"Ish! Dasar kau ini!" Theona menjauhkan tubuhnya sambil menyebikkan bibirnya."Kenapa? Kau tidak percaya?" tanya Wolf kecewa. Padahal, ia bersungguh-sungguh dengan ucapannya."Sudah, jangan bercanda!" sanggah Theona."Aku serius, Theo. Lagi pula, sejak kapan aku pernah bercanda di saat-saat serius seperti ini?" ujar Wolf semakin muram."Baiklah. Nanti kalau sudah tiba waktunya, aku akan mendatangimu," balas Theona.Wanita itu melangkah keluar diikuti oleh Wolf. Pria itu bergegas mensejajarkan langkahnya dan mereka berjalan menuju parkiran. Tidak lama kemudian, mereka masuk ke dalam mobil dan langsung menuju restoran."Kau mau makan apa?" tanya Wolf sambil menatap buku menu."Sebenarnya aku sudah makan di rumah tadi." Wanita itu nampak berpikir, "Jadi, kau boleh pesankan aku makanan yang tidak akan membuatku kenyang," imbuh Theona."Baiklah. Bagaimana kalau pasta? Steak? Atau kau mau salad buah saja?" tawar Wolf tanpa menatap Theona sedikitpun."Steak dan salad buah kelihatannya enak,"
Mendengar suara Theona yang sangat lirih membuat Wolf mengangkat pandangan dan menatap wanita itu. Meskipun terdengar sangat pelan, tetapi ia masih bisa mendengarnya dengan sangat jelas."Aku tidak mendengar. Bisakah kau ulangi sekali lagi?" pinta Wolf takut pendengarannya salah."Beberapa hari yang lalu, aku menikah, Wolf," jelas Theona menunduk.Ia yakin, Wolf akan sangat marah padanya. Selain tidak tahu apa-apa, pria itu juga tidak diundang. Ia baru diberitahu setelah pernikahan berlalu. Jika posisinya ditukar, Wolf yang ada di posisinya, mungkin ia akan sangat marah."Apa kau bilang? Menikah?" Wolf tersenyum tidak percaya, "Candaanmu sangat-sangat tidak lucu, Theo," imbuhnya."Aku tidak bercanda, Wolf. Aku serius kalau aku sudah menikah," balas Theona dengan nada suara yang cukup tegas.Wolf meneguk salivanya tiba-tiba hingga tersedak. Ia terbatuk hingga bola matanya memerah dan berair."Minum dulu, Wolf," kata Theona sambil menyodorkan gelas blue ocean.Sontak, wolf langsung mera
Theona mengangkat kepalanya menatap Wolf terkejut. Ia menggelengkan kepalanya kuat-kuat dan menjawab, "Bagaimana bisa? Bagaimana bisa aku melakukan itu padamu, Wolf?""Kenapa tidak bisa? Bukankah akan lebih baik daripada harus menikah dengan pria asing yang sama sekali tidak kau kenali?" tanya Wolf menggebu. Air matanya mengalir begitu saja dari pelupuk mata teduhnya."Bisa saja aku melakukannya, tapi bagaimana dengan kau?" sanggah Theona.Ia pikir, ia tidak boleh egois. Jika ia menikah dengan Wolf sebagai ganti atas investasi yang pria itu berikan. Lalu, bagaimana dengan pria itu? Bagaimana bisa ia membiarkan Wolf menikah dengan wanita yang tidak dicintainya?"Bagaimana apanya? Apa masalahnya denganku?" tanya Wolf dengan dahi yang berkerut dan raut bingung."Bagaimana bisa kau menikah denganku, wanita yang tidak kau cintai?" Alih-alih menjawab pertanyaan yang Wolf lontarkan, Theona justru balik bertanya."Astaga, Theo!" Wolf terlihat sangat frustasi mendengar pertanyaan Theona.Pria
"Wolf?" gumam Ikosagon sambil mengerutkan keningnya. Kemudian, ia menatap raut sedih Theona. "Hei, Theo! Siapa itu, Wolf?" seru pria itu penasaran sambil menepuk pipi Theona."Wolf? Kau di sini?" tanya Theona terkejut. Manik matanya senantiasa tertutup rapat.Wanita itu sedang demam tinggi dan berhalusinasi tentang keberadaan Wolf. Padahal pria yang ada di hadapannya kini adalah Ikosagon."Pergilah, Wolf! Aku tidak ingin suamiku melihatmu dan terjadi masalah," kata Theona khawatir."Aku bilang siapa Wolf, bodoh?" geram Ikosagon."Tidak, Wolf, jangan. Aku mohon pergilah! Aku janji, setelah aku merasa tenang aku akan menemuimu," ujar Theona.Wanita itu terus berhalusinasi tentang Wolf yang bersikeras berada di sana. Jadi, ia meminta pria itu pergi sebelum Ikosagon pulang."Siapa itu Wolf, Theo?" tanya Ikosagon sambil menggertakkan giginya. Tangannya pun mencengkeram dagu istrinya kuat-kuat.Theona menangis sedih sambil memohon, "Aku mohon pergilah, Wolf. Aku tidak ingin Osa melihatmu di
Ikosagon membeku mendengar suara lenguhan yang melengking indah di telinganya. Dengan susah payah, ia mereguk salivanya dengan kasar.Tiba-tiba, Theona bergerak memeluk Ikosagon sambil bergumam, "Dingin, dingin sekali."Merasakan tubuh panas Theona melekat pada tubuhnya membuat Ikosagon tidak bisa mengendalikan diri. Akan tetapi, tidak ada yang bisa ia lakukan selain mengumpat dalam hati. Dan, mau tidak mau ia membalas pelukan wanita itu."Apa sudah hangat?" tanya Ikosagon lembut."Mmm," sahut Theona mengangguk lemah."Bisakah aku mengambil kompresan sebentar?" izin Ikosagon.Tubuh Theona terasa sangat panas dan ia harus mengompresnya agar demamnya cepat turun. Namun, posisinya saat ini benar-benar sulit untuk mengambil alat kompres di nakas."Tidak, Wolf, aku sangat kedinginan," tolak Theona."Wolf, kau bilang?!" geram Ikosagon.Theona cukup tersentak dan membuka mata. Ia melihat manik mata suaminya yang tajam bagai elang."O-osa?" terkejut Theona dengan manik mata terbelalak."Ya, i
Pria itu lekas memeriksa ponsel Theona dan mendapati nama Cassiopeia di sana. Ia mengerutkan keningnya merasa pernah mendengar nama itu, tetapi entah di mana. Tentu saja di surat kabar atau media massa lainnya karena wanita itu merupakan wanita sukses yang menggeluti dunia bisnis."Siapa itu Cassie?" tanya Ikosagon dingin"Dia sahabat aku," sahut Theona ketus."Sahabat? Laki-laki atau perempuan?" tanya pria itu menyelidik."Laki-laki," sahut Theona singkat dan ketus.Siapa suruh main rebut ponselnya di saat sedang berbicara di telepon. Jadi, ia sengaja mengerjai Ikosagon. Sekalian saja ia ingin memastikan, apakah pria itu akan marah jika ia berbicara dengan laki-laki lain."Apa kau bilang?" geram Ikosagon dengan rahang yang mengeras. Beraninya wanita itu bertelepon dengan pria lain di depannya? Benar-benar tidak memiliki rasa takut sedikitpun.Melihat raut menakutkan Ikosagon membuat Theona mengurungkan niatnya untuk mengerjai pria itu. "Tidak, aku bohong. Cassie itu perempuan dan kau
Melihat pemandangan yang sangat indah di depan matanya membuat Ikosagon berjalan tergopoh-gopoh ke atas tempat tidur. Ia langsung membaringkan tubuhnya menghadap Theona. Manik matanya berbinar seperti sepasang manik mata tokoh kartun. "Kau kenapa, Osa?" tanya Theona sambil menggoyangkan tangannya tepat di depan wajah suaminya. Awalnya, ia berencana untuk tidur setelah Ikosagon pergi ke kamar mandi. Namun karena ia sudah tidur beberapa jam sejak sore tadi, jadi ia tidak merasa mengantuk sama sekali. Justru bola matanya terasa sangat terang bagai burung hantu di malam hari. Ketika mendengar suara pintu terbuka, Theona menatap ke arah pintu kamar mandi. Tidak disangka, ia melihat pemandangan indah beberapa roti sobek. Manik mata yang semula segar, kini menjadi sepuluh kali lipat lebih segar. Namun yang membuatnya heran, pria itu terlihat sangat senang dan semakin bersemangat untuk datang menghampirinya. "Astaga, Osa! Apa yang kau lakukan?" ucap Theona frustasi. Bagaimana tidak,
"A-apa?!" Theona benar-benar terkejut dengan manik mata yang membola, "Ti-tidak. Tu-tubuhku masih terasa sakit dan kepalaku masih terasa sangat pusing," imbuh Theona panik."Benarkah? Bahkan suaramu saja sudah terdengar lebih bersemangat." Ikosagon tidak berencana untuk menuruti perkataan istrinya.Ia lebih senang mengerjai Theona daripada menuruti permintaannya. Syukur-syukur, ia bisa melakukannya saat itu juga. Kalau tidak, ya sudah. Paling-paling ia terpaksa harus menahannya sampai istrinya sembuh. Meskipun demikian, ia tidak akan menyewa wanita mana pun karena sudah berjanji untuk berhenti. Berjanji pada dirinya sendiri, pada wanita yang ia nodai, dan janji pada ayahnya."Ah! Uhuk-uhuk! Selain tubuhku dan kapalaku yang terasa sakit, aku juga batuk. Leherku benar-benar sakit dan aku butuh air. Jadi, aku harus ke dapur sekarang untuk mengambil air." Wanita itu tidak kehabisan akal demi bisa lepas dari cengkeraman Ikosagon. "Kau tenang saja. Air sisa tadi masih ada dan aku akan meng