"Bu, kaka main dulu ya sama adek-adek," izin anak pertama Rumana.
"Iya, kak. Jangan jauh-jauh mainnya, jangan main di sungai juga," jawabnya menasihati. Sambil menggendong si bungsu yang baru berusia tiga bulan."Inggih, Bu." Dengan berbinar, gadis itu pun berlalu sambil menggandeng kedua adiknya. adik pertama yang duduk di kelas tiga SD, dan yang ke dua baru kelas 1 SD.Wanita yang lima tahun lagi menginjak kepala empat itu, menatap ketiga anaknya dengan perasaan was-was. Ini hari ke tiganya di kampung halaman sang suami untuk merayakan hari raya.Tidak seperti biasanya, kali ini perasaan nya begitu gelisah setelah melepaskan kepergian anak-anaknya untuk bermain. "Hanya main aja, mereka pasti akan baik-baik saja. Tenanglah Rumana, mereka akan pulang saat lapar, karena belum sarapan pasti mereka akan kembali sebentar lagi," gumamnya, lalu ke dapur menghampiri ibu mertua yang tengah memasak untuk sarapan mereka."Cucu Ibu pada ke mana, Nduk? Kok sepi?" ujar Ibu mertua menanyakan keberadaan cucu-cucunya yang sedari subuh sudah menyemarakan rumah ini. Rumah yang notabenenya sepi tanpa ada senda gurau para anak kecil seperti saat ini.Hal itu membuat hati sang Ibu mertua sangat bahagia dengan kepulangan keluarga anaknya di hari raya ini. Tak ada yang lebih membahagiakan bagi orang tua yang sudah renta selain berkumpul dan melihat anak-anaknya bahagia."Rihanna mengajak adik-adiknya bermain sama teman-teman barunya di sini, Bu. Anak itu mudah sekali bergaul, baru tiga hari di sini, tapi temannya sudah banyak. Rum bersyukur di karuniai Rihanna sebagai anak pertama. Dia ngemong banget sama adik-adiknya." Rumana tersenyum. Ada kebanggan tersendiri di dalam sana saat membicarakan kelebihan putri pertamanya."Syukurlah, dia persis Ayahnya, Gunadi. Suamimu itu juga dulu seperti Rihanna, supel dan dia juga berjiwa sosial tinggi." Kali ini ibu mertua yang membanggakan putra pertamanya yang sifatnya menurun pada cucunya.Rumana menidurkan bayinya di kamar dan bergegas membantu Tuminah di dapur.Di pelataran pinggir sungai, Rihanna menghampiri teman-teman barunya sambil menuntun kedua adiknya. Dia terlihat bermain dan berbincang-bincang dengan dua teman lainnya."Eh, kita main ke sungai yuk. Nanti sekalian mandi biar seger, pasti menyenangkan," ujar seorang teman pada Rihanna."Tapi kata Ibu nggak boleh main di sungai, apalagi sampai mandi. Nggak ah, aku takut," tolak Rihanna yang ingat pesan Ibu tadi."Nggak apa-apa kok, kan ada kita berdua yang udah biasa main dan mandi di sungai itu. Lagian nggak dalam juga kok," bujuk teman yang duduk di kelas tujuh sekolah menengah pertama. Berusaha meyakinkan mereka."Aku pengin mandi di sungai, Kak. Ayo, Kak, mandi aja," rengek Rianti, adik pertama Rihanna."Tapi kalo Ibu tahu gimana, Dek. Ini juga masih pagi, masa mau mandi di sungai," ujar Rihanna menasihati adiknya."Ayo kak, mandi aja, kan kita mandinya rame-rame. Ibu nggak akan marah," ujar Bagas. Adik nomor dua."Iya, di sungai asyik banget loh. Kalian kan baru datang dari Jogja, dan katanya di sana jauh dari sungai. Makanya mumpung di sini, kita mandi di sungai aja, Yuk. Rame-rame jadi makin seru," bujuk teman yang duduk di bangku kelas delapan SMP.Dengan bujukan kedua temannya yang sudah terbiasa mandi di sungai, akhirnya Rihanna goyah, dan penasaran juga rasanya. Dia pun mengikuti kedua temannya untuk mandi di sungai lukulo dekat rumah nenek mereka.Mereka terlena dalam asyiknya berenang dan bermain air di sungai, hingga salah satu dari mereka tanpa sadar terbawa arus dan masuk ke kubangan bekas orang menambang pasir. Rianti terperosok ke dalam lubang sedalam empat meter itu tanpa di ketahui ketiga temannya, kecuali Rihanna. Sang kakak yang sadar adiknya mulai terbawa arus kecil, yang di kirianya sedang main-main, langsung mengikutinya dari belakang.Benar saja, setah Rianti terperosok, kini giliran Rihanna yang ikut terjebak ke dalam, menyusul adiknya. Merka berpelukan dalam ketakutan di dalam air yang seperti terus membawanya ke dasar sungai tanpa bisa mengeluarkannya ke permukaan. Pasrah dan tak bisa merasakan apapun lagi. Mereka mati dalam dekapan sungai lukulo setelah hari Raya."Eh, mereka berdua kok lama banget nyelemnya," ujar seorang teman yang menyadari Rihanna dan Rianti tak kunjung ke permukaan.Bagas yang polos terus memanggil kedua kakaknya. Namun tak ada jawaban dari kedua kakaknya itu. Akhirnya salah satu teman yang khawatir, dan mengusulkan untuk pulang saja, meminta bantuan pada orang dewasa.Saat itu, Bagas belum tahu kalau kedua kakaknya tenggelam, tetapi kedua teman mereka tahu, dan buru-buru memberi tahu Ibu Rumana. Larilah mereka ke rumah kakek Rihanna yang tak jauh dari sungai.Sesampainya mereka di depan Rumah, Rumanna tengah menyuapi bayinya, dan langsung curiga pada mereka bertiga yang salah satunya ada anaknya, berlari ter engah-engah menghampiri mereka dengan keadaan basah kuyup."Kalian dari mana, kok basah. Terus kenapa lari-lari gitu. Bagas, di mana kakak mu, Nak. Jangan-jangan kalian habis mandi di sungai, ya?" tebak Rumana curiga."Iya, Bu. Terus kak Rihanna dan kak Rianti malah asik nyelem ga keluar-keluar," ujar Bagas dengan polosnya."Hust! Bagas, diem dulu," ujar seorang teman yang kelas delapan SMP. "Anu, Bu. Mereka sepertinya tenggelam," sambungnya.Mendengar penuturan anak itu, Rumana langsung histeris dan berteriak minta tolong pada warga untuk mencarikan kedua anaknya yang katanya tenggelam."Kalian kenapa mengajak anaku bermain di sungai! Bagas! Kamu kenapa ga ingat pesan Ibu tadi pagi, hah! Haaahhh!" murka Rumana pada mereka yang bermain dengan anak-anaknya yang kini tenggelam. Tak terkecuali Bagas, ikut kena sasaran amukan Rumana.Anak itu hanya diam dengan seribu tanya dalam benaknya. Kenapa dia di salahkan? Kenapa kakanya tenggelam? Bukankah tadi sedang asyik bersamnya? Apa semua itu kesalahannya? Apa Ibu akan terus mamrahinya? Dia ketakutan dan tak bisa menjawab tekanan dari Ibunya.Para warga langsung bergerak cepat mencari kedua kakak beradik, yang baru datang dua hari dari Jogja itu untuk merayakan hari raya bersama keluarga besar neneknya.Tak butuh waktu lama, kedua jasad bocah yang berstatus kakak dan adik kandung itu, ditemukan sudah tak bernyawa di dalam kubangan bekas menambang pasir.Rumana langsung pingsan, saat mengetahui kedua anaknya tewas. Ia tak menyangka kelalaiannya mengawasi anak-anak, harus dia bayar mahal dengan kehilangan kedua putrinya sekaligus. Hal itu belum di ketahui sang suami yang tengah pergi mengunjungi rumah teman lamanya. Entah bagaimana reaksi suaminya jika tahu kedua anaknya mati tenggelam.Sehari setelah hari raya di rumah itu berubah jadi duka."Malah jadi mengantar nyawa setelah hari raya," bisik pelayat ikut terisak. Kemudian tersenyum menyeringai di balik jilbab.***Di dalam rumah duka, kakek korban tengah memegang kedua telapak kaki sang cucu yang dingin tanpa aliran darah lagi. Ia menyesalkan kenapa bisa lalai menjaga kedua cucunya, padahal biasanya dia selalu ke sungai untuk mendulang emas. Tapi sayang pagi itu dia malah ingin ke pasar, dan masih sehari setelah lebaran, alhasil dia belum sempat ke sungai.Tak disangka jika dia harus kehilangan kedua cucu yang selama ini amat dia rindukan. Terpukul sudah pasti, namun sebagiai manusia dia bisa apa selain merelakannya dengan ikhlas kedua cucunya.Meskipun dia tahu, kematian kedua cucunya mungkin ada kaitannya dengan kesalahan di masa lalunya. Tetapi dia tak bisa berbuat apa-apa dan tak mungkin menceritakan pada siapapun, atau dia sendiri yang akan celaka.Sudah cukup kehilangan dua cucunya, jangan sampai ada koran lain. Mulai sekarang dia harus lebih waspada, karena musibah yang terlihat alami seperti itu bisa menimpa siapa saja. Meskipun dugaannya masih belum terbukti kebenarannya, tetapi dia tetap harus waspada dan menjaga sanak keluarga.Sementara Rumana yang masih di alam bawah sadar, melihat kedua anaknya tengah ketakutan dan menangis."Rihana...! Rianti...! Kesini, Nak. Ibu di sini," triak Rumana memanggil kedua anaknya dengan cucuran air mata.Namun Rihana dan Rianti sama sekali tak mendengar panggilannya, mereka malah terus berlari menjauhi Rumana. Membuat wanita yang tengah berduka itu kian tersiksa, hanya bisa menyaksikan kejadian mengerikan yang menimpa kedua anaknya tanpa bisa berbuat apa-apa.Meskipun makhluk mengerikan itu hanya berjalan pelan, tetapi tubuhnya sangat tinggi dan besar. Sehingga bisa saja langsung mendekap kedua anaknya. Namun entah kenapa, sepertinya dia ingin mempermainkan dua bocah itu, dan memperlihatkan pada Ibunya. Rumana mencoba lari untuk mengejar kedua anaknya, tetapi semakin dia berlari, kedua anaknya semakin ketakutan karena makhluk mengerikan itu semakin mendekatinya.Rumana mencoba diam di tempat dengan kucuran air mata yang tak dapat ia bendung. Menyaksikan dengan pasrah kedua anaknya di bawa oleh makhluk mengerikan yang membawa sabit maut di pundaknya."Kalian membangkang nasihat Ibu kalian kan," suara berat dan menggema dari mahluk itu kini terdengar memekakan telinga.Membuat Rianti dan Rihana semakin histeris ketakutan, tetapi Rumana lagi-lagi hanya bisa menyaksikan."Iya, kami menyesal. Tolong jangan sakiti kami. Ampun, jangan bawa kami. Biarkan kami pulang dan minta maaf pada Ibu. Huhuhu..." Itu suara Rihana, yang menangis ketakutan. Membuat Rumana ingin menolongnya."Ibu maafkan, Nak. Ayo pulang, lihat Ibu di sini, Ri," isak Rumana tak berdaya setelah mendengar penyesalan anaknya."Sudah terlambat! Jasad kalian sudah di temukan, sekarang kalian harus terima akibatnya." Makhluk itu kembali berbicara."Maksudnya apa. Kami berdua masih di sini, belum ada yang menemukan kami. Tolong lepaskan kami, biar kami pulang dan minta maaf pada Ibu. Aku janji nggak akan melakukan apapun yang Ibu larang," pinta Rihana yang sudah hampir menginjak remaja. Sehingga dia tahu maksud perkataan makhluk mengerikan itu.Rihana mengira dirinya masih hidup dan tersesat di sebuah tempat yang gelap gulita. Yang dia ingat, saat akan menolong Rianti yang hampir tenggelam, dia langsung berada di tempat gelap dan mengerikan itu. Seperti hutan, tetapi dengan ruang lingkup yang sempit. Dia tak pernah melihat tempat seperti itu di manapun sebelumnya, bahkan dia tak pernah membayangkan ada tempat se menyeramkan ini, dan kini dia berada di tempat itu bersama adiknya.Rihana sangat ketakutan saat tiba-tiba berada di tempat menyeramkan itu, suara burung gagak dan lolongan anjing terus terdengar. Awalnya Rihana mengira bahwa dia mungkin sudah tiada, tetapi dia bertemu seorang wanita berpakaian serba hitam, dan menunjukan jalan pada mereka.Karena takut, Rihana dan Rianti pasrah mengikutinya. Hingga sampailah mereka di sebuah istana megah, dengan balutan emas yang berkilauan dari luar maupun dalam istana.Rianti menangis histeris saat hendak memasuki istana, membuat Rihana bingung dan bertanya-tanya."Jangan nangis, Dek. Ayo kita masuk, nanti wanita itu marah pada kita. Kamu dengar kan tadi di jalan dia bilang apa," ujar Rihana pada adiknya."Iya kak, tapi aku takut, wajah mereka mengerikan. Pucat semua seperti mayat, dan mereka diam seperti patung. Apa kakak nggak takut," tanya Rianti."Kaka lebih takut kalau kita celaka karena tak menuruti perintah wanita itu untuk mengikutinya," ujar Rihana meyakinkan adiknya."Aku takut, kita pulang aja, yuk," ajak Rianti ketakutan."Kita nggak tahu tempat ini, Dek. Kita juga nggak tahu jalan pulang, daripada kita tersesat lagi dan di kejar-kejar sama para setan yang ingin memakan kita seperti tadi, lebih baik kita di sini. Sepertinya di sini kita aman," ungkap Rihana."Ibu...Rianti takut, Bu. Huhuu.." Rianti terus menangis. Membuat para penghuni istana melotot pada mereka berdua, dengan tatapan membunuh yang membuat keduanya lari lintang pukang dari istana. Hingga akhirnya di kejar-kejar oleh makhluk tinggi besar yang membawa sabit maut di pundaknya.Makhluk menyeramkan itu, kini menatap Rumana dengan tatapan membunuh. Ia pejamkan mata kuat-kuat agar tak melihat makhluk itu lagi. Dan benar, dia langsung sadar."Anak-anaku....!" Triak Rumana bangun, membuat semua pelayat tertegun."Tolong anaku... Siapapun tolong Rihana dan Rianti... Mereka sedang tersesat si sebuah tempat mengerikan," ungkap Rumana. Yang dianggap meracau oleh orang-orang di sekitarnya.Bagaimana bisa kedua anaknya tersesat, sedangkan keduanya kini sudah kaku tak bernyawa di ruang tamunya. Tak ada yang mempercayai Rumana, termasuk Gunadi--suaminya."Ada yang tidak beres," ujar Rasmadi-- mertua Rumana yang menyadari perkataan menantunya.🥀🥀🥀"Ayo, Bu, kita pulang. Apa masih mau menunggu sampai jenazah di makamkan?" Ujar pelayat lain pada seorang wanita paruh baya yang masih terisak."Eh, iya. Duluan aja, nanti saya nyusul. Belum ketemu sama Ibu korban," jawab Ibu itu seraya mengusap air mata dengan pucuk jilbabnya."Oh, ya sudah. Saya duluan ya, Bu. Mau manen padi soalnya," ucap Bu Janem seraya menepuk bahu wanita itu, lalu pergi bersama beberapa temannya meninggalkan rumah duka.Sudah jadi tradisi di kampung itu, jika melayat hanya sekedar mengantar beras atau menaruh uang saja, lalu pulang. Berbeda dengan kerabat atau kenalan yang berduka, mereka akan menunggu dan mengantar jenazah hingga prosesi pemakaman selesai.Namun siapa wanita paruh baya yang melayat dengan senyum menyeringai di balik jilbab itu? Apakah dia masih kerabat yang berduka? Atau hanya pelayat biasa? Mungkinkah ia seorang yang mengalami gangguan jiwa? Atau jangan-jangan....Wanita itu perlahan menembus kerumunan warga dan kerabat keluarga duka, yang ten
Para pengurus jenazah itu bingung dengan maksud ucapan si kakek. Menguburkan tanpa menyolatkan, mana boleh. Dalam Islam, bukankah sudah seharusnya sebelum di makamkan jenazah harus melalui beberapa proses.Di mandikan untuk mensucikan hadas jenazah, di pakaikan kain kafan sebagai pakaian terakhir, dan di sholatkan untuk menyempurnakan proses pemakaman. Lalu bagaimana bisa di kubur tanpa di sholatkan terlebih dahulu, ajaran macam apa yang kakek Rasmadi terima. Seorang warga harus ada yang mengingatkan, bukankah sudah kewajiban kita sebagai saudara se iman untuk saling mengingatkan dalam hal kebaikan. Maka, seorang ustadz yang akan melakukan semua prosesi itu langsung mengingatkan sang kakek."Maaf ya, Pak Rasmadi. Sebelum mayit di semayamkan, terlebih dahulu harus di sholatkan, Pak. Ini semua demi kebaikan mayit. Apa Bapak tidak kasihan pada kedua cucu Bapak, jika tidak di sholatkan. Saya sebagai ustadz yang merasa bersalah, karena tidak bisa menjalankan tugas mengurus mayit sepeti p
"Rum! Rumana! Rumana!" Terdengar jelas suara Gunadi memanggil namanya, namun ia tak bisa melihat sosok suaminya itu. "Oeekk... Ooeekk..." Kini suara anaknya --Rayhan, yang masih balita menangis. Membuat Rumana sadar kalau ASI nya kini terasa nyeri dan hampir bengkak, sudah berapa lama dia tak memberikan ASI pada anaknya. Rumana yang panik berusaha mencari jalan pulang, dalam pikirannya ingin segera menyusui Rayhan. Dia sudah putus asa untuk mencari Rihanna dan Rianti di tempat ini, tetapi dia teringat perkataan makhluk mengerikan tadi. Jika nyawa kedua anaknya mungkin sudah di antar pada yang maha kuasa, tetapi mungkin yang dia maksud sukmanya masih ada di sini. Rumana harus bisa menemukan kedua anaknya di tempat yang mengerikan ini, dia tak mungkin tega membiarkan sukma kedua anaknya tertahan dan ketakutan. Tapi bagaimana caranya? Dia tak tahu apa-apa tentang makhluk halus dan sejenisnya. Apa yang harus dia lakukan sekarang, dia sungguh dilema. Di satu sisi, dia harus mencari jala
"Hust! Kalo ngomong mbok ya di jaga to, Pak. Nanti kalo anakmu dengar bagaimana? sudah dihajar sampe memar begitu masih aja bicara ngawur," ujar Tuminah-- istri Rasmadi. Yang sedang menyeka tubuh Rumana dengan telaten."Loh kan memang kenyataannya, lihat aja, anaknya nangis terus setiap hari, sudah kaya di tinggal mati beneran aja. Berbisik banget loh, Bu," gerutu Rasmadi pada istrinya."Ya, itu kan salah bapak sendiri. Kenapa bapak tampar Rumana sampai pingsan begini," ujar Tuminah menahah kesal pada Rasmadi."Bapak nggak sengaja, Bu. Niatnya cuma bikin dia takut dan diam saat prosesi pemakaman. Dasar menantu lemah, di sentuh pipinya sedikit aja masa langsung pingsan ber hari-hari gini," dengus Rasmadi kesal menatap tubuh menantunya."Siapapun bisa tumbang saat kehilangan dua putri sekaligus, Pak," Tuminah masih membela menantunya. "Ah, kamu ini, sama aja kayak anakmu, bela menantu yang nggak di ingunkan ini," cibir Rasmadi pada istrinya."Tapi tunggu. Bu, coba sini deh, deket sama
Treng!! Treng!! Treng!!Suara besi beradu dengan bebatuan di pinggir sungai, membuat nyali Rumana kian menciut. Dia sadar, pasti makhluk itu datang lagi mencarinya. Di kejar dua bocah setan yang sangat mengerikan di tambah makhluk misterius yang begitu seram, sudah seperti paket komplit yang menguji nyali.Mau lanjut lari ke ke pinggiran sungai untuk menghindari kejaran dua setan cilik tapi takut di hadang makhluk menyeramkan lagi, kalau lari ke hutan, sama saja bunuh diri. Dua setan cilik itu terlihat sangat mengerikan dengan mulut sobek dan bola mata yang hampir keluar, lidah yang terus mengeluarkan air liur, terkesan begitu menjijikan dan mengerikan. Seperti zombie yang pernah dia tonton di televisi, tetapi mana ada zombie di negeri ini. Bukankah makhluk mengerikan itu hanya ada di luar negeri.Membayangkan bertemu mereka lagi sudah sangat membuat Rumana bergidik ngeri. Bagai buah simalakama, mau mundur takut, maju apa lagi. Kedua netra Rumana menyapu sekeliling yang hanya ada kege
🥀🥀🥀"Abah!" Gunadi tersentak membaca nama Ayah mertua tertera di layar ponselnya. "Astaghfirullah! Bagaimana ini." Raut wajah Gunadi terlihat begitu panik.Bagaimana tidak, setelah kematian kedua putrinya ditambah Rumana yang tidak sadarkan diri hinggi kini, membuat Gunadi tak sempat menyentuh ponselnya. Kesibukannya mengurus Bagas dan Rayhan begitu menyita waktu, tenaga dan fikirnannya. Bahkan terdengar kabar bahwa kematian kedua putrinya sampai di beritakan di televisi. Dia yakin berita itu juga ramai di jagat maya. Makanya dia lebih memilih fokus saja mengurus anak-anak dan istrinya, daripada lebih hancur melihat pemberitaan yang beredar. "Apa itu Ayah mertuamu, Gun?" Tuminah penasaran dengan putranya yang langsung pucat pasi, setelah menatap layar ponsel dan mengagumkan nama Abah. "Iya, Bu. Aku bingung mau ngomong apa sama Abah. Aku suami yang gagal menjaga kedua anak, dan kini, Istriku juga masih terbaring lemah. Jika Abah tahu, mungkin aku bisa langsung di bunuh," tukas G
🥀🥀🥀"Kenapa kamu malah menyuruh mertuamu datang, Gun." Tuminah tak mengerti dengan pemikiran putranya, bukannya mengatakan saja yang sebenarnya, malah dia meminta mertuanya datang. Apa bukan bunuh diri namanya?"Aku ga bisa mengatakan semua ini lewat telefon, Bu. Biar Abah melihat sendiri kondisi putri tercintanya. Kalaupun nanti aku harus menerima caci makinya, aku ikhlas. Aku berharap kedatangan Abah bisa menyadarkan Rumana," ungkap Gunadi memandangi Istrinya.Bagi Gunadi saat ini, kesadaran Rumana adalah yang utama. Rasanya dia tak sanggup menjalani hari-hari lebih lama lagi tanpa Rumana. Seminggu tanpanya, sudah sangat melelahkan dan membuat Gunadi stres. Matanya kembali berkaca, saat menyadari betapa dia sangat membutuhkan peran Istri nya saat ini. Gunadi berjanji, jika Rumana bangun, dia tidak akan pernah sekalipun menyalahkan atau kasar padanya. Dia akan memperlakukan Rumana seperti Ratu di hatinya. "Rumana, bangunlah. Berapa lama kamu akan terus begini, ingatlah aku, Rum.
Part 10.Dua hari setelah dua bocah meninggal tenggelam."Tolong..! Tolong...! Siapapun di sana, tolong aku." Seorang wanita paruh baya terikat tangan dan kakinya di sebuah gubug di tengah hutan, dengan mata di tutup kain. Suaranya mulai parau karena terus berteriak, tetapi tak juga ada bantuan datang.Dia tak tahu bagaimana bisa sampai di tempat itu. Yang dia ingat, dia ingin berkunjung ke kampung halaman adik iparnya, ingin silaturahim karena sudah lama tak bersua, mumpung keluarga adiknya sedang mudik ke Kebumen. Sebuah kota yang ingin dia kunjungi karena terkenal banyaknya tempat pariwisata.Dia menaiki ojek dari stasiun Kebumen menuju desa Gunadi. Hingga sampailah dia, di pinggir jalan raya yang masih sangat sepi. Arloji di tangannya masih menunjukkan pukul 04.40 pagi, maka ia putuskan untuk berhenti di pinggir jalan raya itu untuk melanjutkan perjalanan ke rumah mertua Rumana, yang tidak terlalu jauh dari jalan raya. Menurut Kinanti, jika tukang ojek itu mengantarnya sampai dep
"Hentikan, Rumana! Apa yang sedang kau lakukan?" tanya Sudikerta yang baru tiba. Mata Rumana memicing. Ia mulai paham dengan situasinya sekarang. Untuk apa pria tua itu menghentikannya? Datang disaat ia sudah berhasil menemukan kedua putranya beserta Nandini. Rumana rasa hanya sia-sia saja kedatangan mereka. "Abah ... Untuk apa Abah menyusul ke tempat ini jika hanya untuk menghentikanku. Biarkan aku hancurkan mereka, sebagaimana mereka menghancurkan duniaku, Bah! Mereka yang memulai!" lantang Rumana. Ia tak terima jika Sudikerta atau siapapun menghalangi aksinya menumpas Gayatri dan para ateknya. Ia bukan lagi Rumana yang pasrah menerima segala petaka yang hampir membuatnya g*la. "Tidak, Rum. Biarkan Abah yang menyelesaikan semua kekacauan ini. Karena semua berawal dari kesalahan Abah," ucap Sudikerta. Wajahnya tampak sendu."Maksud Abah apa?" tanya Rumana tak mengerti.Gayatri tertawa sinis ke arah Sudikerta. Dengan sekali kedipan mata, semua orang yang tadi Rumana kira bisa lol
"Tutup mata, Bu," pinta Zaki pada Rumana. Rumana menurut saja karena saking takutnya. Pemuda itu lantas dengan cepat merapal sebuah doa. Terlihat dari gerakan bibirnya. "Sekarang buka mata, Bu Rum." Zaki meniup kedua mata Rumana perlahan. Rumana tampak mengedip beberapa kali dan mengecek kedua matanya. Memastikan apakah makhluk berbentuk kelapa sang ayah mertua sudah benar-benar hilang."Tadi itu sihir, Bu. Kita pasti sedang dipantau oleh makhluk alam ini. Ayo, kita gegas temukan mereka dan keluar dari sini," terang Zaki seakan mengerti kebingungan Rumana. Mereka kembali berjalan mencari sumber suara Bagas yang sempat mereka tangkap sebelumnya. "Itu mereka, Mbak!" Tangan Raganta terulur menunjuk sebuah gubug tua yang terlihat paling kokoh diantara gubug lainnya. Gegas, Rumana berlari menghampiri Nandini yang tengah meringkuk memeluk Bagas dan Rayhan di gendongan. "Allohuakbar, Nandini! Anak-anakku," pekik Rumana menghambur mendekap Bagas. Rumana terisak-isak menciumi pucuk ke
Setelah melewati berbagai gangguan, Rumana dan dua pemuda tampan itu sudah kembali berada di dalam gua. Rumana mencoba menguatkan diri dan tekad untuk menyentuh ukiran di sisi dinding gua. Kali ini tak ada gangguan berarti yang menghalanginya.Akan tetapi, beberapa saat setelah ia menyentuhkan tangannya ke ukiran tersebut, guncangan kecil mulai ia rasakan. Disusul guncangan hebat yang membuat semuanya panik. "Guanya seperti akan runtuh, kita harus lari dari sini," ujar Raganta dengan wajah panik. "Tidak! Mungkin ini hanya efek dari sentuhan tangan saya. Ini bisa jadi benar-benar pintu masuk ke alam sarpa seperti yang dikatakan Kiai. Aku tidak akan keluar!" teriak Rumana masih kuat dengan pendiriannya. Dia terus berpegang pada dinding gua."Jangan konyol, Mbak. Kita semua bisa mati di sini kalo nggak cepat-cepat lari menyelamatkan diri!" sengit Raganta. Nada Raganta mulai emosi, dia menarik lengan Zaki dan Rumana. Setuju dengan pendapat Raganta, Zaki juga terlihat panik dan mulai m
Rumana mengikuti saran Kiai Hambali untuk menjemput kedua anaknya dan Nandini yang konon dibawa oleh pengikut Gayatri. Dia mulai melangkah menyusuri lorong gua yang gelap dan sempit. Sebuah tempat yang terletak di dalam hutan Larangan yang jarang dijamah manusia. Sensasi mencekam mulai ia rasakan tatkala kakinya semakin maju ke dalam gua. Gelap, lembab, dan sumpak mendominasi nuansa di dalam gua. Rasa takut mulai bergelayut di hati Rumana, tapi ia juga tak mau menghentikan langkah demi kedua buah hatinya. Ia mengamati setiap sudut gua dengan pencahayaan yang terbatas dari cahaya obor. Ada Zaki dan Raganta yang turut menemani atas permintaan kiai Hambali.Perhatian Rumana jatuh pada sebuah dinding gua yang terlihat mencolok. Ada ukiran yang menggambarkan seperti gapura dan beberapa ukiran unik lainnya terpahat di sana. "Apa mungkin ini pintunya, ya?" Gumam Rumana. "Raga, Zaki, coba lihat ini."Kedua pemuda itu sontak mendekat. Mengarahkan cahaya obor mereka ke dinding gua yang dimak
"Allohuma sholi, wa salim 'ala sayyidina, Muhammadin shohibil busyro, solatan tu basyiru Nabiha. Waakhlana waauladana, wa jami'a masyayikhina, wamualimina wathalabatana wa thalibatina. Min yaumina hadzha illaa, yaumil akhiroh." Entah sudah berapa kali Rumana melantunkan selawat Busro yang diyakini bisa membawa kabar bahagia bagi yang mengamalkannya itu. Kedua matanya terpejam, ia duduk di atas sajadah selepas salat Isya di kamar. Berharap segera mendapatkan kabar bahagia seperti yang terkandung dalam selawat tersebut. Kabar baik tentang kedua anaknya yang kembali dalam keadaan sehat selamat. Kabar baik tentang kondisi Kinanti, dan kabar baik tentang kemungkinan Gunadi masih hidup, meski dia telah menyaksikan sendiri prosesi pemakamannya kala itu. Kabar baik yang ia harap membawa kebahagiaan.Dia benar-benar berharap jika semua yang tengah terjadi dalam hidupnya saat ini hanyalah sebuah mimpi buruk, dan ia ingin sekali ada yang membangunkannya dari tidur panjang ini. Tok ... Tok ..
"Aaakkk!" Jeritan Kinanti menyadarkan Sudikerta, bahwa yang dia tusuk bukan Gayatri, tapi putrinya sendiri. "Mbak Kinan!" jerit Rumana. Tubuh Kinanti perlahan roboh ke pelukannya. Dia menopang tubuh sang kakak yang sudah bersimbah darah di bagian perutnya. Sudikerta yang semula menggenggam erat pusakanya itu, reflek menjatuhkan keris ke lantai hingga menimbulkan suara dentingan cukup keras. Sudikerta bergetar hebat melihat darah segar yang muncrat dari perut sang putri dan menempel di tangannya. Dia segera meraih tub uh Kinanti dan membawanya dalam pekukan. "K-kenapa ... K-Kinanti ... Kinanti!" raung Sudikerta seakan sangat menyesali perbuatannya, tetapi semua hanya sia-sia.Diletakkannya tub uh bersimbah dar4h itu di atas dipan, dengan berusaha menutupi luka guna menyumbat dar4h yang terus mengucur dari perut bagian atas.Sementara itu, Gayatri tertawa puas melihat penderitaan Sudikerta. Dia beralih pada Rumana yang terus tergugu seakan menyalahkan sang ayah."Kau lihat kan, Rum
Kecurigaan Rumana pada sang ayah semakin menjadi, dia merasa Sudikerta memang telah menyembunyikan sesuatu darinya, atau mungkin dari seluruh keluarganya."Apa yang Abah sembunyikan di kamar itu?" tanya Rumana. Sudikerta menatap sekilas Rumana, kemudian berdiri dan berjalan menuju kamar mendiang mertuanya. Di depan pintu di dalam kamar itu, Sudikerta duduk bersimpuh. Mulutnya komat-kamit seperti sedang merapal sebuah mantra atau doa. Rumana dan Kinanti hanya menyaksikan dengan seksama apa yang tengah dilakukan Sudikerta. Meski ia ingin sekali bertanya, tapi dia menahan diri setelah melihat betapa Sudikerta berkonsentrasi dan tak mungkin untuk di ganggu. Tiba-tiba saja, terdengar suara tawa membahana dari seorang wanita. Tetapi tak Rumana lihat wujudnya. Suaranya seperti mengudara di dalam ruangan itu. Bau bunga melati juga menelusup ke dalam indra penciuman mereka. Rumana memasang badan waspada, sedangkan Kinanti justru bersembunyi di balik tub uh Rumana. "Siapa di sana!" seru
"Kamu sudah melakukan semua sesuai rencana kan, Galuh!" Seorang wanita berkebaya warna biru laut, dengan rambut disanggul berhiaskan bunga melati di rambutnya, tengah menatap nyi Galuh. Riasan di wajah menambah pancaran cantiknya wanita itu. "Sudah, Ibu Ratu." Galuh membungkuk di depan wanita itu."Bagus! Sudah waktunya Sudikerta menerima akibat dari perbuatannya. Sekaranglah waktumu membayar semuanya, dan kamu harus tau dan mengingat itu, Sudikerta!" Wanita yang dipanggil ibu ratu oleh galuh itu bermonolog lalu menyeringai. Ada gurat kepuasan dari kedua netranya.Sudah puluhan tahun lamanya dia menantikan hari itu datang. Hari dimana dia bisa membalaskan dendam kesumat pada lelaki yang telah meluluhlantakkan kehidupannya dulu. Dimana dia kehilangan satu persatu orang-orang yang dicintainya, yang dekat dengannya, dan yang dengan tulus menolongnya, tanpa tahu sebab dari semua petaka yang menimpanya. Hal itu tentu membuatnya amat terpukul, frustasi dan depresi. Hampir saja dia dipasu
Rumana masih bungkam, enggan memberikan keterangan. Kendatai Kinanti terus memaksa untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi sampai dia pulang dalam kondisi mengenaskan seperti ini, tapi Rumana tetap tutup mulut. "Apa seseorang mengancamu?" tanya Kinanti terus memancing Rumana supaya mau bicara.Jawaban Rumana hanya berupa gelengan. Tapi, kenapa dia bungkam?Rumana masih syok dengan semua kenyataan pahit yang dia terima dari mulut Galuh. Entah kenyataan itu benar atau hanya untuk mengecohnya agar membenci sang ayah. Semua tragedi naas dalam hidupnya setelah pulang kampung ke Kebumen, dia pikir mungkin ada kaitannya denhan ayah mertua--Rasmadi. Tapi, nyatanya justru Sudikerta lah yang banyak andil di dalamnya tanpa dia duga sebelumnya.Dia kenal Abah orang yang rajin beribadah, taat menjalankan perintah Allah, tapi kenapa justru masa lalunya seburuk itu hingga berimbas pada keluarganya. Rumana masih tak terima dan mungkin akan menganggap ucapan buruk Galuh tentang Sudikerta hany