Tak disangka, pernyataan tegas Wirautama membuat media infotainment semakin gencar memberitakan berbagai hal buruk tentang dirinya. Wirautama sebenarnya tak peduli, tapi ketika salah satu media mengatakan hal itu pada anak dan menantunya, emosinya langsung membuncah. Rafandra dan Kayana tidak terlibat dan tidak boleh terlibat dalam masalah ini. Mereka tak bersalah sama sekali. Seharusnya seperti itu. “Berita apa yang membuat mereka disudutkan?” tanya Wirautama pada salah satu asisten pribadinya. “Bungkam semua media.” “Media yang kemarin menemukan berita tentang pak Wira menghadiri pesta ulang tahun dan juga yang membocorkan rekaman di rumah kediaman bu Rani,” jawab Dani, asisten pribadi Wirautama. “Kenapa mereka menargetkan Rafa?” kepalanya menoleh dengan raut wajah bingung dan bertanya-tanya. “Apa salah Rafa?” “Mereka sengaja menekan keluarga pak Wira supaya terkena sanksi sosial.” “Lihat berita ini. Rafa diberitakan dekat dengan Sonya yang jelas-jelas tidak pernah ada kedekat
“Pak Wira.” Dani, asisten Wirautama menunduk memberi hormat. Wirautama yang baru saja berdiri dari duduknya langsung berbalik menoleh. “Semua artikel sudah diturunkan. Tapi saya mendapatkan sebuah berita mengejutkan.” Wirautama menurunkan kacamata yang bertengger di hidungnya. “Katakan!” “Ibu Alyssa telah mengirim somasi pada media tersebut atas pencemaran nama baik putra anda, Rafandra. Apakah anda akan ikut mensomasi mereka juga?” tanya si asisten dengan wajah yang penuh harap cemas. “Tidak, tidak akan. Alyssa sudah benar, dia melindungi nama baik anaknya. Kalau saya ikut mensomasi media tersebut, akan lebih banyak hal terungkap selain dari berita kemarin.” Wirautama mendesah kesal. Rasa lelah menghinggapinya, ia ingin segera sampai di rumah dengan cepat. “Saya juga sependapat dengan jawaban pak Wira. Bagi anda, ini akan jadi hal yang serba salah untuk dilakukan.” “Dani, tolong kamu hubungi notaris pribadi saya.” Dani mengangguk. “Saya harus mempersiapkan warisan secepatnya.”
Sebastian menghela napas panjang sebelum memulai perdebatan antara dirinya dan Wirautama yang akan dimulai sebentar lagi. Mereka berdua duduk bersama di dalam satu ruangan dengan suasana tenang yang tercipta. Tanpa ada satu suara, tanpa ada satu penghalang. Sebastian pindah ke tempat yang lebih nyaman. Ia memilih duduk di dekat jendela besar yang mengarah ke taman belakang rumah. Sementara Wirautama duduk menunduk ke bawah, merenungi kesalahannya. "Keluarga besar sudah setuju dengan tindakanmu. Mereka akan membantu jika ada sesuatu yang sulit kamu lakukan. Hanya saja, mereka pasti akan sulit percaya padamu lagi nanti." Sebastian menoleh. Tatapannya menegang. "Bisakah kamu berjanji tidak akan mengulanginya lagi?" "Sesungguhnya dari dalam lubuk hati yang paling dalam, aku sangatlah menyesal. Setelah menyadarinya, aku ingin sekali meminta maaf ribuan kali pada Alyssa." Wirautama menunduk lebih dalam. Sebastian tidak tega melihat iparnya dalam keadaan seperti itu. Ia memang keras dan
"Selamat pagi, Ma." sapa Rafandra yang berdiri tiba-tiba di belakang punggung ibunya yang sedang menyiapkan sarapan pagi. Alyssa berjengit kaget, hampir saja sendok yang tengah dipegangnya jatuh ke lantai. "Kamu belum ganti baju?" Rafandra menggelengkan kepalanya. "Kenapa? Enggak ke kantor?" Alyssa berjalan menuju meja makan lalu meletakkan piring dan sendok di atasnya. Tak lupa dengan gelas serta bumbu pelengkap makan. Sementara Rafandra masih berdiri di depan kompor, Alyssa menarik tangan anaknya agar segera duduk di kursi makan. "Malas," jawabnya pelan. "Kok? Enggak malu sama Samsul? Tuh dia pagi-pagi sudah datang terus ngobrol sama pak Ujang di teras. Wajahnya berseri-seri penuh semangat. Ini yang jadi bosnya malah malas-malasan," protes Alyssa. Rafandra merengut, mencebikkan bibirnya. "Ganti baju sana." "Iya." Rafandra berdiri setelah meneguk susu hangat di gelasnya. "Padahal mau ajak Kayana jalan-jalan." "Nanti Kayana jalan sama mama ke butik. Cepat ganti baju." Rafandra m
"Auww...auww..." Sonia berteriak sambil memegangi rambutnya yang dijambak kasar oleh Kayana. Istri Rafandra itu mengamuk usai melihat usaha keras Sonia menggoda suaminya di depan matanya sendiri. "Lepasin! Rafa, bantu aku dong. Istri kamu tenaganya persis Hulk." "Apa!" tak terima dipanggil Hulk, Kayana sengaja menjambak rambut Sonia lebih kencang lagi. Namun sayangnya, Rafandra justru melerainya. Ditariknya perlahan tangan Kayana lalu dibawanya ke tepian meja. Rafandra menyuruhnya untuk duduk sementara dirinya sibuk memeriksa kepala Sonia yang kini rambutnya berantakan. "Kamu enggak apa-apa?" tanyanya pada Sonia yang dibalas dengan anggukan. "Kamu balik ke ruangan sana." "Rafa, kamu harus adil dong. Istri kamu itu ganas. Lihat nih, rambut aku rontok. Aku ke salon habiskan waktu berjam-jam untuk perawatan. Seenak jidatnya dia Jambak sampai seperti ini." Sonia menunjuk kasar Kayana yang malah terlihat acuh sambil mengipasi dirinya dengan kertas di atas meja. "Ya kan aku tadi sudah s
Rafandra terus mendengus kesal sejak rapat berakhir hingga masuk ke ruangannya. Samsul terus mengekorinya dari belakang sembari mendengarkan keluhan tak nyaman dari mulut bosnya. Baginya, sudah terbiasa mendengar hal seperti itu. Rafandra memang sering mengomel tak jelas jika hatinya sedang kacau. "Menurut kamu, siapa yang telah membuat anggaran membengkak seperti itu? Ok lah, pihak marketing dan bagian kreator membutuhkan banyak waktu bertemu dengan klien. Tapi karyawan lain? Coba kamu cek ke bagian HRD dan juga bagian anggaran. Saya curiga ada yang main belakang dengan kebijakan yang saya buat." Samsul mengangguk dan mencatat setiap perintah yang keluar dari mulut Rafandra. Bosnya itu tak suka dibantah. Jadi, lebih baik ia hanya diam dan melaksanakan semuanya. "Ada lagi bos?" tanya Samsul memastikan sebelum ia pergi dari ruangan bosnya. "Perketat anggaran. Buat peraturan, setiap karyawan yang akan lembur dan minta jatah taksi harus mendapatkan tanda tangan dari saya. Tidak ada vo
Teror tak hanya tertuju pada Alyssa semata, Wirautama sebagai si pihak yang paling terlibat juga mendapatkan ancaman kecil yang belum pernah ia temui sebelumnya. Saat menuju jalan pulang ke rumah, tiba-tiba saja ban mobilnya mengalami kebocoran. Hal yang sangat langka, mengingat supir pribadinya sering mengecek kendaraan. Tidak ada kecurigaan, hanya saja Wirautama merasa bingung. Tidak biasanya supir andalannya melakukan kecerobohan. "Kenapa bisa tertusuk paku? Tadi saat dicek di kantor sudah beres?" tanya Wirautama pada supirnya yang tengah mengganti ban kendaraannya. "Saya selalu cek kendaraannya, pak. Selama saya bekerja, baru kali ini ban kendaraan tertusuk paku," jawab Ujang, supir pribadi Wirautama. "Ya sudah, saya tunggu di dalam." "Kalau pak Wira ingin pulang cepat, saya bisa hubungi Samsul. Kebetulan, dia baru pulang dari kantor," usul Ujang sebelum Wirautama masuk kembali ke dalam mobilnya. Wirautama pun mengangguk menyetujui usulan Ujang. Selama menunggu, Wirautama d
Rafandra masih terus merasakan sakit kepala yang tak tertahankan. Sejak bangun tidur di pagi hari, ia terus mengerang kesakitan. Tak pelak, itu membuat Kayana khawatir berlebihan. Istrinya itu tak bisa diam sejenak. Setiap menit pasti selalu menanyakan kondisi suaminya. "Masih sakit? Kita ke dokter saja kalau begitu." Kayana terus memaksa Rafandra tapi selalu saja ditolak. "Samsul sudah datang?" tanyanya mengalihkan pembicaraan. Kayana menggelengkan kepalanya. Tangan mungil istrinya itu sibuk menyendok bubur dan ayam suwir di piring lalu menyuapkannya pada sang suami. "Mama tadi sudah panggil dokter ke sini." Rafandra mengangguk, mulutnya penuh dengan makanan. "Samsul juga. Katanya mau kerjakan tugas kantor di rumah saja." "Iya, sudah aku kasih tahu tadi." Rafandra menunjuk suwiran ayam yang terlewat oleh Kayana lalu merengut sebal. "Tambah lagi ayamnya." "Doyan banget sama ayam," sindir Kayana. Rafandra mendengus sebal sambil mengunyah buburnya. Tak lama kemudian, terdengar suar