Rakabumi terkejut. Aruna hampir terjatuh di dekat tangga darurat, tepat saat kekasihnya itu tengah memegangi perutnya.Tanpa banyak tanya lagi, Rakabumi segera menggendong tubuh mungil itu keluar melewati tangga darurat menuju lobby utama hotel. Banyak pasang mata yang melihat mereka penuh keheranan. Bahkan ada salah satu wartawan berhasil memotret kejadian itu namun Rakabumi tak peduli. Baginya saat ini adalah bagaimana caranya Aruna harus segera diselamatkan. Tanpa berpamitan, Rakabumi segera pergi dari hotel menuju rumah sakit terdekat. Ia tak ingin sesuatu yang fatal terjadi pada kekasihnya. “Bertahan Aruna, sayangku.” Rakabumi terus mengenggam tangan Aruna dan sesekali mengusap perut datarnya. Bibirnya terus merapal doa agar Aruna bisa selamat sampai rumah sakit. “Perut kamu masih sakit?” Aruna mengangguk. Rakabumi kembali mengusap lembut perut Aruna, tiba-tiba tangan itu berhenti. Ada getaran lembut dan aneh yang Rakabumi tak tahu apa itu. Napas Aruna melambat. Tak ada lagi p
"Rafa! Ish, sakit." Bugghh Rafandra dipukul dengan keras oleh Kayana dengan bantal hingga meringis. Namun pukulan itu rupanya tak menyurutkan niat Rafandra untuk meneruskan misinya yang belum terwujud. "Sakitnya sebentar, sayang. Ini pelan-pelan. Rileks ya." Rafandra membungkam bibir Kayana dengan sebuah ciuman. Kayana terbuai dan perlahan pikirannya teralihkan. "Argghh..." Kayana kembali berteriak. Rafandra masih terus melanjutkan kegiatannya yang belum selesai. "Jangan digigit!" Kayana menyingkirkan wajah Rafandra yang kembali mendekat. "Sakit, Rafa. Pelan-pelan." Tak mengindahkan racauan Kayana, Rafandra tetap pada usahanya menaklukkan keganasan Kayana. Sudah berapa puluh pukulan, cakaran di punggung hingga cubitan di lengannya, tak juga ia hiraukan. Proses yang sulit tapi ia menikmatinya. Satu jam lebih Rafandra baru berhasil membuat Kayana tenang. Istrinya itu sudah mulai menikmatinya juga. Bahkan kini ia terkekeh karena melihat lengan Rafandra yang biru karena cubitan.
Kayana terbangun di malam hari. Tenggorokannya tiba-tiba kering, ia membutuhkan segelas air minum untuk mengurangi rasa dahaganya. Perlahan ia turun menapaki anak tangga hingga menuju dapur. Lampu di sudut ruangan terlihat samar, Kayana pun berjalan sesuai arah cahaya. Kayana memang belum terlalu hapal dengan denah rumah Rafandra, untungnya dirinya bisa sampai ke dapur dengan selamat. Suasana hening. Kayana menuangkan air minum ke dalam gelas lalu meneguknya hingga habis tak tersisa. Namun, tiba-tiba Kayana merasakan keheningan itu hilang saat sebuah helaan napas terasa di lehernya. Seketika bulu di leher Kayana meremang. Ternyata seseorang tengah berdiri di belakangnya sambil berbisik lembut di telinganya, “Sendirian? Kok enggak ajak aku sih?” Kayana menoleh ke belakang. Ia pun bernapas lega melihat siapa oknum yang telah membuatnya ketakutan. “Kamu, mau kagetin aku?” “Kamu makin cantik kalau rambutnya berantakan,” rayu Rafandra. Kayana mengernyitkan dahinya. “Jadi makin seksi.”
“Sayang, kita ke rumah sakit dulu baru ke rumah ibu,” rengek Kayana. Sudah hampir setengah jam dirinya bergelayut manja di lengan kekar Rafandra. Suaminya itu hanya melirik dari ujung matanya lalu diam-diam tersenyum melihat tingkah lucu Kayana. Menurutnya, kapan lagi Kayana bisa manja seperti ini? “Cium dulu.” Rafandra menyodorkan pipinya. Kayana mendengus kesal. Ia tahu dirinya sedang dikerjai oleh Rafandra, suaminya sendiri. Tanpa protes lagi, Kayana pun mendekat dan mencium pipi Rafandra. Tak mau melewatkan momen, Rafandra menoleh dengan sengaja sehingga bibir mereka bertemu. “Ih, kamu sengaja ya?” rengek Kayana lagi. Rafandra terkekeh. Wajah Kayana terlihat memerah menahan malu. Kayana mencubit lengan suaminya dengan kencang hingga meringis kesakitan. “Rasakan!” “Kapan lagi coba, lihat kamu manja seperti ini?” ledek Rafandra. Bibir Kayana memberengut kesal. “Dulu, kamu kan seringnya jutek ke aku.” “Kamu enggak suka kalau aku manja?” “Bukan begitu sayang. Kayana jutek itu c
Satu minggu setelah pernikahan, Rafandra dan Kayana kembali memulai aktifitas mereka di kantor. Sebenarnya, Rafandra tak suka jika Kayana ikut bekerja, tapi istrinya itu selalu merengek ingin ikut dengannya. Katanya, ia takut jika harus ditinggal sendiri di rumah. Namun kenyataannya, ia takut Rafandra akan digoda oleh Linda yang katanya masih mengejar-ngejar Rafandra. “Tuh, lihat.” Kayana menunjuk ke arah kanan tepat dimana Linda sedang duduk dengan mata yang terus menatap ke arah Rafandra. “Genit,” geramnya. Rafandra menoleh dan menaikkan bahunya tanda ia tak terlalu peduli. “Anggap saja penggemar,” celetuk Rafandra. “Dia masih suka sama kamu?” bisik Kayana sambil berjalan pelan di samping Rafandra hingga membuat suaminya itu berhenti melangkah. Tangannya segera menarik lengan Kayana dan mengajaknya pergi dari tempat itu. Ia sempat berbisik di telinga Kayana sebelum kembali melangkah. Dari samping, wajah Kayana terlihat kesal. “Kau cemburu?” goda Rafandra. “Buat apa cemburu? Aku
“Kiriman apa itu?” Rafandra bertanya pada Kayana yang baru saja masuk sambil membawa kardus dan plastik kecil di tangannya. Rafandra mendecih tak suka lalu berteriak, “Buang!” Kayana terperanjat kaget. Suara Rafandra tak biasanya bernada keras dan membentak seperti itu. “Semua?” “Iya. Aku tidak mau kamu makan makanan yang tidak kamu ketahui asal usulnya. Bagaimana kalau kamu keracunan?” mata Rafandra membelalak. Ia merampas kardus itu dan berniat membuangnya ke tempat sampah. Namun sebelum berhasil dibuang, Kayana merebutnya kembali. “Ini pemberian mama kamu.” Kayana mengamankan benda itu di dalam dekapannya. “Kalau mama kamu tahu bagaimana? Aku harus menghargai barang pemberian darinya.” “Buka. Biar aku lihat apa isinya,” perintah Rafandra. Kayana membukanya perlahan dan menemukan dua botol madu dan satu kantung buah tin. Ada juga tulisan kecil cara penggunaannya. Kayana sempat terdiam sejenak saat membaca isi dan petunjuknya. “Botol madu,” sahutnya lemas. “Buang! Kamu tidak bu
“Persiapan pernikahan kamu bagaimana?” ketus Della, ibu Rakabumi yang memang sudah sangat kesal pada anaknya sendiri. Sudah hampir dua minggu ia belum mendapat kabar apapun dari anak dan calon menantunya. Sedangkan waktu pernikahan diperkirakan dua minggu lagi. Rakabumi mendengus kesal. Setiap kali ia datang ke rumah orangtuanya, pasti selalu menanyakan hal ini. Sudah bosan rasanya. “Ini lagi persiapan, Bu.” Rakabumi juga membalas dengan nada ketus. “Jangan lama-lama. Perut Aruna semakin membesar.” Rakabumi hanya mengangguk. “Kamu sudah cuti?” tanyanya lagi. “Sudah. Tenang saja, sampai bulan depan masih aman. Habis nikah, Raka ada syuting tiga bulan di luar daerah. Raka minta bantuan ibu buat jaga Aruna,” pesan Rakabumi pada ibunya. “Ibu harap dengan pernikahan ini, imej kamu di depan publik akan berubah. Tidak ada lagi gosip murahan seperti beberapa bulan lalu bahkan tiga tahun yang lalu,” ujar Della mengenang masa lalu kelam karir Rakabumi. Tiga tahun yang lalu, anak kesayanga
"Samsul!" teriak Rafandra dari dalam ruangan. Kayana yang baru masuk dari luar hampir saja terlonjak kaget mendengar suara keras suaminya. Dari belakang, Samsul masuk sambil membawa sebuah map yang entah isinya apa. "Untuk hari ini sudah selesai atau belum?" "Sudah, Bos. Semua sudah selesai," jawab Samsul. Rafandra menandatangani isi map itu lalu menyerahkannya kembali ke Samsul. "Saya mau pulang. Ngantuk." Rafandra menutup komputernya lalu menyambar jas yang ia taruh di punggung kursi. "Kalau ada yang cari, suruh datang besok atau email dan telepon saya." "Siap, Bos." Kayana yang tahu maksud Rafandra, ikut mematikan komputer lalu menyusulnya ke luar ruangan. Sempat ia menyapa Samsul sejenak lalu berkata, "Sabar ya. Rafa memang seperti itu." "Sudah biasa bu bos. Pak Rafa itu memang sering seenaknya sendiri. Tapi dia baik, jadi saya segan," ujar Samsul yang memuji kelakuan Rafandra di depan Kayana. "Dia pernah marah sama kamu?" tanya Kayana penasaran. Samsul mengangguk. "Aneh, ke