Kayana tertawa terpingkal-pingkal melihat reaksi Linda. Wanita yang menyukai Rafandra itu pergi dengan wajah masam dan kesal. Pasalnya, sepanjang ia mengoceh tak satu pun ditanggapi oleh Rafandra atau mungkin, karena niatnya makan siang bersamanya gagal karena ada Kayana di sana. "Rafa, si Linda lucu deh. Dia sepertinya kesal," kekeh Kayana. "Bukan salah aku dong. Dia yang memaksakan diri." "Dia itu benar teman kamu?" tanya Kayana penasaran. Rafandra mengangguk. "Bagaimana ceritanya bisa suka sama kamu?" "Ceritanya panjang. Dulu, dia satu projek sama aku waktu masih kuliah. Terus, lama kelamaan dia suka. Katanya, aku tuh cowok yang lembut dan paling pengertian," ujar Rafandra menyombongkan dirinya di depan Kayana. "Kenapa kamu tidak balas cintanya?" Rafandra menoleh lalu terdiam sejenak. "Dia kan cantik," sindir Kayana. "Dia itu kan selalu kejar-kejar aku." Rafandra menggedikkan bahunya. "Oh, karena kamu paling alergi kalau dikejar-kejar sama cewek?" Rafandra mengangguk lagi. "
Setelah selesai membelikan aneka bibit bunga untuk ayah Kayana, Rafandra mengajak calon istrinya itu untuk menemui seseorang di sebuah hotel berbintang lima yang terkenal di Jakarta. Kayana tak banyak bertanya, ia hanya menuruti keinginan Rafandra dan memilih diam sepanjang perjalanan menuju kesana. Setibanya di hotel itu, mereka berdua disambut hangat oleh petugas yang bersiap di lobby, karena Rafandra adalah tamu istimewa mereka. Kayana membolakan matanya saat masuk ke dalam ruangan besar di dekat lobby lantai satu. Bibirnya tak berhenti menggumam kagum pada interior mewah yang tersaji apik di hotel itu. Ia heran mengapa Rafandra mau saja melaksanakan pesta di hotel tersebut. Tentu saja, ini semua karena keinginan keluarga Rafandra yang merupakan pengusaha terkenal. “Hotelnya besar” gumam Kayana. Rafandra yang berjalan di sampingnya hanya mengangguk. “Kenapa tidak sewa gedung biasa?” “Mama yang maksa, sayang. Dia sudah booking hotel ini jauh hari sebelum kita lamaran. Katanya,
Setelah kembali dari villa, Aruna yang biasanya ceria berubah murung dalam beberapa hari kemudian. Wajahnya terlihat gelisah, bibirnya juga pucat seperti sedang mengidap suatu penyakit. Di depan sebuah apotek, ia berdiri mematung. Tangannya dimasukkan ke dalam kantung jaket yang ia pakai. Tak lupa penutup wajah dan juga kepala. Ia berjalan masuk ke dalam apotek dengan jantung berdebar-debar. Matanya terlihat kosong, kebingungan telah membuat pikirannya melayang entah kemana. "Mbak, saya mau beli testpack." suara Aruna dibuat sepelan mungkin. Takut terdengar oleh pengunjung yang lain. "Yang biasa atau yang premium?" tanya si apoteker. Aruna tak paham, ia pikir semua alat test kehamilan sama saja. "Kalau yang tepat, pakai merk ini." Aruna mengambil merk yang diberikan apoteker itu. Tangan kanannya merogoh saku jaket dan mengambil selembar uang seratus ribu dan memberikannya pada si apoteker. "Saya ambil ini." Di kamar kostnya yang sepi, Aruna perlahan membuka alat test kehamilan i
Satu minggu menjelang pernikahan Kayana, Aruna sempat menghilang. Tepatnya, ia mengurung diri sendiri dan menghindari Rakabumi dan kembali muncul setelah hatinya mulai merasa tenang. Selama satu minggu terakhir, rupanya ia dan juga Abil sering bertemu dan pergi mengunjungi berbagai macam tempat rekreasi di Jakarta. Abil bukan hanya sekedar orang lain, tapi Aruna telah menganggapnya sebagai teman lama. "Besok, hari pernikahan Kayana. Kamu datang kan?" tanya Aruna sebelum melangkah masuk ke halaman rumah kostnya. Abil mengangguk. "Syukurlah, aku juga." "Mau aku jemput?" ajak Abil menawarkan diri. Aruna menggelengkan kepalanya menolak tawaran Abil. Raut wajah pria itu berubah murung. "Kenapa?" "Kayana sudah menyuruh supir Rafa untuk jemput aku malam ini. Katanya, acaranya dari subuh sampai malam hari," jawab Aruna disertai kekehan. Melihat wajah murung dan kecewa Abil, Aruna kembali berkata, "Tapi kita bisa pulang bersama nanti. Kalau diizinkan Kayana." "Acaranya sepadat itu?" tanya
Bughh "Rasakan!" Kayana meninju perut Rakabumi cukup keras hingga meringis kesakitan. "Mau ditambah?" "Eh, cukup sayang." Rafandra menarik tangan Kayana agar tak lagi meninju perut sahabatnya. "Jangan kasar begini dong." "Kenapa enggak boleh lampiaskan kekesalan aku sih? Dia tuh—" Kayana frustasi. Dia ingin membalas lagi tapi Rafandra kembali menarik tangannya dan menyembunyikan di belakang punggung. "Kamu kenapa pukul aku, Kayana? Aku salah apa sama kamu?" Rakabumi meraba dinding menahan rasa sakit, mencoba berbaring di sofa dekat ranjang. "Kamu tanyakan sendiri sama Aruna." Kayana menunjuk ke arah Aruna yang sedang berdiri gelisah sambil menggigit bibirnya. Ingin bicara tapi Kayana terlihat menyeramkan di matanya. "Kamu itu laki-laki brengsek!" "Cukup Kayana. Jangan ya sayang." Rafandra kembali menarik tangan istrinya yang sepertinya gemas sekali ingin memukul pria yang kini tersungkur di sofa. Rakabumi menatap bergantian antara Kayana dan Aruna, matanya membola seketika meng
Rakabumi terkejut. Aruna hampir terjatuh di dekat tangga darurat, tepat saat kekasihnya itu tengah memegangi perutnya.Tanpa banyak tanya lagi, Rakabumi segera menggendong tubuh mungil itu keluar melewati tangga darurat menuju lobby utama hotel. Banyak pasang mata yang melihat mereka penuh keheranan. Bahkan ada salah satu wartawan berhasil memotret kejadian itu namun Rakabumi tak peduli. Baginya saat ini adalah bagaimana caranya Aruna harus segera diselamatkan. Tanpa berpamitan, Rakabumi segera pergi dari hotel menuju rumah sakit terdekat. Ia tak ingin sesuatu yang fatal terjadi pada kekasihnya. “Bertahan Aruna, sayangku.” Rakabumi terus mengenggam tangan Aruna dan sesekali mengusap perut datarnya. Bibirnya terus merapal doa agar Aruna bisa selamat sampai rumah sakit. “Perut kamu masih sakit?” Aruna mengangguk. Rakabumi kembali mengusap lembut perut Aruna, tiba-tiba tangan itu berhenti. Ada getaran lembut dan aneh yang Rakabumi tak tahu apa itu. Napas Aruna melambat. Tak ada lagi p
"Rafa! Ish, sakit." Bugghh Rafandra dipukul dengan keras oleh Kayana dengan bantal hingga meringis. Namun pukulan itu rupanya tak menyurutkan niat Rafandra untuk meneruskan misinya yang belum terwujud. "Sakitnya sebentar, sayang. Ini pelan-pelan. Rileks ya." Rafandra membungkam bibir Kayana dengan sebuah ciuman. Kayana terbuai dan perlahan pikirannya teralihkan. "Argghh..." Kayana kembali berteriak. Rafandra masih terus melanjutkan kegiatannya yang belum selesai. "Jangan digigit!" Kayana menyingkirkan wajah Rafandra yang kembali mendekat. "Sakit, Rafa. Pelan-pelan." Tak mengindahkan racauan Kayana, Rafandra tetap pada usahanya menaklukkan keganasan Kayana. Sudah berapa puluh pukulan, cakaran di punggung hingga cubitan di lengannya, tak juga ia hiraukan. Proses yang sulit tapi ia menikmatinya. Satu jam lebih Rafandra baru berhasil membuat Kayana tenang. Istrinya itu sudah mulai menikmatinya juga. Bahkan kini ia terkekeh karena melihat lengan Rafandra yang biru karena cubitan.
Kayana terbangun di malam hari. Tenggorokannya tiba-tiba kering, ia membutuhkan segelas air minum untuk mengurangi rasa dahaganya. Perlahan ia turun menapaki anak tangga hingga menuju dapur. Lampu di sudut ruangan terlihat samar, Kayana pun berjalan sesuai arah cahaya. Kayana memang belum terlalu hapal dengan denah rumah Rafandra, untungnya dirinya bisa sampai ke dapur dengan selamat. Suasana hening. Kayana menuangkan air minum ke dalam gelas lalu meneguknya hingga habis tak tersisa. Namun, tiba-tiba Kayana merasakan keheningan itu hilang saat sebuah helaan napas terasa di lehernya. Seketika bulu di leher Kayana meremang. Ternyata seseorang tengah berdiri di belakangnya sambil berbisik lembut di telinganya, “Sendirian? Kok enggak ajak aku sih?” Kayana menoleh ke belakang. Ia pun bernapas lega melihat siapa oknum yang telah membuatnya ketakutan. “Kamu, mau kagetin aku?” “Kamu makin cantik kalau rambutnya berantakan,” rayu Rafandra. Kayana mengernyitkan dahinya. “Jadi makin seksi.”
Lima tahun kemudian Tak terasa usia pernikahan Rafandra dan Kayana telah memasuki tahun ke lima. Ada yang bertambah di tahun tersebut, satu anak dari Kayana di tahun ke tiga saat si kembar sudah mulai aktif berjalan. Rafandra sempat kewalahan menghadapi ke tiga anaknya yang mulai tumbuh besar. Si kembar juga mulai cerewet seperti ibunya. "Papa, mau itu." Rafisha menunjuk pohon mangga yang berbuat lebat belakang rumah orangtua Kayana. Cukup tinggi, Rafandra sampai mengernyitkan dahinya. "Ambilin." "Papa enggak bisa. Suruh om Samsul saja ya." Rafandra merinding membayangkan betapa tingginya pohon mangga itu. Ia lebih baik menunggu di bawah sambil mengawasi kedua anak kembarnya. "Papa payah." Rafisha merengut. Tak lama kemudian ia berhasil menarik kakeknya untuk mengambilkan mangga yang dimaksud olehnya tadi. Dengan senang hati sang kakek mengambilkannya. Diambilnya sebuah kayu tinggi dekat pohon dan dalam sekali tarikan, dua mangga berhasil diambilnya. "Hore, buah mangga." Rahisya
Empat bulan kemudian "Rafa! Rafa!" Suara teriakan terdengar dari dalam kamar mandi. Rafandra yang masih terbuai mimpi sayup-sayup mendengar suara itu. Tak terdengar lagi, ia pun melanjutkan mimpinya. "Rafa!" Mata Rafandra langsung terbelalak. Terkejut dengan suara keras yang memanggil namanya dari dalam sana. "Iya!" Rafandra berlari ke tempat asal suara dan mendapatkan sesuatu yang mengejutkannya. "Astaga! Kayana." Tanpa banyak tanya lagi ia segera menggendong tubuh Kayana yang lemas. Ada aliran darah di sekitar kakinya bercampur dengan cairan bening. Tas kecil di atas meja rias ia sambar beserta kunci mobil dan ponselnya. Berjalan cepat menuruni anak tangga, Rafandra berteriak nyaring membangunkan seisi rumah. "Woy, bangun. Tolongin. Kayana mau melahirkan!" teriaknya. Samsul yang kebetulan sedang menginap di rumah Rafandra pun ikut terbangun mendengar teriakan keras dari bosnya itu. Segera ia berlari menyusul Rafandra yang sudah berada di luar rumah. "Bos. Bu Kayana mau me
Mau tidak mau, kabar kelahiran anak kedua Wirautama membawa dampak besar bagi perusahaan. Terlebih lagi, istri keduanya adalah seorang selebritis yang sering mendapat perhatian publik atas apa yang dilakukannya. Bukan tidak mungkin, hal seperti ini akan jadi momok yang menakutkan bagi Wirautama dan keluarganya. Belum sampai satu hari berita itu dimuat, sudah muncul lagi satu isu yang membuat Rafandra tercekat. Isu tentang keretakan rumah tangga ibu dan ayahnya yang entah dari mana kabar itu berhembus. Ini yang paling dibenci oleh Rafandra. Ia tak bisa tidur nyenyak setelah berita itu keluar. "Ada-ada saja berita aneh. Ini papa harus klarifikasi." Rafandra membuang ponselnya ke atas sofa di ruang tengah. "Rafa capek, Ma." "Nanti mama bantu klarifikasi. Kamu pikirkan perusahaan saja dan Kayana." Alyssa yang berdiri tangga bawah melirik Kayana dan Rafandra yang sedang duduk berdua di ruang tengah. "Anak papamu akan dibawa kesini. Mereka akan tinggal bersama kita." "Benarkah?" Kayana
Tentang berita kelahiran anak Rani, pertama kali diketahui oleh Alyssa saat tak sengaja menguping pembicaraan salah satu temannya yang berprofesi sebagai dokter. Ia mengatakan ada pasien masuk ke ruang bersalin dengan status mengkhawatirkan. Informasi itu didapatkan dari seorang suster yang menerima pasien itu di ruang gawat darurat. Teman Alyssa bercerita, dia seperti pernah melihat wanita itu tapi lupa tepatnya di mana. Ia pun bertanya pada Alyssa, walau tak yakin dengan jawabannya. "Tadi, kalau tidak salah namanya adalah Rani iswandari. Nama suaminya Wirautama. Alyssa, nama Wirautama di Jakarta tidak hanya nama suamimu kan?" Alyssa terdiam saat itu. Nama Rani dan Wirautama memang banyak, tapi yang terlibat cinta di belakang layar hanya mereka berdua. Tidak salah lagi, pasti itu Rani istri kedua suaminya. "Dia melahirkan? Siapa yang mengantarnya?" tanya Alyssa yang mulai khawatir. Ia takut terjadi sesuatu dengan wanita itu dan dirinya akan terus merasa bersalah hingga akhir hidup
"Istrimu melahirkan!" Alyssa menaruh ponselnya segera setelah berteriak. Wirautama yang berada di kamar terkejut dengan suara teriakan itu. Ia segera berlari keluar kamar menemui Alyssa. "Ada apa?" balasnya. "Aku dapat info, istrimu melahirkan. Kamu tidak menjenguknya?" tanya Alyssa memastikan. Terdiam sambil berpikir sejenak, Wirautama belum bisa memutuskan akan datang atau tidak. Ia bimbang memutuskan hal tersebut. Lalu Alyssa kembali bertanya, "Kamu jenguk tidak? Kalau tidak, biar aku yang jenguk." "Kalau berdua dengan kamu, aku ikut." "Ok. Aku ganti pakaian dulu." Alyssa segera masuk ke dalam kamar untuk berganti pakaian sementara Wirautama menunggu di luar. Rafandra yang baru saja dari luar rumah, baru selesai mencuci mobilnya melihat keheranan wajah ayahnya yang diam memucat seperti terkena sihir. "Kenapa, Pa?" tegur Rafandra. Wirautama terlonjak kaget lalu menggelengkan kepalanya. "Kok diam saja?" "Kamu enggak kerja?" Wirautama malah balik bertanya pada Rafandra. "Izi
Karena kondisi tubuh Wirautama telah membaik, ia sudah diizinkan untuk kembali beraktivitas walau hanya sekedar duduk tanpa turun langsung ke lapangan. Rafandra sebagai anak yang sangat sayang pada ayahnya, rela menggantikan tugas sementara ayahnya sebelum rapat pimpinan direksi yang akan dilaksanakan bulan depan. Menunggu ayahnya selesai membaca dokumen yang ia bawa, Rafandra lebih mementingkan pesan yang dikirimkan oleh istrinya. Pesan ringan, hanya seputar keinginan istrinya yang aneh. "Kayana lagi rewel?" tanya Wirautama mengintip dari balik kacamatanya. Rafandra mengangguk. "Biasa, itu. Minta apa dia sekarang?" "Minta belikan croffle, cromboloni. Makanan aneh, Pa. Pasti ujung-ujungnya Rafa yang makan," keluh Rafandra. "Ya enggak apa-apa. Yang penting istri kamu senang, anak kamu juga." Rafandra hanya mengangguk-angguk sambil memainkan ponselnya. "Papa enggak pulang? Udah jam makan siang. Mama bilang jangan terlalu banyak kerja." Rafandra berdiri dari duduknya, mengambil doku
Pagi sekali sepasang suami istri itu bangun. Baru saja menapakkan kaki mereka di dapur, keduanya sudah disambut suara pekikan Alyssa yang sedang mengkomandoi asisten rumah tangga yang akan memasak sarapan pagi itu. "Jangan kebanyakan gula. Kalau bisa, tomatnya ditambah." asisten rumah tangga itu hanya diam saja sambil mengangguk pelan. "Kayana tidak suka manis. Nanti bikin tehnya dibuat lebih kental sedikit." "Iya Bu." Saatnya Alyssa kembali ke ruang makan. Sudah ada Kayana dan Rafandra yang duduk manis berbincang satu sama lain. Kayana terlihat segar dengan rambut basahnya. Begitu pula Rafandra yang sejak tadi mengusak-usak rambut sang istri. Keduanya tampak akur tak seperti biasanya. "Tumben keramas pagi-pagi," sindir Alyssa. Sedikit berdehem, ia bertanya lagi pada keduanya. "Tadi malam habis berbuat yang enak-enak ya?" Alyssa terkekeh hingga membuat wajah Kayana memerah. Ia menoleh ke sebelahnya, Rafandra juga ikut terkekeh karena membayangkan kejadian tadi malam. Kayana yang
"Aku mau pulang ke rumah ibu. Mau liburan di sana." Kayana merajuk. Sejak pulang dari rumah sakit dan berjalan-jalan sebentar di sekitar area mall, rupanya tak membuat mood kesayangan Rafandra itu membaik. Apalagi, saat di resto tadi dirinya bertemu dengan Sonia secara tak sengaja dengan sikap sok centilnya. Seketika hancurlah semua niat dirinya yang ingin bermanja-manja dengan sang suami. "Besok ya. Aku antar ke rumah ibu." Rafandra mencoba bersikap sabar menghadapi ibu hamil yang sering meraung-raung tak jelas seperti Kayana. Persediaan sabarnya harus lebih dari hari biasa. "Terus, kamu nginep di sana enggak?" Rafandra menggelengkan kepalanya. "Kenapa? Kamu tega ninggalin aku sendirian kalau malam?" Rafandra menepuk dahinya. Memang serba salah menjawab pertanyaan dari Kayana saat ini. "Aku kan kerja—" "Kalau kamu kerja, memangnya ada larangan tinggal di rumah aku? Kamu jahat, Rafa. Kamu enggak sayang lagi sama aku." Kayana mulai merengek. Air matanya menetes melalui pipinya ya
Rafandra menyempatkan diri datang ke rumah sakit bertemu dengan ayahnya yang masih dirawat di sana. Dirinya datang tidak hanya sendiri, bersama dengan Kayana tentunya. Baru saja ia masuk, mata ayahnya telah memindainya dari jarak jauh seolah dirinya adalah seorang penjahat. Memang seperti itulah Wirautama jika sedang mengintai seseorang. "Pa, biasa aja lihatin Rafa." risih, Rafandra menegur ayahnya. Kayana yang mengekor di belakang mengucapkan salam lalu mencium tangan ayah mertuanya. "Papa udah sembuh belum sih?" "Dasar anak durhaka. Tuh istri kamu saja cium tangan, kamu malah melengos." Wirautama memukul lengan Rafandra pelan, namun anaknya itu berlagak kesakitan. "Bagaimana dengan Sonia? Berhasil dipindahkannya?" Rafandra menggedikkan bahunya. "Papa kenapa bikin peraturan seperti itu sih? Kenapa Sonia dimasukkan ke dalam tim pengembangan juga?" "Dia bagus, idenya selalu menarik dan public speakingnya selalu didengar oleh investor. Apa salahnya kalau kita masukkan dia ke dalam t