Share

2. Menerima tapi Terpaksa

Untuk pertama kalinya aku merasa sakit hati dituduh oleh pria itu. Tuduhan Anggara teramat menyakitkan. Padahal aku tidak tahu menahu urusan perjodohan ini, mungkin papa sudah mengatur semuanya.

Malam itu juga, aku bicara pada Papa tentang kesalahpahaman ini. “Aku ingin bicara serius sama Papa?” ujarku sambil masuk ke ruang kerjanya dan duduk di seberang meja.

Papa menutup laptop dan memfokuskan tatapannya padaku.

"Memangnya apa yang mau kamu bicarakan? Kalau ini tentang perjodohan kalian, Pak Robby sedang mempertimbangkannya. Kamu tunggu aja, Papa pastikan kamu dan Anggara benar-benar menikah,” ungkap Papa, membuatku merasa kecewa dan frustasi.

“Tapi ‘kan aku cuma mau berterima kasih, Pa. Nggak lebih.’’ Aku merengut.

Papa menggeleng mendengar ucapanku. Aku memang tak kepikiran kalau Papa akan menjodohkan aku dengan Anggara.

“Udah, kamu nurut aja sama orang tua, Papa lakuin ini juga untuk kebaikan kamu.”

Aku pasrah dan tak bisa membantah keinginan Papa. Hari berlalu seperti biasa. Aku selalu ikut demo di tempat-tempat berbahaya. Seperti ke lokasi tawuran dan demo besar-besaran, bergabung dengan para mahasiswa dan oknum untuk menghadapi aparat.

Aku bahkan beberapa kali terkena senjata tajam hingga terluka. Tapi tak apa, aku sudah terbiasa. Semua nasehat papa, terus saja aku abaikan.

Di sana aku bertemu dengan Anggara lagi.

"Dasar cewek nakal! Kamu ini bener-bener nggak takut mati, ya? Apa-apaan kamu sampai ikut-ikutan demo segala? Dasar nggak ada kerjaan!!" bentaknya suatu ketika setelah menarikku keluar dari kerumunan.

"Memangnya kenapa sih, Mas? Ini ‘kan urusanku," jawabku, tetap berani meski jantung rasanya deg-degan.

“Tapi aku yang akan dimarahi oleh papamu!”

“Maksudnya?”

“Ck, kamu masih nggak paham juga?!” tanyanya nyalang.

“Aww…!” Aku mengaduh, mengusap tangan yang berlumuran darah. Tak sadar dengan luka yang tiba-tiba kudapat. Anggara mengeluarkan sapu tangan putih dari kantong celana kemudian mengikatnya. Lumayan sedikit mencegah darah keluar banyak. Ada yang menghangat dalam hati, di balik sikap marahnya dia masih seperhatian itu.

“Sekarang pulang atau pergi ke rumah sakit. Aku nggak peduli!” Anggara berbalik. Aku berhasil menarik tangannya tapi dia langsung menyentaknya kasar. Kesal, aku langsung menyahut.

“Kenapa sih kamu mesti marah-marah terus sama aku, Mas? Giliran terluka aja, kamu mati-matiannya nyelamatin aku!

“Itu karena anak manja sepertimu gak boleh terluka atau aku yang akan jadi sasarannya!”

“Ya udah, kalau gitu nggak usah peduliin aku!”

Aku berlari ke kerumunan, tapi lagi tangan Anggara menarikku hingga menabrak dadanya yang bidang. Saat itu jantung bertalu-talu, seirama debaran dalam dada yang membuncah. Sumpah, aku benar-benar menggila dengan pesona Anggara. Hingga rasanya mati pun aku rela asal bisa mendapat perhatiannya.

Aku mendongak menatap wajahnya yang dingin namun tetap saja terlihat tampan. Keringat yang membanjiri pelipis justru membuatnya terlihat makin maskulin.

Ah, Mas Angga, aku bener-bener tresno karo kowe.

"Ck, mau sampai kapan kamu bersikap seperti ini, Siby?" katanya frustasi, tapi ada nada khawatir dalam suaranya, “tolong jangan berbuat hal-hal yang bisa merugikan diri kamu sendiri. Aku benar-benar tidak habis pikir dengan tingkahmu ini!” ungkapnya penuh penekanan sambil mengguncang bahuku.

"Ya udah, tinggal abaikan aku, beres," jawabku mantap, tanpa ragu sambil berlari menjauh.

Dua minggu setelahnya, sama sekali tak ada kabar tentang Anggara maupun keluarganya. Aku pun lega karena itu artinya aku tak harus mengikuti keinginan Papa dengan perjodohan ini. Untuk apa aku menikah dengan Anggara jika ujung-ujungnya aku disalahkan atau sesuatu yang bukan keinginanku.

Hingga malam itu tiba-tiba kami kedatangan tamu. Anggara dan keluarganya datang ke rumah. Sumpah demi apapun aku rasanya sangat kaget.

“Saya dan keluarga sudah memikirkannya matang-matang. Maaf kami membutuhkan sedikit waktu lebih lama. Tapi, setelah dipikir-pikir kami sepakat untuk menerima tawaran dari Pak Gunawan. Semoga Anggara dan Siby cocok dan berjodoh.”

Sepertinya papa lega mendengar pernyataan dari Pak Robby. Sementara bahuku sudah melorot, bingung harus bersikap bagaimana.

Akankah aku bisa menaklukkan hatinya di tengah kesalahpahamannya padaku?

***

Kata-kata dingin di malam resepsi kuanggap angin lalu yang tidak pernah diucapkan oleh pria yang kini bergelar sebagai suami.

Lihat saja Mas Anggara, aku akan mengejar cintamu meskipun untuk itu aku harus merasakan hatiku berdarah-darah dahulu.

Pukul 10.30 malam, tamu undangan perlahan mulai pergi satu per satu. Ruangan besar yang sebelumnya dipenuhi seribuan orang kini mulai lengang. Papa mendekat ke arahku dan Angga, untuk memberikan wejangan pada suamiku.

"Angga, mulai sekarang Siby adalah tanggung jawabmu. Baik buruknya dia tergantung bagaimana cara kamu mendidiknya. Papa sudah memasrahkan semuanya padamu, tapi tolong jaga dia baik-baik," kata Papa serius.

"Insya Allah, Pak," jawab Mas Angga singkat, tanpa ekspresi.

Setelah keluarganya pulang, tinggal kami berdua. Kami menuju mobil pengantin dan berangkat ke hotel bintang lima yang sudah dipesan Papa sebagai hadiah pernikahan.

Sesampainya di hotel, Mas Angga menempelkan kartu akses ke gagang pintu hingga pintu kamar terbuka.

Kami masuk ke dalam kamar yang megah, dihiasi bunga-bunga dan lilin-lilin yang menyala, menambah suasana romantis—seandainya saja Mas Angga benar-benar menerima pernikahan ini.

Namun, wajahnya tetap dingin, membuat suasana hangat di kamar itu terasa hambar.

Anggara melempar jasnya ke atas tempat tidur dengan asal dan langsung masuk ke dalam kamar mandi, tak lupa ritual kemarahan dia tunjukkan. Pintu kamar mandi dibanting layaknya sebuah barang.

Huft ….!

Aku cukup terkejut, bingung dengan sikap kasarnya. Menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri sambil duduk di tepi ranjang. Bermain ponsel pun tidak membantu menenangkan otak dan pikiranku.

Apa yang akan terjadi setelah ini?

Setelah sekitar 20 menit, Mas Anggara keluar dari kamar mandi. Wajahnya masih basah, tapi raut dingin itu tidak berubah, tetap seperti es yang gagal mencair.

"Kamu nggak mau bersihkan diri?" tanyanya datar.

"Emh, Mas... bisa tolong bukakan resleting gaunku? Aku kesusahan ini," pintaku bersikap semanis mungkin. Tapi memang iya, aku nggak bohong. Gaun yang aku pakai ngepas di badan, jadi sangat sulit untuk melepasnya.

"Heh, jangan coba-coba menggodaku, ya? Itu nggak akan berhasil," protesnya sinis sambil menatapku tajam.

"Apa maksud Mas Angga? Aku nggak—"

"Ck, nggak usah pura-pura bego. Aku tahu apa yang ada dalam otak kecilmu itu," tuduhnya dingin, membuat dadaku sesak.

Aku diam, tak tahu harus berkata apa. Sikapnya yang terus-menerus sinis dan dingin hanya membuatku makin frustasi.

Tanpa menghiraukanku, Mas Angga langsung menggelar sajadah yang baru diambil dari koper kecilnya.

Dia sama sekali tidak memperdulikan aku yang kesulitan membuka gaun berat ini. Andai saja resletingnya tidak berada di bagian punggung, pasti aku bisa membukanya sendiri dengan mudah.

Perasaanku tiba-tiba berubah kesal, ingin marah, dan ingin menangis bercampur jadi satu. Tanpa sadar, aku mendengkus, merutuki kebodohanku sendiri.

Setelah menunaikan shalat, Mas Anggara menoleh ke arahku, masih dengan tatapan dingin.

"Sekarang apa lagi, hah? Mau merayuku dengan air mata buayamu? Heh, sampai kapan pun, aku tidak akan pernah merasa iba atau menyukaimu. Jadi inget itu baik-baik di otakmu yang isinya cuma obsesi ini," tudingnya tegas sambil melipat sajadah.

"Dan perlu aku ingatkan, meskipun kita sudah menikah, sebaiknya kamu menjaga batasan. Aku tidak akan pernah mau menunaikan kewajibanku sebagai seorang suami, jadi jangan pernah berharap lebih. Ini batas kesabaran dan toleransiku" lanjutnya, suaranya mengandung ketegasan yang membuatku terdiam.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status