itu berdering. Hakam menggeliat kecil, melihat suaminya terbangun buru-buru Livia berpura-pura tidur lagi. "Hem ... ada apa, Mbak?" Suara Hakam terdengar berat, khas orang baru bangun tidur. "Ini udah tengah malam, loh. Lagian aku juga lagi temenin Livia di rumah sakit, jagain Yazeed." Sudah bisa Livia duga, yang menghubungi suaminya adalah Hana, saudari iparnya. Perempuan itu pasti meminta Hakam segera pulang, mana mau dia membiarkan adiknya bersama anak dan istrinya? "Duh, Mbak. Nggak bisa besok aja apa? Kasihan Livia kalo harus sendirian jagain Yazeed." Livia masih memejamkan matanya, tapi telinganya tetap fokus mendengar pembicaraan Hakam dan Hana. "Yasudah, aku jalan sekarang." Putus Hakam pada akhirnya. Tak lama terdengar suara kursi yang Hakam duduki berderit, kemudian lelaki itu mengecup kepala putra dan istrinya bergantian. Livia membuka mata, Hakam sudah berjalan menjauh keluar dari ruangan Yazeed dirawat. Terdengar hempasan napas Livia, dada perempuan itu terasa sesak. Baru saja dia akan luluh dengan suaminya, sikap laki-laki itu kembali mengurungkan niatnya. Tak ingin banyak pikiran, Livia memutuskan kembali tidur dengan memeluk Yazeed yang tampak pulas. * Setelah beberapa hari Yazeed di rawat, pada hari ke tiga akhirnya ia diizinkan pulang karena kondisinya yang sudah mulai membaik. Selama Yazeed di rumah sakit, Hakam selalu datang saat jam makan siang dan membawakan makanan untuk Livia, begitu juga saat malam. Tapi, seperti biasa laki-laki itu tak pernah menginap dan selalu pulang menjelang tengah malam. Livia sudah tak pernah ambil pusing, ia tak peduli dengan suaminya yang tak pernah mau menemani dia serta anaknya. Seperti siang ini, Livia sudah memberitahu Hakam bahwa Yazeed sudah diperbolehkan pulang. Tanggapan laki-laki itu biasa saja, dia hanya mengatakan agar Livia berhati-hati. "Kita baliknya naik angkot aja, ya, Nak?" kata Livia pada Yazeed yang masih berbaring diatas ranjang. Livia menggendong Yazeed menggunakan kain jarik, setelah itu ia meraih tas bawaannya dan mulai keluar dari ruangan itu. Sedikit kepayahan perempuan itu berjalan, dia harus membawa tas sambil menggendong Yazeed. Kemudian berjalan keluar dari pekarangan rumah sakit menuju halte. "Hhh ... kita tungguin angkot di sini dulu ya, Nak? Kamu yang anteng, InsyaAllah habis ini kita bisa istirahat di rumah dengan nyaman." Livia mengusap pipi Yazeed yang tengah sibuk mengemut jari-jari kecilnya. Cuaca siang ini lumayan terik, beruntung halte rumah sakit ini dalam keadaan sepi. Jadi Livia tak perlu takut anaknya akan terkena polusi dari asap rokok orang-orang. Sementara itu, Hakam memelankan laju mobilnya saat melihat sosok sang istri yang tengah duduk di halte sambil mengipas sang anak dengan ujung kain jarik. Dada Hakam mencelos melihat keadaan istrinya, terbesit rasa kasihan terhadap sang istri hingga ia berniat berhenti. Hana yang sudah lebih dulu menyadari keberadaan Livia di sana segera membisikkan sesuatu ke telinga sang putri. Kemudian ia menepuk pundak Hakam yang hendak menepikan mobil. "Ngapain?" tanyanya saat Hakam menoleh. "Itu ada Livia, sepertinya Yazeed sudah diperbolehkan pulang." Laki-laki itu menjawab sambil melempar pandang kearah depan sana. Ia menghentikan mobil sedikit jauh dari halte. "Terus?" Kening Hakam berkerut mendengar pertanyaan sang kakak, kemudian menjawab, "ya, aku mau ajak pulang sekalian. Emang mau apa lagi?" "Ckk, nggak usah! Ini Hanin katanya sakit perut, pengen cepet-cepet sampai rumah. Udah biarin aja dia naik angkot," cegah Hana. Hakam dilema, dia menoleh pada Hanin yang tengah meringis sambil memegang perut, kemudian menoleh pada istrinya didepan sana. "Bener apa kata mbakmu, kita langsung balik aja. Kasihan Hanin kesakitan gitu. Lagian memangnya dia ada ngabarin kamu minta dijemput? Enggak, kan?" timpal Dania. Hakam terdiam kemudian menggeleng. Livia memang tak meminta agar Hakam menjemput mereka, perempuan itu hanya mengabari akan pulang hari ini. Tapi ... apa dia harus membiarkan anak dan istrinya menunggu angkutan umum ditengah cuaca yang begitu terik ini?Sudah hampir setengah jam Hakam menunggu di rumah, tapi tak ada tanda-tanda kepulangan anak dan istrinya.Laki-laki itu berjalan mondar-mandir menunggu di teras. Ia gelisah memikirkan kenapa istrinya tak kunjung pulang."Nggak usah dijemput, istrimu itu jangan terlalu dimanja. Nanti jadi besar kepala, kamu juga yang repot." Ucapan sang mama kembali terngiang saat Hakam berniat akan menjemput Livia.Ia menyugar rambut dengan kasar. Dia kasihan pada anak istrinya, tapi dia lebih memilih mendengar ucapan mamanya. Karena baginya, apa pun yang dikatakan wanita itu pasti benar adanya.Sementara itu Livia baru saja turun dari angkot, dia berjalan sedikit kepayahan karena harus menggendong Yazeed dan menenteng tas. Diperjalanan menuju rumahnya, perempuan itu bertemu dengan tetangga dekat rumahnya."Livia, kamu dari mana bawa-bawa tas gitu?" sapa wanita yang akrab disapa Bu Dewi itu."Eh, Bu Dewi. Saya baru saja pulang dari rumah sakit, Bu. Beberapa hari ini Yazeed dirawat karena demam tinggi.
Dengan emosi yang menggunung, Livia meninggalkan Hakam di teras. Perempuan itu memilih masuk ke rumah dan membersihkan tubuhnya serta sang bayi agar bisa segera beristirahat.Sementara itu Hakam menghempaskan tubuhnya diatas kursi teras, ia jadi kewalahan sendiri dengan perubahan sikap Livia. Perempuan itu jauh lebih keras kepala sekarang. Dia juga mulai banyak menuntut, tak seperti biasa yang selalu pasrah meski diperlakukan seperti apa pun.Selesai membersihkan badannya dan Yazeed, Livia keluar menuju dapur. Perutnya sudah keroncongan sejak di rumah sakit tadi, sekarang sudah hampir jam 3 dan dia belum makan siang.Namun, dadanya berdenyut saat melihat penanak nasi kosong melompong. Perempuan itu menghempaskan napas pelan, kemudian membuka tempat beras dan mulai memasak nasi."Kamu belum makan?" Hakam mendekati Livia yang tengah mencuci beras dengan satu tangannya menggendong Yazeed.Livia tak menjawab, dia tetap melanjutkan pekerjaannya hingga Hakam mengambil alih Yazeed. Livia tak
"Di rumah mama juga nggak ada stok sayur sama ikan. Kamu makan ini dulu, ya?" Hakam menghampiri Livia yang tengah duduk di kursi dapur.Perempuan itu menoleh kearah piring yang suaminya bawa. Kening Livia berkerut, tumben mereka mau membagi lauk padanya? Apalagi dengan menu ayam, meski hanya sepotong.Tanpa curiga, Livia menerima piring yang diulurkan Hakam. Dia bermaksud menyimpannya dulu dan akan memakannya nanti, sambil menunggu nasi yang baru ia masak matang.Tapi Livia merasa sedikit aneh dengan bentuk paha ayam itu, seperti ... ada bekas gigitan. Saat ia mencoba membaliknya, mata perempuan itu membelalak sempurna. Napasnya memburu dengan mata yang sudah memanas, ia tak menyangka jika suaminya tega memberikan makanan sisa untuknya."Bekas siapa yang kamu kasih ke aku ini, Mas?!" hardik Livia.Melihat reaksi istrinya, Hakam sedikit terkejut dan salah tingkah. Namun, bukan Hakam namanya kalau langsung merasa bersalah."Itu bekas Hanin. Kenapa? Kamu jijik?" tanya Hakam santai. Padah
"Apa-apaan kamu ini Livia?" berang Hakam."Kalian yang apa-apaan, Mas! Kenapa kalian menghabiskan semuanya tanpa menyisakan untukku? Aku bahkan belum menyicipinya sedikit pun!" jerit Livia."Ka–kamu belum sarapan? Maaf, mas kira ... kamu sudah sarapan duluan tadi." Hakam mendekati Livia dengan penuh rasa bersalah. Kalau saja ia tau, pasti akan meminta mama dan kakaknya menyisakan untuk sang istri.Livia menepis tangan Hakam yang hendak menyentuhnya. Kesal rasanya disentuh oleh laki-laki itu, berulang kali mengucap kata maaf tapi berulang kali juga ia mengulangi kesalahan yang sama. Tak pernah menghargai sang istri."Masa cuma gara-gara nasi goreng aja kamu segitu marahnya sama kita? Tau gini kita nggak bakal kesini juga tadi." Hana bangkit dan menatap Livia sinis."Aku juga nggak bakal marah kalo kalian masih pake perasaan makannya. Ini? Udah numpang, nggak tau diri lagi!" balas Livia ketus.Hana dan Dania menahan geram mendengar ucapan Livia."Liat kelakuan istrimu itu, Kam! Padahal
Setelah setengah jam Livia membawa Yazeed bermain, perempuan itu akhirnya membawa sang anak pulang. Jam juga sudah menunjukkan pukul setengah 5, Hakam pasti sudah pulang, pikir Livia.Dan ternyata benar saja, sesampainya di rumah ia melihat mobil suaminya sudah terparkir rapi di halaman seperti biasa. Pintu juga terbuka lebar, begitu melihat sandal yang tergeletak di sana Livia jadi tau jika Hana dan Dania tengah berada didalam.Begitu Livia sampai didepan pintu, Hakam dan keluarganya yang tengah duduk diruang tamu serentak menoleh. Dari tatapan mereka bisa Livia tebak, pasti anak-anak itu sudah mengadu yang tidak-tidak pasal tadi.Tapi dia tak peduli, tanpa menghiraukan Hakam dan yang lain, dia melenggang santai hendak melewati ruang tamu. Namun, suara datar Hakam menghentikan langkahnya."Tunggu, Livia. Ada yang ingin aku tanyakan," kata Hakam membuat Livia berhenti. Laki-laki itu bangkit dan mendekati sang istri yang masih berdiri di sana."Kamu apakan Hanan dan Hanin?" Pertanyaan
Livia masuk ke kamar, ternyata di sana sudah kosong. Sepertinya Hakam tengah mandi sebab terdengar suara air dari arah dalam kamar mandi.Tanpa pikir panjang, perempuan itu langsung meraih tas kecil dan memasukkan beberapa bajunya dan Yazeed ke sana. Tak lupa perlengkapan Yazeed juga, seperti pampers dan lainnya.Setelah itu, dia mengambil dompet Hakam yang tergeletak diatas meja rias. Ia mengeluarkan dua lembar uang pecahan seratus ribu dan kembali menyimpannya.Perempuan itu bergegas keluar dari kamar setelah mendengar suara kunci diputar. Dengan langkah tergesa, Livia meninggalkan rumah sambil menggendong Yazeed menggunakan kain jarik.Livia berniat pulang ke rumah orang tuanya, perlakuan serta perkataan Hakam tadi benar-benar menyakitinya. Laki-laki itu hanya menghargai keluarganya tapi tidak dengannya."Eh, mau kemana sore-sore begini Livia?" sapa salah satu tetangga Livia."Eum ... mau ke rumah ibu, Bude." Livia menjawab singkat seraya membungkukkan badan."Kenapa sore-sore gini
"Mas, pulang sekarang, ya? Yazeed demam tinggi, temenin aku bawa ke dokter." Suara Livia terdengar panik saat menghubungi Hakam –suaminya."Ck, kenapa harus aku, sih? Kamu sendiri tau kalau aku lagi kerja, kan?" Hakam berdecak, hati Livia teriris mendengar ucapan suaminya."Kalau bukan sama kamu, pada siapa lagi aku minta tolong, Mas? Kamu itu ayahnya Yazeed!" tekan Livia dengan suara bergetar menahan marah."Halah, kamu pergi sendiri aja. Aku lagi banyak kerjaan!" sahut laki-laki itu santai."Tapi, Mas–"Tut! Panggilan diakhiri oleh Hakam tanpa mau menunggu istrinya bicara. Livia menghempaskan napas kasar, untuk kesekian kalinya Hakam lepas tangan terhadap keadaan putra mereka.Yazeed kembali menangis, Livia tersadar dan langsung menghampiri sang anak yang ia tiduri diatas ranjang. Tubuh bayi berumur 9 bulan itu menggeliat, wajahnya memerah dengan suara tangis melengking."Ya Allah, Nak. Tenang, ya, Sayang. Kita berangkat berdua saja, mama siapin keperluan kamu dulu." Livia menggendo
"Terimakasih banyak, Gheza." Livia membungkukkan badan, laki-laki bernama Gheza itu tak menjawab. Dia hanya mengangguk sekilas kemudian segera masuk kedalam mobil.Perlahan, roda empat yang tadi Livia tumpangi meninggalkan pelataran parkir rumah sakit. Livia masih mematung di sana, ia masih tak menyangka jika akan kembali bertemu dengan Gheza dengan keadaan yang terbilang buruk.Rengekan Yazeed menyentak Livia, perempuan itu bergegas membawa anaknya agar segera mendapat penanganan."Sus, tolong anak saya. Badannya panas banget," ujar Livia panik. Dia membawa Yazeed ke IGD puskesmas agar tak perlu menunggu untuk mendapatkan penanganan."Baringkan anaknya di sini, ya, Bu. Biar kami periksa dulu," kata dokter menghampiri Livia. Perempuan itu mengangguk dan segera membaringkan Yazeed diatas ranjang.Tangis bayi itu kembali melengking. Livia semakin cemas dibuatnya, dia takut terjadi sesuatu pada Yazeed yang akan membuatnya menyesal seumur hidup.Selagi Yazeed ditangani, Livia memilih dudu
Livia masuk ke kamar, ternyata di sana sudah kosong. Sepertinya Hakam tengah mandi sebab terdengar suara air dari arah dalam kamar mandi.Tanpa pikir panjang, perempuan itu langsung meraih tas kecil dan memasukkan beberapa bajunya dan Yazeed ke sana. Tak lupa perlengkapan Yazeed juga, seperti pampers dan lainnya.Setelah itu, dia mengambil dompet Hakam yang tergeletak diatas meja rias. Ia mengeluarkan dua lembar uang pecahan seratus ribu dan kembali menyimpannya.Perempuan itu bergegas keluar dari kamar setelah mendengar suara kunci diputar. Dengan langkah tergesa, Livia meninggalkan rumah sambil menggendong Yazeed menggunakan kain jarik.Livia berniat pulang ke rumah orang tuanya, perlakuan serta perkataan Hakam tadi benar-benar menyakitinya. Laki-laki itu hanya menghargai keluarganya tapi tidak dengannya."Eh, mau kemana sore-sore begini Livia?" sapa salah satu tetangga Livia."Eum ... mau ke rumah ibu, Bude." Livia menjawab singkat seraya membungkukkan badan."Kenapa sore-sore gini
Setelah setengah jam Livia membawa Yazeed bermain, perempuan itu akhirnya membawa sang anak pulang. Jam juga sudah menunjukkan pukul setengah 5, Hakam pasti sudah pulang, pikir Livia.Dan ternyata benar saja, sesampainya di rumah ia melihat mobil suaminya sudah terparkir rapi di halaman seperti biasa. Pintu juga terbuka lebar, begitu melihat sandal yang tergeletak di sana Livia jadi tau jika Hana dan Dania tengah berada didalam.Begitu Livia sampai didepan pintu, Hakam dan keluarganya yang tengah duduk diruang tamu serentak menoleh. Dari tatapan mereka bisa Livia tebak, pasti anak-anak itu sudah mengadu yang tidak-tidak pasal tadi.Tapi dia tak peduli, tanpa menghiraukan Hakam dan yang lain, dia melenggang santai hendak melewati ruang tamu. Namun, suara datar Hakam menghentikan langkahnya."Tunggu, Livia. Ada yang ingin aku tanyakan," kata Hakam membuat Livia berhenti. Laki-laki itu bangkit dan mendekati sang istri yang masih berdiri di sana."Kamu apakan Hanan dan Hanin?" Pertanyaan
"Apa-apaan kamu ini Livia?" berang Hakam."Kalian yang apa-apaan, Mas! Kenapa kalian menghabiskan semuanya tanpa menyisakan untukku? Aku bahkan belum menyicipinya sedikit pun!" jerit Livia."Ka–kamu belum sarapan? Maaf, mas kira ... kamu sudah sarapan duluan tadi." Hakam mendekati Livia dengan penuh rasa bersalah. Kalau saja ia tau, pasti akan meminta mama dan kakaknya menyisakan untuk sang istri.Livia menepis tangan Hakam yang hendak menyentuhnya. Kesal rasanya disentuh oleh laki-laki itu, berulang kali mengucap kata maaf tapi berulang kali juga ia mengulangi kesalahan yang sama. Tak pernah menghargai sang istri."Masa cuma gara-gara nasi goreng aja kamu segitu marahnya sama kita? Tau gini kita nggak bakal kesini juga tadi." Hana bangkit dan menatap Livia sinis."Aku juga nggak bakal marah kalo kalian masih pake perasaan makannya. Ini? Udah numpang, nggak tau diri lagi!" balas Livia ketus.Hana dan Dania menahan geram mendengar ucapan Livia."Liat kelakuan istrimu itu, Kam! Padahal
"Di rumah mama juga nggak ada stok sayur sama ikan. Kamu makan ini dulu, ya?" Hakam menghampiri Livia yang tengah duduk di kursi dapur.Perempuan itu menoleh kearah piring yang suaminya bawa. Kening Livia berkerut, tumben mereka mau membagi lauk padanya? Apalagi dengan menu ayam, meski hanya sepotong.Tanpa curiga, Livia menerima piring yang diulurkan Hakam. Dia bermaksud menyimpannya dulu dan akan memakannya nanti, sambil menunggu nasi yang baru ia masak matang.Tapi Livia merasa sedikit aneh dengan bentuk paha ayam itu, seperti ... ada bekas gigitan. Saat ia mencoba membaliknya, mata perempuan itu membelalak sempurna. Napasnya memburu dengan mata yang sudah memanas, ia tak menyangka jika suaminya tega memberikan makanan sisa untuknya."Bekas siapa yang kamu kasih ke aku ini, Mas?!" hardik Livia.Melihat reaksi istrinya, Hakam sedikit terkejut dan salah tingkah. Namun, bukan Hakam namanya kalau langsung merasa bersalah."Itu bekas Hanin. Kenapa? Kamu jijik?" tanya Hakam santai. Padah
Dengan emosi yang menggunung, Livia meninggalkan Hakam di teras. Perempuan itu memilih masuk ke rumah dan membersihkan tubuhnya serta sang bayi agar bisa segera beristirahat.Sementara itu Hakam menghempaskan tubuhnya diatas kursi teras, ia jadi kewalahan sendiri dengan perubahan sikap Livia. Perempuan itu jauh lebih keras kepala sekarang. Dia juga mulai banyak menuntut, tak seperti biasa yang selalu pasrah meski diperlakukan seperti apa pun.Selesai membersihkan badannya dan Yazeed, Livia keluar menuju dapur. Perutnya sudah keroncongan sejak di rumah sakit tadi, sekarang sudah hampir jam 3 dan dia belum makan siang.Namun, dadanya berdenyut saat melihat penanak nasi kosong melompong. Perempuan itu menghempaskan napas pelan, kemudian membuka tempat beras dan mulai memasak nasi."Kamu belum makan?" Hakam mendekati Livia yang tengah mencuci beras dengan satu tangannya menggendong Yazeed.Livia tak menjawab, dia tetap melanjutkan pekerjaannya hingga Hakam mengambil alih Yazeed. Livia tak
Sudah hampir setengah jam Hakam menunggu di rumah, tapi tak ada tanda-tanda kepulangan anak dan istrinya.Laki-laki itu berjalan mondar-mandir menunggu di teras. Ia gelisah memikirkan kenapa istrinya tak kunjung pulang."Nggak usah dijemput, istrimu itu jangan terlalu dimanja. Nanti jadi besar kepala, kamu juga yang repot." Ucapan sang mama kembali terngiang saat Hakam berniat akan menjemput Livia.Ia menyugar rambut dengan kasar. Dia kasihan pada anak istrinya, tapi dia lebih memilih mendengar ucapan mamanya. Karena baginya, apa pun yang dikatakan wanita itu pasti benar adanya.Sementara itu Livia baru saja turun dari angkot, dia berjalan sedikit kepayahan karena harus menggendong Yazeed dan menenteng tas. Diperjalanan menuju rumahnya, perempuan itu bertemu dengan tetangga dekat rumahnya."Livia, kamu dari mana bawa-bawa tas gitu?" sapa wanita yang akrab disapa Bu Dewi itu."Eh, Bu Dewi. Saya baru saja pulang dari rumah sakit, Bu. Beberapa hari ini Yazeed dirawat karena demam tinggi.
"Kamu sudah selesai makannya?" Hakam yang menyadari kedatangan Livia mendekat."Eum ... sudah." Livia menyahut singkat. Dia berjalan kearah ranjang Yazeed, Livia tersenyum melihat wajah anaknya yang tampak lebih segar dibanding tadi siang."Anak mama nggak rewel, kan?" Demi menghindari Hakam, Livia mengajak bayinya bicara. Perempuan itu mengusap lembut pipi Yazeed sembari tersenyum."Mas akan temani kalian malam ini." Hakam mendekati Livia dan bicara tepat disamping telinga perempuan itu hingga membuat Livia bergidik terkena hembusan napasnya."Nggak usah. Kamu temani saja Hanan dan Hanin, bukannya mereka lebih butuh kamu?" Livia mengelak menjauh. Selain sungkan dengan posisi mereka karena banyak orang di sana, Livia juga masih enggan memaafkan Hakam."Ck, kamu masih merajuk ternyata?" decak Hakam. Lelaki itu mengecup kepala istrinya hingga membuat Livia kesal."Kamu apaan, sih, Mas? Nggak liat banyak orang di sini?" kesal Livia, meski begitu tak bisa dipungkiri wajahnya ikut bersemu.
Tak ingin menghabiskan waktu menghadapi mertua serta suaminya, Livia memilih keluar dari sana dan menuju rumahnya yang berada tepat disamping rumah sang mertua.Teriakan Hakam yang memanggilnya tak ia hiraukan. Livia terus berjalan. Yang ia pikirkan hanya ingin segera menyiapkan segala keperluan Yazeed dan kembali ke rumah sakit."Kenapa kamu berubah begini, Livia?" Ternyata Hakam menyusul Livia pulang, dia berjalan menghampiri sang istri yang tengah fokus memasukkan beberapa lembar bajunya dan Yazeed kedalam sebuah tas.Livia tak menjawab bahkan menoleh pun tidak. Perempuan itu tampak cuek, seakan tak menganggap keberadaan Hakam di sana."Livia, jawab aku!" Kesal tak mendapat jawaban dari istrinya, Hakam menarik tangan perempuan itu hingga berhadapan dengannya.Livia menatap Hakam datar, muak dan benci menyatu dalam diri perempuan itu. Kebencian terpancar jelas di matanya, melihat tatapan istrinya yang terlampau datar membuat Hakam menelan ludah. Tak pernah sebelumnya Livia menantang
Hakam tengah duduk dengan Dania dan juga Hana, disudut lain si kembar Hanin dan Hanan tengah sibuk menikmati ayam KFC yang tadi dibelikan Hakam."Kenapa kalian nggak cerita dari awal kalau Livia bicara kasar seperti tadi?" tanya Hakam menatap Dania dan Hana gantian."Awalnya kita juga mau cerita, tapi ... mama takut kamu bakal marah sama Livia." Dania menunduk, berpura-pura baik pada Livia didepan Hakam "Ya, pasti aku bakal marah, Ma! Kalau dia memperlakukan kalian kasar seperti itu masa aku cuma diem?" berang Hakam.Dania dan Hana saling pandang dengan senyum terkulum, rencana mereka berhasil. Livia harus tau, jika dia ditakdirkan untuk hidup menjadi bulan-bulanan mereka."Aku bakal kasih pelajaran padanya. Mama sama mbak tenang aja, aku nggak akan biarin dia berani kurang ajar sama kalian," tekad Hakam penuh dendam.Sementara itu, Livia menatap langit yang sudah mulai gelap, tapi Hakam tak juga datang. Berulang kali sudah ia coba hubungi tak satu pun panggilan Livia ia angkat."Kem