Share

4. Tanggapan Suami Dingin

Sambil menunggu Pak Heru dan timnya datang, aku duduk jongkok di pinggir jalan, memperhatikan lingkungan kompleks yang bergaya lama.

Hanya ada beberapa rumah yang berpenghuni, sementara selebihnya hanyalah bangunan kosong tanpa penghuni.

Aku tak bisa membayangkan bagaimana suasananya saat malam hari. Pasti menyeramkan, apalagi kalau Mas Anggara lagi tugas. Bisa-bisa aku ngompol di celana karena memang dasarnya aku seorang penakut.

"Tin... tinnn…!"

Suara klakson dari mobil mengagetkan dan membuatku tersadar dari lamunan. Pak Heru bersama beberapa orang keluar dari dalam mobil.

"Neng Siby!" panggilnya.

"Iya, Pak. Cepet banget datangnya," jawabku cepat sambil menyelami mereka satu persatu.

"Iya, kebetulan lagi pada free. Oh ya, rumah yang mana yang mau dibersihkan?" tanyanya sambil melihat-lihat sekeliling.

Aku menunjuk ke arah rumah di seberang. "Yang itu, Pak."

Pak Heru memandang rumah itu sejenak. "Rumahnya kayaknya udah lama nggak dihuni. Sedikit membutuhkan waktu untuk bersih-bersih ini."

"Sampai berapa lama kira-kira, Pak?" tanyaku, sedikit cemas. Aku berharap sore ini juga selesai dibersihkan hingga aku bisa menempatinya untuk malam ini.

Pak Heru melihat jam tangannya, lalu aku ikut mengecek ponsel. Masih pukul delapan pagi.

"Mungkin sore sampai malam," jawabnya.

"Ya udah, kalau gitu bisa mulai sekarang dong," ungkapku sedikit lega, “sekalian aku mau belajar bersih-bersih.”

“Siap, Neng. Ayo kita mulai kerja,” ajaknya pada rekan-rekannya yang seumuran dengan Mas Angga.

"Tapi sebaiknya Neng Siby nggak usah ikut bantuin. Biar ini jadi urusan laki-laki. Neng jalan-jalan aja dulu, kemana kek. Biar ini jadi urusan kami. Lagian 6 orang udah cukuplah ngebersihin rumah ukuran segini," titahnya, yang langsung kuangguki.

"Iya, Pak. Makasih ya. Biar aku sekalian beli beberapa peralatan untuk di rumah nanti. Eh, tapi sapu sama alat kebersihannya gimana?" tanyaku, sedikit khawatir soal itu.

"Tenang aja, kami udah bawa semuanya kok. Tadi Bapak juga beli cat dasar putih setelah Neng Siby bilang kalau rumahnya kusam," jawab Pak Heru dengan senyum meyakinkan.

"Ya udah, kalau begitu saya titip rapikan sekalian ya, Pak," ucapku pada Pak Heru.

Pak Heru mengiyakan, dan aku meminjam kunci mobil untuk membeli makanan sekaligus memeriksa lingkungan sekitar.

Siapa tahu aku butuh informasi lebih banyak setelah tinggal di lingkungan ini.

Ternyata, cukup jauh untuk mencapai jalan utama. Supermarket juga tak mungkin bisa ditempuh dengan jalan kaki, harus pakai motor atau mobil.

Setelah puas berkeliling tanpa hasil yang berarti, aku memutuskan untuk mampir ke toko kue milikku.

Toko kue ini sudah dibangun sejak 5 tahun yang lalu. Pembelinya dari tingkat menengah hingga tingkat atas, karena memang harganya yang lumayan, selain itu dibuat dari bahan-bahan berkualitas tinggi. Sejauh ini tidak pernah ada yang komplain dengan produkku, baik dari segi rasa maupun kualitasnya.

Tidak banyak orang yang mengetahui kalau toko kue bernama ‘Symbian Cake and bakery’ itu adalah milikku pribadi. Hasil kerja kerasku dengan sedikit bantuan dari Papa tentunya.

Seperti biasa, pelanggan hari ini cukup ramai. Kendaraan mewah terparkir berderet di halaman yang cukup luas. Belum lagi beberapa ojol yang menunggu pesanannya dikemas.

Resti, salah satu pegawai yang sudah lama bekerja di sana, langsung menyambut ketika melihatku masuk.

"Eh, Mbak Siby! Kok udah mampir aja ke sini? Emang udah keluar dari hotel?" tanyanya penuh semangat. Semalam dia juga hadir di resepsi pernikahanku.

"Iya, Res, tadi pagi kami udah cek out," jawabku menyembunyikan masalahku sendiri.

"Oh, tapi kok cepet banget? Bukannya mau langsung pergi bulan madu atau liburan dulu gitu?" tanya Resti lagi. Gadis yang belum menikah itu terlihat sangat penasaran.

"Aku bosan di sana, Res. Mas Angga juga langsung dinas, nggak ambil cuti," kataku berbohong. Aku tidak ingin masalah rumah tanggaku tersebar, apalagi sampai diketahui oleh orang lain.

"Oh gitu, ya udah Mbak. Saya tinggal dulu ya, pelanggan lagi rame ini," katanya sambil berlalu. Kembali membantu melayani beberapa pembeli.

Aku mengangguk, lalu berbaur dengan pengunjung lainnya sambil mengambil aneka kue untuk dibawa pulang ke rumah baru. Tak lupa memeriksa keuangan hari ini.

Dua jam berselang, aku memutuskan untuk pulang ke rumah setelah mampir ke warung Padang, membeli delapan bungkus nasi kesukaanku.

Untuk Mas Angga, aku memisahkan lauknya agar tidak tercampur. Setelah itu, aku juga mampir ke toko elektronik untuk membeli peralatan masak elektrik, serta membeli kasur di toko sebelahnya.

Setelah semua barang dimasukkan ke dalam mobil box, dan siap diantar aku merasa sedikit lega.

Setidaknya, aku sudah mempersiapkan beberapa kebutuhan dasar untuk tinggal di rumah itu. Meski jauh dari bayangan rumah impian, aku akan tetap berusaha menyesuaikan diri.

Rumah dibersihkan dengan cepat, dinding juga sudah di cat dasar putih. Mereka tampak kelelahan saat aku tiba kembali.

"Pak Heru, ajak mereka makan dulu. Takut nasinya keburu mekar," kataku sambil tersenyum kecil. Dua tangan penuh dengan tentengan belanjaan.

"Siap, Neng," jawab Pak Heru. Mereka menghentikan aktivitas sementara, termasuk satu orang yang sedang memegang mesin potong rumput, juga ikut mendekat.

Kami duduk di halaman, kebetulan langit mendung jadi cuaca tidak terasa panas.

"Maaf seadanya ya, Pak," ucapku sambil mengeluarkan bungkusan nasi.

"Nggak apa-apa, Neng Siby. Ini juga sudah lumayan mewah," balas Pak Heru sambil tersenyum.

Aku terharu. Pak Heru, orang yang sudah lama ikut Papa sejak masih dinas, begitu pintar membesarkan hatiku.

Berbanding terbalik dengan suamiku sendiri, yang bersikap manis saja sepertinya mustahil. Ya, benar-benar mustahil.

Setelah makan siang selesai, kegiatan dilanjutkan dengan ibadah shalat Dhuhur. Ada masjid tak jauh dari rumah, tepatnya di gang sebelah. Mereka semua ijin untuk istirahat sejenak.

Aku masuk ke dalam rumah dan tersenyum puas. Meski belum seratus persen, tapi rumah ini sudah lumayan berbentuk seperti rumah manusia, bukan kandang ayam seperti sebelumnya.

Aku juga tidak tinggal diam. Aku mulai mengeluarkan beberapa barang dari mobil, setidaknya melakukan hal-hal kecil yang bisa kulakukan untuk membantu merapikan rumah ini.

Menjelang sore, pekerjaan benar-benar selesai. Bau cat baru dan rumput yang dibabat lalu dibakar di halaman samping tercium masuk ke hidung.

Pak Heru membantu menurunkan beberapa barang yang diangkut oleh toko mebel tadi, meskipun sedikit kesulitan dengan lokasinya.

Aku berterima kasih dan tak lupa menyisipkan pecahan rupiah untuk mereka berenam.

"Nggak usah sungkan, Neng, kami ikhlas melakukannya," ujar Pak Heru seperti itu enak hati menerima imbalan.

"Saya juga ikhlas ngasihnya, Pak," jawabku cepat. Kalau tidak ada mereka entah berapa hari aku bisa menyelesaikan semua ini sendirian.

"Kalau begitu, urusan nata kamarnya kami serahkan ke Neng Siby, ya."

"Siip, makasih sekali lagi semuanya," balasku pada semua orang.

Setelah beramah tamah sejenak, mereka pamit undur diri. Aku berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan diri, berpikir biarlah nanti aku akan menggelar kasur setelah selesai sholat Maghrib.

Tepat saat itu, pintu dibuka dari luar. Aku yang berdiri membelakangi langsung terlonjak kaget.

"Mas, kamu ngagetin aja!" seruku sambil berbalik.

Mas Anggara berdiri di depan pintu dengan ekspresi serius. "Apa yang kamu lakukan dengan rumah ini?"

Aku mendekat dan menjawab, "Mas, lihat. Aku sudah membersihkannya lewat bantuan Pak Heru dan teman-temannya. Gimana, menurut kamu? Suka nggak dengan hasilnya?”

Namun bukannya senang, Mas Angga justru melotot tajam dan mengguncang bahuku dengan keras, hingga terasa sakit.

"Ma-Mas, kamu kenapa?" tanyaku panik, berusaha melepaskan diri dari genggamannya.

"Sampai kapan kamu akan merendahkan harga diriku dengan selalu mengandalkan koneksi papamu, hah?" Suaranya dingin dan penuh kemarahan. Jujur aku sangat ketakutan saat ini.

"Lepas, Mas!" Aku menatapnya tak percaya, "Aku hanya minta bantuan Pak Heru karena aku nggak mungkin bersihin rumah ini sendirian. Aku cuma mau kita nyaman tinggal di sini. Apa itu salah?"

Mataku berkaca-kaca, selain kata-katanya yang tajam, cengkeramannya juga sangat menyakitkan. Seumur hidup aku baru pertama kali diperlakukan kasar seperti ini. Itupun oleh suamiku sendiri.

Mas Anggara melepaskan genggamannya, tapi ekspresi tak senangnya masih jelas terlihat. "Kamu masih nggak ngerti juga ya, Sib?”

"Apaan sih, Mas? Kok kamu tiba-tiba marah kayak gitu? Padahal aku cuma minta Pak Heru buat bantu-bantu bersihin rumah ini. Lalu apanya yang salah?" ujarku membela diri sambil mengerucutkan bibirku kesal. "Heran aku sama kamu."

Dia hanya mengacak-acak rambutnya, lalu duduk di salah satu sofa. Sikapnya membuatku makin bingung.

Aku berinisiatif membuatkan minum dari air botol yang kutuang ke panci kecil. Aroma kopi yang diseduh menguar di seluruh dapur, membangkitkan semangatku yang sempat down karena tanggapannya yang mengecewakan.

Kuharap, dengan usahaku ini, Mas Anggara bisa melihat dan menghargai apa yang sudah kulakukan.

"Mas, ini kopinya. Semoga kamu suka," kataku pelan sambil menyajikannya. Lagi, Mas Anggara mengangkat wajah dengan ekspresi menakutkan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status