"Tutup mata, Bu," pinta Zaki pada Rumana. Rumana menurut saja karena saking takutnya. Pemuda itu lantas dengan cepat merapal sebuah doa. Terlihat dari gerakan bibirnya. "Sekarang buka mata, Bu Rum." Zaki meniup kedua mata Rumana perlahan. Rumana tampak mengedip beberapa kali dan mengecek kedua matanya. Memastikan apakah makhluk berbentuk kelapa sang ayah mertua sudah benar-benar hilang."Tadi itu sihir, Bu. Kita pasti sedang dipantau oleh makhluk alam ini. Ayo, kita gegas temukan mereka dan keluar dari sini," terang Zaki seakan mengerti kebingungan Rumana. Mereka kembali berjalan mencari sumber suara Bagas yang sempat mereka tangkap sebelumnya. "Itu mereka, Mbak!" Tangan Raganta terulur menunjuk sebuah gubug tua yang terlihat paling kokoh diantara gubug lainnya. Gegas, Rumana berlari menghampiri Nandini yang tengah meringkuk memeluk Bagas dan Rayhan di gendongan. "Allohuakbar, Nandini! Anak-anakku," pekik Rumana menghambur mendekap Bagas. Rumana terisak-isak menciumi pucuk ke
"Hentikan, Rumana! Apa yang sedang kau lakukan?" tanya Sudikerta yang baru tiba. Mata Rumana memicing. Ia mulai paham dengan situasinya sekarang. Untuk apa pria tua itu menghentikannya? Datang disaat ia sudah berhasil menemukan kedua putranya beserta Nandini. Rumana rasa hanya sia-sia saja kedatangan mereka. "Abah ... Untuk apa Abah menyusul ke tempat ini jika hanya untuk menghentikanku. Biarkan aku hancurkan mereka, sebagaimana mereka menghancurkan duniaku, Bah! Mereka yang memulai!" lantang Rumana. Ia tak terima jika Sudikerta atau siapapun menghalangi aksinya menumpas Gayatri dan para ateknya. Ia bukan lagi Rumana yang pasrah menerima segala petaka yang hampir membuatnya g*la. "Tidak, Rum. Biarkan Abah yang menyelesaikan semua kekacauan ini. Karena semua berawal dari kesalahan Abah," ucap Sudikerta. Wajahnya tampak sendu."Maksud Abah apa?" tanya Rumana tak mengerti.Gayatri tertawa sinis ke arah Sudikerta. Dengan sekali kedipan mata, semua orang yang tadi Rumana kira bisa lol
"Bu, kaka main dulu ya sama adek-adek," izin anak pertama Rumana."Iya, kak. Jangan jauh-jauh mainnya, jangan main di sungai juga," jawabnya menasihati. Sambil menggendong si bungsu yang baru berusia tiga bulan."Inggih, Bu." Dengan berbinar, gadis itu pun berlalu sambil menggandeng kedua adiknya. adik pertama yang duduk di kelas tiga SD, dan yang ke dua baru kelas 1 SD.Wanita yang lima tahun lagi menginjak kepala empat itu, menatap ketiga anaknya dengan perasaan was-was. Ini hari ke tiganya di kampung halaman sang suami untuk merayakan hari raya.Tidak seperti biasanya, kali ini perasaan nya begitu gelisah setelah melepaskan kepergian anak-anaknya untuk bermain. "Hanya main aja, mereka pasti akan baik-baik saja. Tenanglah Rumana, mereka akan pulang saat lapar, karena belum sarapan pasti mereka akan kembali sebentar lagi," gumamnya, lalu ke dapur menghampiri ibu mertua yang tengah memasak untuk sarapan mereka."Cucu Ibu pada ke mana, Nduk? Kok sepi?" ujar Ibu mertua menanyakan kebera
"Ayo, Bu, kita pulang. Apa masih mau menunggu sampai jenazah di makamkan?" Ujar pelayat lain pada seorang wanita paruh baya yang masih terisak."Eh, iya. Duluan aja, nanti saya nyusul. Belum ketemu sama Ibu korban," jawab Ibu itu seraya mengusap air mata dengan pucuk jilbabnya."Oh, ya sudah. Saya duluan ya, Bu. Mau manen padi soalnya," ucap Bu Janem seraya menepuk bahu wanita itu, lalu pergi bersama beberapa temannya meninggalkan rumah duka.Sudah jadi tradisi di kampung itu, jika melayat hanya sekedar mengantar beras atau menaruh uang saja, lalu pulang. Berbeda dengan kerabat atau kenalan yang berduka, mereka akan menunggu dan mengantar jenazah hingga prosesi pemakaman selesai.Namun siapa wanita paruh baya yang melayat dengan senyum menyeringai di balik jilbab itu? Apakah dia masih kerabat yang berduka? Atau hanya pelayat biasa? Mungkinkah ia seorang yang mengalami gangguan jiwa? Atau jangan-jangan....Wanita itu perlahan menembus kerumunan warga dan kerabat keluarga duka, yang ten
Para pengurus jenazah itu bingung dengan maksud ucapan si kakek. Menguburkan tanpa menyolatkan, mana boleh. Dalam Islam, bukankah sudah seharusnya sebelum di makamkan jenazah harus melalui beberapa proses.Di mandikan untuk mensucikan hadas jenazah, di pakaikan kain kafan sebagai pakaian terakhir, dan di sholatkan untuk menyempurnakan proses pemakaman. Lalu bagaimana bisa di kubur tanpa di sholatkan terlebih dahulu, ajaran macam apa yang kakek Rasmadi terima. Seorang warga harus ada yang mengingatkan, bukankah sudah kewajiban kita sebagai saudara se iman untuk saling mengingatkan dalam hal kebaikan. Maka, seorang ustadz yang akan melakukan semua prosesi itu langsung mengingatkan sang kakek."Maaf ya, Pak Rasmadi. Sebelum mayit di semayamkan, terlebih dahulu harus di sholatkan, Pak. Ini semua demi kebaikan mayit. Apa Bapak tidak kasihan pada kedua cucu Bapak, jika tidak di sholatkan. Saya sebagai ustadz yang merasa bersalah, karena tidak bisa menjalankan tugas mengurus mayit sepeti p
"Rum! Rumana! Rumana!" Terdengar jelas suara Gunadi memanggil namanya, namun ia tak bisa melihat sosok suaminya itu. "Oeekk... Ooeekk..." Kini suara anaknya --Rayhan, yang masih balita menangis. Membuat Rumana sadar kalau ASI nya kini terasa nyeri dan hampir bengkak, sudah berapa lama dia tak memberikan ASI pada anaknya. Rumana yang panik berusaha mencari jalan pulang, dalam pikirannya ingin segera menyusui Rayhan. Dia sudah putus asa untuk mencari Rihanna dan Rianti di tempat ini, tetapi dia teringat perkataan makhluk mengerikan tadi. Jika nyawa kedua anaknya mungkin sudah di antar pada yang maha kuasa, tetapi mungkin yang dia maksud sukmanya masih ada di sini. Rumana harus bisa menemukan kedua anaknya di tempat yang mengerikan ini, dia tak mungkin tega membiarkan sukma kedua anaknya tertahan dan ketakutan. Tapi bagaimana caranya? Dia tak tahu apa-apa tentang makhluk halus dan sejenisnya. Apa yang harus dia lakukan sekarang, dia sungguh dilema. Di satu sisi, dia harus mencari jala
"Hust! Kalo ngomong mbok ya di jaga to, Pak. Nanti kalo anakmu dengar bagaimana? sudah dihajar sampe memar begitu masih aja bicara ngawur," ujar Tuminah-- istri Rasmadi. Yang sedang menyeka tubuh Rumana dengan telaten."Loh kan memang kenyataannya, lihat aja, anaknya nangis terus setiap hari, sudah kaya di tinggal mati beneran aja. Berbisik banget loh, Bu," gerutu Rasmadi pada istrinya."Ya, itu kan salah bapak sendiri. Kenapa bapak tampar Rumana sampai pingsan begini," ujar Tuminah menahah kesal pada Rasmadi."Bapak nggak sengaja, Bu. Niatnya cuma bikin dia takut dan diam saat prosesi pemakaman. Dasar menantu lemah, di sentuh pipinya sedikit aja masa langsung pingsan ber hari-hari gini," dengus Rasmadi kesal menatap tubuh menantunya."Siapapun bisa tumbang saat kehilangan dua putri sekaligus, Pak," Tuminah masih membela menantunya. "Ah, kamu ini, sama aja kayak anakmu, bela menantu yang nggak di ingunkan ini," cibir Rasmadi pada istrinya."Tapi tunggu. Bu, coba sini deh, deket sama
Treng!! Treng!! Treng!!Suara besi beradu dengan bebatuan di pinggir sungai, membuat nyali Rumana kian menciut. Dia sadar, pasti makhluk itu datang lagi mencarinya. Di kejar dua bocah setan yang sangat mengerikan di tambah makhluk misterius yang begitu seram, sudah seperti paket komplit yang menguji nyali.Mau lanjut lari ke ke pinggiran sungai untuk menghindari kejaran dua setan cilik tapi takut di hadang makhluk menyeramkan lagi, kalau lari ke hutan, sama saja bunuh diri. Dua setan cilik itu terlihat sangat mengerikan dengan mulut sobek dan bola mata yang hampir keluar, lidah yang terus mengeluarkan air liur, terkesan begitu menjijikan dan mengerikan. Seperti zombie yang pernah dia tonton di televisi, tetapi mana ada zombie di negeri ini. Bukankah makhluk mengerikan itu hanya ada di luar negeri.Membayangkan bertemu mereka lagi sudah sangat membuat Rumana bergidik ngeri. Bagai buah simalakama, mau mundur takut, maju apa lagi. Kedua netra Rumana menyapu sekeliling yang hanya ada kege