Bukan kebiasaan Wirautama mengajak keluarga besarnya berkumpul bersama kecuali untuk membahas masalah penting. Terakhir kali mereka berkumpul saat Rafandra berencana melamar Kayana. Sekarang, mereka berkumpul duduk dengan tenang untuk mendengarkan sebuah pengumuman penting tentang rumor yang sedang beredar di media. Ayah dan ibu Kayana ikut menarik napas panjang saat Wirautama duduk di sofa yang terletak di paling ujung. Kepala rumah tangga sekaligus pemilik rumah mewah itu mengatur lebih dulu apa saja yang akan disampaikan olehnya agar tidak ada yang salah paham. “Papa minta maaf.” suasana hening seketika. Semua sama memperhatikan mimik wajah Wirautama yang terlihat tegang. “Beberapa hari terakhir ada kegaduhan yang membuat semua orang tidak tenang hingga membuat Kayana ikut terkena imbasnya. Kayana, maafkan papa.” Kayana yang sedang bergelayut manja pada Rafandra menolehkan wajahnya. “Iya, pa.” Kayana menjawabnya dengan pelan. “Untuk besan, saya juga minta maaf karena telah memb
Rani terkejut melihat sebuah amplop surat tergeletak telat di atas meja ruang tamu rumahnya. Dirinya baru saja pulang setelah menghadiri pesta ulang tahun salah satu sama sahabatnya yang letaknya tak jauh dari kediaman tempat tinggalnya. Amplop itu diambilnya. Tak ada nama pengirim atau sekedar tulisan penanda. Karena hanya dirinya yang ada di rumah, sudah pasti surat itu tertuju untuknya. Rani terduduk sejenak sambil membuka amplop surat itu dan membacanya perlahan. Awalnya dirinya tak curiga, namun saat melihat kalimat terakhir yang dibacanya dengan cepat dirinya menarik kesimpulan jika ini adalah pertanda buruk untuknya. "Apa ini? Dia akan mencampakkan aku?" Ranu meremas kertas itu hingga tak berbentuk lalu membuangnya ke tempat sampah. Ia tak terima dengan keputusan itu dan tentu saja akan melawannya. "Dia ingin membuangku ternyata." Tak ingin menundanya, Rani pergi menuju rumah utama Wirautama dengan tujuan akan menanyakan perihal surat yang telah ia terima. Ia ingin menanyak
Keputusan Wirautama meninggalkan istri keduanya menimbulkan sebuah kontroversi di kalangan pegiat media. Ada yang mendukung, ada juga yang menghujat sikap sepihak ayah Rafandra itu. Pasalnya, selama ini Wirautama selalu dielu-elukan oleh banyak ibu muda sebagai pria pengusaha terkenal di Jakarta yang sayang dengan istrinya. Lalu, saat mendapatkan berita mencengangkan itu bukan tidak mungkin dukungan yang selama ini didapatkannya akan berubah haluan menjadi penuh kebencian. Hal inilah yang menjadi kerisauan bagi Rafandra saat bertemu dengan partner kerja baru untuk perusahaannya. "Bagaimana dengan urusan pak Wira? Sudah ada solusinya?" sebuah pertanyaan menyelidik yang dilontarkan oleh partner kerja Rafandra berhasil membuat suasana hatinya kacau. Tanpa banyak bicara, ia hanya meresponnya dengan senyuman. "Tidak tertarik untuk membantunya?" "Pembahasan ini di luar dari kontrak kerja sama. Bisakah anda pisahkan keduanya? Saya rasa ini tidak ada hubungannya dengan masalah ayah saya,"
Tak disangka, pernyataan tegas Wirautama membuat media infotainment semakin gencar memberitakan berbagai hal buruk tentang dirinya. Wirautama sebenarnya tak peduli, tapi ketika salah satu media mengatakan hal itu pada anak dan menantunya, emosinya langsung membuncah. Rafandra dan Kayana tidak terlibat dan tidak boleh terlibat dalam masalah ini. Mereka tak bersalah sama sekali. Seharusnya seperti itu. “Berita apa yang membuat mereka disudutkan?” tanya Wirautama pada salah satu asisten pribadinya. “Bungkam semua media.” “Media yang kemarin menemukan berita tentang pak Wira menghadiri pesta ulang tahun dan juga yang membocorkan rekaman di rumah kediaman bu Rani,” jawab Dani, asisten pribadi Wirautama. “Kenapa mereka menargetkan Rafa?” kepalanya menoleh dengan raut wajah bingung dan bertanya-tanya. “Apa salah Rafa?” “Mereka sengaja menekan keluarga pak Wira supaya terkena sanksi sosial.” “Lihat berita ini. Rafa diberitakan dekat dengan Sonya yang jelas-jelas tidak pernah ada kedekat
“Pak Wira.” Dani, asisten Wirautama menunduk memberi hormat. Wirautama yang baru saja berdiri dari duduknya langsung berbalik menoleh. “Semua artikel sudah diturunkan. Tapi saya mendapatkan sebuah berita mengejutkan.” Wirautama menurunkan kacamata yang bertengger di hidungnya. “Katakan!” “Ibu Alyssa telah mengirim somasi pada media tersebut atas pencemaran nama baik putra anda, Rafandra. Apakah anda akan ikut mensomasi mereka juga?” tanya si asisten dengan wajah yang penuh harap cemas. “Tidak, tidak akan. Alyssa sudah benar, dia melindungi nama baik anaknya. Kalau saya ikut mensomasi media tersebut, akan lebih banyak hal terungkap selain dari berita kemarin.” Wirautama mendesah kesal. Rasa lelah menghinggapinya, ia ingin segera sampai di rumah dengan cepat. “Saya juga sependapat dengan jawaban pak Wira. Bagi anda, ini akan jadi hal yang serba salah untuk dilakukan.” “Dani, tolong kamu hubungi notaris pribadi saya.” Dani mengangguk. “Saya harus mempersiapkan warisan secepatnya.”
Sebastian menghela napas panjang sebelum memulai perdebatan antara dirinya dan Wirautama yang akan dimulai sebentar lagi. Mereka berdua duduk bersama di dalam satu ruangan dengan suasana tenang yang tercipta. Tanpa ada satu suara, tanpa ada satu penghalang. Sebastian pindah ke tempat yang lebih nyaman. Ia memilih duduk di dekat jendela besar yang mengarah ke taman belakang rumah. Sementara Wirautama duduk menunduk ke bawah, merenungi kesalahannya. "Keluarga besar sudah setuju dengan tindakanmu. Mereka akan membantu jika ada sesuatu yang sulit kamu lakukan. Hanya saja, mereka pasti akan sulit percaya padamu lagi nanti." Sebastian menoleh. Tatapannya menegang. "Bisakah kamu berjanji tidak akan mengulanginya lagi?" "Sesungguhnya dari dalam lubuk hati yang paling dalam, aku sangatlah menyesal. Setelah menyadarinya, aku ingin sekali meminta maaf ribuan kali pada Alyssa." Wirautama menunduk lebih dalam. Sebastian tidak tega melihat iparnya dalam keadaan seperti itu. Ia memang keras dan
"Selamat pagi, Ma." sapa Rafandra yang berdiri tiba-tiba di belakang punggung ibunya yang sedang menyiapkan sarapan pagi. Alyssa berjengit kaget, hampir saja sendok yang tengah dipegangnya jatuh ke lantai. "Kamu belum ganti baju?" Rafandra menggelengkan kepalanya. "Kenapa? Enggak ke kantor?" Alyssa berjalan menuju meja makan lalu meletakkan piring dan sendok di atasnya. Tak lupa dengan gelas serta bumbu pelengkap makan. Sementara Rafandra masih berdiri di depan kompor, Alyssa menarik tangan anaknya agar segera duduk di kursi makan. "Malas," jawabnya pelan. "Kok? Enggak malu sama Samsul? Tuh dia pagi-pagi sudah datang terus ngobrol sama pak Ujang di teras. Wajahnya berseri-seri penuh semangat. Ini yang jadi bosnya malah malas-malasan," protes Alyssa. Rafandra merengut, mencebikkan bibirnya. "Ganti baju sana." "Iya." Rafandra berdiri setelah meneguk susu hangat di gelasnya. "Padahal mau ajak Kayana jalan-jalan." "Nanti Kayana jalan sama mama ke butik. Cepat ganti baju." Rafandra m
"Auww...auww..." Sonia berteriak sambil memegangi rambutnya yang dijambak kasar oleh Kayana. Istri Rafandra itu mengamuk usai melihat usaha keras Sonia menggoda suaminya di depan matanya sendiri. "Lepasin! Rafa, bantu aku dong. Istri kamu tenaganya persis Hulk." "Apa!" tak terima dipanggil Hulk, Kayana sengaja menjambak rambut Sonia lebih kencang lagi. Namun sayangnya, Rafandra justru melerainya. Ditariknya perlahan tangan Kayana lalu dibawanya ke tepian meja. Rafandra menyuruhnya untuk duduk sementara dirinya sibuk memeriksa kepala Sonia yang kini rambutnya berantakan. "Kamu enggak apa-apa?" tanyanya pada Sonia yang dibalas dengan anggukan. "Kamu balik ke ruangan sana." "Rafa, kamu harus adil dong. Istri kamu itu ganas. Lihat nih, rambut aku rontok. Aku ke salon habiskan waktu berjam-jam untuk perawatan. Seenak jidatnya dia Jambak sampai seperti ini." Sonia menunjuk kasar Kayana yang malah terlihat acuh sambil mengipasi dirinya dengan kertas di atas meja. "Ya kan aku tadi sudah s
Lima tahun kemudian Tak terasa usia pernikahan Rafandra dan Kayana telah memasuki tahun ke lima. Ada yang bertambah di tahun tersebut, satu anak dari Kayana di tahun ke tiga saat si kembar sudah mulai aktif berjalan. Rafandra sempat kewalahan menghadapi ke tiga anaknya yang mulai tumbuh besar. Si kembar juga mulai cerewet seperti ibunya. "Papa, mau itu." Rafisha menunjuk pohon mangga yang berbuat lebat belakang rumah orangtua Kayana. Cukup tinggi, Rafandra sampai mengernyitkan dahinya. "Ambilin." "Papa enggak bisa. Suruh om Samsul saja ya." Rafandra merinding membayangkan betapa tingginya pohon mangga itu. Ia lebih baik menunggu di bawah sambil mengawasi kedua anak kembarnya. "Papa payah." Rafisha merengut. Tak lama kemudian ia berhasil menarik kakeknya untuk mengambilkan mangga yang dimaksud olehnya tadi. Dengan senang hati sang kakek mengambilkannya. Diambilnya sebuah kayu tinggi dekat pohon dan dalam sekali tarikan, dua mangga berhasil diambilnya. "Hore, buah mangga." Rahisya
Empat bulan kemudian "Rafa! Rafa!" Suara teriakan terdengar dari dalam kamar mandi. Rafandra yang masih terbuai mimpi sayup-sayup mendengar suara itu. Tak terdengar lagi, ia pun melanjutkan mimpinya. "Rafa!" Mata Rafandra langsung terbelalak. Terkejut dengan suara keras yang memanggil namanya dari dalam sana. "Iya!" Rafandra berlari ke tempat asal suara dan mendapatkan sesuatu yang mengejutkannya. "Astaga! Kayana." Tanpa banyak tanya lagi ia segera menggendong tubuh Kayana yang lemas. Ada aliran darah di sekitar kakinya bercampur dengan cairan bening. Tas kecil di atas meja rias ia sambar beserta kunci mobil dan ponselnya. Berjalan cepat menuruni anak tangga, Rafandra berteriak nyaring membangunkan seisi rumah. "Woy, bangun. Tolongin. Kayana mau melahirkan!" teriaknya. Samsul yang kebetulan sedang menginap di rumah Rafandra pun ikut terbangun mendengar teriakan keras dari bosnya itu. Segera ia berlari menyusul Rafandra yang sudah berada di luar rumah. "Bos. Bu Kayana mau me
Mau tidak mau, kabar kelahiran anak kedua Wirautama membawa dampak besar bagi perusahaan. Terlebih lagi, istri keduanya adalah seorang selebritis yang sering mendapat perhatian publik atas apa yang dilakukannya. Bukan tidak mungkin, hal seperti ini akan jadi momok yang menakutkan bagi Wirautama dan keluarganya. Belum sampai satu hari berita itu dimuat, sudah muncul lagi satu isu yang membuat Rafandra tercekat. Isu tentang keretakan rumah tangga ibu dan ayahnya yang entah dari mana kabar itu berhembus. Ini yang paling dibenci oleh Rafandra. Ia tak bisa tidur nyenyak setelah berita itu keluar. "Ada-ada saja berita aneh. Ini papa harus klarifikasi." Rafandra membuang ponselnya ke atas sofa di ruang tengah. "Rafa capek, Ma." "Nanti mama bantu klarifikasi. Kamu pikirkan perusahaan saja dan Kayana." Alyssa yang berdiri tangga bawah melirik Kayana dan Rafandra yang sedang duduk berdua di ruang tengah. "Anak papamu akan dibawa kesini. Mereka akan tinggal bersama kita." "Benarkah?" Kayana
Tentang berita kelahiran anak Rani, pertama kali diketahui oleh Alyssa saat tak sengaja menguping pembicaraan salah satu temannya yang berprofesi sebagai dokter. Ia mengatakan ada pasien masuk ke ruang bersalin dengan status mengkhawatirkan. Informasi itu didapatkan dari seorang suster yang menerima pasien itu di ruang gawat darurat. Teman Alyssa bercerita, dia seperti pernah melihat wanita itu tapi lupa tepatnya di mana. Ia pun bertanya pada Alyssa, walau tak yakin dengan jawabannya. "Tadi, kalau tidak salah namanya adalah Rani iswandari. Nama suaminya Wirautama. Alyssa, nama Wirautama di Jakarta tidak hanya nama suamimu kan?" Alyssa terdiam saat itu. Nama Rani dan Wirautama memang banyak, tapi yang terlibat cinta di belakang layar hanya mereka berdua. Tidak salah lagi, pasti itu Rani istri kedua suaminya. "Dia melahirkan? Siapa yang mengantarnya?" tanya Alyssa yang mulai khawatir. Ia takut terjadi sesuatu dengan wanita itu dan dirinya akan terus merasa bersalah hingga akhir hidup
"Istrimu melahirkan!" Alyssa menaruh ponselnya segera setelah berteriak. Wirautama yang berada di kamar terkejut dengan suara teriakan itu. Ia segera berlari keluar kamar menemui Alyssa. "Ada apa?" balasnya. "Aku dapat info, istrimu melahirkan. Kamu tidak menjenguknya?" tanya Alyssa memastikan. Terdiam sambil berpikir sejenak, Wirautama belum bisa memutuskan akan datang atau tidak. Ia bimbang memutuskan hal tersebut. Lalu Alyssa kembali bertanya, "Kamu jenguk tidak? Kalau tidak, biar aku yang jenguk." "Kalau berdua dengan kamu, aku ikut." "Ok. Aku ganti pakaian dulu." Alyssa segera masuk ke dalam kamar untuk berganti pakaian sementara Wirautama menunggu di luar. Rafandra yang baru saja dari luar rumah, baru selesai mencuci mobilnya melihat keheranan wajah ayahnya yang diam memucat seperti terkena sihir. "Kenapa, Pa?" tegur Rafandra. Wirautama terlonjak kaget lalu menggelengkan kepalanya. "Kok diam saja?" "Kamu enggak kerja?" Wirautama malah balik bertanya pada Rafandra. "Izi
Karena kondisi tubuh Wirautama telah membaik, ia sudah diizinkan untuk kembali beraktivitas walau hanya sekedar duduk tanpa turun langsung ke lapangan. Rafandra sebagai anak yang sangat sayang pada ayahnya, rela menggantikan tugas sementara ayahnya sebelum rapat pimpinan direksi yang akan dilaksanakan bulan depan. Menunggu ayahnya selesai membaca dokumen yang ia bawa, Rafandra lebih mementingkan pesan yang dikirimkan oleh istrinya. Pesan ringan, hanya seputar keinginan istrinya yang aneh. "Kayana lagi rewel?" tanya Wirautama mengintip dari balik kacamatanya. Rafandra mengangguk. "Biasa, itu. Minta apa dia sekarang?" "Minta belikan croffle, cromboloni. Makanan aneh, Pa. Pasti ujung-ujungnya Rafa yang makan," keluh Rafandra. "Ya enggak apa-apa. Yang penting istri kamu senang, anak kamu juga." Rafandra hanya mengangguk-angguk sambil memainkan ponselnya. "Papa enggak pulang? Udah jam makan siang. Mama bilang jangan terlalu banyak kerja." Rafandra berdiri dari duduknya, mengambil doku
Pagi sekali sepasang suami istri itu bangun. Baru saja menapakkan kaki mereka di dapur, keduanya sudah disambut suara pekikan Alyssa yang sedang mengkomandoi asisten rumah tangga yang akan memasak sarapan pagi itu. "Jangan kebanyakan gula. Kalau bisa, tomatnya ditambah." asisten rumah tangga itu hanya diam saja sambil mengangguk pelan. "Kayana tidak suka manis. Nanti bikin tehnya dibuat lebih kental sedikit." "Iya Bu." Saatnya Alyssa kembali ke ruang makan. Sudah ada Kayana dan Rafandra yang duduk manis berbincang satu sama lain. Kayana terlihat segar dengan rambut basahnya. Begitu pula Rafandra yang sejak tadi mengusak-usak rambut sang istri. Keduanya tampak akur tak seperti biasanya. "Tumben keramas pagi-pagi," sindir Alyssa. Sedikit berdehem, ia bertanya lagi pada keduanya. "Tadi malam habis berbuat yang enak-enak ya?" Alyssa terkekeh hingga membuat wajah Kayana memerah. Ia menoleh ke sebelahnya, Rafandra juga ikut terkekeh karena membayangkan kejadian tadi malam. Kayana yang
"Aku mau pulang ke rumah ibu. Mau liburan di sana." Kayana merajuk. Sejak pulang dari rumah sakit dan berjalan-jalan sebentar di sekitar area mall, rupanya tak membuat mood kesayangan Rafandra itu membaik. Apalagi, saat di resto tadi dirinya bertemu dengan Sonia secara tak sengaja dengan sikap sok centilnya. Seketika hancurlah semua niat dirinya yang ingin bermanja-manja dengan sang suami. "Besok ya. Aku antar ke rumah ibu." Rafandra mencoba bersikap sabar menghadapi ibu hamil yang sering meraung-raung tak jelas seperti Kayana. Persediaan sabarnya harus lebih dari hari biasa. "Terus, kamu nginep di sana enggak?" Rafandra menggelengkan kepalanya. "Kenapa? Kamu tega ninggalin aku sendirian kalau malam?" Rafandra menepuk dahinya. Memang serba salah menjawab pertanyaan dari Kayana saat ini. "Aku kan kerja—" "Kalau kamu kerja, memangnya ada larangan tinggal di rumah aku? Kamu jahat, Rafa. Kamu enggak sayang lagi sama aku." Kayana mulai merengek. Air matanya menetes melalui pipinya ya
Rafandra menyempatkan diri datang ke rumah sakit bertemu dengan ayahnya yang masih dirawat di sana. Dirinya datang tidak hanya sendiri, bersama dengan Kayana tentunya. Baru saja ia masuk, mata ayahnya telah memindainya dari jarak jauh seolah dirinya adalah seorang penjahat. Memang seperti itulah Wirautama jika sedang mengintai seseorang. "Pa, biasa aja lihatin Rafa." risih, Rafandra menegur ayahnya. Kayana yang mengekor di belakang mengucapkan salam lalu mencium tangan ayah mertuanya. "Papa udah sembuh belum sih?" "Dasar anak durhaka. Tuh istri kamu saja cium tangan, kamu malah melengos." Wirautama memukul lengan Rafandra pelan, namun anaknya itu berlagak kesakitan. "Bagaimana dengan Sonia? Berhasil dipindahkannya?" Rafandra menggedikkan bahunya. "Papa kenapa bikin peraturan seperti itu sih? Kenapa Sonia dimasukkan ke dalam tim pengembangan juga?" "Dia bagus, idenya selalu menarik dan public speakingnya selalu didengar oleh investor. Apa salahnya kalau kita masukkan dia ke dalam t