Share

3. Rumah atau Tempat Sampah

Rasa sakit dalam dada makin dalam. Seolah semua harapan yang kupunya dihancurkan dalam sekejap.

Setelah mengucapkan kata-kata yang menyakitkan itu, Mas Angga langsung membaringkan dirinya di tempat tidur.

Nafasnya terdengar berat. Beberapa kali dia menghembuskan napas panjang seolah menahan sesuatu. Dia lalu tidur terlentang, memakai selimut dengan wajah ditutupi sebelah tangannya.

Ada rasa sakit yang mendalam di hati. Namun, aku tahu, keputusan ini bukan diambil dengan mudah.

Dia memang pantas membenciku, karena pernikahan ini lebih karena penghormatan pada Papa atau desakan dari orang tuanya, aku tidak tahu pasti.

Yang jelas, sekarang masa depan kami ada di tangannya.

Perlahan aku bertekad, meski hatinya seperti es yang beku, aku akan mencoba sedikit demi sedikit mencairkannya.

Sampai aku yakin suatu hari nanti dia akan melihatku bukan sebagai musuh, tapi sebagai seseorang yang tulus menginginkannya.

"Kamu tunggu aja hari itu tiba, Mas," bisikku dalam hati.

“Kenapa kamu masih diam? Apa kamu nggak ada niat untuk membersihkan diri? Atau kamu sedang mencari cara lain untuk merayuku? Dasar picik!” Suaranya kembali menekan, dan sepertinya lama-lama aku harus mulai terbiasa dengan sikap ketusnya padaku.

“Mas, tolong sekali ini aja. Tolong bukakan resleting gaunku. Aku susah melakukannya sendiri,” ujarku menghiraukan tuduhannya.

Dengan ogah-ogahan, Mas Anggara akhirnya menurut. Dia mendekat dan membantuku membuka resleting gaun.

Setelah itu, aku langsung berlari ke kamar mandi, menutup pintu, dan menumpahkan semua sebak yang kutahan sejak tadi.

Cukup lama aku mandi, membiarkan badan dan rambut basah dengan air hangat. Setelah merasa sedikit lebih tenang, aku keluar dari kamar mandi dan mendapati lampu sudah dimatikan.

Mas Anggara sudah terlelap, dengan dengkuran halus yang terdengar samar. Rasanya, dia benar-benar tidak menghargai keberadaanku.

Ya, Siby, lagipula apa yang kamu harapkan dari pria angkuh dan dingin di depanmu?

Aku meniru apa yang dilakukan Mas Anggara tadi, menggelar sajadah dan menunaikan ibadah shalat Isya yang tertunda.

Aku mengadukan segalanya pada Tuhan, mengakui semua kesalahan dan kebodohanku.

Aku tahu, aku terlalu manja. Aku tahu, salahku sendiri yang tak bisa mencegah Papa menjodohkan aku dengan Mas Anggara.

Aku juga bukan wanita yang sempurna, bahkan shalatku masih sering bolong-bolong. Tapi, bolehkan aku berharap agar Tuhan membuka mata hati dan pikiran Mas Anggara? Agar dia bisa melihatku sebagai istrinya, meski hanya sekali saja?

Aku berdoa dan berdzikir dengan khusyuk. Tak terasa, rasa kantuk mulai menyelimuti tubuhku. Tanpa sadar, aku terlelap di atas sajadah, tenggelam dalam doa dan harapan, berharap esok hari membawa secercah cahaya baru bagi kami berdua.

***

Cahaya yang menyilaukan mata membuatku terjaga. Mataku mengerjap dan melihat sekitar.

Astaga! Kenapa hari sudah siang aja? Dan jam berapa ini? Masih memakai mukena, aku terlonjak ke ujung tempat tidur mencari ponsel. Beberapa panggilan dan pesan kuabaikan. Kulihat jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi.

Ya ampun, bisa-bisanya aku kesiangan.

“Mas Angga, dari mana?” tanyaku setelah membersihkan diri di kamar mandi dan menunaikan kewajiban meski sangat terlambat.

Dia tak langsung menjawab, tapi di tangannya ada secangkir kopi panas yang masih mengepulkan uap.

“Cepat kemasi barang-barangmu, kita pulang sekarang.”

“Pulang? Tapi bukankah kita mau nginep beberapa hari. Dan—”

Ucapanku terhenti begitu melihat delikan matanya yang menghujam. Mas Angga tak mau dibantah, “Iya, aku beresin sekarang.”

Aku menurut meski tak rela meninggalkan tempat mewah ini, karena papa sudah membookingnya untuk beberapa hari.

Ck, sia-sia saja aku membawa baju banyak, plus dengan baju transparan untuk menikmati malam-malam panas kami. Nyatanya meskipun aku ketiduran di lantai, dia sama sekali tidak peduli atau berinisiatif untuk membangunkanku.

Mas Angga memesan taksi. Mobil roda empat itu melaju melintasi jalanan ibu kota. Aku sempat berpikir kami akan tinggal di rumah Papa setelah menikah, tapi ternyata tidak.

Mas Angga menyebutkan sebuah alamat pada sopir, yang langsung mengikuti petunjuknya.

"Kok bukan ke rumah papa? Memangnya kita mau tinggal di mana setelah ini?" tanyaku dengan hati-hati.

Dia menoleh dengan tatapan dingin. Bibirnya masih terkatup rapat.

"Ya seenggaknya kamu ngasih tahu aku dong, Mas. Biar aku tahu tujuan kita ke mana."

"Ck, kamu yang milih hidup denganku, ingat itu baik-baik. Jadi jangan banyak protes atau bertanya aku membawamu ke mana," jawabnya tegas, sambil melirik sekilas.

"Iya, tapi ‘kan—" Sebelum aku sempat melanjutkan, satu tangan Mas Angga terangkat, memberi isyarat agar aku diam.

Aku pun bungkam. Duduk di sampingnya, namun tak diberi kesempatan bertanya lebih lanjut. Inilah konsekuensi yang harus kuterima setelah memaksanya menikahiku.

"Sudah sampai, Pak," kata sopir taksi yang duduk dibalik kemudi.

"Makasih, Pak," jawab Mas Angga sambil mengangsurkan beberapa lembar rupiah, kemudian mengeluarkan sebuah koper besar dan kecil.

Kami berdiri bersebelahan, menghadap sebuah rumah usang dengan halaman kotor dan penuh debu. Ilalang setinggi betis tampak memenuhi pemandangan, membuat kulitku mulai terasa gatal bahkan sebelum kami masuk ke dalamnya.

"Ini rumah siapa, Mas? Kita nggak benar-benar akan tinggal di tempat ini, ‘kan?" tanyaku lagi, kali ini dengan nada sedikit khawatir.

"Jangan banyak protes," jawabnya singkat, seolah setiap pertanyaanku dianggap tidak penting.

Dia mengambil sesuatu dari saku celananya, lalu memasukkan kunci ke gagang pintu. Begitu pintu terbuka, aroma apek dan sampah langsung menyeruak dari dalam rumah dengan cat berwarna putih kusam tersebut.

"Mas, kita nggak bakalan tinggal di sini, ‘kan? Rumah ini belum dibersihin, dan aromanya...," Aku bergumam sambil menatap rumah kotor yang tak terurus itu.

"Aku yakin, aku nggak akan betah tinggal di sini, meskipun cuma sebentar. Aku takut. Aku bahkan nggak sudi untuk masuk ke dalamnya,” rengekku serius berharap kali ini dia paham.

Jika benar Mas Angga akan mengajakku tinggal di sini, setidaknya dia punya inisiatif untuk membersihkan tempat ini, atau menyuruh orang lain melakukannya. Jangan membiarkannya seolah-olah ini adalah hukuman pertama untukku.

Tapi tanpa sepatah kata pun, dia langsung melangkah masuk, masih mengabaikan semua keluhanku.

"Aku hanya seorang anggota Brimob," katanya tiba-tiba saat berada di dalam, suaranya datar tanpa emosi. "Tidak kaya seperti papamu yang punya bisnis sampingan, atau teman-teman priamu yang bergaya mentereng dengan mobil mewah dan saldo miliaran. Aku cuma punya rumah ini. Suka atau tidak, kita akan menempatinya mulai sekarang. Urusan bersih atau tidak, kamu bisa membersihkannya jika merasa nggak nyaman. Aku nggak peduli."

Aku terdiam, tak menyangka akan mendengar kata-kata seperti itu. Mataku bahkan sampai mengerjap beberapa kali. "Ya, terus kamu mau pergi ke mana, Mas? Kok tiba-tiba ninggalin aku sih?" tanyaku sambil mengejarnya keluar dari dalam rumah yang auranya saja sangat menyeramkan. Bagaimana aku akan tinggal di dalamnya?

Mas Angga hanya sibuk mengutak-atik ponselnya, tak memperdulikan pertanyaanku. Seperti biasa.

"Aku ada urusan," jawabnya singkat, tanpa menatapku.

Mas Anggara benar-benar pergi meninggalkanku. Aku bergidik melihat penampakan rumah ini.

Rumah yang lebih tepat disebut gudang sampah dengan tumpukan kotoran di mana-mana, dan itu melebihi ekspektasiku.

Aku menduga pemilik sebelumnya mungkin menderita kelainan hoarding disorder atau semacamnya, karena tidak mungkin rumah dibiarkan dalam keadaan sekotor ini.

Tak mungkin membersihkan semuanya sendiri, jadi segera kuputuskan untuk menghubungi Pak Heru, ajudan Papa.

"Ya, Neng Siby, apa yang bisa Bapak bantu?" Suaranya terdengar ramah di ujung telepon.

Aku menjelaskan singkat tentang kondisi rumah yang sekarang kutempati, lalu mengirimkan lokasi.

"Tapi Pak Heru, jangan ngadu ke Papa, ya. Nanti takutnya Mas Anggara yang disalahin."

"Udah, Neng Siby, tenang aja. Bapak nggak akan bilang apa-apa. Biar cepat beres. Bapak akan bawa beberapa orang buat bersihin rumah itu. Sementara itu, Neng Siby bisa jalan-jalan dulu, mungkin."

"Oke, kalau begitu. Makasih banyak ya, Pak."

Aku merasa lega, satu masalah teratasi. Ternyata memiliki koneksi dan kedudukan seperti Papa memang memudahkan urusan, hingga meminta bantuan seseorang tidak sesulit itu.

Kita lihat Mas, apa yang akan kamu lakukan begitu melihat perubahan pada rumah kita nanti?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status