Share

Bertemu silumn ular

Author: Pini arso
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Treng!! Treng!! Treng!!

Suara besi beradu dengan bebatuan di pinggir sungai, membuat nyali Rumana kian menciut. Dia sadar, pasti makhluk itu datang lagi mencarinya. Di kejar dua bocah setan yang sangat mengerikan di tambah makhluk misterius yang begitu seram, sudah seperti paket komplit yang menguji nyali.

Mau lanjut lari ke ke pinggiran sungai untuk menghindari kejaran dua setan cilik tapi takut di hadang makhluk menyeramkan lagi, kalau lari ke hutan, sama saja bunuh diri. Dua setan cilik itu terlihat sangat mengerikan dengan mulut sobek dan bola mata yang hampir keluar, lidah yang terus mengeluarkan air liur, terkesan begitu menjijikan dan mengerikan. Seperti zombie yang pernah dia tonton di televisi, tetapi mana ada zombie di negeri ini. Bukankah makhluk mengerikan itu hanya ada di luar negeri.

Membayangkan bertemu mereka lagi sudah sangat membuat Rumana bergidik ngeri. Bagai buah simalakama, mau mundur takut, maju apa lagi.

Kedua netra Rumana menyapu sekeliling yang hanya ada kegelapan dan semak daun pandan berduri, yang tadi sempat dia gunakan untuk bersembunyi. Pikirannya buntu, mau tidak mau dia harus merasakan lagi nikmatnya tusukan duri-duri pandan yang sebelumnya sempat melindungi dia dari kejaran makhluk mengerikan itu.

Degup jantungnya naik turun tak beraturan, keringat dingin menjalar sekujur tubuhnya. Di tempat itu, di depan sungai yang kini di depan matanya, beberapa saat lalu dia alami kejadian yang membuat hatinya ngilu.

Ia takut kejadian tadi terulang lagi, memegang kepala menyerupai Rihana yang sangat mengerikan, dan menyaksikan aliran sungai yang jernih berubah jadi darah segar. Dia memejamkan mata untuk menghalau rasa takutnya. Tiba-tiba sebuah tangan yang sangat dingin memegang tangannya yang dia lingkupkan ke lutut untuk menutup seluruh wajahnya.

"Jangan!" Triak Rumana histeris, dia pikir makhluk itu yang sudah berhasil menemukannya di semak ini.

Matanya masih terpejam karena tak mau melihat makhluk mengerikan itu di depan wajahnya, dia pikir tamat sudah riwayatnya, dan mungkin dia akan meninggal di tempat ini.

"Ibu...ssstttt!" Suara Rihana membuat Rumana membuka mata perlahan. Dia mengamati seorang gadis yang persis dengan Rihanna yang kini tepat di depan wajahnya.

Rumana terpaku dengan posisinya, dia tidak mau terkecoh lagi seperti sebelumnya. Dia takut sedang di permainkan lagi di tempat suram dan mengerikan ini.

"Ibu kenapa bisa ada di sini, apa Ibu mencari kami sampai ke sini?" Ujar gadis itu pelan tapi masih sangat jelas di telinga Rumana.

Mendengar penuturan Rihanna. Barulah Rumana percaya bahwa itu memang benar sukma anak pertamanya. Dengan Rianti yang terus memegang baju belakang kakaknya.

"Anak-anakku," Rumana menangis dan memeluk kedua anaknya. Rianti yang ketakutan hanya diam di belakang kakaknya. Anak itu takut kalau yang mereka kira Ibunya, ternyata jelmaan makhluk halus di tempat ini.

Rumana langsung memeluk Rihanna dan Rianti, lalu menghujami ciuman bertubi-tubi di pipi dan kening kedua anaknya. Sebuah mimpi yang indah bisa bertemu lagi dengan kedua putrinya yang dia sadari telah tiada, meskipun kenyataannya ini adalah mimpi buruk untuknya.

Makhluk dengan senjata jiwa berupa sabit maut itu, sudah merencanakan pertemuan kedua anak dengan Ibu mereka di sini. Tujuannya, agar Rumana semakin tersiksa dan menderita setelah menyaksikan sendiri kedua anaknya jadi budak iblis di alam sarpa ini, tanpa dia bisa melakukan apapun untuk kedua buah hatinya.

***

"Ibu kenapa ada di sini? Apa Ibu mencari kami sampai sini?" Tanya Rihana bingung, karena mengetahui Ibunya berada di tempat yang sama dengannya.

Mendapat pertanyaan sang buah hati tercinta, Rumana bingung harus menjawab apa. Dia menduga, kedua anaknya tidak sadar bahwa mereka sebenarnya telah tiada dari dunia.

"I-iya, Sayang. Ibu sengaja mencari kalian sampai sini. Kalian baik-baik aja kan? Apa makhluk itu menyakiti kalian," tanya Rumana pelan, penuh kasih sayang.

"Kok Ibu bisa tahu kami tadi di culik makhluk menyeramkan itu?" Tanya Rihana curiga. Tatapannya penuh selidik. Kenapa Ibunya bisa tahu dia sempat tertangkap oleh makhluk itu. Kalau tahu, kenapa tidak berusaha menolongnya. Ibu macan apa yang tega membiarkan kedua anaknya di tangkap oleh makhluk mengerikan seperti itu.

"T-tidak, Nak. Ibu hanya menebak saja, karena Ibu juga sedang di kejar oleh makhluk mengerikan itu," kilah Rumana. Dia tidak mungkin bicara yang sebenarnya pada putrinya yang sudah hampir menginjak remaja, takut malah jadi berburuk sangka karena tak bisa menolongnya. Padahal dia sudah berusaha sekuat tenaga untuk menolong mereka, tetapi sesuatu telah membuatnya tak berdaya dan hanya bisa menyaksikan saja dengan keperihan hati yang tidak terkira.

"Ssttt..." Rihana menempelkan jari telunjuk di hidung dan bibirnya."makhluk itu mendekat, kita jangan bersuara lagi."

Rumana segera mendekap kedua anaknya, di tengah kegelapan dan pedihnya goresan pandan berduri. Tetapi dia bisa sedikit lega karena telah berhasil menemukan sukma kedua anaknya. Seandainya ini dunia nyata, dia tak akan pernah lagi melepaskan kedua putrinya. Terbesit ego dalam hatinya, bagaimana kalau dia berhasil membawa kedua putrinya keluar dari alam ini, dan menghidupkan mereka lagi.

Apakah itu akan mungkin terjadi? Bisakah mereka keluar dari alam sarpa ini bersama? Atau justru sukma Rumana yang malah terjebak selamanya di sana? Entahlah.

"Hhhhmmmm..." Geraman makhluk itu terdengar semakin mendekat, di susul suara dentingan soul weapon yang sengaja di goreskan di atas bebatuan.

Tiba-tiba dari depan mereka muncul se ekor ular kobra yang mendesis serta menjulurkan lidahnya. Hampir saja Rumana terpekik saking kagetnya. Bagaimana tidak, ular yang bisa mematikan itu hanya berjarak beberapa inci dari tempat mereka duduk berpelukan.

Rumana memberikan kode pada kedua anaknya untuk tetap diam dan tidak bergerak sedikitpun, agar binatang melata itu tak menyadari keberadaan mereka. Rianti yang sudah di dekap Ibunya, kini mulai tenang dan tak merengek lagi seperti sebelumnya, sehingga mereka benar-benar bisa diam dalam pelukan seperti patung.

Perlahan tapi pasti, ular yang sejak tadi seperti memperhatikan mereka berubah wujud mulai dari kepala. Kini sesosok lelaki gagah perkasa setengah ular telah berdiri di hadapan mereka. Rumana panik bukan kepalang, dia tak percaya menyaksikan semua ini dengan mata kepalanya, meskipun dia sadar ini bukan di dunia manusia.

Tapi tak pernah terbayangkan olehnya akan di tampakan makhluk setengah ular ini seperti yang pernah dia tonton di film kolosal. Mau teriak tapi tidak jadi, karena tampang makhluk itu tidak mengerikan, malah bisa di bilang sangat tampan.

Apakah ini yang dinamakan siluman ular? Apakah bentuknya seperti ini? Kenapa tampan sekali. Seandainya dia bukan siluman dan hidup di dunia manusia, pasti sudah jadi idola kaum wanita. Postur tubuh ideal dengan rupa yang sempurna, membuat siapapun yang melihat tak percaya kalau dia adalah siluman ular jika tak menampakkan ekornya.

Rumana terpaku tidak percaya, masih terpana melihat ular berbisa yang tadi membuatnya panik, dan kini semakin panik dengan perubahannya menjadi sosok laki-laki tampan di hadapannya. Entah takut atau kagum dengan makhluk itu.

"Kau sudah bahagia kan, sudah bertemu kedua anakmu di sini?" Tanya makhluk itu menyadarkan Rumana.

"Ya, tapi tolong pulangkan kami, siapa kalian sebenarnya?" Timpal Rumana memberanikan diri. Dilihatnya makhluk berjubah hitam dengan rambut yang menutupi seluruh tubuh dan soul weapon di pundaknya mengawasi mereka dari belakang siluman ular itu.

"Kami? Tentu saja kami yang menguasai tempat ini," tukas Siluman ular dengan raut sinis, namun tak memudarkan ketampanannya. Malah terlihat semakin sexi.

Ya Rabbi, kenapa Rumana malah terpana dengan ketampanan siluman ular. Sadarlah Rumana, jangan sampai kamu lupakan misimu untuk menyelamatkan kedua anakmu dari tempat ini, dan melupakan suami serta anakmu yang masih balita di dunia nyata.

Di alam manusia, seorang wanita paruh baya tengah duduk seorang diri dengan menikmati kopi pahitnya di paviliun. Tatapnnya menerawang jauh. Bibirnya bergumam. "Ini baru permulaan, Rumana. Akan ada kejutkan yang lebih menyakitkan setelah ini." Diletakkannya cangkir berisi endapan kopi di atas meja, dan berlalu meninggalkan paviliun.

🥀🥀🥀

Bab 7

"Assalamualaikum, Bu Bidan, tolong anak saya, Bu!" Gunadi begitu panik membawa anaknya yang masih saja kejang-kejang sampai di rumah Bidan Melati.

"Walaikumsalam. Astaghfirullah, Pak. Cepat bawa masuk ke ruang periksa," ujar Bu Bidan Melati, mempersilahkan Gunadi masuk. Rumah sekaligus tempat praktek Bidan Melati itu memang ada ruang periksa nya.

Dengan sigap Bidan Melati memberi pertolongan pertama pada bayi mungil yang mulai lemas, dan menjadi tenang setelah lima menit kejang-kejang. Bidan melati tak mengerti, kenapa badannya dingin sekali. Dia panik dan langsung melakukan segala pertolongan, tetapi perlahan suhu tubuhnya normal. Aneh sekali, padahal biasanya, anak yang kejang itu di sebabkan karena terlalu tingginya suhu tubuh, sehingga menyebabkan kejang.

Tetapi berbeda dengan kasusu kali ini, Bidan Melati di buat keheranan dengan perubahan tiba-tiba si balita. Padahal beberapa detik yang lalu, bayi ini masih kejang saat di gendong Gunadi. Bidan Melati memeriksa seluruh nadi si bayi, takut kalau-kalau terlambat memberi pertolongan.

Tapi semua normal, pernafasan dan detak jantungnya normal. Tidak ada masalah serius yang perlu di khawatirkan. Sekali lagi dia periksa dengan stetoskop, karena masih tak percaya dengan perubahan tiba-tiba sang balita. Namun semua baik-baik saja, malah bayi itu tidur dengan pulasnya.

Gunadi turut menyaksikan semua perubahan anaknya. Saat di letakan di brangkar milik Bidan Melati, tiba-tiba anaknya langsung berhenti kejang, malah terlihat seperti sedang tidur nyenyak.

"Sebenarnya kenapa anak saya, Bu Bidan, kenapa bisa kejang-kejang?" tanya Gunadi tak kalah bingung dari Bidan Melati.

"Apa sebelumnya dedek bayi mengalami panas tinggi?" Bidan Melati berfikir secara logika, dengan memastikan keadaan si balita sebelumnya.

"Kemaren memang sempat demam, Bu. Tapi sudah dua hari yang lalu, hari ini nggak demam sama sekali, hanya saja sangat rewel saat akan tidur tadi. Nah saat mulai anteng dan tidur dalam gendongan saya, tiba-tiba dia seperti tadi pas di bawa kemari, Bu. Kejang-kejang dengan bola mata yang sampai membalik. Saya panik, dan langsung ke sini," papar Gunadi menjelaskan kronologi anaknya bisa sampai kejang.

"Aneh. Bukan apa-apa, tapi biasanya kalau kejang begini ya karena suhu badan yang tinggi. Tapi ini tidak, suhu tubuh anak bapak normal, tidak ada yang janggal. Artinya anak Bapak sehat-sehat saja, kenapa bisa kejang seperti tadi, ya?" Ujar Bidan Melati penasaran, dan malah membuat Gunadi semakin bingung.

"Loh, kok malah balik tanya?" batin Gunadi tak mengerti.

Bidan yang biasa menangani pasien saja bingun dan heran, apa lagi Gunadi yang orang awam. Mana tahu dia tentang seperti itu. Tetapi dia cukup lega, karena anaknya baik-baik saja. Lalu tadi itu kenapa? kok bisa tiba-tiba kejang? Apa mungkin anaknya terkena epilepsi? Ah, tapi kalau epilepsi masa langsung anteng setelah di tidurkan. Terlebih masih bayi, umumnya hanya setep karena panas yang terlalu tinggi kan. Tidak mungkin kalau terkena epilepsi. Lagian, Bidan pasti tahu kalau penyakit itu yang menimpa bayinya.

Sudahlah...Gunadi tak mau terlalu memikirkan soal yang barusan menimpa bayinya. Yang penting anaknya kini sudah baik-baik saja. Maka, dia segera pamit dan berterima kasih pada Bidan Melati.

Kepergian gunadi dari rumah sang Bidan tentu meninggalkan banyak tanya dalam benaknya. Hingga tanpa sadar dia bergumam, "bukan hanya aneh, tetapi juga mencurigakan. Ada apa sebenarnya dengan keluarga Pak Rasmadi. Kedua cucunya meninggal tenggelam di sungai, menantunya dia tampar di hari pemakaman kedua cucunya, yang dengan tega dia kuburkan dalam satu liang lahat, hingga kini kabarnya belum juga sadar.

Meskipun pernah aku mencoba memeriksanya, tetapi tidak juga di temukan sesuatu yang janggal dalam tubuh Bu Rum. Mungkin dia syok dan kelelahan. Lalu sekarang, cucunya yang masih bayi juga menunjukkan reaksi yang tidak wajar. Kasihan sekali Pak Gunadi, membayangkan saja membuatku ngeri. Semoga mereka baik-baik saja." Bidan Melati menutup Pintu, dengan rasa prihatin pada musibah yang menimpa keluarga Gunadi.

Hampir semua warga di kampung itu sudah dengar desas-desus yang beredar tentang jasad kedua cucu Rasmadi, yang di kubur dalam satu liang lahat tanpa di sholatkan, sudah seperti mengubur binatang saja bagi para warga. Namun mereka tak mau mencari perkara dan memilih diam saja, tentu hanya diam di depan Rasmadi serta keluarga. Tetapi tidak di belakangnya. Berbagai spekulasi warga bermunculan, ada yang bilang jadi tumbal, ada juga yang mengatakan Rasmadi menganut ilmu sesat.

***

"Gun, kok cepet pulangnya. Apa Rayhan sudah sembuh, kata Bidan kenapa bisa kejang, Gun?" Tuminah yang panik langsung memberondong putranya pertanyaan, saat baru saja turun dari motor menggendong bayinya.

"Sebentar, Bu. Aku taruh Rayhan di kamar dulu," timal Gunadi berlalu menuju kamar di mana Istrinya masih terbaring tak berdaya.

Dia letakkan bayi mungilnya yang masih terlelap, tepat di samping sang Istri. Dia tatap wajah cantik Rumana. Iya, Rumana masih terlihat cantik dan awet muda, meskipun dia sudah melahirkan empat orang anak. Usianya yang baru mau menginjak kepala empat, tak menampakan garis penuaan di wajahnya sedikitpun.

Tentu saja, Rumana seorang wanita keturunan Bali. Ayahnya orang Bali, dan Ibunya orang Jogja. Rumah warisan Ibunya lah yang kini mereka tempati di Jogja sana.

"Bangunlah, Rum. Kamu tidak kasihan pada Mas mu ini, lihatlah anakmu. Rayhan tadi kejang-kejang, Rum. Sedangkan Bagas seperti anak yang depresi, dia selalu mengurung dirinya di kamar. Dia selalu memanggil namamu dan kedua kakaknya. Apa yang harus aku lakukan sekarang, Rum." Tangia Gunadi pecah seketika, meratapi semua musibah yang menimpa padanya.

Andai saja Rumana tidak seperti ini, mungkin dia tak akan serapuh sekarang. Kehilangan dua putri sekaligus, sudah cukup merontokan hatinya. Dan kini, dia harus berjuang sendiri merawat kedua anak serta Istrinya. Meskipun ada kedua orang tua yang membantunya, tentu tidak akan sama seperti jika ada Rumana--Istrinya.

Gunadi tergugu di samping tubuh Rumana yang terlihat semakin menyusut, meskipun selang infus telah terpasang di tangannya, untuk memasukkan asupan nutrisi ke dalam tubuhnya, tetapi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi hariannya.

Rumana butuh asupan tambahan, berupa makanan dan minuman yang bergizi. Tetapi semua itu tidak bisa masuk ke dalam tubuhnya, karena kondisinya yang seperti orang koma.

Tuminah yang tak sabar mendengar kondisi cucunya, segera masuk dan menghampiri Gunadi. Dilihatnya sang putra sedang menangis tersedu, membuat dada wanita sepuh itu sebak, dan tak urung bulir bening turut luruh membasahi pipi tuanya.

Dia tak menyangka musibah ini menimpa keluarga Putra tercinta. Andai dia bisa, biarkan dia yang menggantikan posisi Rumana, dia sudah tua, tak ada lagi tanggungjawab yang harus dia tunaikan sebesar menantunya.

"Malang sekali nasibmu, Nak. Maafkan Ibu dan bapak mu yang penuh dosa ini, hingga kamu yang harus ikut menanggung akibatnya. Gusti Allah... Jika kau ingin menghukum kami berdua, hukum saja aku dan suamiku, tetapi jangan Engkau hukum anakku beserta anak dan istrinya, ya Gusti..." Batin Tuminah berkecamuk, dengan melangitkan do'a pada Yang Maha Kuasa.

Ibu manapun tak tega melihat putranya yang sudah berumah tangga tersiksa seperti itu, bukan tersiksa karena di hianati istri seperti pada kebanyakan rumah tangga lainnya. Tetapi tersiksa karena kehilangan kedua putri dan istri yang koma, dengan meninggalkan balita yang masih sangat membutuhkan ASI dan kasih sayang sang Istri.

Tuminah menyeka air matanya, dan melangkah mendekati sang putra. Di usapnya pundak Gunadi yang masih terguncang. Seakan sedang menumpahkan segala sebak R dadanya selama kejadian yang tak pernah ia duga dalam hidupnya, yang terbilang sudah cukup bahagia bersama Rumana.

"Sabar ya, le. Rumana pasti akan segera bangun," hibur Tuminah.

Gunadi segera menghapus air mata, dan mendongak menatap sang Ibu. Dia hanya mengangguk samar dengan mengaminkan ucapan ibunya. Berharap Rumana benar-benar segera bangun.

Drrrrttt! Drrrttt!

Getaran ponsel di meja kecil sebelah tempat tidur, menyadarkan Gunadi, betapa lama dia melupakan benda pipih dan canggih itu.

"Abah!" Gunadai tersentak membaca nama Ayah mertua tertera di layar ponselnya.

"Astaghfirullah! Bagaimana ini." Raut wajah Gunadi terlihat begitu panik.

🥀🥀🥀

Related chapters

  • Mengantar Nyawa setelah hari raya    Bab 8

    🥀🥀🥀"Abah!" Gunadi tersentak membaca nama Ayah mertua tertera di layar ponselnya. "Astaghfirullah! Bagaimana ini." Raut wajah Gunadi terlihat begitu panik.Bagaimana tidak, setelah kematian kedua putrinya ditambah Rumana yang tidak sadarkan diri hinggi kini, membuat Gunadi tak sempat menyentuh ponselnya. Kesibukannya mengurus Bagas dan Rayhan begitu menyita waktu, tenaga dan fikirnannya. Bahkan terdengar kabar bahwa kematian kedua putrinya sampai di beritakan di televisi. Dia yakin berita itu juga ramai di jagat maya. Makanya dia lebih memilih fokus saja mengurus anak-anak dan istrinya, daripada lebih hancur melihat pemberitaan yang beredar. "Apa itu Ayah mertuamu, Gun?" Tuminah penasaran dengan putranya yang langsung pucat pasi, setelah menatap layar ponsel dan mengagumkan nama Abah. "Iya, Bu. Aku bingung mau ngomong apa sama Abah. Aku suami yang gagal menjaga kedua anak, dan kini, Istriku juga masih terbaring lemah. Jika Abah tahu, mungkin aku bisa langsung di bunuh," tukas G

  • Mengantar Nyawa setelah hari raya    Bab 9

    🥀🥀🥀"Kenapa kamu malah menyuruh mertuamu datang, Gun." Tuminah tak mengerti dengan pemikiran putranya, bukannya mengatakan saja yang sebenarnya, malah dia meminta mertuanya datang. Apa bukan bunuh diri namanya?"Aku ga bisa mengatakan semua ini lewat telefon, Bu. Biar Abah melihat sendiri kondisi putri tercintanya. Kalaupun nanti aku harus menerima caci makinya, aku ikhlas. Aku berharap kedatangan Abah bisa menyadarkan Rumana," ungkap Gunadi memandangi Istrinya.Bagi Gunadi saat ini, kesadaran Rumana adalah yang utama. Rasanya dia tak sanggup menjalani hari-hari lebih lama lagi tanpa Rumana. Seminggu tanpanya, sudah sangat melelahkan dan membuat Gunadi stres. Matanya kembali berkaca, saat menyadari betapa dia sangat membutuhkan peran Istri nya saat ini. Gunadi berjanji, jika Rumana bangun, dia tidak akan pernah sekalipun menyalahkan atau kasar padanya. Dia akan memperlakukan Rumana seperti Ratu di hatinya. "Rumana, bangunlah. Berapa lama kamu akan terus begini, ingatlah aku, Rum.

  • Mengantar Nyawa setelah hari raya    Bab 10

    Part 10.Dua hari setelah dua bocah meninggal tenggelam."Tolong..! Tolong...! Siapapun di sana, tolong aku." Seorang wanita paruh baya terikat tangan dan kakinya di sebuah gubug di tengah hutan, dengan mata di tutup kain. Suaranya mulai parau karena terus berteriak, tetapi tak juga ada bantuan datang.Dia tak tahu bagaimana bisa sampai di tempat itu. Yang dia ingat, dia ingin berkunjung ke kampung halaman adik iparnya, ingin silaturahim karena sudah lama tak bersua, mumpung keluarga adiknya sedang mudik ke Kebumen. Sebuah kota yang ingin dia kunjungi karena terkenal banyaknya tempat pariwisata.Dia menaiki ojek dari stasiun Kebumen menuju desa Gunadi. Hingga sampailah dia, di pinggir jalan raya yang masih sangat sepi. Arloji di tangannya masih menunjukkan pukul 04.40 pagi, maka ia putuskan untuk berhenti di pinggir jalan raya itu untuk melanjutkan perjalanan ke rumah mertua Rumana, yang tidak terlalu jauh dari jalan raya. Menurut Kinanti, jika tukang ojek itu mengantarnya sampai dep

  • Mengantar Nyawa setelah hari raya    Bab 11

    Tak mau terkecoh dengan ucapan Iblis lagi, Rumana menggendong Rianti dan menuntun Rihanna untuk segera berlari. Tanpa memperdulikan perkataan Raja Cobra.Rumana lari lintang pukang tanpa arah, menghindari kejaran Raja Cobra yang terus menyeringai di belakang, dengan sesekali meliukan badannya yang setengah ular. Wajah Raja Cobra yang tadinya sangat tampan, kini berubah sangat menyeramkan. Dengan taring yang tiba-tiba muncul di sela-sela gigi rapihnya, dan lidah panjang yang sesekali menjulur. Membuat Rumana semakin waspada, takut-takut Raja Cobra akan menyemburkan bisa nya. Suasana yang gelap gulita semakin menyulitkan langkahnya. Sehingga dia harus berhati-hati saat lari menggendong Rianti dan Rihanna dalam tuntunannya. "Aduh!!" Pekik Rihanna terjatuh, rupanya kakinya tersandung dan tersangkut akar belukar. Dengan sigap, Rumana melepaskan akar yang melilit kaki anaknya. Tetapi siapa sangka akar yang sedang dia lepaskan itu, berubah jadi jari-jari tangan yang kurus dan mengerikan.

  • Mengantar Nyawa setelah hari raya    Bab 12

    "Rum... Rumana...!! Sadarlah Rum! Ini Ummi sayang. Jangan seperti ini, Nak. Huuuhuu." Ratmini tersedu memangku anaknya yang seperti itu. "Letakkan Rumana, Mi. Biar Abah periksa," kata I Ketut Sudikerta mengintruksikan sang istri untuk meletakan anaknya di kasur saja.Ratmini mengikuti saran suami. Diletakannya kepala Rumana dari pangkuannya ke bantal yang sejak delapan hari yang lalu jadi tempatnya menyandarkan kepala. Ratmini tak henti-hentinya menangis, kaget dan penasaran kenapa anaknya bisa jadi seperti ini. Dia berfikir mungkin Rumana tertekan dan belum bisa mengikhlaskan kedua putrinya, tetapi reaksinya itu kenapa tidak wajar. Ada apa sebenarnya dengan putri keduanya ini? Ratmini sungguh tak mengerti.Niat hati datang untuk menghibur Rumana yang kehilangan kedua anaknya, tetapi dia malah di suguhi dengan keadaan sang putri yang memprihatinkan. Membuat Ratmini sangat sedih. Dia menerka-- apa kiranya yang tengah menimpa keluarga Rumana. Musibah kehilangan dua anak tengah ia hada

  • Mengantar Nyawa setelah hari raya    Bab 13

    🥀🥀🥀Setelah di beri makan dan minum oleh Tarno dan Parjo, Kinanti terlihat tak begitu pucat lagi. Duduknya mulai tegak, dan tatapannya semakin tajam. Namun dia belum mau bicara sepatah katapun. Entah apa yang sedang dia fikirkan. Karena hari sudah hampir petang, dan suasana remang-remang di tengah hutan, Tarno dan Parjo memutuskan untuk segera turun gunung. Merasa kasihan pada wanita yang dia tolong, Tarno berfikir akan mengajaknya turun. Mencarikan tempat tinggal untuknya, atau di titipkan ke rumah kakaknya. Yang suaminya sedang merantau di kota, sehingga di rumah itu hanya ada sang kakak dan anak-anak nya. Itu lebih baik, daripada di rumah Tarno yang kedua orang tuanya tengah pergi ke luar kota. Sedangkan dia sendiri masih bujangan dan tinggal sendiri. Itu bisa jadi fitnah untuk mereka. Tak mungkin juga Tarno meninggalkan wanita cantik ini sendirian dalam ketakutan di tengah hutan."Apa kamu bisa jalan?" Tanya Tarno memastikan pada Kinanti, yang di balas anggukan olehnya. "B

  • Mengantar Nyawa setelah hari raya    Bab 14

    Parjo meringkuk di semak-semak, karena saking takutnya. Seumur hidup, ini pertama kalinya dia melihat dengan mata kepala sendiri, sosok hantu bertubuh manusia dengan muka yang sangat menyeramkan. Persis adegan yang sangat menakutkan saat menonton film horor. Saat hantunya muncul tiba-tiba.Tubuhnya menggigil, karena dia tipe orang yang sangat penakut. Mungkin dia tak akan mau ke kamar mandi sendirian setelah ini."Tarno ke mana nih. Jangan-jangan ketangkep hantu itu, hiiii," gumam Parjo di tengah ketakutan.Parjo bingung, temannya masih di belakang. Mau menyusul takut, tetapi mau turun duluan juga tidak tega. Akhirnya dia menunggu di semak-semak itu dengan rasa takut yang masih menghinggapi jiwa.Karena terlalu lama, Parjo memberanikan diri untuk keluar, takut juga kalau-kalau ada ular di semak belukar. Apalagi suasana yang gelap gulita."No! Kamu di mana, sih. Kok nggak turun-turun. Jangan becanda, No!" Triak Parjo memanggil temannya.Tak mendapat respon dari Tarno, Parjo jadi panik

  • Mengantar Nyawa setelah hari raya    Bab 15

    "Bu Bidan!! Tolong anak saya, Bu!" Gunadi tergopoh-gopoh menggendong Bagas ke rumah Bidan Melati. "Astaghfirullah! Pak Gunadi. Kenapa dengan anaknya, Pak. Cepat taro sini. Biar saya tangani." Bidan Melati bergerak cepat setelah mengetahui kondisi Bagas yang bersimbah darah.Tuminah terus saja menangis. Ia tak menyangka kepulangan keluarga--anaknya malah berujung duka yang tak pernah dia duga sebelumnya.Menunggu Bagas di tangani, Tuminah duduk di kursi tunggu yang tersedia di rumah Bidan melati."Bu Bidan, tolong Ibu saya. Beliau pingsan!" Tiba-tiba seorang wanita yang menggendong anaknya datang dengan tergopoh mencari Bidan Melati."Ada apa, Mbak Warni? kenapa dengan Bu Ani?" Tuminah yang mengenali wanita itu langsung penasaran dengan tetangga jauhnya. "Ibu saya pingsan, Bu Tum. Beliau baru pulang dari seberang, dan mengetahui Tarno hilang. Jadi langsung syok dan pingsan." Wanita yang Tuminah panggil Warni itu menjelaskan kronologi yang menimpa Ibunya. "Ya, Gusti... Memangnya Ta

Latest chapter

  • Mengantar Nyawa setelah hari raya    Ending

    "Hentikan, Rumana! Apa yang sedang kau lakukan?" tanya Sudikerta yang baru tiba. Mata Rumana memicing. Ia mulai paham dengan situasinya sekarang. Untuk apa pria tua itu menghentikannya? Datang disaat ia sudah berhasil menemukan kedua putranya beserta Nandini. Rumana rasa hanya sia-sia saja kedatangan mereka. "Abah ... Untuk apa Abah menyusul ke tempat ini jika hanya untuk menghentikanku. Biarkan aku hancurkan mereka, sebagaimana mereka menghancurkan duniaku, Bah! Mereka yang memulai!" lantang Rumana. Ia tak terima jika Sudikerta atau siapapun menghalangi aksinya menumpas Gayatri dan para ateknya. Ia bukan lagi Rumana yang pasrah menerima segala petaka yang hampir membuatnya g*la. "Tidak, Rum. Biarkan Abah yang menyelesaikan semua kekacauan ini. Karena semua berawal dari kesalahan Abah," ucap Sudikerta. Wajahnya tampak sendu."Maksud Abah apa?" tanya Rumana tak mengerti.Gayatri tertawa sinis ke arah Sudikerta. Dengan sekali kedipan mata, semua orang yang tadi Rumana kira bisa lol

  • Mengantar Nyawa setelah hari raya    Chapter 58

    "Tutup mata, Bu," pinta Zaki pada Rumana. Rumana menurut saja karena saking takutnya. Pemuda itu lantas dengan cepat merapal sebuah doa. Terlihat dari gerakan bibirnya. "Sekarang buka mata, Bu Rum." Zaki meniup kedua mata Rumana perlahan. Rumana tampak mengedip beberapa kali dan mengecek kedua matanya. Memastikan apakah makhluk berbentuk kelapa sang ayah mertua sudah benar-benar hilang."Tadi itu sihir, Bu. Kita pasti sedang dipantau oleh makhluk alam ini. Ayo, kita gegas temukan mereka dan keluar dari sini," terang Zaki seakan mengerti kebingungan Rumana. Mereka kembali berjalan mencari sumber suara Bagas yang sempat mereka tangkap sebelumnya. "Itu mereka, Mbak!" Tangan Raganta terulur menunjuk sebuah gubug tua yang terlihat paling kokoh diantara gubug lainnya. Gegas, Rumana berlari menghampiri Nandini yang tengah meringkuk memeluk Bagas dan Rayhan di gendongan. "Allohuakbar, Nandini! Anak-anakku," pekik Rumana menghambur mendekap Bagas. Rumana terisak-isak menciumi pucuk ke

  • Mengantar Nyawa setelah hari raya    Chapter 57

    Setelah melewati berbagai gangguan, Rumana dan dua pemuda tampan itu sudah kembali berada di dalam gua. Rumana mencoba menguatkan diri dan tekad untuk menyentuh ukiran di sisi dinding gua. Kali ini tak ada gangguan berarti yang menghalanginya.Akan tetapi, beberapa saat setelah ia menyentuhkan tangannya ke ukiran tersebut, guncangan kecil mulai ia rasakan. Disusul guncangan hebat yang membuat semuanya panik. "Guanya seperti akan runtuh, kita harus lari dari sini," ujar Raganta dengan wajah panik. "Tidak! Mungkin ini hanya efek dari sentuhan tangan saya. Ini bisa jadi benar-benar pintu masuk ke alam sarpa seperti yang dikatakan Kiai. Aku tidak akan keluar!" teriak Rumana masih kuat dengan pendiriannya. Dia terus berpegang pada dinding gua."Jangan konyol, Mbak. Kita semua bisa mati di sini kalo nggak cepat-cepat lari menyelamatkan diri!" sengit Raganta. Nada Raganta mulai emosi, dia menarik lengan Zaki dan Rumana. Setuju dengan pendapat Raganta, Zaki juga terlihat panik dan mulai m

  • Mengantar Nyawa setelah hari raya    Chapter 56

    Rumana mengikuti saran Kiai Hambali untuk menjemput kedua anaknya dan Nandini yang konon dibawa oleh pengikut Gayatri. Dia mulai melangkah menyusuri lorong gua yang gelap dan sempit. Sebuah tempat yang terletak di dalam hutan Larangan yang jarang dijamah manusia. Sensasi mencekam mulai ia rasakan tatkala kakinya semakin maju ke dalam gua. Gelap, lembab, dan sumpak mendominasi nuansa di dalam gua. Rasa takut mulai bergelayut di hati Rumana, tapi ia juga tak mau menghentikan langkah demi kedua buah hatinya. Ia mengamati setiap sudut gua dengan pencahayaan yang terbatas dari cahaya obor. Ada Zaki dan Raganta yang turut menemani atas permintaan kiai Hambali.Perhatian Rumana jatuh pada sebuah dinding gua yang terlihat mencolok. Ada ukiran yang menggambarkan seperti gapura dan beberapa ukiran unik lainnya terpahat di sana. "Apa mungkin ini pintunya, ya?" Gumam Rumana. "Raga, Zaki, coba lihat ini."Kedua pemuda itu sontak mendekat. Mengarahkan cahaya obor mereka ke dinding gua yang dimak

  • Mengantar Nyawa setelah hari raya    Chapter 55

    "Allohuma sholi, wa salim 'ala sayyidina, Muhammadin shohibil busyro, solatan tu basyiru Nabiha. Waakhlana waauladana, wa jami'a masyayikhina, wamualimina wathalabatana wa thalibatina. Min yaumina hadzha illaa, yaumil akhiroh." Entah sudah berapa kali Rumana melantunkan selawat Busro yang diyakini bisa membawa kabar bahagia bagi yang mengamalkannya itu. Kedua matanya terpejam, ia duduk di atas sajadah selepas salat Isya di kamar. Berharap segera mendapatkan kabar bahagia seperti yang terkandung dalam selawat tersebut. Kabar baik tentang kedua anaknya yang kembali dalam keadaan sehat selamat. Kabar baik tentang kondisi Kinanti, dan kabar baik tentang kemungkinan Gunadi masih hidup, meski dia telah menyaksikan sendiri prosesi pemakamannya kala itu. Kabar baik yang ia harap membawa kebahagiaan.Dia benar-benar berharap jika semua yang tengah terjadi dalam hidupnya saat ini hanyalah sebuah mimpi buruk, dan ia ingin sekali ada yang membangunkannya dari tidur panjang ini. Tok ... Tok ..

  • Mengantar Nyawa setelah hari raya    chapter 54

    "Aaakkk!" Jeritan Kinanti menyadarkan Sudikerta, bahwa yang dia tusuk bukan Gayatri, tapi putrinya sendiri. "Mbak Kinan!" jerit Rumana. Tubuh Kinanti perlahan roboh ke pelukannya. Dia menopang tubuh sang kakak yang sudah bersimbah darah di bagian perutnya. Sudikerta yang semula menggenggam erat pusakanya itu, reflek menjatuhkan keris ke lantai hingga menimbulkan suara dentingan cukup keras. Sudikerta bergetar hebat melihat darah segar yang muncrat dari perut sang putri dan menempel di tangannya. Dia segera meraih tub uh Kinanti dan membawanya dalam pekukan. "K-kenapa ... K-Kinanti ... Kinanti!" raung Sudikerta seakan sangat menyesali perbuatannya, tetapi semua hanya sia-sia.Diletakkannya tub uh bersimbah dar4h itu di atas dipan, dengan berusaha menutupi luka guna menyumbat dar4h yang terus mengucur dari perut bagian atas.Sementara itu, Gayatri tertawa puas melihat penderitaan Sudikerta. Dia beralih pada Rumana yang terus tergugu seakan menyalahkan sang ayah."Kau lihat kan, Rum

  • Mengantar Nyawa setelah hari raya    chapter 53

    Kecurigaan Rumana pada sang ayah semakin menjadi, dia merasa Sudikerta memang telah menyembunyikan sesuatu darinya, atau mungkin dari seluruh keluarganya."Apa yang Abah sembunyikan di kamar itu?" tanya Rumana. Sudikerta menatap sekilas Rumana, kemudian berdiri dan berjalan menuju kamar mendiang mertuanya. Di depan pintu di dalam kamar itu, Sudikerta duduk bersimpuh. Mulutnya komat-kamit seperti sedang merapal sebuah mantra atau doa. Rumana dan Kinanti hanya menyaksikan dengan seksama apa yang tengah dilakukan Sudikerta. Meski ia ingin sekali bertanya, tapi dia menahan diri setelah melihat betapa Sudikerta berkonsentrasi dan tak mungkin untuk di ganggu. Tiba-tiba saja, terdengar suara tawa membahana dari seorang wanita. Tetapi tak Rumana lihat wujudnya. Suaranya seperti mengudara di dalam ruangan itu. Bau bunga melati juga menelusup ke dalam indra penciuman mereka. Rumana memasang badan waspada, sedangkan Kinanti justru bersembunyi di balik tub uh Rumana. "Siapa di sana!" seru

  • Mengantar Nyawa setelah hari raya    chapter 52

    "Kamu sudah melakukan semua sesuai rencana kan, Galuh!" Seorang wanita berkebaya warna biru laut, dengan rambut disanggul berhiaskan bunga melati di rambutnya, tengah menatap nyi Galuh. Riasan di wajah menambah pancaran cantiknya wanita itu. "Sudah, Ibu Ratu." Galuh membungkuk di depan wanita itu."Bagus! Sudah waktunya Sudikerta menerima akibat dari perbuatannya. Sekaranglah waktumu membayar semuanya, dan kamu harus tau dan mengingat itu, Sudikerta!" Wanita yang dipanggil ibu ratu oleh galuh itu bermonolog lalu menyeringai. Ada gurat kepuasan dari kedua netranya.Sudah puluhan tahun lamanya dia menantikan hari itu datang. Hari dimana dia bisa membalaskan dendam kesumat pada lelaki yang telah meluluhlantakkan kehidupannya dulu. Dimana dia kehilangan satu persatu orang-orang yang dicintainya, yang dekat dengannya, dan yang dengan tulus menolongnya, tanpa tahu sebab dari semua petaka yang menimpanya. Hal itu tentu membuatnya amat terpukul, frustasi dan depresi. Hampir saja dia dipasu

  • Mengantar Nyawa setelah hari raya    Chapter 51

    Rumana masih bungkam, enggan memberikan keterangan. Kendatai Kinanti terus memaksa untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi sampai dia pulang dalam kondisi mengenaskan seperti ini, tapi Rumana tetap tutup mulut. "Apa seseorang mengancamu?" tanya Kinanti terus memancing Rumana supaya mau bicara.Jawaban Rumana hanya berupa gelengan. Tapi, kenapa dia bungkam?Rumana masih syok dengan semua kenyataan pahit yang dia terima dari mulut Galuh. Entah kenyataan itu benar atau hanya untuk mengecohnya agar membenci sang ayah. Semua tragedi naas dalam hidupnya setelah pulang kampung ke Kebumen, dia pikir mungkin ada kaitannya denhan ayah mertua--Rasmadi. Tapi, nyatanya justru Sudikerta lah yang banyak andil di dalamnya tanpa dia duga sebelumnya.Dia kenal Abah orang yang rajin beribadah, taat menjalankan perintah Allah, tapi kenapa justru masa lalunya seburuk itu hingga berimbas pada keluarganya. Rumana masih tak terima dan mungkin akan menganggap ucapan buruk Galuh tentang Sudikerta hany

DMCA.com Protection Status