"Rum... Rumana...!! Sadarlah Rum! Ini Ummi sayang. Jangan seperti ini, Nak. Huuuhuu." Ratmini tersedu memangku anaknya yang seperti itu. "Letakkan Rumana, Mi. Biar Abah periksa," kata I Ketut Sudikerta mengintruksikan sang istri untuk meletakan anaknya di kasur saja.Ratmini mengikuti saran suami. Diletakannya kepala Rumana dari pangkuannya ke bantal yang sejak delapan hari yang lalu jadi tempatnya menyandarkan kepala. Ratmini tak henti-hentinya menangis, kaget dan penasaran kenapa anaknya bisa jadi seperti ini. Dia berfikir mungkin Rumana tertekan dan belum bisa mengikhlaskan kedua putrinya, tetapi reaksinya itu kenapa tidak wajar. Ada apa sebenarnya dengan putri keduanya ini? Ratmini sungguh tak mengerti.Niat hati datang untuk menghibur Rumana yang kehilangan kedua anaknya, tetapi dia malah di suguhi dengan keadaan sang putri yang memprihatinkan. Membuat Ratmini sangat sedih. Dia menerka-- apa kiranya yang tengah menimpa keluarga Rumana. Musibah kehilangan dua anak tengah ia hada
🥀🥀🥀Setelah di beri makan dan minum oleh Tarno dan Parjo, Kinanti terlihat tak begitu pucat lagi. Duduknya mulai tegak, dan tatapannya semakin tajam. Namun dia belum mau bicara sepatah katapun. Entah apa yang sedang dia fikirkan. Karena hari sudah hampir petang, dan suasana remang-remang di tengah hutan, Tarno dan Parjo memutuskan untuk segera turun gunung. Merasa kasihan pada wanita yang dia tolong, Tarno berfikir akan mengajaknya turun. Mencarikan tempat tinggal untuknya, atau di titipkan ke rumah kakaknya. Yang suaminya sedang merantau di kota, sehingga di rumah itu hanya ada sang kakak dan anak-anak nya. Itu lebih baik, daripada di rumah Tarno yang kedua orang tuanya tengah pergi ke luar kota. Sedangkan dia sendiri masih bujangan dan tinggal sendiri. Itu bisa jadi fitnah untuk mereka. Tak mungkin juga Tarno meninggalkan wanita cantik ini sendirian dalam ketakutan di tengah hutan."Apa kamu bisa jalan?" Tanya Tarno memastikan pada Kinanti, yang di balas anggukan olehnya. "B
Parjo meringkuk di semak-semak, karena saking takutnya. Seumur hidup, ini pertama kalinya dia melihat dengan mata kepala sendiri, sosok hantu bertubuh manusia dengan muka yang sangat menyeramkan. Persis adegan yang sangat menakutkan saat menonton film horor. Saat hantunya muncul tiba-tiba.Tubuhnya menggigil, karena dia tipe orang yang sangat penakut. Mungkin dia tak akan mau ke kamar mandi sendirian setelah ini."Tarno ke mana nih. Jangan-jangan ketangkep hantu itu, hiiii," gumam Parjo di tengah ketakutan.Parjo bingung, temannya masih di belakang. Mau menyusul takut, tetapi mau turun duluan juga tidak tega. Akhirnya dia menunggu di semak-semak itu dengan rasa takut yang masih menghinggapi jiwa.Karena terlalu lama, Parjo memberanikan diri untuk keluar, takut juga kalau-kalau ada ular di semak belukar. Apalagi suasana yang gelap gulita."No! Kamu di mana, sih. Kok nggak turun-turun. Jangan becanda, No!" Triak Parjo memanggil temannya.Tak mendapat respon dari Tarno, Parjo jadi panik
"Bu Bidan!! Tolong anak saya, Bu!" Gunadi tergopoh-gopoh menggendong Bagas ke rumah Bidan Melati. "Astaghfirullah! Pak Gunadi. Kenapa dengan anaknya, Pak. Cepat taro sini. Biar saya tangani." Bidan Melati bergerak cepat setelah mengetahui kondisi Bagas yang bersimbah darah.Tuminah terus saja menangis. Ia tak menyangka kepulangan keluarga--anaknya malah berujung duka yang tak pernah dia duga sebelumnya.Menunggu Bagas di tangani, Tuminah duduk di kursi tunggu yang tersedia di rumah Bidan melati."Bu Bidan, tolong Ibu saya. Beliau pingsan!" Tiba-tiba seorang wanita yang menggendong anaknya datang dengan tergopoh mencari Bidan Melati."Ada apa, Mbak Warni? kenapa dengan Bu Ani?" Tuminah yang mengenali wanita itu langsung penasaran dengan tetangga jauhnya. "Ibu saya pingsan, Bu Tum. Beliau baru pulang dari seberang, dan mengetahui Tarno hilang. Jadi langsung syok dan pingsan." Wanita yang Tuminah panggil Warni itu menjelaskan kronologi yang menimpa Ibunya. "Ya, Gusti... Memangnya Ta
"BEDEBAH.!!" Kini Rumana yang tersulut emosi, melihat ke tiga anaknya di jadikan sandera oleh siluman ular."Tenangkan dirimu, Rumana. Amarah hanya akan menghancurkan mu. Tahan emosi, berfikirlah dan lawan dia dengan otak, jika kau tak bisa melawannya menggunakan ototmu." Bisikan yang terdengar begitu jelas di telinga Rumana. Itu bisikan Kyai Hambali, yang terdengar asing bagi Rumana."Itu bukan Abah. Apakah ada orang lain yang sedang membantuku di alam manusia? Semoga saja benar. Suaranya begitu teduh dan menenangkan. Aku yakin, dia orang yang ber ilmu dan memiliki iman yang tinggi." Rumana mengira-ngira dalam hati."Hei! Aku dengar apa yang kau fikirkan. Siapa yang membantumu di dunia manusia, hem." Raja Cobra yang di panggil Raja Ashuma, oleh para bawahannya itu penasaran."Hh, Bukan urusanmu, PECUNDANG! Beraninya main sandera. Lepaskan anak-anak ku. Dan hadapi aku secara jantan." Rumana kembali memancing emosi Ashuma.Di turunkannya ke tiga anak Rumana. Kini, Rumana bisa bertarung
🥀🥀🥀"Sudah tiga hari Kyai Hambali bolak-balik ke rumah ini ya, Pak. Tapi Rumana belum juga sadar. Malah anteng lagi, seperti sebelumnya. Sebenarnya dia kenapa to, Pak?" Tuminah duduk berhadapan dengan Rasmadi di bangku teras rumahnya.Istrahat sejenak dari rutinitas yang menguras tenaga renta nya.Rasmadi menerawang jauh, dia mengetahui segalanya saat ikut menggunakan sedikit ilmu yang dia miliki. Itupun dia lakukan jika sudah ada yang membuka gerbang dimensi lain. Jika tidak ada perantara orang yang memiliki ilmu Kanuragan yang lebih tinggi darinya, dia tak bisa berbuat apa-apa. "Tidak apa-apa, dia baik-baik saja di sana. Berkat transferan ilmu Kanuragan Kyai Hambali, dan juga senjata yang dia berikan untuk anaknya. Aku baru sadar, ada seseorang yang sengaja mengantar sukma Rumana ke alam itu, saat aku menamparnya. Orang normal tak akan pingsan hanya karena di tampar seperti itu. Itu perbuatan makhluk atau orang yang ingin menyakiti Rumana." Rasmadi mencoba menenangkan hati Istr
Kinanti tak percaya, melihat Tarno lari dan mendekati bibir jurang. Panggilan dan triakan nya tak mampu membuat Tarno sadar. Kinanti bingung harus bagaimana, melihat Tarno yang hampir menjatuhkan tubuhnya. Untungnya Parjo datang, dan langsung menarik tubuh temannya itu sekuat tenaga."Kamu ngapain, sih! Mau bunuh diri?!" Parjo langsung memarahi Tarno."Hah? Kok kamu di sini, bukannya kamu..." Tarno menggantung kalimatnya. Kinanti tak mengerti maksud dari ucapannya. Tarno masih limbung, dia semakin bingung karena Parjo yang tadinya ingin dia selamatkan di ambang jurang, ternyata malah ada di belakangnya.Ada apa ini sebenarnya? Siapa yang tadi minta tolong padanya? Ini sungguh membingungkan bagi Tarno. Benar-benar di luar nalar."Kamu kenapa? Kenapa mau lompat ke jurang. Bocah gemblung!" Parjo masih sedikit jengkel karena Tarno hampir meregang nyawa di dasar jurang.Parjo mengira, Tarno akan bunuh diri karena katakutan dan belum juga dapat jodoh.Tarno masih memulihkan kesadaranya.
"Rumekso ingsun laku nisto ngoyo woro.(Kujaga diri dari perbuatan nista dan sesuka hati). Kelawan mekak howo, howo kang dur angkoro. (Dengan mengendalikan hawa, hawa nafsu angkara). Senadyan setan gentayangan, tansah gawe rubeda. (Meski setan bergentayangan, selalu membuat gangguan). Hinggo pupusing jaman. (Sampai akhir zaman)" penggalan kidung wahyu Kolosebo membuat Rumana terkesiap. Di susul lantunan ayat-ayat suci Al-Qur'an dari suara yang berbeda.Dia berhenti sejenak di udara. Saat ini, Rumana sedang melarikan diri bersama ketiga sukma anaknya dari dua siluman yang sempat menyandera mereka.Kidung itu seperti mengingatkan Rumana yang serakah karena berfikir akan menghidupkan kedua anaknya yang telah tiada, dengan membawa kedua sukma anaknya yang telah meninggal ke alam manusia."Siapa yang melantunkan ayat suci Al-Quran dan kidung ini," gumam Rumana, akhirnya dia memijakkan kakinya di tanah basah berbatu. Dengan Rayhan di gendongan dan Rihanna serta Rianti di samping kanan kiri
"Hentikan, Rumana! Apa yang sedang kau lakukan?" tanya Sudikerta yang baru tiba. Mata Rumana memicing. Ia mulai paham dengan situasinya sekarang. Untuk apa pria tua itu menghentikannya? Datang disaat ia sudah berhasil menemukan kedua putranya beserta Nandini. Rumana rasa hanya sia-sia saja kedatangan mereka. "Abah ... Untuk apa Abah menyusul ke tempat ini jika hanya untuk menghentikanku. Biarkan aku hancurkan mereka, sebagaimana mereka menghancurkan duniaku, Bah! Mereka yang memulai!" lantang Rumana. Ia tak terima jika Sudikerta atau siapapun menghalangi aksinya menumpas Gayatri dan para ateknya. Ia bukan lagi Rumana yang pasrah menerima segala petaka yang hampir membuatnya g*la. "Tidak, Rum. Biarkan Abah yang menyelesaikan semua kekacauan ini. Karena semua berawal dari kesalahan Abah," ucap Sudikerta. Wajahnya tampak sendu."Maksud Abah apa?" tanya Rumana tak mengerti.Gayatri tertawa sinis ke arah Sudikerta. Dengan sekali kedipan mata, semua orang yang tadi Rumana kira bisa lol
"Tutup mata, Bu," pinta Zaki pada Rumana. Rumana menurut saja karena saking takutnya. Pemuda itu lantas dengan cepat merapal sebuah doa. Terlihat dari gerakan bibirnya. "Sekarang buka mata, Bu Rum." Zaki meniup kedua mata Rumana perlahan. Rumana tampak mengedip beberapa kali dan mengecek kedua matanya. Memastikan apakah makhluk berbentuk kelapa sang ayah mertua sudah benar-benar hilang."Tadi itu sihir, Bu. Kita pasti sedang dipantau oleh makhluk alam ini. Ayo, kita gegas temukan mereka dan keluar dari sini," terang Zaki seakan mengerti kebingungan Rumana. Mereka kembali berjalan mencari sumber suara Bagas yang sempat mereka tangkap sebelumnya. "Itu mereka, Mbak!" Tangan Raganta terulur menunjuk sebuah gubug tua yang terlihat paling kokoh diantara gubug lainnya. Gegas, Rumana berlari menghampiri Nandini yang tengah meringkuk memeluk Bagas dan Rayhan di gendongan. "Allohuakbar, Nandini! Anak-anakku," pekik Rumana menghambur mendekap Bagas. Rumana terisak-isak menciumi pucuk ke
Setelah melewati berbagai gangguan, Rumana dan dua pemuda tampan itu sudah kembali berada di dalam gua. Rumana mencoba menguatkan diri dan tekad untuk menyentuh ukiran di sisi dinding gua. Kali ini tak ada gangguan berarti yang menghalanginya.Akan tetapi, beberapa saat setelah ia menyentuhkan tangannya ke ukiran tersebut, guncangan kecil mulai ia rasakan. Disusul guncangan hebat yang membuat semuanya panik. "Guanya seperti akan runtuh, kita harus lari dari sini," ujar Raganta dengan wajah panik. "Tidak! Mungkin ini hanya efek dari sentuhan tangan saya. Ini bisa jadi benar-benar pintu masuk ke alam sarpa seperti yang dikatakan Kiai. Aku tidak akan keluar!" teriak Rumana masih kuat dengan pendiriannya. Dia terus berpegang pada dinding gua."Jangan konyol, Mbak. Kita semua bisa mati di sini kalo nggak cepat-cepat lari menyelamatkan diri!" sengit Raganta. Nada Raganta mulai emosi, dia menarik lengan Zaki dan Rumana. Setuju dengan pendapat Raganta, Zaki juga terlihat panik dan mulai m
Rumana mengikuti saran Kiai Hambali untuk menjemput kedua anaknya dan Nandini yang konon dibawa oleh pengikut Gayatri. Dia mulai melangkah menyusuri lorong gua yang gelap dan sempit. Sebuah tempat yang terletak di dalam hutan Larangan yang jarang dijamah manusia. Sensasi mencekam mulai ia rasakan tatkala kakinya semakin maju ke dalam gua. Gelap, lembab, dan sumpak mendominasi nuansa di dalam gua. Rasa takut mulai bergelayut di hati Rumana, tapi ia juga tak mau menghentikan langkah demi kedua buah hatinya. Ia mengamati setiap sudut gua dengan pencahayaan yang terbatas dari cahaya obor. Ada Zaki dan Raganta yang turut menemani atas permintaan kiai Hambali.Perhatian Rumana jatuh pada sebuah dinding gua yang terlihat mencolok. Ada ukiran yang menggambarkan seperti gapura dan beberapa ukiran unik lainnya terpahat di sana. "Apa mungkin ini pintunya, ya?" Gumam Rumana. "Raga, Zaki, coba lihat ini."Kedua pemuda itu sontak mendekat. Mengarahkan cahaya obor mereka ke dinding gua yang dimak
"Allohuma sholi, wa salim 'ala sayyidina, Muhammadin shohibil busyro, solatan tu basyiru Nabiha. Waakhlana waauladana, wa jami'a masyayikhina, wamualimina wathalabatana wa thalibatina. Min yaumina hadzha illaa, yaumil akhiroh." Entah sudah berapa kali Rumana melantunkan selawat Busro yang diyakini bisa membawa kabar bahagia bagi yang mengamalkannya itu. Kedua matanya terpejam, ia duduk di atas sajadah selepas salat Isya di kamar. Berharap segera mendapatkan kabar bahagia seperti yang terkandung dalam selawat tersebut. Kabar baik tentang kedua anaknya yang kembali dalam keadaan sehat selamat. Kabar baik tentang kondisi Kinanti, dan kabar baik tentang kemungkinan Gunadi masih hidup, meski dia telah menyaksikan sendiri prosesi pemakamannya kala itu. Kabar baik yang ia harap membawa kebahagiaan.Dia benar-benar berharap jika semua yang tengah terjadi dalam hidupnya saat ini hanyalah sebuah mimpi buruk, dan ia ingin sekali ada yang membangunkannya dari tidur panjang ini. Tok ... Tok ..
"Aaakkk!" Jeritan Kinanti menyadarkan Sudikerta, bahwa yang dia tusuk bukan Gayatri, tapi putrinya sendiri. "Mbak Kinan!" jerit Rumana. Tubuh Kinanti perlahan roboh ke pelukannya. Dia menopang tubuh sang kakak yang sudah bersimbah darah di bagian perutnya. Sudikerta yang semula menggenggam erat pusakanya itu, reflek menjatuhkan keris ke lantai hingga menimbulkan suara dentingan cukup keras. Sudikerta bergetar hebat melihat darah segar yang muncrat dari perut sang putri dan menempel di tangannya. Dia segera meraih tub uh Kinanti dan membawanya dalam pekukan. "K-kenapa ... K-Kinanti ... Kinanti!" raung Sudikerta seakan sangat menyesali perbuatannya, tetapi semua hanya sia-sia.Diletakkannya tub uh bersimbah dar4h itu di atas dipan, dengan berusaha menutupi luka guna menyumbat dar4h yang terus mengucur dari perut bagian atas.Sementara itu, Gayatri tertawa puas melihat penderitaan Sudikerta. Dia beralih pada Rumana yang terus tergugu seakan menyalahkan sang ayah."Kau lihat kan, Rum
Kecurigaan Rumana pada sang ayah semakin menjadi, dia merasa Sudikerta memang telah menyembunyikan sesuatu darinya, atau mungkin dari seluruh keluarganya."Apa yang Abah sembunyikan di kamar itu?" tanya Rumana. Sudikerta menatap sekilas Rumana, kemudian berdiri dan berjalan menuju kamar mendiang mertuanya. Di depan pintu di dalam kamar itu, Sudikerta duduk bersimpuh. Mulutnya komat-kamit seperti sedang merapal sebuah mantra atau doa. Rumana dan Kinanti hanya menyaksikan dengan seksama apa yang tengah dilakukan Sudikerta. Meski ia ingin sekali bertanya, tapi dia menahan diri setelah melihat betapa Sudikerta berkonsentrasi dan tak mungkin untuk di ganggu. Tiba-tiba saja, terdengar suara tawa membahana dari seorang wanita. Tetapi tak Rumana lihat wujudnya. Suaranya seperti mengudara di dalam ruangan itu. Bau bunga melati juga menelusup ke dalam indra penciuman mereka. Rumana memasang badan waspada, sedangkan Kinanti justru bersembunyi di balik tub uh Rumana. "Siapa di sana!" seru
"Kamu sudah melakukan semua sesuai rencana kan, Galuh!" Seorang wanita berkebaya warna biru laut, dengan rambut disanggul berhiaskan bunga melati di rambutnya, tengah menatap nyi Galuh. Riasan di wajah menambah pancaran cantiknya wanita itu. "Sudah, Ibu Ratu." Galuh membungkuk di depan wanita itu."Bagus! Sudah waktunya Sudikerta menerima akibat dari perbuatannya. Sekaranglah waktumu membayar semuanya, dan kamu harus tau dan mengingat itu, Sudikerta!" Wanita yang dipanggil ibu ratu oleh galuh itu bermonolog lalu menyeringai. Ada gurat kepuasan dari kedua netranya.Sudah puluhan tahun lamanya dia menantikan hari itu datang. Hari dimana dia bisa membalaskan dendam kesumat pada lelaki yang telah meluluhlantakkan kehidupannya dulu. Dimana dia kehilangan satu persatu orang-orang yang dicintainya, yang dekat dengannya, dan yang dengan tulus menolongnya, tanpa tahu sebab dari semua petaka yang menimpanya. Hal itu tentu membuatnya amat terpukul, frustasi dan depresi. Hampir saja dia dipasu
Rumana masih bungkam, enggan memberikan keterangan. Kendatai Kinanti terus memaksa untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi sampai dia pulang dalam kondisi mengenaskan seperti ini, tapi Rumana tetap tutup mulut. "Apa seseorang mengancamu?" tanya Kinanti terus memancing Rumana supaya mau bicara.Jawaban Rumana hanya berupa gelengan. Tapi, kenapa dia bungkam?Rumana masih syok dengan semua kenyataan pahit yang dia terima dari mulut Galuh. Entah kenyataan itu benar atau hanya untuk mengecohnya agar membenci sang ayah. Semua tragedi naas dalam hidupnya setelah pulang kampung ke Kebumen, dia pikir mungkin ada kaitannya denhan ayah mertua--Rasmadi. Tapi, nyatanya justru Sudikerta lah yang banyak andil di dalamnya tanpa dia duga sebelumnya.Dia kenal Abah orang yang rajin beribadah, taat menjalankan perintah Allah, tapi kenapa justru masa lalunya seburuk itu hingga berimbas pada keluarganya. Rumana masih tak terima dan mungkin akan menganggap ucapan buruk Galuh tentang Sudikerta hany