Share

5. Mengontrol Ranah Pribadiku

"Barang-barang ini dan orang-orang yang membersihkan ini, berapa banyak kamu habiskan uang untuk membayar mereka dan membeli semua perabotan ini?" tanyanya, suaranya penuh dengan amarah.

"Mas, aku ikhlas melakukannya karena—"

"Kamu masih nggak ngerti juga? Kamu hanya sedang merendahkan harga diriku, Siby. Dengan melakukan semua ini, tanpa sadar kamu sedang menginjak harga diriku di depan papamu."

"Tapi ini bukan memakai uang Pa—"

"Diam! Jangan membantah apa yang aku katakan! Cukup bersikap manja di depan papamu dan meminta hal-hal yang tak bisa kamu lakukan sendirian. Setelah kamu menikah denganku, hargai aku sedikit saja sebagai seorang suami. Jangan terus-terusan mengandalkan papamu. Kamu ngerti itu?"

"Iya," jawabku, suaraku hampir bergetar.

Tak kusangka Mas Anggara akan bertindak sekeras ini. Perkataannya juga benar-benar menusuk hati.

Memang benar aku selalu mengadakan koneksi papaku untuk meminta sesuatu yang sulit aku jangkau, tapi untuk masalah ekonomi aku bisa berdiri sendiri dan bisa menghasilkan uang puluhan juta per harinya.

Mas Angga saja yang tidak tahu karena dia hanya menilaiku dari sudut panjangnya saja.

"Hitung semuanya dan kembalikan uangnya pada papamu hari ini juga."

Dia mengeluarkan kartu berwarna biru dari dompet hitamnya, lalu masuk ke kamar mandi. Aku merasa jantungku berdebar, setiap dia nencecarku dengan kata-kata tajam.

Aku memutuskan untuk membawa koper dari ruang tengah ke dalam kamar. Setelah membuka kasur dari dalam box yang dikemas rapi, aku menyadari belum ada selimut atau seprai.

Hanya ada dua bantal, itupun bonus dari dalam kasur. Sepertinya aku harus belanja lagi besok, tapi bagaimana jika Mas Anggara kembali marah dan mengira semua yang aku beli berasal dari uang papaku?

Ugh, sudah bisa dipastikan dia akan marah besar lagi.

Mas Anggara keluar dengan wajah segar setelah mencuci muka. Bajunya sudah berganti dengan kaos dan celana pendek. Mengusap rambutnya dengan handuk kecil, dia menatapku dingin.

“Kenapa kamu melihatku seperti itu? Jangan mikir aku mau melakukan sesuatu sama kamu, ya.”

“Nggak, mana mungkin aku mikir kayak gitu,” kilahku cepat.

Aku murni menyukainya karena ketampanan dan tanggung jawabnya, bukan memikirkan hal-hal yang berbau dewasa. Setidaknya pikiranku masih murni dan tidak sampai menjurus ke arah sana.

Apa dia tidak sadar kalau perasaanku ini benar-benar sangat tulus, terlepas dari caraku mengejarnya.

"Mas, kamu belum makan, ‘kan? Tadi aku sudah beli nasi Padang lho." Aku mengalihkan obrolan agar kami tak selalu terlibat perang mulut.

"Uangnya dari mana? Aku belum memberi uang nafkah padamu."

"Aku beli dengan uangku sendiri, termasuk barang-barang ini semuanya—"

“Cukup!” Dia mengangkat tangan, menyuruhku untuk diam. Aku tak tahu harus berbuat apa.

Kusiapkan saja makanannya di atas meja, lalu masuk ke dalam kamar mandi untuk mensucikan diri dan mengambil wudhu.

Setelah selesai, kulihat tidak ada orang lain di tempat ini. Mas Anggara sepertinya pergi ke masjid, entahlah. Hanya terlihat koper yang terbuka. Mungkin dia mengambil sarung, pikirku.

Aku menunaikan kewajiban dan kembali mengadu pada Sang Khalik, memohon agar Ia membukakan mata hati suamiku dan melembutkan hatinya.

Jujur saja, aku juga merasa tertekan, tapi dibentak secara kasar seperti itu membuat dada bertambah nyeri.

Setelah berzikir, Mas Anggara membuka pintu tanpa mengucapkan salam. Dia lalu duduk di sofa, membaringkan dirinya sambil memejamkan mata.

Apa dia sudah tidur atau hanya pura-pura tidur? Makanan yang kusiapkan bahkan tidak tersentuh sama sekali.

Aku mencoba untuk bersabar sambil mengelus dada, meskipun dia tidak menghargai usahaku.

Setetes air mata lolos ke pipiku. Aku mulai membaringkan diri pada kasur yang sudah digelar di lantai, tanpa beralaskan karpet. Sampai kantuk itu perlahan hingga mengambil kesadaranku.

Dini hari mencapai puncaknya. Aku menggigil tak bisa tidur tanpa selimut, hanya menutupi kaki dengan sajadah, sementara badan masih terbalut mukena. Namun, dingin itu terus menyergap, membuat gigiku bergemeretak merasakan suhu yang menusuk tulang.

Tiba-tiba, pintu kamar terbuka. Aku melihat siluet seseorang mendekat, terdeteksi dari helaan napas pria yang menikahiku kemarin.

Mas Angga berdiri tak jauh dariku. Aku pura-pura memejamkan mata, tak ingin bertatap muka atau bertengkar di tengah malam seperti ini.

Tanpa kuduga, dia menutupi badanku dengan sarung yang dipakainya semalam untuk ke masjid.

Hatiku yang sakit menganga kini menghangat merasakan perhatian kecilnya.

Kupikir dia juga akan ikut berbaring di sebelah, namun ternyata tidak. Dia kembali ke sofa, entah apa yang kini dilakukannya.

Kembali tidurkah dia?

Pagi-pagi sekali aku sudah bangun. Setelah membersihkan diri dan menunaikan kewajiban, aku pergi ke dapur untuk membuat teh hangat.

Melihat kopi di atas meja masih terisi penuh, sepertinya Mas Angga tak meminumnya semalam.

Mas Angga belum pulang dari masjid, padahal waktu sudah menunjukkan pukul 06.00 lebih.

Aku membuka pintu agar udara segar masuk ke dalam ruangan. Kaca-kaca belum tertutupi gorden, karena yang lama sudah usang dan kemarin sudah dibakar.

Tak lama kemudian, Mas Angga masuk ke dalam rumah tanpa mengucapkan salam.

"Waalaikumsalam. Biasakan mengucap salam, Mas. Meskipun hukumnya sunnah, tapi yang menjawab itu hukumnya wajib," kataku mengingatkan.

"Aku sudah melakukannya dalam hati," jawabnya dingin sambil duduk di sofa dan mengecek ponselnya.

"Ya sudah kalau gitu, minum teh dulu ya. Maaf nggak pakai gula karena aku belum sempat membelinya."

"Hm." Dia hanya menjawab dengan deheman. Meski marah, aku bersyukur dia masih menyahuti perkataanku.

"Mana ponselmu?" tanyanya tanpa mengangkat wajah.

"Untuk apa Mas? Apa memegang ponsel juga tidak boleh?" hatiku bergejolak. ‘Apa yang akan terjadi jika aku selalu dikekang seperti ini?’

"Berikan saja dan tak usah banyak membantah," jawabnya cepat.

Tatapan Mas Angga saat ini membuatku nyeri. Jika ada seorang polisi yang sedang menginterogasi terdakwa, maka begitulah raut wajah Mas Anggara saat melihatku.

Dari awal bertemu sampai sekarang, tatapan itu belum juga berubah meskipun aku sudah bergelar sebagai wanita yang mendampinginya.

Aku mendesah, masuk ke dalam kamar, mengambil ponsel, dan menyerahkan padanya.

"Sekalian buka sandinya," katanya.

Oh ya Tuhan, apa-apaan ini? Apakah dia ingin memeriksa agar tidak ada rahasia di antara kami? Atau jangan-jangan dia ingin mengontrolku sepenuhnya?

Kenapa rasanya aneh punya suami Brimob.

Mas Angga mulai mengutak-atik ponselku, mendaftarkan nomornya sendiri.

Suara notifikasi berbunyi, entah apa lagi yang dilakukannya. Aku sudah pasrah; biarlah mungkin dia sekalian memeriksa m-banking atau pesan dari Papa, aku sudah tak peduli.

Aku memutuskan untuk pergi ke dapur, menyiapkan sarapan dengan memanaskan nasi semalam. Untungnya lauknya tidak basi, jadi aku hanya perlu memanaskannya saja.

“Sarapan dulu, Mas. Barangkali kamu mau dinas pagi,” kataku memberanikan diri. Dia masih asyik dengan ponselnya, raut wajahnya tampak serius.

“Siapa Baskara? Siapa Irwan? Dan siapa Devano?” tanyanya tanpa mengalihkan pandangan dari ponselku.

Aku mencebik kesal, “Kenapa, apa itu penting banget untuk mas ketahui?” balasku cepat. Bisa-bisanya dia masuk ke ranah pribadiku dan memeriksa semuanya.

“Sudah berapa kali aku bilang, kalau ada yang nanya, langsung aja jawab, nggak usah muter-muter apalagi ngebantah.”

Sabar Siby, menghadapi Mas Angga harus banyak menyetok ekstra sabar. Aku kembali mendesah. Huh ….

“Mereka cuma teman-temanku.”

“Cuma teman, tapi kamu menyimpan nomornya. Bahkan tiga orang itu berada di barisan teratas orang yang sering mengirimi kamu pesan,” tudingnya dengan mata memicing.

“Ya terus, masalahnya apa? Bukan aku yang pertama mengirim pesan, ‘kan? Toh mereka sendiri yang nanyain kabarku.”

“Ck, kamu masih nggak ngerti juga? Kamu sudah menikah sekarang. Jangan bergaul dengan orang-orang seperti itu dan menanggapi ucapannya. Ingat, kamu wanita bersuami, dan sebaiknya kamu menjaga marwahmu sebagai seorang istri.”

“Ya, ya, terserah kamu, Mas. Sekarang mending kamu sarapan aja dulu,” titahku, ‘daripada ngoceh nggak jelas,’ jawabku dalam hati.

“Jangan lupa kembalikan uang yang kamu pinjam dari papamu,” katanya lagi di sela-sela sarapan. Astaga… masih saja dia ngebahas hal ini.

Aku hanya mengangguk sambil memasukkan roti yang ‘ku nikmati dengan teh tawar. Setidaknya dia mau sarapan pagi ini, meski dengan bibir yang selalu mencibir.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status