Hakam tengah duduk dengan Dania dan juga Hana, disudut lain si kembar Hanin dan Hanan tengah sibuk menikmati ayam KFC yang tadi dibelikan Hakam.
"Kenapa kalian nggak cerita dari awal kalau Livia bicara kasar seperti tadi?" tanya Hakam menatap Dania dan Hana gantian. "Awalnya kita juga mau cerita, tapi ... mama takut kamu bakal marah sama Livia." Dania menunduk, berpura-pura baik pada Livia didepan Hakam "Ya, pasti aku bakal marah, Ma! Kalau dia memperlakukan kalian kasar seperti itu masa aku cuma diem?" berang Hakam. Dania dan Hana saling pandang dengan senyum terkulum, rencana mereka berhasil. Livia harus tau, jika dia ditakdirkan untuk hidup menjadi bulan-bulanan mereka. "Aku bakal kasih pelajaran padanya. Mama sama mbak tenang aja, aku nggak akan biarin dia berani kurang ajar sama kalian," tekad Hakam penuh dendam. Sementara itu, Livia menatap langit yang sudah mulai gelap, tapi Hakam tak juga datang. Berulang kali sudah ia coba hubungi tak satu pun panggilan Livia ia angkat. "Kemana, sih, kamu sebenarnya, Mas?" gumam Livia. Perempuan itu cemas, sebab pampers dan keperluan Yazeed yang tak ia bawa. Saat pergi tadi, dia hanya membawa satu pampers dan satu pasang baju ganti untuk Yazeed karena tak tau akan dirawat inap. "Eum ... permisi, Bu. Boleh saya titip anak saya sebentar? Saya mau pulang dulu, mau ambil keperluan yang ketinggalan." Livia menghampiri ranjang pasien disampingnya. Seorang wanita yang umurnya lebih tua dari Livia itu menoleh, kemudian menjawab, "boleh, Mbak. Ditinggal aja anaknya. Kalau boleh tau, mbak pulangnya naik apa?" "Terimakasih banyak, Bu. Kayaknya saya balik nyari ojek aja, mudah-mudahan saja masih ada ojek yang mangkal didepan." "Mending mbak bawa motor saya aja, kasihan kalau mbak harus nyari ojek lagi. Takutnya kelamaan nanti anaknya ditinggal. Bukan saya nggak mau dititipin lama, cuma anaknya mbak 'kan masih nyusu," tawar wanita itu. "Eh, nggak usah, Bu. Saya naik ojek aja, didepan pasti masih ada yang mangkal." Livia menolak halus tawaran wanita itu. "Nggak apa. Bawa saja, mbak bisa bawa motor, kan?" Wanita itu tetap memaksa, bahkan meminta anaknya yang lain untuk mengantar Livia sampai pada motornya. Livia terharu dengan kebaikan dan ketulusan wanita itu, dengan sungkan ia terpaksa menerima kunci motor yang disodorkan ke tangannya. Tak lupa ia mengucapkan banyak terimakasih karena sudah sudi membantu. Begitu sampai di parkiran, Livia langsung menaiki motor dan mengenakan helm. Tanpa menunggu lama, dia mulai tancap gas. Dia harus segera tiba di rumah dan menyiapkan semuanya, dia tak mungkin meninggalkan Yazeed terlalu lama meski wanita itu bersedia menunggunya. Beberapa menit perjalanan, akhirnya Livia sampai juga. Dahi wanita itu berkerut saat melihat mobil Hakam yang sudah terparkir rapi didepan rumah mertuanya. Dada Livia terbakar emosi, ternyata suaminya sudah pulang sedang dia menunggu dengan sabar di rumah sakit. "Mas Hakam!" teriak Livia sembari membuka kasar pintu rumah mertuanya. Hakam yang kebetulan tengah bermain bersama dua keponakannya tersentak mendengar teriakan Livia. Melihat bagaimana asiknya sang suami menemani keponakannya bermain, hati Livia kembali berdenyut nyeri. Bagaimana bisa Hakam setega itu padanya dan Yazeed? Dada Livia bergelombang menahan amarah, napasnya memburu dengan mata memerah. Perlahan tapi pasti, ia mendekati Hakam yang sudah berdiri menatapnya datar. Plak! Satu tamparan mendarat keras di pipi laki-laki itu. Hakam yang tak siap dengan serangan Livia jelas terkejut, dia memegangi pipinya yang terasa panas. Disaat bersamaan, Hanin menangis kencang. Mungkin kaget melihat kemarahan Livia yang tak biasa. Mendengar tangisan Hanin, Hana dan Dania yang tengah berada di dapur langsung berlari menghampiri. Keduanya terkejut dengan kedatangan Livia, terlebih saat perempuan itu menatap tajam kearah mereka. "Apa yang terjadi, Kam? Kenapa Hanin menangis?" cecar Dania, Hana langsung meraih kedua anaknya dan membawanya kebelakang. Hakam tak menjawab, dia hanya menatap Livia dengan emosi memuncak. Laki-laki itu marah dengan sikap istrinya yang mulai berani. Livia sendiri tak sedikit pun takut dengan tatapan laki-laki didepannya, malah terkesan ia ikut menantang. "Kau–" "Apa? Kau ingin mengatakan apa? Aku perempuan kurang ajar, begitu? Kau yang lebih kurang ajar, Mas! Anakmu terbaring lemah di rumah sakit, sedangkan kau malah sibuk menemani anak orang lain di sini! Dasar manusia tak punya hati!" jerit Livia, dia kembali menyerang Hakam dengan mendorongnya. Tapi apalah daya tenaganya yang tak seberapa itu harus berhadapan dengan laki-laki bertubuh tinggi besar itu. "Jaga mulutmu Livia! Berani sekali kamu berkata seperti itu pada anakku!" teriak Dania mendorong bahu Livia. "Lebih sakit mana, Ma? Melihat anak yang sudah dewasa dikatai oleh istrinya, atau melihat anak yang masih bayi tak mendapat perhatian dari ayah kandungnya sendiri?" balas Livia sinis. "Sudah cukup, Livia! Ternyata begini caramu memperlakukan mamaku?" bentak Hakam menarik tangan sang istri. "Minta maaf sekarang! Atau aku akan memberimu pelajaran, Livia!" tegas Hakam penuh penekanan. Bukannya takut, Livia malah tersenyum sinis menanggapi permintaan Hakam. "Bukan aku yang seharusnya mengemis maaf, Mas. Tapi ... kalian!" tekan Livia membuat Hakam dan Dania ternganga tak percaya.Tak ingin menghabiskan waktu menghadapi mertua serta suaminya, Livia memilih keluar dari sana dan menuju rumahnya yang berada tepat disamping rumah sang mertua.Teriakan Hakam yang memanggilnya tak ia hiraukan. Livia terus berjalan. Yang ia pikirkan hanya ingin segera menyiapkan segala keperluan Yazeed dan kembali ke rumah sakit."Kenapa kamu berubah begini, Livia?" Ternyata Hakam menyusul Livia pulang, dia berjalan menghampiri sang istri yang tengah fokus memasukkan beberapa lembar bajunya dan Yazeed kedalam sebuah tas.Livia tak menjawab bahkan menoleh pun tidak. Perempuan itu tampak cuek, seakan tak menganggap keberadaan Hakam di sana."Livia, jawab aku!" Kesal tak mendapat jawaban dari istrinya, Hakam menarik tangan perempuan itu hingga berhadapan dengannya.Livia menatap Hakam datar, muak dan benci menyatu dalam diri perempuan itu. Kebencian terpancar jelas di matanya, melihat tatapan istrinya yang terlampau datar membuat Hakam menelan ludah. Tak pernah sebelumnya Livia menantang
"Kamu sudah selesai makannya?" Hakam yang menyadari kedatangan Livia mendekat."Eum ... sudah." Livia menyahut singkat. Dia berjalan kearah ranjang Yazeed, Livia tersenyum melihat wajah anaknya yang tampak lebih segar dibanding tadi siang."Anak mama nggak rewel, kan?" Demi menghindari Hakam, Livia mengajak bayinya bicara. Perempuan itu mengusap lembut pipi Yazeed sembari tersenyum."Mas akan temani kalian malam ini." Hakam mendekati Livia dan bicara tepat disamping telinga perempuan itu hingga membuat Livia bergidik terkena hembusan napasnya."Nggak usah. Kamu temani saja Hanan dan Hanin, bukannya mereka lebih butuh kamu?" Livia mengelak menjauh. Selain sungkan dengan posisi mereka karena banyak orang di sana, Livia juga masih enggan memaafkan Hakam."Ck, kamu masih merajuk ternyata?" decak Hakam. Lelaki itu mengecup kepala istrinya hingga membuat Livia kesal."Kamu apaan, sih, Mas? Nggak liat banyak orang di sini?" kesal Livia, meski begitu tak bisa dipungkiri wajahnya ikut bersemu.
Sudah hampir setengah jam Hakam menunggu di rumah, tapi tak ada tanda-tanda kepulangan anak dan istrinya.Laki-laki itu berjalan mondar-mandir menunggu di teras. Ia gelisah memikirkan kenapa istrinya tak kunjung pulang."Nggak usah dijemput, istrimu itu jangan terlalu dimanja. Nanti jadi besar kepala, kamu juga yang repot." Ucapan sang mama kembali terngiang saat Hakam berniat akan menjemput Livia.Ia menyugar rambut dengan kasar. Dia kasihan pada anak istrinya, tapi dia lebih memilih mendengar ucapan mamanya. Karena baginya, apa pun yang dikatakan wanita itu pasti benar adanya.Sementara itu Livia baru saja turun dari angkot, dia berjalan sedikit kepayahan karena harus menggendong Yazeed dan menenteng tas. Diperjalanan menuju rumahnya, perempuan itu bertemu dengan tetangga dekat rumahnya."Livia, kamu dari mana bawa-bawa tas gitu?" sapa wanita yang akrab disapa Bu Dewi itu."Eh, Bu Dewi. Saya baru saja pulang dari rumah sakit, Bu. Beberapa hari ini Yazeed dirawat karena demam tinggi.
Dengan emosi yang menggunung, Livia meninggalkan Hakam di teras. Perempuan itu memilih masuk ke rumah dan membersihkan tubuhnya serta sang bayi agar bisa segera beristirahat.Sementara itu Hakam menghempaskan tubuhnya diatas kursi teras, ia jadi kewalahan sendiri dengan perubahan sikap Livia. Perempuan itu jauh lebih keras kepala sekarang. Dia juga mulai banyak menuntut, tak seperti biasa yang selalu pasrah meski diperlakukan seperti apa pun.Selesai membersihkan badannya dan Yazeed, Livia keluar menuju dapur. Perutnya sudah keroncongan sejak di rumah sakit tadi, sekarang sudah hampir jam 3 dan dia belum makan siang.Namun, dadanya berdenyut saat melihat penanak nasi kosong melompong. Perempuan itu menghempaskan napas pelan, kemudian membuka tempat beras dan mulai memasak nasi."Kamu belum makan?" Hakam mendekati Livia yang tengah mencuci beras dengan satu tangannya menggendong Yazeed.Livia tak menjawab, dia tetap melanjutkan pekerjaannya hingga Hakam mengambil alih Yazeed. Livia tak
"Di rumah mama juga nggak ada stok sayur sama ikan. Kamu makan ini dulu, ya?" Hakam menghampiri Livia yang tengah duduk di kursi dapur.Perempuan itu menoleh kearah piring yang suaminya bawa. Kening Livia berkerut, tumben mereka mau membagi lauk padanya? Apalagi dengan menu ayam, meski hanya sepotong.Tanpa curiga, Livia menerima piring yang diulurkan Hakam. Dia bermaksud menyimpannya dulu dan akan memakannya nanti, sambil menunggu nasi yang baru ia masak matang.Tapi Livia merasa sedikit aneh dengan bentuk paha ayam itu, seperti ... ada bekas gigitan. Saat ia mencoba membaliknya, mata perempuan itu membelalak sempurna. Napasnya memburu dengan mata yang sudah memanas, ia tak menyangka jika suaminya tega memberikan makanan sisa untuknya."Bekas siapa yang kamu kasih ke aku ini, Mas?!" hardik Livia.Melihat reaksi istrinya, Hakam sedikit terkejut dan salah tingkah. Namun, bukan Hakam namanya kalau langsung merasa bersalah."Itu bekas Hanin. Kenapa? Kamu jijik?" tanya Hakam santai. Padah
"Apa-apaan kamu ini Livia?" berang Hakam."Kalian yang apa-apaan, Mas! Kenapa kalian menghabiskan semuanya tanpa menyisakan untukku? Aku bahkan belum menyicipinya sedikit pun!" jerit Livia."Ka–kamu belum sarapan? Maaf, mas kira ... kamu sudah sarapan duluan tadi." Hakam mendekati Livia dengan penuh rasa bersalah. Kalau saja ia tau, pasti akan meminta mama dan kakaknya menyisakan untuk sang istri.Livia menepis tangan Hakam yang hendak menyentuhnya. Kesal rasanya disentuh oleh laki-laki itu, berulang kali mengucap kata maaf tapi berulang kali juga ia mengulangi kesalahan yang sama. Tak pernah menghargai sang istri."Masa cuma gara-gara nasi goreng aja kamu segitu marahnya sama kita? Tau gini kita nggak bakal kesini juga tadi." Hana bangkit dan menatap Livia sinis."Aku juga nggak bakal marah kalo kalian masih pake perasaan makannya. Ini? Udah numpang, nggak tau diri lagi!" balas Livia ketus.Hana dan Dania menahan geram mendengar ucapan Livia."Liat kelakuan istrimu itu, Kam! Padahal
Setelah setengah jam Livia membawa Yazeed bermain, perempuan itu akhirnya membawa sang anak pulang. Jam juga sudah menunjukkan pukul setengah 5, Hakam pasti sudah pulang, pikir Livia.Dan ternyata benar saja, sesampainya di rumah ia melihat mobil suaminya sudah terparkir rapi di halaman seperti biasa. Pintu juga terbuka lebar, begitu melihat sandal yang tergeletak di sana Livia jadi tau jika Hana dan Dania tengah berada didalam.Begitu Livia sampai didepan pintu, Hakam dan keluarganya yang tengah duduk diruang tamu serentak menoleh. Dari tatapan mereka bisa Livia tebak, pasti anak-anak itu sudah mengadu yang tidak-tidak pasal tadi.Tapi dia tak peduli, tanpa menghiraukan Hakam dan yang lain, dia melenggang santai hendak melewati ruang tamu. Namun, suara datar Hakam menghentikan langkahnya."Tunggu, Livia. Ada yang ingin aku tanyakan," kata Hakam membuat Livia berhenti. Laki-laki itu bangkit dan mendekati sang istri yang masih berdiri di sana."Kamu apakan Hanan dan Hanin?" Pertanyaan
Livia masuk ke kamar, ternyata di sana sudah kosong. Sepertinya Hakam tengah mandi sebab terdengar suara air dari arah dalam kamar mandi.Tanpa pikir panjang, perempuan itu langsung meraih tas kecil dan memasukkan beberapa bajunya dan Yazeed ke sana. Tak lupa perlengkapan Yazeed juga, seperti pampers dan lainnya.Setelah itu, dia mengambil dompet Hakam yang tergeletak diatas meja rias. Ia mengeluarkan dua lembar uang pecahan seratus ribu dan kembali menyimpannya.Perempuan itu bergegas keluar dari kamar setelah mendengar suara kunci diputar. Dengan langkah tergesa, Livia meninggalkan rumah sambil menggendong Yazeed menggunakan kain jarik.Livia berniat pulang ke rumah orang tuanya, perlakuan serta perkataan Hakam tadi benar-benar menyakitinya. Laki-laki itu hanya menghargai keluarganya tapi tidak dengannya."Eh, mau kemana sore-sore begini Livia?" sapa salah satu tetangga Livia."Eum ... mau ke rumah ibu, Bude." Livia menjawab singkat seraya membungkukkan badan."Kenapa sore-sore gini
Livia masuk ke kamar, ternyata di sana sudah kosong. Sepertinya Hakam tengah mandi sebab terdengar suara air dari arah dalam kamar mandi.Tanpa pikir panjang, perempuan itu langsung meraih tas kecil dan memasukkan beberapa bajunya dan Yazeed ke sana. Tak lupa perlengkapan Yazeed juga, seperti pampers dan lainnya.Setelah itu, dia mengambil dompet Hakam yang tergeletak diatas meja rias. Ia mengeluarkan dua lembar uang pecahan seratus ribu dan kembali menyimpannya.Perempuan itu bergegas keluar dari kamar setelah mendengar suara kunci diputar. Dengan langkah tergesa, Livia meninggalkan rumah sambil menggendong Yazeed menggunakan kain jarik.Livia berniat pulang ke rumah orang tuanya, perlakuan serta perkataan Hakam tadi benar-benar menyakitinya. Laki-laki itu hanya menghargai keluarganya tapi tidak dengannya."Eh, mau kemana sore-sore begini Livia?" sapa salah satu tetangga Livia."Eum ... mau ke rumah ibu, Bude." Livia menjawab singkat seraya membungkukkan badan."Kenapa sore-sore gini
Setelah setengah jam Livia membawa Yazeed bermain, perempuan itu akhirnya membawa sang anak pulang. Jam juga sudah menunjukkan pukul setengah 5, Hakam pasti sudah pulang, pikir Livia.Dan ternyata benar saja, sesampainya di rumah ia melihat mobil suaminya sudah terparkir rapi di halaman seperti biasa. Pintu juga terbuka lebar, begitu melihat sandal yang tergeletak di sana Livia jadi tau jika Hana dan Dania tengah berada didalam.Begitu Livia sampai didepan pintu, Hakam dan keluarganya yang tengah duduk diruang tamu serentak menoleh. Dari tatapan mereka bisa Livia tebak, pasti anak-anak itu sudah mengadu yang tidak-tidak pasal tadi.Tapi dia tak peduli, tanpa menghiraukan Hakam dan yang lain, dia melenggang santai hendak melewati ruang tamu. Namun, suara datar Hakam menghentikan langkahnya."Tunggu, Livia. Ada yang ingin aku tanyakan," kata Hakam membuat Livia berhenti. Laki-laki itu bangkit dan mendekati sang istri yang masih berdiri di sana."Kamu apakan Hanan dan Hanin?" Pertanyaan
"Apa-apaan kamu ini Livia?" berang Hakam."Kalian yang apa-apaan, Mas! Kenapa kalian menghabiskan semuanya tanpa menyisakan untukku? Aku bahkan belum menyicipinya sedikit pun!" jerit Livia."Ka–kamu belum sarapan? Maaf, mas kira ... kamu sudah sarapan duluan tadi." Hakam mendekati Livia dengan penuh rasa bersalah. Kalau saja ia tau, pasti akan meminta mama dan kakaknya menyisakan untuk sang istri.Livia menepis tangan Hakam yang hendak menyentuhnya. Kesal rasanya disentuh oleh laki-laki itu, berulang kali mengucap kata maaf tapi berulang kali juga ia mengulangi kesalahan yang sama. Tak pernah menghargai sang istri."Masa cuma gara-gara nasi goreng aja kamu segitu marahnya sama kita? Tau gini kita nggak bakal kesini juga tadi." Hana bangkit dan menatap Livia sinis."Aku juga nggak bakal marah kalo kalian masih pake perasaan makannya. Ini? Udah numpang, nggak tau diri lagi!" balas Livia ketus.Hana dan Dania menahan geram mendengar ucapan Livia."Liat kelakuan istrimu itu, Kam! Padahal
"Di rumah mama juga nggak ada stok sayur sama ikan. Kamu makan ini dulu, ya?" Hakam menghampiri Livia yang tengah duduk di kursi dapur.Perempuan itu menoleh kearah piring yang suaminya bawa. Kening Livia berkerut, tumben mereka mau membagi lauk padanya? Apalagi dengan menu ayam, meski hanya sepotong.Tanpa curiga, Livia menerima piring yang diulurkan Hakam. Dia bermaksud menyimpannya dulu dan akan memakannya nanti, sambil menunggu nasi yang baru ia masak matang.Tapi Livia merasa sedikit aneh dengan bentuk paha ayam itu, seperti ... ada bekas gigitan. Saat ia mencoba membaliknya, mata perempuan itu membelalak sempurna. Napasnya memburu dengan mata yang sudah memanas, ia tak menyangka jika suaminya tega memberikan makanan sisa untuknya."Bekas siapa yang kamu kasih ke aku ini, Mas?!" hardik Livia.Melihat reaksi istrinya, Hakam sedikit terkejut dan salah tingkah. Namun, bukan Hakam namanya kalau langsung merasa bersalah."Itu bekas Hanin. Kenapa? Kamu jijik?" tanya Hakam santai. Padah
Dengan emosi yang menggunung, Livia meninggalkan Hakam di teras. Perempuan itu memilih masuk ke rumah dan membersihkan tubuhnya serta sang bayi agar bisa segera beristirahat.Sementara itu Hakam menghempaskan tubuhnya diatas kursi teras, ia jadi kewalahan sendiri dengan perubahan sikap Livia. Perempuan itu jauh lebih keras kepala sekarang. Dia juga mulai banyak menuntut, tak seperti biasa yang selalu pasrah meski diperlakukan seperti apa pun.Selesai membersihkan badannya dan Yazeed, Livia keluar menuju dapur. Perutnya sudah keroncongan sejak di rumah sakit tadi, sekarang sudah hampir jam 3 dan dia belum makan siang.Namun, dadanya berdenyut saat melihat penanak nasi kosong melompong. Perempuan itu menghempaskan napas pelan, kemudian membuka tempat beras dan mulai memasak nasi."Kamu belum makan?" Hakam mendekati Livia yang tengah mencuci beras dengan satu tangannya menggendong Yazeed.Livia tak menjawab, dia tetap melanjutkan pekerjaannya hingga Hakam mengambil alih Yazeed. Livia tak
Sudah hampir setengah jam Hakam menunggu di rumah, tapi tak ada tanda-tanda kepulangan anak dan istrinya.Laki-laki itu berjalan mondar-mandir menunggu di teras. Ia gelisah memikirkan kenapa istrinya tak kunjung pulang."Nggak usah dijemput, istrimu itu jangan terlalu dimanja. Nanti jadi besar kepala, kamu juga yang repot." Ucapan sang mama kembali terngiang saat Hakam berniat akan menjemput Livia.Ia menyugar rambut dengan kasar. Dia kasihan pada anak istrinya, tapi dia lebih memilih mendengar ucapan mamanya. Karena baginya, apa pun yang dikatakan wanita itu pasti benar adanya.Sementara itu Livia baru saja turun dari angkot, dia berjalan sedikit kepayahan karena harus menggendong Yazeed dan menenteng tas. Diperjalanan menuju rumahnya, perempuan itu bertemu dengan tetangga dekat rumahnya."Livia, kamu dari mana bawa-bawa tas gitu?" sapa wanita yang akrab disapa Bu Dewi itu."Eh, Bu Dewi. Saya baru saja pulang dari rumah sakit, Bu. Beberapa hari ini Yazeed dirawat karena demam tinggi.
"Kamu sudah selesai makannya?" Hakam yang menyadari kedatangan Livia mendekat."Eum ... sudah." Livia menyahut singkat. Dia berjalan kearah ranjang Yazeed, Livia tersenyum melihat wajah anaknya yang tampak lebih segar dibanding tadi siang."Anak mama nggak rewel, kan?" Demi menghindari Hakam, Livia mengajak bayinya bicara. Perempuan itu mengusap lembut pipi Yazeed sembari tersenyum."Mas akan temani kalian malam ini." Hakam mendekati Livia dan bicara tepat disamping telinga perempuan itu hingga membuat Livia bergidik terkena hembusan napasnya."Nggak usah. Kamu temani saja Hanan dan Hanin, bukannya mereka lebih butuh kamu?" Livia mengelak menjauh. Selain sungkan dengan posisi mereka karena banyak orang di sana, Livia juga masih enggan memaafkan Hakam."Ck, kamu masih merajuk ternyata?" decak Hakam. Lelaki itu mengecup kepala istrinya hingga membuat Livia kesal."Kamu apaan, sih, Mas? Nggak liat banyak orang di sini?" kesal Livia, meski begitu tak bisa dipungkiri wajahnya ikut bersemu.
Tak ingin menghabiskan waktu menghadapi mertua serta suaminya, Livia memilih keluar dari sana dan menuju rumahnya yang berada tepat disamping rumah sang mertua.Teriakan Hakam yang memanggilnya tak ia hiraukan. Livia terus berjalan. Yang ia pikirkan hanya ingin segera menyiapkan segala keperluan Yazeed dan kembali ke rumah sakit."Kenapa kamu berubah begini, Livia?" Ternyata Hakam menyusul Livia pulang, dia berjalan menghampiri sang istri yang tengah fokus memasukkan beberapa lembar bajunya dan Yazeed kedalam sebuah tas.Livia tak menjawab bahkan menoleh pun tidak. Perempuan itu tampak cuek, seakan tak menganggap keberadaan Hakam di sana."Livia, jawab aku!" Kesal tak mendapat jawaban dari istrinya, Hakam menarik tangan perempuan itu hingga berhadapan dengannya.Livia menatap Hakam datar, muak dan benci menyatu dalam diri perempuan itu. Kebencian terpancar jelas di matanya, melihat tatapan istrinya yang terlampau datar membuat Hakam menelan ludah. Tak pernah sebelumnya Livia menantang
Hakam tengah duduk dengan Dania dan juga Hana, disudut lain si kembar Hanin dan Hanan tengah sibuk menikmati ayam KFC yang tadi dibelikan Hakam."Kenapa kalian nggak cerita dari awal kalau Livia bicara kasar seperti tadi?" tanya Hakam menatap Dania dan Hana gantian."Awalnya kita juga mau cerita, tapi ... mama takut kamu bakal marah sama Livia." Dania menunduk, berpura-pura baik pada Livia didepan Hakam "Ya, pasti aku bakal marah, Ma! Kalau dia memperlakukan kalian kasar seperti itu masa aku cuma diem?" berang Hakam.Dania dan Hana saling pandang dengan senyum terkulum, rencana mereka berhasil. Livia harus tau, jika dia ditakdirkan untuk hidup menjadi bulan-bulanan mereka."Aku bakal kasih pelajaran padanya. Mama sama mbak tenang aja, aku nggak akan biarin dia berani kurang ajar sama kalian," tekad Hakam penuh dendam.Sementara itu, Livia menatap langit yang sudah mulai gelap, tapi Hakam tak juga datang. Berulang kali sudah ia coba hubungi tak satu pun panggilan Livia ia angkat."Kem