Share

Mengejar Cinta Suami Brimob
Mengejar Cinta Suami Brimob
Penulis: Bun say

1. Tatapan Tajam

Malam ini adalah malam resepsi pernikahan kami, setelah beberapa jam yang lalu suamiku berhasil mengikrarkan namaku di depan penghulu.

“Mas, bisa nggak sih senyum sedikit di depan semua orang? Please dong, jangan pasang muka masam terus," protesku.

Pria yang baru beberapa jam lalu resmi bergelar suamiku itu langsung menatap tajam, wajahnya dingin penuh intimidasi.

Dia mendekatkan bibirnya ke telinga dan berbisik pelan.

"Setelah papamu maksa aku buat nikahin kamu, sekarang dengan nggak tahu dirinya, kamu masih berani minta aku buat senyum-senyum pada semua tamu? Kamu bener-bener nggak punya malu ya."

“Mas?”

“Diem!” Nada bicaranya membuat hatiku mencelos, tapi aku berusaha tetap tenang.

Dia adalah Anggara Yudhistira, seorang anggota Brimob yang kini sah sudah menjadi suamiku. Ah, tepatnya suami yang terpaksa menikahiku.

Bulan lalu, setelah selesai menonton pertandingan antara Timnas melawan negara lain, kericuhan terjadi di podium.

Puluhan ribu orang berdesak-desakan, saling injak, saling sikut, berjejal ingin buru-buru keluar dari tempat yang menyajikan pertandingan sepak bola tersebut.

Aku, yang saat itu nonton diam-diam tanpa sepengetahuan papa, terjebak diantara pria-pria yang makin kalap dan menggila.

Selain saling lempar kembang api, terjadi aksi pembakaran baliho, juga teriakan-teriakan histeris dan ujaran kebencian, disusul dengan benda-benda yang sengaja dilempar ke tengah lapangan.

Suasana kian mencekam, kaum muda dan perempuan terhimpit, tak peduli dengan nyawa, mereka terus saja saling dorong mendorong.

Lelah berjibaku menyelamatkan diri, nafasku makin sesak, tenaga terasa hilang, ditambah tubuh yang mulai lemas akibat dehidrasi.

Aku terhimpit dan nyaris pingsan di antara desakan dan himpitan orang-orang berbadan kuat.

Saat aku hampir menyerah, seorang pria berpakaian aparat, lengkap dengan rompi anti peluru, menarikku dari kerumunan dan menyelamatkanku ke tempat aman.

“Kamu nggak apa-apa?”

‘‘I-iya.” Aku menjawab lemah.

Suaranya lembut tapi tegas. Dia juga membawaku ke rumah sakit. Di sanalah, selain menyelamatkanku, dia juga berhasil mencuri hatiku.

Hingga akhirnya, aku melaporkan semua itu pada Papa. Tentu saja untuk mencari tahu tentang siapa dia sekaligus berterima kasih padanya.

Papa yang seorang pensiunan polisi, tak butuh waktu lama untuk mengetahui identitasnya.

Hingga suatu pagi, Papa memanggilku ke ruang kerjanya.

"Kamu suka sama Anggara, sampai-sampai ingin berterima kasih sama dia?" tanya Papa tiba-tiba sambil menatapku serius.

“Aku cuma mau bilang makasih doang, Pa. Itu aja.”

Papa terkekeh mendengar jawabanku. "Ya ampun, anak Papa ini, kok malu-malu sampai nggak mau ngaku segala." Aku mengerjap bingung. Sepertinya Papa salah paham.

Di sampingnya, ada Pak Heru, mantan ajudannya, yang sepertinya ditugaskan oleh Papa untuk mencari informasi lengkap tentang pria itu.

Nama Anggara terngiang di kepala, terdengar begitu indah. "Jadi gimana, Pa. Kapan aku bisa berterima kasih padanya?”

"Tenang aja, Papa udah atur semuanya. Malam ini kamu dandan yang cantik. Papa akan mengenalkan kamu sama dia dan keluarganya sekalian," kata Papa dengan tenang.

Aku terdiam, lagi-lagi bingung mendengar penuturannya, tapi Papa hanya mengangguk sambil tersenyum.

“Segampang itu, Pa?”

"Iyalah, kalau bisa gampang, kenapa harus dibuat sulit? Udah, sana masuk kamar. Papa masih mau bicara sama Pak Heru ini," tambahnya sambil mengusirku pergi.

Aku mengangguk, memeluk Papa sekilas. Tak peduli dengan tatapan Pak Heru yang mungkin melihatku sebagai gadis yang kekanakan, yang penting ‘kan aku bahagia.

Malam harinya, Papa mengajakku makan malam di sebuah restoran seafood terkenal di ibu kota.

Aku duduk gelisah, menunggu dengan cemas. Papa yang paham dengan kegugupanku, menggenggam tanganku dengan lembut.

"Santai saja, sebentar lagi Anggara dan keluarganya pasti akan datang," katanya menenangkan.

"Iya, Pa, tapi aku malu. Aku juga deg-degan banget," jawabku jujur. Selain cinta pertamaku, Papa adalah satu-satunya orang yang selalu jadi tempatku curhat.

Sebagai anak tunggal, rasanya wajar jika aku lebih sering bermanja pada orang-orang di sekitarku, tapi mereka sepertinya punya pikiran yang berbeda.

Aku memang tak punya banyak teman, mungkin karena mereka menganggapku sebagai anak manja. Selain itu orang-orang selalu enggan mendekatiku karena selalu ada ajudan yang mengawasi kemanapun aku pergi.

"Mereka sudah datang, Pak," bisik Pak Heru di telinga Papa, tapi suaranya masih bisa kudengar dengan jelas.

"Kalau begitu, persilahkan mereka masuk," balas Papa pada Pak Heru, yang langsung mengiyakan.

Pria berbadan tegap itu membuka pintu dan mempersilahkan empat itu orang masuk.

Ada Anggara, seorang gadis seusia denganku, serta sepasang suami istri yang aku duga adalah orang tuanya.

Saat ini, aku tak bisa menyembunyikan gejolak yang meluap dalam hati. Pandangan pertama di stadion waktu itu terulang lagi, dan ini kali kedua aku bertemu dengan Anggara lagi.

"Selamat malam, Pak Gunawan," sapa pria yang mengenakan kemeja batik lengan panjang. Dia adalah ayahnya Anggara pasti.

"Selamat malam, Pak Robby. Maaf kalau saya merepotkan dengan meminta kalian makan malam bersama saya dan putri saya," balas Papa dengan sopan.

Pria itu tersenyum ramah, kontras dengan Anggara yang wajahnya masih dingin dan tanpa ekspresi.

"Tidak apa-apa, Pak. Suatu kehormatan bagi saya bisa bertemu dengan mantan petinggi seperti Bapak," jawabnya tak kalah sopan.

"Oh ya, perkenalkan ini Anggara, istri saya, dan putri bungsu kami, Salma," ujar Pak Robby memperkenalkan keluarganya.

Papa mengangguk dan memberi isyarat agar aku juga menyalami mereka.

"Saya sudah tahu siapa Anggara. Kebetulan, dia yang menyelamatkan putri saya di stadion. Itu juga alasan saya mengundang kalian semua untuk makan malam di sini," kata Papa menuturkan alasannya.

Pak Robby dan istrinya saling bertatapan, mungkin sedikit terkejut bagaimana Papa bisa mengenal Anggara.

Sementara aku diam-diam memperhatikan wajah pria itu. Dadaku berdebar sejak tadi. Ini kesempatan untukku bertemu lagi dengan pria berwajah dingin tapi sangat tampan dan memikat itu.

Otot-otot badannya, rahangnya yang tegas, hidung mancung, dan bibir tipisnya—siapapun yang melihat pasti akan langsung terpikat, termasuk aku.

"Angga, terima kasih ya, waktu itu sudah menyelamatkan Siby," kata Papa dengan nada hangat.

"Sama-sama, Pak Gunawan. Itu sudah kewajiban saya sebagai aparat negara," jawab Anggara datar.

"Iya, tapi saya punya harapan lebih sama kamu," kata Papa tiba-tiba, sambil tersenyum penuh arti.

"Maksudnya?" Anggara bertanya, wajahnya terlihat bingung. Akupun demikian. Kira-kira harapan apa yang Papa maksud?

"Kamu mungkin bingung. Tapi saya ingin berterima kasih sekaligus… ya, kamu anggap saja ini sebagai ajang pendekatan antara kamu dan Siby. Kalau Pak Robby berkenan, saya ingin menjodohkan anak-anak kita," tutur Papa sambil melirikku, membuat aku, Anggara dan keluarganya saling pandang.

Papa tetap bersikap santai, seolah tak ada yang perlu dikhawatirkan. Sementara jantungku bertalu kencang. Ini tak seperti yang aku inginkan, atau mungkin setidaknya belum.

Aku tak tahu kenapa papa langsung bicara demikian. Tapi tentu tak ada yang berani menolak keinginannya, siapapun itu. Meski sudah pensiun, Papa masih sangat disegani, terutama di kalangan aparatur negara.

Mereka terlihat canggung saat kami menikmati makan malam, meski sesekali ada obrolan ringan yang mengalir di antara kami.

Setelah selesai menikmati hidangan, Papa akhirnya angkat bicara.

"Angga, kamu bisa ajak Siby jalan-jalan sebentar ke luar? Ada yang ingin saya bicarakan dengan keluargamu," kata Papa penuh maksud.

"Siap, Pak," jawab Anggara tegas, khas seorang aparat.

Aku berdiri dengan perasaan linglung, mengikuti langkah Anggara yang berjalan tegak di depanku.

Tapi langkahnya yang cepat membuatku sedikit kesulitan mengimbanginya.

"Mas, bisa nggak pelan-pelan aja jalannya?" kataku, mencoba menarik perhatiannya.

Anggara tiba-tiba berbalik. Sorot matanya menatapku sangat tajam. "Kenapa tiba-tiba papamu menjodohkan kita pada pertemuan malam ini? Apa kamu sengaja melakukan ini karena kamu tertarik padaku?" tanya Angga dengan tiba-tiba, “ternyata tujuan awalmu bukan untuk berterima kasih, sungguh aku kecewa sama kamu!” ungkapnya kasar. “Dengar Siby, jikapun akhirnya kita menikah, aku pastikan kamu tak akan pernah bahagia memaksa hidup bersamaku!”

Deg. Hatiku mencelos mendengar tuduhannya yang begitu tajam dan dingin.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status