Satu minggu menjelang pernikahan Kayana, Aruna sempat menghilang. Tepatnya, ia mengurung diri sendiri dan menghindari Rakabumi dan kembali muncul setelah hatinya mulai merasa tenang. Selama satu minggu terakhir, rupanya ia dan juga Abil sering bertemu dan pergi mengunjungi berbagai macam tempat rekreasi di Jakarta. Abil bukan hanya sekedar orang lain, tapi Aruna telah menganggapnya sebagai teman lama. "Besok, hari pernikahan Kayana. Kamu datang kan?" tanya Aruna sebelum melangkah masuk ke halaman rumah kostnya. Abil mengangguk. "Syukurlah, aku juga." "Mau aku jemput?" ajak Abil menawarkan diri. Aruna menggelengkan kepalanya menolak tawaran Abil. Raut wajah pria itu berubah murung. "Kenapa?" "Kayana sudah menyuruh supir Rafa untuk jemput aku malam ini. Katanya, acaranya dari subuh sampai malam hari," jawab Aruna disertai kekehan. Melihat wajah murung dan kecewa Abil, Aruna kembali berkata, "Tapi kita bisa pulang bersama nanti. Kalau diizinkan Kayana." "Acaranya sepadat itu?" tanya
Bughh "Rasakan!" Kayana meninju perut Rakabumi cukup keras hingga meringis kesakitan. "Mau ditambah?" "Eh, cukup sayang." Rafandra menarik tangan Kayana agar tak lagi meninju perut sahabatnya. "Jangan kasar begini dong." "Kenapa enggak boleh lampiaskan kekesalan aku sih? Dia tuh—" Kayana frustasi. Dia ingin membalas lagi tapi Rafandra kembali menarik tangannya dan menyembunyikan di belakang punggung. "Kamu kenapa pukul aku, Kayana? Aku salah apa sama kamu?" Rakabumi meraba dinding menahan rasa sakit, mencoba berbaring di sofa dekat ranjang. "Kamu tanyakan sendiri sama Aruna." Kayana menunjuk ke arah Aruna yang sedang berdiri gelisah sambil menggigit bibirnya. Ingin bicara tapi Kayana terlihat menyeramkan di matanya. "Kamu itu laki-laki brengsek!" "Cukup Kayana. Jangan ya sayang." Rafandra kembali menarik tangan istrinya yang sepertinya gemas sekali ingin memukul pria yang kini tersungkur di sofa. Rakabumi menatap bergantian antara Kayana dan Aruna, matanya membola seketika meng
Rakabumi terkejut. Aruna hampir terjatuh di dekat tangga darurat, tepat saat kekasihnya itu tengah memegangi perutnya.Tanpa banyak tanya lagi, Rakabumi segera menggendong tubuh mungil itu keluar melewati tangga darurat menuju lobby utama hotel. Banyak pasang mata yang melihat mereka penuh keheranan. Bahkan ada salah satu wartawan berhasil memotret kejadian itu namun Rakabumi tak peduli. Baginya saat ini adalah bagaimana caranya Aruna harus segera diselamatkan. Tanpa berpamitan, Rakabumi segera pergi dari hotel menuju rumah sakit terdekat. Ia tak ingin sesuatu yang fatal terjadi pada kekasihnya. “Bertahan Aruna, sayangku.” Rakabumi terus mengenggam tangan Aruna dan sesekali mengusap perut datarnya. Bibirnya terus merapal doa agar Aruna bisa selamat sampai rumah sakit. “Perut kamu masih sakit?” Aruna mengangguk. Rakabumi kembali mengusap lembut perut Aruna, tiba-tiba tangan itu berhenti. Ada getaran lembut dan aneh yang Rakabumi tak tahu apa itu. Napas Aruna melambat. Tak ada lagi p
"Rafa! Ish, sakit." Bugghh Rafandra dipukul dengan keras oleh Kayana dengan bantal hingga meringis. Namun pukulan itu rupanya tak menyurutkan niat Rafandra untuk meneruskan misinya yang belum terwujud. "Sakitnya sebentar, sayang. Ini pelan-pelan. Rileks ya." Rafandra membungkam bibir Kayana dengan sebuah ciuman. Kayana terbuai dan perlahan pikirannya teralihkan. "Argghh..." Kayana kembali berteriak. Rafandra masih terus melanjutkan kegiatannya yang belum selesai. "Jangan digigit!" Kayana menyingkirkan wajah Rafandra yang kembali mendekat. "Sakit, Rafa. Pelan-pelan." Tak mengindahkan racauan Kayana, Rafandra tetap pada usahanya menaklukkan keganasan Kayana. Sudah berapa puluh pukulan, cakaran di punggung hingga cubitan di lengannya, tak juga ia hiraukan. Proses yang sulit tapi ia menikmatinya. Satu jam lebih Rafandra baru berhasil membuat Kayana tenang. Istrinya itu sudah mulai menikmatinya juga. Bahkan kini ia terkekeh karena melihat lengan Rafandra yang biru karena cubitan.
Kayana terbangun di malam hari. Tenggorokannya tiba-tiba kering, ia membutuhkan segelas air minum untuk mengurangi rasa dahaganya. Perlahan ia turun menapaki anak tangga hingga menuju dapur. Lampu di sudut ruangan terlihat samar, Kayana pun berjalan sesuai arah cahaya. Kayana memang belum terlalu hapal dengan denah rumah Rafandra, untungnya dirinya bisa sampai ke dapur dengan selamat. Suasana hening. Kayana menuangkan air minum ke dalam gelas lalu meneguknya hingga habis tak tersisa. Namun, tiba-tiba Kayana merasakan keheningan itu hilang saat sebuah helaan napas terasa di lehernya. Seketika bulu di leher Kayana meremang. Ternyata seseorang tengah berdiri di belakangnya sambil berbisik lembut di telinganya, “Sendirian? Kok enggak ajak aku sih?” Kayana menoleh ke belakang. Ia pun bernapas lega melihat siapa oknum yang telah membuatnya ketakutan. “Kamu, mau kagetin aku?” “Kamu makin cantik kalau rambutnya berantakan,” rayu Rafandra. Kayana mengernyitkan dahinya. “Jadi makin seksi.”
“Sayang, kita ke rumah sakit dulu baru ke rumah ibu,” rengek Kayana. Sudah hampir setengah jam dirinya bergelayut manja di lengan kekar Rafandra. Suaminya itu hanya melirik dari ujung matanya lalu diam-diam tersenyum melihat tingkah lucu Kayana. Menurutnya, kapan lagi Kayana bisa manja seperti ini? “Cium dulu.” Rafandra menyodorkan pipinya. Kayana mendengus kesal. Ia tahu dirinya sedang dikerjai oleh Rafandra, suaminya sendiri. Tanpa protes lagi, Kayana pun mendekat dan mencium pipi Rafandra. Tak mau melewatkan momen, Rafandra menoleh dengan sengaja sehingga bibir mereka bertemu. “Ih, kamu sengaja ya?” rengek Kayana lagi. Rafandra terkekeh. Wajah Kayana terlihat memerah menahan malu. Kayana mencubit lengan suaminya dengan kencang hingga meringis kesakitan. “Rasakan!” “Kapan lagi coba, lihat kamu manja seperti ini?” ledek Rafandra. Bibir Kayana memberengut kesal. “Dulu, kamu kan seringnya jutek ke aku.” “Kamu enggak suka kalau aku manja?” “Bukan begitu sayang. Kayana jutek itu c
Satu minggu setelah pernikahan, Rafandra dan Kayana kembali memulai aktifitas mereka di kantor. Sebenarnya, Rafandra tak suka jika Kayana ikut bekerja, tapi istrinya itu selalu merengek ingin ikut dengannya. Katanya, ia takut jika harus ditinggal sendiri di rumah. Namun kenyataannya, ia takut Rafandra akan digoda oleh Linda yang katanya masih mengejar-ngejar Rafandra. “Tuh, lihat.” Kayana menunjuk ke arah kanan tepat dimana Linda sedang duduk dengan mata yang terus menatap ke arah Rafandra. “Genit,” geramnya. Rafandra menoleh dan menaikkan bahunya tanda ia tak terlalu peduli. “Anggap saja penggemar,” celetuk Rafandra. “Dia masih suka sama kamu?” bisik Kayana sambil berjalan pelan di samping Rafandra hingga membuat suaminya itu berhenti melangkah. Tangannya segera menarik lengan Kayana dan mengajaknya pergi dari tempat itu. Ia sempat berbisik di telinga Kayana sebelum kembali melangkah. Dari samping, wajah Kayana terlihat kesal. “Kau cemburu?” goda Rafandra. “Buat apa cemburu? Aku
“Kiriman apa itu?” Rafandra bertanya pada Kayana yang baru saja masuk sambil membawa kardus dan plastik kecil di tangannya. Rafandra mendecih tak suka lalu berteriak, “Buang!” Kayana terperanjat kaget. Suara Rafandra tak biasanya bernada keras dan membentak seperti itu. “Semua?” “Iya. Aku tidak mau kamu makan makanan yang tidak kamu ketahui asal usulnya. Bagaimana kalau kamu keracunan?” mata Rafandra membelalak. Ia merampas kardus itu dan berniat membuangnya ke tempat sampah. Namun sebelum berhasil dibuang, Kayana merebutnya kembali. “Ini pemberian mama kamu.” Kayana mengamankan benda itu di dalam dekapannya. “Kalau mama kamu tahu bagaimana? Aku harus menghargai barang pemberian darinya.” “Buka. Biar aku lihat apa isinya,” perintah Rafandra. Kayana membukanya perlahan dan menemukan dua botol madu dan satu kantung buah tin. Ada juga tulisan kecil cara penggunaannya. Kayana sempat terdiam sejenak saat membaca isi dan petunjuknya. “Botol madu,” sahutnya lemas. “Buang! Kamu tidak bu