"Aku jahat?" Rafandra menoleh. Dua kata yang meluncur dari bibir Kayana membuat matanya berkedip dua kali. Ingin memastikan apakah indera pendengarannya tak salah menangkap kata. "Aku jahat tidak?" sekali lagi Kayana bertanya dan itu membuat Rafandra menggelengkan kepalanya. "Aku hanya—" "Tidak, kamu tidak jahat. Itu kan balasan yang setimpal buat mereka. Jangan merasa kamu bersalah karena membuat mereka menerima ganjaran apa yang telah dikerjakannya," ujar Rafandra penuh kata bijak. "Tapi aku seperti penjahat yang kejam." "Kata siapa?" "Kata a—" Tring!! Tring!! "Eh, sebentar. Ada telpon masuk." Rafandra memberi kode pada Kayana untuk diam. "Ada apa, Sam?" Rafandra sengaja meninggikan suaranya. Samsul : bos, ini si mbak Sonia nangis-nangis pas mau saya jemput buat bikin kesaksian. Katanya mau jalan damai saja. Suara Samsul sayup-sayup terdengar di ujung telpon. Kayana melirik sekilas, Rafandra pun sama. Mereka saling memberi kode dalam lirikan mata itu. "Terus?" Samsul :
"Kayana!" teriak Rafandra dari kejauhan. Kekasih Kayana itu berlari-lari mengejar wanita pujaan hatinya yang entah mengapa jalannya menjadi sangat cepat. Kayana menoleh sekilas, namun tetap berjalan cepat menghindari kejaran kekasihnya. Tak membutuhkannya waktu lama, Kayana berhasil ditangkap oleh Rafandra. "Dengarkan aku dulu. Tadi itu—" "Apa?" Kayana menyela pembicaraan. "Enak, ciuman sama Sonia?" sindir Kayana. "Aku tidak pernah mencium Sonia. Kamu bisa lihat kan di foto tadi? Sonia sengaja memotret aku saat tertidur. Sumpah demi tuhan aku tidak menyentuhnya," ujar Rafandra sambil mengangkat tangannya ke atas. Kayana sedikit percaya akan ucapannya. Karena selama ini Rafandra terbukti tidak pernah berbohong, kecuali menyamar jadi supir. "Aku mau pulang." Kayana menunduk memainkan jarinya. Sungguh, hari ini kepalanya seperti akan meledak. Bertemu dengan orang-orang jahat membuat tubuhnya sakit. "Aku antar." Kayana melepas tangan Rafandra yang bertengger di lengannya. "Kita bica
Sesuai permintaan Kayana, acara lamaran dirinya dan Rafandra yang semula akan berlangsung secara terbuka dan meriah akhirnya berlangsung tertutup. Tak ada gedung yang mewah, apalagi kamera wartawan seperti yang biasa keluarga Wirautama lakukan bila ada acara. Kayana ingin acara lamarannya berlangsung sakral tanpa ada orang lain yang tahu. Pada hari acara berlangsung, keluarga Rafandra datang sebelum waktu yang ditentukan. Ini semua karena keinginan Alyssa yang katanya ingin bertemu dengan Kayana sebelum acara. Rafandra menurutinya. Secara mengejutkan, Alyssa masuk ke kamar Kayana tanpa izin terlebih dulu. Kayana terkejut. Ia pun berdiri menyambut Alyssa dan mempersilakannya duduk di sampingnya. “Mama?” Kayana canggung. Matanya melirik ke arah kanan beberapa kali. Tangannya juga mencolek lengan Aruna yang masih sibuk meriasnya. “Datang sama Rafa?” “Iya, Rafa ada di bawah. Rafandra yang suruh datang cepat, katanya mau bicara sama ayah kamu,” ujar Alyssa yang berbohong pada Kayana. C
"Mau kemana?" tanya Naura yang baru saja menuangkan sayur ke dalam mangkuk. Hari masih pagi tapi Kayana sudah siap dengan kemeja kerjanya. "Mau ke kantor Rafa," jawab Kayana santai. Ia mengambil duduk dekat ayahnya yang lebih dulu menikmati santap paginya. "Mau jalan-jalan?" Kayana menggelengkan kepalanya. "Kok pakai baju kemeja?" Naura terlihat penasaran. "Kayana jadi karyawan magang di kantornya Rafa," jawab Kayana sambil mengunyah makanannya. Sang ayah yang sejak tadi hanya mendengarkan obrolan Keduanya akhirnya angkat bicara. "Dibayar sama dia?" Kayana menoleh lalu mengangguk. "Calon menantu ayah memang luar biasa." Kayana mencebikkan bibirnya. Sejak Rafandra dan dirinya bertunangan minggu lalu, ayahnya semakin sering membicarakan kehebatan Rafandra. Katanya, Rafandra contoh sosok pria yang bertanggung jawab dengan ucapannya. Kalau hal ini terdengar oleh Rafandra, bisa saja ia semakin besar kepala. Pasti dia akan menyombongkannya di depan semua orang. "Jangan puji dia terus,
Kayana tertawa terpingkal-pingkal melihat reaksi Linda. Wanita yang menyukai Rafandra itu pergi dengan wajah masam dan kesal. Pasalnya, sepanjang ia mengoceh tak satu pun ditanggapi oleh Rafandra atau mungkin, karena niatnya makan siang bersamanya gagal karena ada Kayana di sana. "Rafa, si Linda lucu deh. Dia sepertinya kesal," kekeh Kayana. "Bukan salah aku dong. Dia yang memaksakan diri." "Dia itu benar teman kamu?" tanya Kayana penasaran. Rafandra mengangguk. "Bagaimana ceritanya bisa suka sama kamu?" "Ceritanya panjang. Dulu, dia satu projek sama aku waktu masih kuliah. Terus, lama kelamaan dia suka. Katanya, aku tuh cowok yang lembut dan paling pengertian," ujar Rafandra menyombongkan dirinya di depan Kayana. "Kenapa kamu tidak balas cintanya?" Rafandra menoleh lalu terdiam sejenak. "Dia kan cantik," sindir Kayana. "Dia itu kan selalu kejar-kejar aku." Rafandra menggedikkan bahunya. "Oh, karena kamu paling alergi kalau dikejar-kejar sama cewek?" Rafandra mengangguk lagi. "
Setelah selesai membelikan aneka bibit bunga untuk ayah Kayana, Rafandra mengajak calon istrinya itu untuk menemui seseorang di sebuah hotel berbintang lima yang terkenal di Jakarta. Kayana tak banyak bertanya, ia hanya menuruti keinginan Rafandra dan memilih diam sepanjang perjalanan menuju kesana. Setibanya di hotel itu, mereka berdua disambut hangat oleh petugas yang bersiap di lobby, karena Rafandra adalah tamu istimewa mereka. Kayana membolakan matanya saat masuk ke dalam ruangan besar di dekat lobby lantai satu. Bibirnya tak berhenti menggumam kagum pada interior mewah yang tersaji apik di hotel itu. Ia heran mengapa Rafandra mau saja melaksanakan pesta di hotel tersebut. Tentu saja, ini semua karena keinginan keluarga Rafandra yang merupakan pengusaha terkenal. “Hotelnya besar” gumam Kayana. Rafandra yang berjalan di sampingnya hanya mengangguk. “Kenapa tidak sewa gedung biasa?” “Mama yang maksa, sayang. Dia sudah booking hotel ini jauh hari sebelum kita lamaran. Katanya,
Setelah kembali dari villa, Aruna yang biasanya ceria berubah murung dalam beberapa hari kemudian. Wajahnya terlihat gelisah, bibirnya juga pucat seperti sedang mengidap suatu penyakit. Di depan sebuah apotek, ia berdiri mematung. Tangannya dimasukkan ke dalam kantung jaket yang ia pakai. Tak lupa penutup wajah dan juga kepala. Ia berjalan masuk ke dalam apotek dengan jantung berdebar-debar. Matanya terlihat kosong, kebingungan telah membuat pikirannya melayang entah kemana. "Mbak, saya mau beli testpack." suara Aruna dibuat sepelan mungkin. Takut terdengar oleh pengunjung yang lain. "Yang biasa atau yang premium?" tanya si apoteker. Aruna tak paham, ia pikir semua alat test kehamilan sama saja. "Kalau yang tepat, pakai merk ini." Aruna mengambil merk yang diberikan apoteker itu. Tangan kanannya merogoh saku jaket dan mengambil selembar uang seratus ribu dan memberikannya pada si apoteker. "Saya ambil ini." Di kamar kostnya yang sepi, Aruna perlahan membuka alat test kehamilan i
Satu minggu menjelang pernikahan Kayana, Aruna sempat menghilang. Tepatnya, ia mengurung diri sendiri dan menghindari Rakabumi dan kembali muncul setelah hatinya mulai merasa tenang. Selama satu minggu terakhir, rupanya ia dan juga Abil sering bertemu dan pergi mengunjungi berbagai macam tempat rekreasi di Jakarta. Abil bukan hanya sekedar orang lain, tapi Aruna telah menganggapnya sebagai teman lama. "Besok, hari pernikahan Kayana. Kamu datang kan?" tanya Aruna sebelum melangkah masuk ke halaman rumah kostnya. Abil mengangguk. "Syukurlah, aku juga." "Mau aku jemput?" ajak Abil menawarkan diri. Aruna menggelengkan kepalanya menolak tawaran Abil. Raut wajah pria itu berubah murung. "Kenapa?" "Kayana sudah menyuruh supir Rafa untuk jemput aku malam ini. Katanya, acaranya dari subuh sampai malam hari," jawab Aruna disertai kekehan. Melihat wajah murung dan kecewa Abil, Aruna kembali berkata, "Tapi kita bisa pulang bersama nanti. Kalau diizinkan Kayana." "Acaranya sepadat itu?" tanya
Lima tahun kemudian Tak terasa usia pernikahan Rafandra dan Kayana telah memasuki tahun ke lima. Ada yang bertambah di tahun tersebut, satu anak dari Kayana di tahun ke tiga saat si kembar sudah mulai aktif berjalan. Rafandra sempat kewalahan menghadapi ke tiga anaknya yang mulai tumbuh besar. Si kembar juga mulai cerewet seperti ibunya. "Papa, mau itu." Rafisha menunjuk pohon mangga yang berbuat lebat belakang rumah orangtua Kayana. Cukup tinggi, Rafandra sampai mengernyitkan dahinya. "Ambilin." "Papa enggak bisa. Suruh om Samsul saja ya." Rafandra merinding membayangkan betapa tingginya pohon mangga itu. Ia lebih baik menunggu di bawah sambil mengawasi kedua anak kembarnya. "Papa payah." Rafisha merengut. Tak lama kemudian ia berhasil menarik kakeknya untuk mengambilkan mangga yang dimaksud olehnya tadi. Dengan senang hati sang kakek mengambilkannya. Diambilnya sebuah kayu tinggi dekat pohon dan dalam sekali tarikan, dua mangga berhasil diambilnya. "Hore, buah mangga." Rahisya
Empat bulan kemudian "Rafa! Rafa!" Suara teriakan terdengar dari dalam kamar mandi. Rafandra yang masih terbuai mimpi sayup-sayup mendengar suara itu. Tak terdengar lagi, ia pun melanjutkan mimpinya. "Rafa!" Mata Rafandra langsung terbelalak. Terkejut dengan suara keras yang memanggil namanya dari dalam sana. "Iya!" Rafandra berlari ke tempat asal suara dan mendapatkan sesuatu yang mengejutkannya. "Astaga! Kayana." Tanpa banyak tanya lagi ia segera menggendong tubuh Kayana yang lemas. Ada aliran darah di sekitar kakinya bercampur dengan cairan bening. Tas kecil di atas meja rias ia sambar beserta kunci mobil dan ponselnya. Berjalan cepat menuruni anak tangga, Rafandra berteriak nyaring membangunkan seisi rumah. "Woy, bangun. Tolongin. Kayana mau melahirkan!" teriaknya. Samsul yang kebetulan sedang menginap di rumah Rafandra pun ikut terbangun mendengar teriakan keras dari bosnya itu. Segera ia berlari menyusul Rafandra yang sudah berada di luar rumah. "Bos. Bu Kayana mau me
Mau tidak mau, kabar kelahiran anak kedua Wirautama membawa dampak besar bagi perusahaan. Terlebih lagi, istri keduanya adalah seorang selebritis yang sering mendapat perhatian publik atas apa yang dilakukannya. Bukan tidak mungkin, hal seperti ini akan jadi momok yang menakutkan bagi Wirautama dan keluarganya. Belum sampai satu hari berita itu dimuat, sudah muncul lagi satu isu yang membuat Rafandra tercekat. Isu tentang keretakan rumah tangga ibu dan ayahnya yang entah dari mana kabar itu berhembus. Ini yang paling dibenci oleh Rafandra. Ia tak bisa tidur nyenyak setelah berita itu keluar. "Ada-ada saja berita aneh. Ini papa harus klarifikasi." Rafandra membuang ponselnya ke atas sofa di ruang tengah. "Rafa capek, Ma." "Nanti mama bantu klarifikasi. Kamu pikirkan perusahaan saja dan Kayana." Alyssa yang berdiri tangga bawah melirik Kayana dan Rafandra yang sedang duduk berdua di ruang tengah. "Anak papamu akan dibawa kesini. Mereka akan tinggal bersama kita." "Benarkah?" Kayana
Tentang berita kelahiran anak Rani, pertama kali diketahui oleh Alyssa saat tak sengaja menguping pembicaraan salah satu temannya yang berprofesi sebagai dokter. Ia mengatakan ada pasien masuk ke ruang bersalin dengan status mengkhawatirkan. Informasi itu didapatkan dari seorang suster yang menerima pasien itu di ruang gawat darurat. Teman Alyssa bercerita, dia seperti pernah melihat wanita itu tapi lupa tepatnya di mana. Ia pun bertanya pada Alyssa, walau tak yakin dengan jawabannya. "Tadi, kalau tidak salah namanya adalah Rani iswandari. Nama suaminya Wirautama. Alyssa, nama Wirautama di Jakarta tidak hanya nama suamimu kan?" Alyssa terdiam saat itu. Nama Rani dan Wirautama memang banyak, tapi yang terlibat cinta di belakang layar hanya mereka berdua. Tidak salah lagi, pasti itu Rani istri kedua suaminya. "Dia melahirkan? Siapa yang mengantarnya?" tanya Alyssa yang mulai khawatir. Ia takut terjadi sesuatu dengan wanita itu dan dirinya akan terus merasa bersalah hingga akhir hidup
"Istrimu melahirkan!" Alyssa menaruh ponselnya segera setelah berteriak. Wirautama yang berada di kamar terkejut dengan suara teriakan itu. Ia segera berlari keluar kamar menemui Alyssa. "Ada apa?" balasnya. "Aku dapat info, istrimu melahirkan. Kamu tidak menjenguknya?" tanya Alyssa memastikan. Terdiam sambil berpikir sejenak, Wirautama belum bisa memutuskan akan datang atau tidak. Ia bimbang memutuskan hal tersebut. Lalu Alyssa kembali bertanya, "Kamu jenguk tidak? Kalau tidak, biar aku yang jenguk." "Kalau berdua dengan kamu, aku ikut." "Ok. Aku ganti pakaian dulu." Alyssa segera masuk ke dalam kamar untuk berganti pakaian sementara Wirautama menunggu di luar. Rafandra yang baru saja dari luar rumah, baru selesai mencuci mobilnya melihat keheranan wajah ayahnya yang diam memucat seperti terkena sihir. "Kenapa, Pa?" tegur Rafandra. Wirautama terlonjak kaget lalu menggelengkan kepalanya. "Kok diam saja?" "Kamu enggak kerja?" Wirautama malah balik bertanya pada Rafandra. "Izi
Karena kondisi tubuh Wirautama telah membaik, ia sudah diizinkan untuk kembali beraktivitas walau hanya sekedar duduk tanpa turun langsung ke lapangan. Rafandra sebagai anak yang sangat sayang pada ayahnya, rela menggantikan tugas sementara ayahnya sebelum rapat pimpinan direksi yang akan dilaksanakan bulan depan. Menunggu ayahnya selesai membaca dokumen yang ia bawa, Rafandra lebih mementingkan pesan yang dikirimkan oleh istrinya. Pesan ringan, hanya seputar keinginan istrinya yang aneh. "Kayana lagi rewel?" tanya Wirautama mengintip dari balik kacamatanya. Rafandra mengangguk. "Biasa, itu. Minta apa dia sekarang?" "Minta belikan croffle, cromboloni. Makanan aneh, Pa. Pasti ujung-ujungnya Rafa yang makan," keluh Rafandra. "Ya enggak apa-apa. Yang penting istri kamu senang, anak kamu juga." Rafandra hanya mengangguk-angguk sambil memainkan ponselnya. "Papa enggak pulang? Udah jam makan siang. Mama bilang jangan terlalu banyak kerja." Rafandra berdiri dari duduknya, mengambil doku
Pagi sekali sepasang suami istri itu bangun. Baru saja menapakkan kaki mereka di dapur, keduanya sudah disambut suara pekikan Alyssa yang sedang mengkomandoi asisten rumah tangga yang akan memasak sarapan pagi itu. "Jangan kebanyakan gula. Kalau bisa, tomatnya ditambah." asisten rumah tangga itu hanya diam saja sambil mengangguk pelan. "Kayana tidak suka manis. Nanti bikin tehnya dibuat lebih kental sedikit." "Iya Bu." Saatnya Alyssa kembali ke ruang makan. Sudah ada Kayana dan Rafandra yang duduk manis berbincang satu sama lain. Kayana terlihat segar dengan rambut basahnya. Begitu pula Rafandra yang sejak tadi mengusak-usak rambut sang istri. Keduanya tampak akur tak seperti biasanya. "Tumben keramas pagi-pagi," sindir Alyssa. Sedikit berdehem, ia bertanya lagi pada keduanya. "Tadi malam habis berbuat yang enak-enak ya?" Alyssa terkekeh hingga membuat wajah Kayana memerah. Ia menoleh ke sebelahnya, Rafandra juga ikut terkekeh karena membayangkan kejadian tadi malam. Kayana yang
"Aku mau pulang ke rumah ibu. Mau liburan di sana." Kayana merajuk. Sejak pulang dari rumah sakit dan berjalan-jalan sebentar di sekitar area mall, rupanya tak membuat mood kesayangan Rafandra itu membaik. Apalagi, saat di resto tadi dirinya bertemu dengan Sonia secara tak sengaja dengan sikap sok centilnya. Seketika hancurlah semua niat dirinya yang ingin bermanja-manja dengan sang suami. "Besok ya. Aku antar ke rumah ibu." Rafandra mencoba bersikap sabar menghadapi ibu hamil yang sering meraung-raung tak jelas seperti Kayana. Persediaan sabarnya harus lebih dari hari biasa. "Terus, kamu nginep di sana enggak?" Rafandra menggelengkan kepalanya. "Kenapa? Kamu tega ninggalin aku sendirian kalau malam?" Rafandra menepuk dahinya. Memang serba salah menjawab pertanyaan dari Kayana saat ini. "Aku kan kerja—" "Kalau kamu kerja, memangnya ada larangan tinggal di rumah aku? Kamu jahat, Rafa. Kamu enggak sayang lagi sama aku." Kayana mulai merengek. Air matanya menetes melalui pipinya ya
Rafandra menyempatkan diri datang ke rumah sakit bertemu dengan ayahnya yang masih dirawat di sana. Dirinya datang tidak hanya sendiri, bersama dengan Kayana tentunya. Baru saja ia masuk, mata ayahnya telah memindainya dari jarak jauh seolah dirinya adalah seorang penjahat. Memang seperti itulah Wirautama jika sedang mengintai seseorang. "Pa, biasa aja lihatin Rafa." risih, Rafandra menegur ayahnya. Kayana yang mengekor di belakang mengucapkan salam lalu mencium tangan ayah mertuanya. "Papa udah sembuh belum sih?" "Dasar anak durhaka. Tuh istri kamu saja cium tangan, kamu malah melengos." Wirautama memukul lengan Rafandra pelan, namun anaknya itu berlagak kesakitan. "Bagaimana dengan Sonia? Berhasil dipindahkannya?" Rafandra menggedikkan bahunya. "Papa kenapa bikin peraturan seperti itu sih? Kenapa Sonia dimasukkan ke dalam tim pengembangan juga?" "Dia bagus, idenya selalu menarik dan public speakingnya selalu didengar oleh investor. Apa salahnya kalau kita masukkan dia ke dalam t