Sudah hampir setengah jam Hakam menunggu di rumah, tapi tak ada tanda-tanda kepulangan anak dan istrinya.
Laki-laki itu berjalan mondar-mandir menunggu di teras. Ia gelisah memikirkan kenapa istrinya tak kunjung pulang. "Nggak usah dijemput, istrimu itu jangan terlalu dimanja. Nanti jadi besar kepala, kamu juga yang repot." Ucapan sang mama kembali terngiang saat Hakam berniat akan menjemput Livia. Ia menyugar rambut dengan kasar. Dia kasihan pada anak istrinya, tapi dia lebih memilih mendengar ucapan mamanya. Karena baginya, apa pun yang dikatakan wanita itu pasti benar adanya. Sementara itu Livia baru saja turun dari angkot, dia berjalan sedikit kepayahan karena harus menggendong Yazeed dan menenteng tas. Diperjalanan menuju rumahnya, perempuan itu bertemu dengan tetangga dekat rumahnya. "Livia, kamu dari mana bawa-bawa tas gitu?" sapa wanita yang akrab disapa Bu Dewi itu. "Eh, Bu Dewi. Saya baru saja pulang dari rumah sakit, Bu. Beberapa hari ini Yazeed dirawat karena demam tinggi." Livia menjawab ramah. "Loh, Yazeed dirawat? Kok Hakam keliatan santai aja? Mertua sama iparmu juga." Mendengar pertanyaan wanita itu membuat Livia menghembuskan napas pelan. Jelas saja mereka santai saja, memangnya mereka peduli dengan keadaan Yazeed? "Ah, itu mungkin cuma perasaan bu Dewi aja. Lagian mas Hakam, kan, pagi sampai sore kerja. Malamnya dia temenin aku di rumah sakit, kok!" kata Livia. Dia berusaha menutupi keburukan sifat suami dan keluarganya, menurut perempuan itu belum saatnya orang-orang tau bagaimana perlakuan mereka terhadapnya dan sang anak. "Terus kenapa kamu pulangnya malah naik angkot gini? Emang Hakam nggak jemput gitu? Padahal, kan, dia dan keluarganya baru juga pulang dari luar." Wanita itu menatap Livia penuh selidik, dia memang sudah lama curiga dengan rumah tangga Livia. Hanya saja dia tak ingin dikatakan kepo dengan urusan orang lain. "Masa, sih, Bu? Mas Hakam masih di kantor, kok!" sahut Livia yakin. "Mereka baru pulang setengah jam lalu, kamu nggak dikasih tau?" Perlahan perempuan itu menggeleng, dadanya bergemuruh mendengar pengakuan tetangganya itu. Setengah jam lalu dia masih berjuang menunggu angkot di halte depan rumah sakit, dan kalau memang Hakam baru pulang, dia pasti melihat Livia di sana, kan? "Ah, mungkin ... mereka lupa ngasih tau, Bu. Soalnya hape saya juga mati, kehabisan daya." Livia berusaha mengelak, wanita didepannya hanya membulatkan mulut dan mengangguk meski tak percaya. "Kalau gitu saya permisi dulu, Bu. Yazeed sudah haus kayaknya," pamit Livia. Bu Dewi hanya mengangguk dan mempersilahkan, kemudian bergumam sambil memandang kepergian Livia. "Kasihan sekali kamu Livia, dinikahi hanya untuk status. Mudah-mudahan kebahagiaan segera menghampiri anak itu." Gumam wanita itu berlalu. * Hakam menghembuskan napas lega saat melihat sang istri berjalan menuju rumah mereka. Langkah Livia semakin dekat dengan teras, perempuan itu menatap datar suaminya yang tengah berdiri di sana sambil melipat tangan. "Kenapa kamu lama sekali?" tanya Hakam, Livia mengerutkan kening kemudian tersenyum sinis. "Kami pulang dengan kendaraan umum, bukan milik pribadi." Jawaban Livia terdengar bak sindiran bagi Hakam. "Apa maksudmu?" tanya laki-laki itu tak suka. "Aku benar, kan? Memangnya kamu pikir aku pulang dijemput supir pribadi? Aku itu naik angkot, dan harus nunggu dulu berjam-jam." Livia menyahut sambil berlalu masuk kedalam rumah. Perempuan itu menghempaskan bokongnya diatas sofa ruang tamu, sedang tas bawaannya ia taruh begitu saja di lantai. "Makanya nggak usah gengsi jadi orang, kalau mau minta jemput ya, tinggal bilang. Gampang, kan?" Dengan tak tau dirinya Hakam berucap. "Aku yang gengsi, atau kamu yang nggak peka? Memangnya ada suami yang membiarkan anak istrinya pulang sendiri sedang dia asik-asikkan menghabiskan waktu dengan keluarganya?" Hakam terdiam, dia menelan ludah berkali-kali sebab rasa gugup yang tiba-tiba menyerang. Livia tersenyum sinis melihat ekspresi suaminya, berarti benar apa yang dikatakan tetangganya tadi. Livia merasa miris, kenapa suaminya setega itu? "Aku nggak nyangka kamu bakal setega itu, Mas. Kalau memang kamu tak suka denganku, bisakah jangan ikut sertakan Yazeed? Ingat! Dia anakmu! Darah dagingmu yang lahir dari rahimku! Kenapa tak sedikit pun ada rasa sayangmu untuknya?" Air mata Livia sudah meleleh. Dadanya terasa sesak sekali. Sangat sakit rasanya melihat sendiri bagaimana tak adilnya suami terhadap anak mereka. Padahal Yazeed adalah anak yang Hakam tunggu-tunggu kelahirannya, tetapi kenapa setelah lahir sikapnya malah berbeda?Ghani berdecak begitu selesai menonton video yang dikirim Gheza. Pria itu meletakkan ponselnya dengan cara dilempar, kesal dengan tingkah Gheza yang seolah tak pernah berhenti mencari kesalahan Kaluna dan keluarganya."Apa susahnya, sih, terima perjodohan ini? Kenapa dia harus mencari-cari kesalahan Kaluna? Dasar keras kepala!" gerutu Ghani kesal.Dia memutuskan membalas pesan sang putra. Gheza harus tau, keputusan Ghani sudah tak bisa diganggu gugat. Lagi pula, pernikahan mereka tinggal menghitung hari, mana bisa main batalkan begitu saja karena masalah sepele begini?[Nggak ada gunanya kamu mencari-cari kesalahan Kaluna begitu, Gheza. Pernikahan kalian tetap akan berjalan, tidak peduli apa pun alasannya!]Gheza meremas ponselnya sekuat tenaga. Geram dengan sikap sang Papa yang tak mau tau dan tak peduli dengan berita baru yang dia bawa. Padahal di sana sudah jelas-jelas Kaluna dan Papanya punya rencana buruk, tapi bisa-bisanya Ghani malah mengatakan Gheza tengah mencari-cari kesalah
Napas Livia memburu mendengar kalimat yang terlontar dari mulut Marni. Sampai hati wanita itu mengatakan dia anak haram? Tak adakah secuil rasa sayang untuk perempuan yang sudah ia rawat sejak bayi itu?Kepala Livia berdenyut nyeri, tubuhnya limbung dan langsung ditangkap oleh Alia. Melihat itu, Marni sedikit kasihan."Bawa dia duduk di sana," titah wanita itu singkat, dia berjalan lebih dulu menuju kursi yang ada di teras.Alia pun memapah Livia yang tampak syok. Dengan hati-hati, Alia meminta Livia duduk di sana, ia ikut mendampingi."Mumpung kamu di sini, kamu juga sudah tau yang sebenarnya, kan? Aku nggak mau nutupin apa pun lagi. Kamu harus tau semua ceritanya, dari mana kamu berasal dan siapa wanita yang sudah melahirkanmu." Tanpa menoleh pada Livia, Marni bicara.Livia diam saja, air mata yang sejak tadi ia tahan dibiarkan meluncur bebas. Livia tak ingin berpura-pura kuat lagi didepan Marni. Wanita itu harus tau, betapa hancurnya hidup serta mental Livia selama ini dikarenakan
"Tenang saja, Pa. Setelah menjadi istri Gheza, aku yakin bisa menguasai semuanya sesuai perintah Papa," ujar Kaluna tersenyum licik.Semua memang sudah direncanakan. Perusahaan milik keluarga Dharmawan sedang goyah, ia tentu butuh banyak suntikan dana demi mempertahankan keutuhan perusahaannya. Kebetulan juga ia mendengar bahwa Ghani sedang mencari menantu dari keluarga pengusaha seperti mereka juga.Sebuah ide langsung mendarat di kepalanya. Rencana licik mulai ia susun, dan itu juga yang membuat Kaluna begitu berambisi mendekati Gheza. Demi menyelamatkan perusahaan keluarga mereka."Kamu benar. Beruntung Pak Ghani mau menerima kita, karena hanya dia yang bisa menyuntikkan dana besar pada perusahaan kita agar tetap stabil." Tawa Dharmawan dan Kaluna menggema.Neni, istri pria itu hanya bisa memaksakan senyum. Sebenarnya ia kurang setuju dengan rencana suami dan anak sambungnya itu, tetapi ia tak punya kuasa. Suaranya tak akan didengar, sarannya tak akan diterima. Sebab selama ini, Ne
"Mbak, aku nggak mau banyak komentar kalo masalah ini. Tapi ... kalau alasan Mbak balik lagi sama papanya Yazeed gara-gara takut merepotkan Mbah dan juga aku, mending pikir-pikir dulu." Alia menanggapi ucapan Livia dengan tenang."Memangnya Mbak yakin dia sudah berubah?" Alia bertanya menatap Livia serius.Livia menghembuskan napas kasar, kemudian menggeleng pelan."Mbak nggak begitu yakin, Al. Walau pun katanya akan membeli rumah baru yang jauh dari keluarganya," jawab Livia."Kalau begitu, Mbak pikir-pikir dulu, deh! Jangan mau menyerahkan hidup untuk laki-laki seperti itu, Mbak. Seumur hidup itu lama, jangan sampai Mbak dan Yazeed kembali sengsara karena ulahnya." Livia mengangguk pelan. Apa yang dikatakan Alia ada benarnya, dia tak hanya butuh uang untuk hidup. Tapi juga kasih sayang serta perhatian tulus dari sang suami demi menjaga kewarasan dirinya.*Hari terus berlalu, rumah dan mobil yang sempat Hakam promosikan di sosial media pada akhirnya menemukan pembelinya. Dengan bera
"Nggak usah! Papa nggak perlu bukti atau apa pun itu. Yang Papa tau, kamu dan Kaluna sama-sama salah!" tepis Ghani membuat Gheza membeliak.Bagaimana bisa pria itu tak mengindahkan pembelaan sang putra? Padahal Gheza tak sekedar membela diri, dia punya bukti yang menunjukkan siapa yang salah.Kaluna menghembuskan napas lega dan tersenyum. Dia melirik Gheza yang tengah menatap tajam ke arahnya. Kaluna tak peduli, biarlah Gheza menganggapnya perempuan rendahan. Yang penting, dia harus berhasil menikah dengan laki-laki itu sesuai permintaan sang Papa."Sudah, kamu lanjutkan kerjaan. Dan kamu ... balik dulu, ya? Mungkin setelah suasana hati Gheza mulai membaik, kalian bisa bertemu lagi." Ghani menoleh dan tersenyum kearah Kaluna. Perempuan itu mengangguk sopan dan langsung pamit undur diri dari sana.Dalam hati, Kaluna bersorak penuh kemenangan. Menaklukkan Gheza memang cukup sulit, tapi ia bisa lewat jalan pintas, yaitu Ghani.Seperginya Kaluna, Ghani menatap Gheza yang memasang tampang
"Gheza! Apa yang sedang kalian lakukan?!" Murka Ghani.Kedatangan sang Papa yang tiba-tiba tentu saja mengejutkan Gheza. Laki-laki itu langsung mendorong Kaluna hingga perempuan itu terjengkang jatuh, sedang dia langsung berdiri gugup sambil merapikan pakaiannya yang sedikit berantakan.Kaluna mengaduh kesakitan dan segera dibantu berdiri oleh Sahira –sekretaris pribadi Gheza. Ghani sendiri masih berdiri ditempatnya tanpa mengalihkan pandangannya dari sang putra.Tatapan mata pria itu tajam bagai elang, dia murka sebab tak menyangka jika sang putra akan seberani itu dan melakukannya di kantor."Pa, ini semua tidak seperti yang Papa bayangkan," kata Gheza gugup, dia mendekati Ghani yang masih saja menatapnya."Alasan apa yang ingin kamu lontarkan, Gheza? Dengan melihat posisi kalian saja, Papa tau apa yang akan terjadi selanjutnya jika kami tidak segera datang. Iya, kan?!" cemooh Ghani.Kaluna menundukkan wajah, dari gesturnya sengaja ia buat seolah merasa bersalah didepan Ghani. Padah